arsen x kafka au

“Sensennnnn!”

Arsen yang masih berada di dalam selimut langsung memutar bola matanya saat mendengar suara yang sangat dikenalnya itu, adalah Kafka. Tetangga sekaligus adik dari Lintang, temannya sejak ia pindah ke komplek perumahan ini sepuluh tahun lalu.

Dulu, Kafka hanyalah bocah sembilan tahun yang selalu malu-malu kalau bertemu dengannya, dia akan mengekori Lintang yang kerap kali main ke rumahnya sambil memakan lolipop dan membuat Lintang hanya bisa pasrah tidak bisa menolak karena takut adiknya itu mengadu pada Mamah mereka kalau tidak diajak main.

“Mas Arsennnnnn!!!!”

Pemuda dengan hoodie berwarna abu itu menggerutu kecil sambil menggedor pintu rumah berwarna coklat kayu yang tertutup rapat dan dikunci. Di tangannya ada tupperware berisi makanan yang masih mengepulkan asap tipis, panas terasa di telapak tangannya membuat dia hampir berkata kasar karena terlalu lama menunggu.

“Kemana sih, Mas Arsen ada di rumah kan?” gedornya sekali lagi, bodoamat kalau suaranya terdengar kemana-mana. Dia tidak perduli, agaknya yang penting si pemilik rumah ini keluar. Karena setahu Kafka, hanya orang tuanya Arsen yang kemarin pergi keluar kota sedangkan anak tunggal mereka tidak ikut.

“Sensennnnn udah bangun belum??!!!”

“Berisik, Kafka.” suara Arsen terdengar berat saat ia membuka pintu dan netranya bisa melihat cengiran lebar dari Kafka lengkap dengan lesung pipinya yang langsung menerobos masuk ke dalam rumah.

“Aku bawain sarapan.” katanya.

Sepuluh tahun mereka bertetangga membuat Kafka hapal di luar kepala setiap sudut rumah Arsen, akibat sejak kecil selalu ikut main dengan kakaknya ke sini. Pun sama halnya dengan Arsen yang juga sudah tidak asing dengan rumah mereka yang hanya terlahang dua nomor saja.

“Disuruh Mamah, katanya takut Mas Arsen gak punya makanan di rumah. Jadi aku anterin, tadinya mau sama Mas Lintang tapi si kebo itu masih tidur jam segini.”

Jam dinding di ruang keluarga Arsen memang masih menunjukan pukul tujuh pagi, wajar saja kalau Lintang masih tidur di hari libur seperti ini karena Arsen pun seharusnya seperti itu kalau tidak ada pengganggu yang datang mengganggunya dengan gedoran pintu super heboh.

“Oh oke, bilangin makasih sama Tante Hana.” Arsen berkata pelan sambil menyusul Kafka yang berjalan ke dapur, anak itu sudah menaruh tupperware yang tadi dibawanya di atas meja makan.

Pandangan Kafka menelisik sibuk naik turun menatap Arsen yang baru bangun tidur dengan kolor sepaha dan kaos gombrong berwarna hitamnya. Rambutnya sedikit berantakan dan matanya yang sayu sesekali dikucek sebelum ia duduk di kursi lalu menaruh kepalanya di atas meja makan.

“Loh kok malah tidur lagi sih? Makan sarapan dulu nanti keburu dingin nasi gorengnya ini.”

Bawel banget, Kafka itu sama saja dengan kakaknya walaupun lebih heboh sedikit. Dulu, kalau Lintang tidak sibuk mengoceh dan mengajaknya main saat ia baru pertama pindah mungkin hubungan mereka bertiga tidak akan sedekat sekarang, karena jujur saja Arsen agak susah berteman dengan orang baru.

Tetapi, kedua bersaudara itu bisa dengan mudah membuatnya nyaman dan berpikir kalau pindah kesini tidak terlalu buruk. Arsen selalu bersyukur atas tingkah Lintang dulu.

“Sensen, makan dulu.”

Kafka tahu Arsen tidak terlalu menyukai panggilan itu darinya tapi kebiasaannya sejak kecil agak susah dihilangkan.

Dari dulu Kafka selalu memanggil Arsen dengan sebutan Sensen mengikuti kakaknya. Walaupun Lintang sering mengomelinya karena tidak sopan, tapi lidahnya terlalu terbiasa.

Lagi pula sekarang tidak sesering itu dan kalau sedang eling Kafka juga pasti memanggilnya dengan sopan karena biar bagaimana pun Arsen seumuran dengan Lintang yaitu empat tahun di atasnya.

“Mas Arsen habis lembur?”

Arsen hanya menjawab dengan deheman kecil, semalam ia memang pulang telat dan hari Sabtu ini adalah jadwalnya malas-malasan di rumah untuk menikmati hari libur. Kedua orang tuanya juga sedang ke luar kota untuk acara keluarga, sudah jelas Arsen tidak bisa ikut karena pekerjaannya.

Tangannya terlipat di atas meja guna menyangga kepala yang tiduran, matanya masih terpejam saat Arsen mendengar suara kursi tepat di sampingnya yang ditarik dan berdecit, ia tahu kalau Kafka juga memilih untuk duduk di sana.

Tidak ada suara berisik darinya membuat kening Arsen mengerut, Kafka itu anaknya tidak bisa anteng karena selalu ada saja yang diributkan, terlebih bila dia sedang berada di dekatnya.

Arsen perlahan membuka matanya dan ia mendapati Kafka yang juga sudah menaruh kepalanya di atas meja dengan mata yang terpokus kepadanya.

“Ngapain kamu?”

“Mas Arsen ganteng walaupun baru bangun tidur.”

Mulai.

Kafka tidak sempat menghindar saat telunjuk Arsen tiba-tiba sudah mengetuk keningnya, “Masih pagi, bocah.” ujarnya yang langsung mendapat dengusan dari bibir Kafka yang menggerutu kecil.

Rupanya sudah menjadi rahasia umum kalau Kafka itu katanya naksir mampus sama Arsen. Jangankan Lintang, Bian yang masih tinggal di satu komplek dengan mereka pun sudah hapal betul tentang kelakuan sahabatnya itu.

Namun, Arsen sendiri seperti tidak pernah menganggap serius ucapan Kafka hingga membuatnya kesal berkali-kali.

Pemuda sembilan belas tahun itu kini merengut dengan mata memincing, manatap Arsen yang menaikan satu alisnya.

“Nanti tupperware nya anterin ke rumah kata Mamah. Aku pulang aja, males sama Mas Arsen.”

Dia beranjak bangun dari kursi dan meninggalkan dapur membuat pandangan Arsen mengikuti punggungnya yang perlahan menghilang di balik tembok.

“Makasih Kafka makanannya.” serunya dan hanya dibalas ucapan tidak jelas yang samar terdengar.

Satu hela napas dalam keluar dari bibir Arsen yang mulai menegakkan kembali tubuhnya, suara pintu yang ditutup menandakan kalau Kafka sudah pergi dari rumahmya.

Ia menatap cukup lama tupperware di atas meja dengan satu senyum tipis yang perlahan tersungging di muka bantalnya.

Tangannya lalu dengan cepat mengambil sendok sebelum akhirnya Arsen memakan nasi goreng hangat yang dibawakan oleh Kafka.

Bila perlu diruntun ke belakang, ada semburan air yang berhasil keluar dari bibirnya saat Arsen pertama kali mendengar pernyataan cinta dari bocah tujuh belas tahun itu ketika mereka bertiga sedang main ps di rumahnya.

“Sensen.. kayaknya aku suka sama kamu.”

Lintang bahkan terbahak heboh sambil meledek adiknya hingga Kafka harus memukulnya dengan bantal berkali-kali agar dia diam.

Dua tahun lalu di sela wajah kagetnya, Arsen hanya mengangguk-ngangguk mengiyakan ucapan anak remaja itu sambil mengusak puncak kepalanya.

“Oh, iya makasih ya, Kafka. Sudah suka sama aku.”

Kemudian, Arsen tidak pernah merespon aneh-aneh ucapan Kafka karena takut menyakiti perasaannya.

Arsen kira, semuanya hanya akan berlangsung beberapa saat saja. Tetapi, hingga dua tahun berlalu Kafka masih sibuk merecokinya dengan banyak tingkah yang terkadang membuat Arsen pusing untuk meresponnya.


“Lintang?”

Arsen masuk ke kamar Lintang yang penuh dengan pernak pernik musik, Lintang itu sejak sekolah memang suka ngeband dan saat kuliah lumayan sering manggung di acara-acara kampus.

Berbeda dengan Arsen yang tidak terlalu suka lingkungan ramai, sikap mereka memang cukup bertolak belakang. Arsen yang pendiam dengan Lintang si extrovert yang temannya ada di mana-mana.

“Tumben lu keluar kandang.” adalah sapaan pertama kali Lintang saat Arsen duduk di atas tempat tidurnya.

Lintang tahu, Arsen sering sibuk belakangan ini dan dia hanya keluar rumah kalau pergi bekerja saja.

Lintang sendiri belum bekerja, dia sedang melanjutkan pendidikannya di kampus yang sama dengan Kafka. Mahasiswa S2 itu juga cukup sibuk dengan berbagai penelitian yang dikerjakannya, bahkan Arsen bisa melihat tumpukan paper di mejanya serta laptop yang menyala di depannya.

“Habis nganterin tupperware punya Tante Hana. Sabtu gini lo masih nugas?”

Lintang mengangguk lemah, dagunya menunjuk laptop dengan tidak minat, “Lagi pacaran gue sama jurnal-jurnal ini.” jawabnya asal membuat Arsen terkekeh kecil.

Jam di atas meja belajar Lintang menunjukan pukul dua siang, si pemilik kamar sudah sibuk lagi tenggelam dengan tugas-tugasnya saat Arsen justru mengambil gitar milik Lintang yang ada di sudut kamar.

Terimakasih pada Lintang yang sejak dulu selalu mengajarinya memainkan alat musik hingga Arsen bisa menggunakannya walaupun tidak sejago dirinya.

Kedekatan mereka sejak kecil memang membuat keduanya tidak canggung untuk berlama-lama menghabiskan waktu di rumah satu sama lain, kedua orang tua mereka pun sudah hapal dengan tingkah anak-anaknya.

“Oh iya. Tadi adek gue diapain sama lu, Sen?”

Arsen yang sedang duduk di teras balkon kamar Lintang yang menghadap ke taman belakang sambil memainkan pelan gitar Lintang itu menoleh, ia meringis kecil ditanya seperti itu.

“Biasa, kesel gitu.” jawan Arsen, Lintang tertawa dibuatnya, “Pantes pas dateng ke rumah misuh-misuh mulu tuh anak.” beritahunya.

“Sekarang di mana? kok gak ada di bawah tadi cuma ada ortu lo aja.”

“Ada kali di kamarnya atau kalau gak ada ya paling di tempat si Bian.”

Arsen melirik jendela kaca di sebelah kanannya, kamar Kafka memang bersebelahan dengan kamar Lintang. Ia menaruh gitar yang tadi dipangkunya lalu berdiri dan berjalan ke sana.

Jendela dengan gorden berwarna putih itu tertutup rapat saat Arsen mengetuk-ngetuk kacanya dari luar.

“Kafka?”

Hampir tiga menit tidak ada jawaban membuat Arsen berpikir mungkin memang Kafka tidak ada di kamar dan benar sedang di rumah Bian.

Namun, suara kunci yang coba dibuka dari dalam membuat Arsen mengurungkan niatnya untuk kembali ke tempat Lintang.

“Apa?”

Arsen tersenyum tipis mendengar nada ketus dari Kafka saat pemuda itu akhirnya membuka jendela dan membiarkan angin segar masuk ke dalam kamarnya yang bernuansa coklat muda.

Kafka jelas tahu kalau Arsen daritadi ada di kamar kakaknya karena dia bisa mendengar obrolan mereka yang samar-samar apalagi suara gitar yang tadi dimainkan oleh Arsen dari arah balkon.

Kalau saja sedang tidak kesal, sudah pasti dia nimbrung di kamar kakaknya sejak tadi karena ada Arsen.

“Lagi apa, Kaf?”

“Mau tidur, terus berisik ada yang mainin gitar.”

“Oh gitu, maaf ya.”

Sepuluh tahun mengenalnya, Arsen memang sangat terbiasa melihat banyak sekali sikap Kafka yang sering ditampilkannya. Dari Kafka berusia sembilan tahun hingga kini sudah menjadi mahasiswa, Arsen seperti ikut membesarkan adik temannya itu.

Kafka menatap Arsen yang justru menyandarkan tubuhnya pada tembok di samping jendela.

Namanya Arsen Daru Prasetya, pemuda dua puluh tiga tahun yang sudah mengisi hatinya sejak dua tahun lalu atau mungkin lebih karena Kafka baru mengerti sejak dia berusia tujuh belas tahun kalau rasa kagumnya sejak dulu terhadap Arsen, tetangga yang selalu bermain dengan kakaknya adalah rasa suka yang penuh debar.

Kata Mas Lintang, dulu dia suka Arsen karena cinta monyet sesaat saja. Tetapi, nyatanya sampai sekarang Kafka masih tidak bisa melupakan Arsen sebagai cinta pertamanya.

“Mau keluar nggak? eh tapi kamu mau tidur ya?”

Kafka mengerjap pelan saat mendengar ucapan Arsen, dia terlihat menimbang sambil menggigit bibir bawahnya. Sebetulnya Kafka tidak ngantuk-ngantuk banget sih, kalau diberi tawaran seperti ini oleh Arsen mana mungkin dia akan menolak.

“Mau kemana?”

“Jalan ke cafe depan aja. Sekalian beli kopi tuh buat kakak kamu. Tapi, kalau nggak mau ya gapapa.”

Cafe depan itu maksudnya cafe milik kakaknya Bian yang letaknya di sebrang gerbang komplek. Langganan anak-anak komplek juga kalau nongkrong. Jaraknya lumayan dekat hanya cukup jalan kaki.

“Mau nggak?”

Walaupun Kafka sering kesal dan ngembek padanya, tetapi Arsen seperti selalu mempunyai cara untuk membuat anak itu memaafkannya dan membuatnya kembali bersikap menjadi anak manis.

“Buruan aku tunggu di kamar Lintang ya.”

Kafka mendengus saat dia belum menjawab tapi Arsen sudah pergi kembali ke kamar kakaknya.

“Aku aja belum bilang iya, Mas Arsen!” serunya dengan keras lalu buru-buru menutup kembali jendelanya dan berjalan keluar kamar sambil melebarkan senyum.

Pintu kamar Lintang yang terbuka membuat Kafka masuk begitu saja, dia bisa melihat kakaknya yang memangku dagu di atas meja sambil memasang senyum miring menyebalkan ketika melihatnya.

Kafka menghempaskan tubuhnya di atas kasur Lintang lalu memeluk bantal sambil menunggu Arsen yang memasukan gitar ke dalam tempatnya lagi.

“Mau kemana, adikku sayang?”

“Kepo banget deh.” jawab Kafka hingga Lintang tertawa, pemuda itu melirik Arsen yang kini berjalan ke tempat tidur, “Your Sensen tuh lama-lama pusing kalau kamu nya ngambek mulu tahu.” katanya.

Mendengar ucapan kakaknya, Kafka berhasil melemparkan bantal di tangannya ke arah Lintang yang tertawa semakin puas melihat wajahnya yang memerah, “Diem nggak, Mas Lintang!”

Takut Arsen dengar.

My Sensen, Kafka dan ocehannya itu memang kadang membuat Lintang mengomelinya, tapi di sisi lain dia juga menghargai perasaan adiknya yang seperti benar-benar menyukai Arsen.

Karena sesering apapun Lintang memberitahunya, percuma. Kafka akan seratus kali lebih ngeyel kalau dia berkata tidak bisa menghilangkan perasaannya pada Arsen.

“Kita keluar dulu, nanti gue beliin kopi yang biasa.”

Arsen menarik tangan Kafka yang masih duduk di atas kasur, ia sudah terlalu paham kalau tidak segara dipisah, kedua kakak beradik itu akan ribut seperti anak kucing dan anjing.

“Low sugar ya, Sensen!”

“Kasih extra aja, Mas Arsen!”

Kepala Arsen menggeleng saat keduanya sibuk bersahut-sahutan, dari dulu ia memang selalu terjebak diantara keduanya.

Dan Arsen tidak akan menyadarinya kalau diam-diam di belakangnya Kafka mengulas senyum kelewat senang saat menatap tangan Arsen yang masih memegang pergelangan tangannya bahkan ketika mereka sudah menuruni anak tangga.

Sejak kecil, mungkin perlakuan Arsen memang sudah biasa seperti ini karena lambat laun ia selalu bersikap sebagaimana Lintang memperlakukan dan menjaga Kafka seperti seorang kakak.

Tetapi, ketika mereka beranjak dewasa terutama saat Kafka sendiri mulai menyadari perasaannya, setiap apa yang dilakukan Arsen selalu meninggalkan kesan yang berbeda baginya.

Senyum Kafka harus luntur saat Arsen melepaskan tangannya ketika mereka bertemu dengan Mamah nya yang ada di ruang tv.

“Tante Hana, aku izin bawa Kafka ke cafe depan ya. Mau jajan.”

“Boleh, daripada dia ngerem terus di kamar tuh atau ribut sama Mas nya.”

Ada tawa renyah yang terdengar dari Arsen ketika ia akan membalas ucapan Mamah nya lagi.

Sedangkan Kafka memilih berjalan lebih dulu ke teras rumah saat Arsen kemudian baru menyusulnya dari belakang.

“Kenapa sih buru-buru banget? orang aku harus izin dulu.”

“Lama.” jawab Kafka singkat.

Tangan Arsen tidak bisa ditahan saat lima detik kemudian sudah terangkat dan mendarat di puncak kepala Kafka, “Dasar gak sabaran.”

Arsen dan segala sikap baiknya hanya mampu membuat Kafka menghela napas panjang. Dia menatap Arsen yang mengulas senyum sambil membuka gerbang rumahnya,

“Ayo, nanti sekalian kita beli cake kesukaan kamu, semoga masih ada ya.”

Coba, jika begini terus mana bisa Kafka menghilangkan perasaannya sama Arsen, yang ada malah semakin suka!

Tidak ada yang tahu kalau Kafka dulu diam-diam pernah menangis saat Arsen punya pacar, kejadiannya sudah lama saat ia masih kelas sepuluh dan Arsen sudah kuliah. Ternyata satu tahun sebelum pernyataan cintanya pada Arsen, Kafka bahkan sudah lebih dulu merasakan patah hati.

Sejak mereka putus—kata Lintang. Kafka tidak pernah mendengar kalau Arsen punya pacar lagi hingga membuatnya sedikit berharap.

Senyum Kafka tampak cerah saat mendekat pada Arsen, mereka berjalan bersisian dengan tenang. Di lingkungan komplek mereka cukup banyak pohon rindang besar sehingga tidak terlalu terik walaupun harus jalan di siang hari seperti ini.

“Kalau misal udah habis nanti aku tanya Bian, kapan adanya lagi. Hari ini dia kerja di cafe.”

Arsen menoleh padanya lalu mengangguk kecil, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana sambil berjalan, “Iya kalau adanya besok, bilang aja nanti kita kesana lagi.”

“Emang kamu besok gak kemana-mana, Mas?”

“Enggak sih, besok jemput Ayah sama Ibu ke bandara sore. Dari pagi aku ada di rumah.”

Kafka hanya membulatkan mulutnya, dia tahu Arsen memang sering menghabiskan waktu di rumah daripada pergi keluar di hari liburnya, makanya sejak dulu dia dan Lintang lebih sering main di rumahnya.

Dengan Arsen, Kafka bisa merasa sangat nyaman. Mungkin karena dia juga terbiasa dengannya sejak kecil, perilaku Arsen sedikit berbeda dengan Lintang yang selalu menjaganya sambil bersikap jahil.

Arsen selalu menjaganya tanpa banyak bicara atau tanpa perlu membuatnya merengek dulu seperti pada Lintang.

Sebenernya kamu pernah suka sama aku juga nggak sih?

Kafka selalu menebak-nebak pikirannya itu walaupun dia tidak pernah tahu jawabannya. Karena segala sikap baik Arsen padanya justru menjadi bumerang di pikirannya sendiri

“Hati-hati. Sibuk ngelamun apa sih, Kaf.”

Kafka meringis saat tangan Arsen sudah menahan lengannya yang baru saja tersandung, “Jalan yang bener.” omelnya.

“Sibuk mikirin kamu.”

Walaupun pelan tapi Arsen bisa mendengar gumaman Kafka tersebut karena mereka berjalan cukup dekat dengan tangan Arsen yang masih memegang lengannya.

“Ngapain dipikirin saat orangnya ada tepat di samping kamu.”