A G O R A
[III]
Kelas Master Yoon hari ini selesai empat puluh menit lebih cepat, Master yang dikenal dengan kemampuannya dalam memanipulasi penglihatan itu mengatakan kalau ia harus pulang karena ibunya yang tinggal di Athena sedang sakit.
Anak-anak tertunduk sesaat untuk mendoakan, namun selang beberapa menit setelah beliau menutup pintu dan keluar kelas, suara berisik berbagai sorakan senang langsung terdengar memenuhi kelas.
“Aku akan ke asrama dan tidur seharian!”
“Bagaimana kalau kita berlatih panahan?”
“Kau ingin berburu di belakang sekolah? Ayo!”
“Hey aku tahu di mana tempat terbaik untuk melihat gadis cantik para half blood!”
Begitulah sebagian besar yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran Wooseok. Ia hanya menggelengkan kepalanya tidak perduli.
Kebetulan hari ini Wooseok menghadiri kelas yang memang hanya diisi oleh half god. Beberapa pelajaran ada juga yang kelasnya dicampur dengan para half blood dan werewolf, kebanyakan untuk pelajaran umum.
“Wooseok..”
Terdengar sebuah suara yang sangat dihafalnya karena Wooseok mendengar dari mulai ia bangun tidur hingga memejamkan mata setiap hari selama satu tahun ini, Byungchan.
“Hmm.”
Wooseok bergumam pelan, sibuk memasukan beberapa buku ke dalam tas ransel hitamnya, ia bisa merasakan tangan Byungchan yang langsung merangkul bahunya, “Kau akan kemana? pulang ke asrama?”
“Entah.”
Mendengar jawaban singkat dari roommate-nya membuat Byungchan mendengus kecil, putra Aphrodite ini seperti sedang kembali membangun benteng dengannya.
“Aku memang tidak tahu, Chan.” jelas Wooseok dengan melembutkan nadanya saat ia dengan jelas mendengar dengusan dari bibir Byungchan. Matanya menatap Byungchan yang berdiri di sampingnya, sedangkan ia sendiri masih duduk di kursinya.
Suasana kelas saat ini masih cukup ramai.
“Aku akan pergi dengan Sejin, mau ikut?”
“Kemana?”
Wooseok bertanya sambil mengerutkan keningnya. Byungchan tersenyum tipis tapi cukup untuk menampilkan lesung pipinya. Ia memanggil Sejin terlebih dahulu sebelum menjawab.
Saat Sejin sudah sampai di depan mereka, Byungchan melepaskan rangkulannya pada Wooseok, terkikik geli kemudian gantian merangkul saudaranya itu, “Mau menggantikan tugas Eros!” serunya.
Kerutan di kening Wooseok semakin dalam, apalagi saat melihat Sejin yang langsung menyikut perut Byungchan sambil mendengus kasar hingga menimbulkan suara ringisan kecil dari bibir putra Artemis tersebut.
“Jangan didengarkan, Byungchan hanya mengoceh tidak jelas.”
“Tapi kau yang tadi bilang, katanya kita akan ke bagian utara sekolah!” suara Byungchan memekik tidak terima, ia menatap Wooseok sambil memajukan badannya untuk berbisik, “Kelas para werewolf.”
Wooseok hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua half olympian bersaudara itu. Kalau ditambah Yuvin pasti semakin lengkap. Berisik 24/7. Sayangnya si putra Hermes itu menghadiri kelas yang berbeda.
“Jadi, apa kau mau ikut?” sekali lagi Byungchan bertanya pada Wooseok dan Wooseok langsung menolak sambil tersenyum tipis. Ia berkata sambil membetulkan kacamata bulatnya, “Kalian saja, aku akan ke halaman belakang atau mungkin ke perpustakaan.” tukasnya.
Sejin dan Byungchan hanya mengangguk paham, mereka tidak pernah memaksa untuk mengajak Wooseok kemanapun mereka pergi. Mungkin Wooseok sedang ingin sendirian dan tidak mau mengikuti kerusuhan yang biasanya Byungchan lakukan. Sedangkan Sejin, orangnya lebih santai dan tidak terganggu sama sekali dengan tingkah saudaranya itu.
“Ya sudah, sampai nanti di asrama. Sebelum makan malam aku sudah pulang!”
Wooseok melambaikan tangannya untuk membalas Byungchan dan Sejin yang meninggalkan ruang kelas. Mengedarkan pandangannya untuk melihat ke belakang—ia duduk di kursi depan, hanya tinggal beberapa orang saja yang mengisi ruang kelasnya.
Terdengar suara decitan kecil dari kursi yang digeser ketika Wooseok mulai berdiri dan melangkahkan kakinya keluar kelas. Berjalan di lorong kastil yang masih sepi karena kelas lain kebanyakan masih belum selesai.
Sekali lagi, terimakasih Master Yoon!
Wooseok memelankan langkahnya saat melewati arena lapangan utama sekolah sekedar untuk melihat-lihat. Di bawah sana terlihat beberapa orang yang bergerumul, diantaranya ada para kulit pucat yang sangat mencolok.
“Wooseok son of Aphrodite!”
Seseorang memanggilnya dari sana dengan suara nyaring, hal itu tentu saja langsung membuat beberapa pasang mata kini menatapnya.
Wooseok menghembuskan napas pelan, ia menjadi pusat perhatian, lagi.
Tangannya diangkat untuk membalas lambaian tangan dari orang yang memanggilnya itu sambil mengulas senyum tipis.
Terlihat si pemanggil yang berpamitan pada temannya sebelum berlari secepat kilat untuk menghampiri Wooseok.
Seorang half blood.
“Mau kemana?” tanyanya ketika sudah sampai di depan Wooseok.
Tentu saja tidak terengah sama sekali setelah berlari seperti itu, terkadang Wooseok masih amazed dengan para half blood, dia hanya butuh waktu sepersekian detik untuk sampai tepat di depannya, juga kulitnya benar-benar terlihat pucat apalagi ditambah rambut berwarna hitam legam yang dia punya.
“Hanya berjalan-jalan. Kelasku selesai lebih cepat. Kau sedang apa di lapangan? berolahraga?” tanyanya sansi, tubuh mereka sekuat itu tidak perlu olahraga tentu saja!
Si half blood tertawa kecil mendengar candaannya, “Hanya mengisi waktu luang sebelum makan malam, mau bergabung?”
Wooseok menggelengkan kepalanya, matanya melirik sekilas ke arah para teman dari temannya ini. Di sana terlalu banyak half blood, ia tidak akan nyaman.
“Tidak, terimakasih. Mungkin lain kali.” balasnya tidak terlalu yakin.
“Baiklah, tidak masalah. Sampai bertemu saat makan malam, Wooseok.”
Wooseok mengangguk, kedua sudut bibirnya ditarik untuk mengulas senyum, “Ya, sampai nanti, Yohan.”
Yohan memamerkan senyum hingga menampilkan gigi kelincinya sebelum kembali melesat secepat kilat. Sekarang Wooseok sudah melihatnya yang kembali asik berkumpul dengan teman-temannya.
Yohan, half blood yang menjadi—mungkin satu-satunya teman Wooseok sejak ia pertama kali sampai di Agora. Masuk di tahun yang sama dengannya. Wajahnya tampan dengan gigi kelinci yang terlihat lucu, sangat tidak sesuai dengan dirinya yang berkulit pucat dan sedingin es.
Yohan bukan dari klan yang terlalu berpengaruh di tempat asalnya, namun bukan juga dari golongan biasa. Setahu Wooseok, Ayahnya adalah salah satu orang kepercayaan dari keluarga kerajaan.
Pertemuan pertama mereka adalah saat Yohan menyapanya terlebih dahulu. Saat itu Yohan melihat Wooseok yang baru sampai di sekolah. Kebetulan dia sampai sehari sebelumnya, kemudian berbaik hati mengantar Wooseok hingga ruangan kepala sekolah, Master Lee.
Mulai saat itu, Wooseok tahu tidak semua half blood selalu mengintimidasi lewat tatapannya dan terlihat menakutkan seperti rumor yang ia dengar saat masih tinggal dengan manusia, karena Yohan pengecualian. Dia ramah dan cukup “hangat”.
Wooseok kembali melanjutkan langkahnya, sungguh ia tidak tahu harus kemana. Sekolah masih belum ramai karena belum jam pulang. Salah satu tujuan awalnya yaitu perpustakaan sudah dicoret, tidak, ia sedang tidak ingin mencium bau khas buku.
“Mungkin ke taman belakang saja.” gumamnya pelan.
Tungkainya lalu berbelok ke arah kanan, memasuki kembali lorong kastil yang penuh dengan pilar tinggi dan kokoh juga pintu-pintu kelas yang masih tertutup rapat. Bunyi sepatunya berketuk pelan cukup untuk mengisi kesunyian.
Amarillis, atau orang Yunani sering menyebutnya Amarullis memiliki arti “kemegahan”. Wooseok pernah diberitahu artinya oleh sang Ayah sewaktu kecil.
Ada sebuah kisah tragis dibalik bunga tersebut, tentang perjuangan cinta sepihak sang peri kepada pemuda pengembala bernama Alteo yang kerap kali menolaknya.
Tanamannya tidak terlalu banyak di sini namun cukup terlihat mencolok dengan warna merah dan kelopaknya yang cukup besar diantara bunga lain yang ditanam di taman belakang sekolah.
Wooseok perlahan mendekat, ia tidak pernah memetiknya karena tujuannya bukan itu. Ia hanya ingin melihatnya, terkadang mengobrol sendiri, menyampaikan rindu kepada sang Ayah.
Ada sedikit air di sana, sepertinya baru disiram oleh penjaga kebun. Pantas saja terlihat segar di sore seperti ini.
Senyumnya begitu indah dengan mata berbinar, “Hai.. aku datang lagi” bisiknya ringan pada sang bunga.
Senyum mahal itu masih terpatri jelas hingga,
“Cantik.”
Sebuah suara yang samar-samar terdengar olehnya, kepala Wooseok langsung mengedar karena ternyata ada orang selain ia di sini dan netranya langsung bisa menangkap sosok di sebrang taman, dari arah kandang kuda.
Butuh beberapa detik hingga Wooseok mengingat wajah familiar itu, dia pemuda yang menghampirinya saat hujan minggu lalu. Tepat di sini, di halaman belakang.
“Wooseok son of Aphrodite.”
Suaranya masih dalam dan berat seperti waktu itu, dia menatap Wooseok sekilas, kemudian kembali menatap kuda di depannya. Tangannya mengusap-ngusap surai panjang di atas kepala kuda berwarna hitam yang berada di dalam kandang sehingga hanya terlihat kepalanya saja yang menyembul. Kening pemuda itu ditempelkan kepada kepala kuda seakan sedang berbicara dengannya.
Wooseok hanya memperhatikan sambil mengerutkan keningnya, jujur saja ia masih tidak mengetahui pemuda itu. Mungkin werewolf atau half god? entahlah dan baru kali ini pula Wooseok melihatnya lagi dalam seminggu terakhir.
Sekali lagi Wooseok tekankan, murid di sini lebih dari tiga ratus, terlalu sedikit kemungkinan mereka bertemu, belum lagi kalau dia adalah seorang werewolf yang berbeda asrama atau berbeda tingkatan, mungkin siswa tingkat dua atau tiga?
“Kau bisa menunggang kuda?”
Dia bertanya dengan sedikit menaikan suaranya agar Wooseok bisa mendengar dengan jelas karena jarak mereka yang cukup jauh.
Wooseok terdiam sebentar lalu mengangguk pelan, ia memutuskan untuk menjawab, “Bisa.” katanya dengan suara tidak kalah nyaring.
Tentu saja, itu adalah pelajaran awal sebagai siswa di Agora. Mereka sudah diajarkan menunggang kuda sejak pertama kali masuk ke sekolah ini. Walaupun dulu Wooseok bukan yang terbaik di kelasnya, namun ia bisa lulus dengan nilai yang memuaskan.
Wooseok membenarkan kacamata yang sedikit turun dari hidungnya, langkahnya ia bawa untuk mendekat kearah pagar setinggi dada orang dewasa yang menjadi pembatas antara area kandang kuda dan taman belakang.
Sejak lulus kelas menunggang, rasanya baru kali ini Wooseok kembali memperhatikan kuda-kuda di sini lagi. Dulu temannya berlatih adalah kuda berwarna putih jenis Tennessee Walker setinggi hampir 1.63 meter.
Wooseok memperhatikan sejenak sebelum ia melompati pagar dengan mudah, tubuhnya sangat ringan. Melompat seperti ini hanyalah hal kecil baginya.
Suara sepatu yang berdebum menginjak tanah membuat pemuda yang masih asik dengan kuda di depannya menoleh cepat, sudut bibirnya dia tarik samar saat melihat Wooseok yang sudah berdiri tidak jauh darinya sambil sibuk menepuk-nepuk bagian belakang celana seragamnya.
Kali ini, Wooseok tidak menggunakan hoodie marun seperti waktu itu. Ia hanya menggunakan seragam sekolah, yaitu kemeja putih panjang yang dilapisi blazer navy yang disepanjang garis kerah hingga ke bawah terdapat garis kuning keemasan dengan logo sekolah tecetak jelas di dada kiri lengkap dengan dasi merah bergaris yang masih terpasang rapi juga celana panjang berwarna khaki.
“Emrys, kau lihat. Putra Aphrodite ada disini.”
Wooseok bisa mendengar saat pemuda itu berbicara pada kuda di depannya, masih sambil mengusap lembut surainya membuat kuda yang ternyata bertubuh tinggi besar itu mengeluarkan suara ringkikkan yang cukup nyaring.
Wooseok tahu, ada puluhan mungkin hingga seratus lebih kuda di sekolahnya ini, tepatnya di kandang kuda tempat kakinya berpijak. Dan kuda yang sedang bersama pemuda itu memiliki kandang paling ujung dari pintu masuk di depan sana, artinya paling dekat dengan taman belakang.
Wooseok mendekat hingga berdiri bersampingan dengan pemuda jangkung itu, tangannya terulur tanpa ragu untuk ikut memegang surai hitam legam kuda di depannya membuat si pemuda justru menarik lengannya sendiri membiarkan tangan lentik Wooseok yang menggantikannya untuk mengelus dengan perlahan membuat lagi-lagi terdengar suara ringkikkan.
Wooseok tanpa sadar tersenyum mendengarnya.
“Emrys, namanya Emrys... Thoroughbred jantan.”
Dalam sekali lihat pun Wooseok juga tahu kuda hitam ini pasti jantan. Dia terlihat sangat gagah dengan tubuh tinggi besarnya. Apalagi otot kakinya, seperti telah biasa ditunggangi jarak jauh.
Wooseok menoleh, ia harus sedikit mendongak untuk menatap wajah pemuda itu, ini adalah jarak paling dekat yang ia buat dengan pemuda yang belum dikenalnya. Wooseok bisa melihat jelas garis-garis tegas di parasnya yang dibingkai dengan rambut hitam sedikit panjang melewati telinga.
Dulu, ia hanya melirik dengan ekor matanya saja.
Pemuda itu juga masih menggunakan seragam sekolah, tanpa blazer, dasinya tersampir asal dan kemeja putihnya sudah digulung hingga siku, menampilkan urat tanganya yang terlihat jelas.
Saat mata itu membalas tatapannya, Wooseok secepat kilat berpaling. Ia memilih kembali menatap kuda di depannya, tingkahnya barusan lagi-lagi mengundang senyum samar di ujung bibir si pemuda tidak dikenal.
“Emrys...” Wooseok berbisik.
“Artinya keabadian.”
“Kau yang memberinya nama?” balasnya cepat.
“Ya.”
Pemuda itu memilih mundur satu langkah. Berdiri tepat di belakang Wooseok yang masih anteng, tangan lentiknya kali ini mengusap pola putih yang tercetak jelas memanjang di tengah kepala sang kuda.
Puncak kepala Wooseok ternyata hanya sebatas dagunya, dilihat dari belakang, putra Aphrodite itu tampak lucu dengan tubuh mungil dan ransel hitamnya.
“Wooseok son of Aphrodite...” bisiknya dengan nada rendah.
Wooseok bergumam tanpa menoleh, ia masih mengusap lembut kepala Emrys, tertawa sangat pelan dan renyah menyejukkan telinga ketika lagi-lagi Emrys meringkik seperti merespon usapannya. Sungguh tawa mahal yang tidak semua orang bisa dengar dari bibir putra sang dewi.
“Kau cantik.”
“Ibuku dewi kecantikan kalau kau lupa.”
“Tidak, kau cantik... melebihi Dewi Aphrodite.”
Wooseok terdiam sesaat, lalu tertawa kecil yang terdengar sansi, “Memang kau sudah pernah melihat Ibuku? Don't talking nonsense.”
ia menjeda sebelum kembali bersuara,
“Werewolf?”
Wooseok kali ini berbalik, mata indah dibalik kacamata bulatnya sedikit mengerjap saat sadar jarak diantara mereka telalu dekat, hingga hidungnya hampir menyentuh dada pemuda itu, namun ia tidak bisa mundur karena tepat di belakangnya ada besi yang menjadi palang pintu kandang kuda.
Wooseok baru tahu, pemuda di depannya ternyata setinggi itu. Ia mendongak secara perlahan membuat tatapan mereka bertemu.
Sungguh, Wooseok bisa merasakan aura yang begitu dominan dari pemuda di depannya ini, tatapan matanya tajam cukup untuk mengunci pandangan mereka.
“Cantik..” bisiknya lirih sekali lagi yang disembahkan hanya untuknya.
Dalam jarak sedekat ini, Wooseok bisa melihat jelas alis tegasnya serta dahi yang terlihat sedikit di balik rambutnya. Iris matanya hitam, sangat gelap seperti suasana malam di Agora. Bibirnya-bisa dikatakan tipis membentuk garis lurus dan garis rahangnya tampak tegas, dia... tampan.
Wooseok seperti sedang ditelanjangi lewat tatapannya, pemuda ini benar-benar tidak memberinya ampun sekedar untuk bernapas normal.
Putra Aphrodite itu tanpa sadar meremas sisi celananya karena gugup. Tatapannya terlalu dalam menarik Wooseok, menyelam hingga ke paling dasar, mencengkramnya dengan erat tanpa berniat melepaskan.
Bahkan saat napas hangat pemuda itu menerpa langsung puncak kepalanya dan terasa menggelitik membuat tengkuk Wooseok meremang seketika.
“Jinhyuk!”
Sebuah suara berhasil mengalihkan atensi keduanya. Wooseok buru-buru mendorong tubuh pemuda itu agar sedikit menjauh, ia menghela napas lega, meraup oksigen sebanyak-banyaknya, berterimakasih kepada siapa pun yang sudah datang.
“Son of Aphrodite?”
Suara itu melengking kaget saat melihat presensi Wooseok, “Sedang apa putra sang dewi di sini?” gumamnya sambil terheran.
Wooseok hanya tersenyum tipis, memilih tidak menjawab apapun.
Dia mengibaskan tangannya tidak terlalu mengambil pusing tentang kehadiran Wooseok-dengan temannya di sini, walaupun pancaran mata penuh kekaguman tidak bisa dia sembunyikan.
Terkagum karena sebuah fakta apabila putra Aphrodite tampak berkali-kali lebih cantik dilihat dari dekat adalah benar adanya.
Ada hal yang lebih penting.
Pandangannya kemudian menatap si pemuda jangkung sambil mengedikkan kepala.
“Kau dipanggil ke ruangan Master Lee. Sekarang.”
Yang diberi tahu mendengus kasar sesaat seakan mendengar kabar yang membuatnya sebal, lalu netranya menatap Wooseok sekilas. Tidak mengatakan apapun, hanya memandangnya dalam diam. Dia lantas merangkul temanya itu dan berjalan meninggalkan Wooseok.
Jadi, namanya Jinhyuk.
“Kau tidak boleh di sini sendirian.”
Samar-samar Wooseok bisa mendengar suara Jinhyuk yang sudah semakin jauh meninggalkannya.