arsen x kafka au

Acara tv di depannya tampak tidak menarik minat Kafka, pemuda itu hanya memencet asal remot yang ada di tangannya lalu memilih serial kartun yang kemudian juga tidak ditontonmya sama sekali karena ia fokus kembali kepada ponsel ditangannya.

Arsen benar-benar tidak membalas chatnya bahkan sampai malam seperti ini. Bukannya membujuk atau apa pun, dia malah menuruti ucapan Kafka.

“Emang dasar Sensen gak perduli sama aku!” kakinya menghentak kesal berkali-kali sambil menatap chat mereka tadi sore, “Aku beneran mau move on, besok harus lupain Mas Arsen! Rasain aja nanti kalau kamu suka sama aku tapi aku nya udah lupa.”

Tingkahnya yang misuh-misuh sendiri jelas membuat Lintang yang berjalan ke arahnya hanya bisa menggeleng pelan. Kafka Rashif Mahendra si bungsu keluarga Mahendra itu dan kelakuannya kalau menyangkut Arsen memang terkadang sedikit berlebihan. Lintang sendiri sudah khatam dan dia tidak bisa berbuat banyak, sesekali mungkin akan meledeknya sekaligus membantu walaupun dia tidak tahu.

“Dek, kamu jaga rumah. Mas mau keluar.”

“Kemana?” ia yang tiduran di atas sofa itu manatap kakaknya ingin tahu, lagi galau gini ini kok malah ditinggal sendiri sih.

“Ketemu temen. Papa sama Mamah juga paling udah di jalan pulang.” Lintang mengambil kunci motor yang ada di atas meja dekat tv lalu berbalik melihat adiknya yang hanya mengiyakan, “Awas kalau ngomong aneh-aneh sama Papa soal ngekost. Nanti diomelin beneran terus Mas bakal kabur aja gak akan bantuin kamu.”

“Iya lagian aku gak beneran juga.”

Lintang tahu kalau ucapan Kafka hanya ocehan semata, lagi pula ngapain ngekost kalau ke kampus tidak sampai tiga puluh menit kok. Dasar ada-ada saja.

“Mas pergi dulu pulang maleman bilangin ke yang lain.”

Tangannya dengan cepat mengacak rambut Kafka sebelum beranjak dari ruang keluarga sambil tertawa kecil mendengar protes darinya, “Bawain jajan pulangnya, Mas!” seruan Kafka itu hanya dibalas acungan jempol olehnya hingga kemudian terdengar suara motor yang meninggalkan rumah.

Bosan karena tidak ada yang dapat diajak bicara, Kafka melihat ponselnya lagi. Di layar yang terkunci itu sudah menunjukan pukul tujuh kurang lima belas dan benar-benar tidak ada satu pun pesan masuk dari Arsen membuat bibirnya semakin melengkung ke bawah dengan wajah ditekuk.

Jarinya bergulir membuka galeri yang menampilkan foto-foto mereka berdua atau pun foto Arsen yang diambilnya diam-diam kalau mereka sedang bersama, senyumnya perlahan terlihat mengubah cepat lengkung masam di wajahnya. Kafka bahkan memperbesar foto Arsen yang ia ambil di cafe tempo hari hingga memenuhi layar ponselnya.

“Ganteng banget My Sensen.” pujinya tanpa segan.

Katanya mau move on.

Sial! Ia mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri saat tersadar, kebiasaan ini memang tidak mudah untuk dihilangkan hanya karena modal niat saja. Lagi pula niat move on nya kan mulai besok, Kafka meringis saat hati dan pikirannya tidak sinkron.

Tapi, melupakan Arsen dari hidupnya? mendingan mimpi saja! Bian bahkan akan lebih percaya kalau dinosaurs hidup lagi daripada fakta kalau Kafka move on.

Digantinya lagi channel tv di depannya yang terlihat makin membosankan setelah ia menyimpan ponselnya asal di atas sofa, sepertinya mau acara apa pun itu tidak akan menarik saat isi pikirannya penuh oleh pemuda yang tinggal di sebrang rumah.

“Kenapa Mas? ada yang ketinggalan?” Kafka bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari tv saat mendengar pintu rumah yang dibuka, sepertinya belum ada sepuluh menit dari Lintang pergi.

Ia yang sedang tiduran di atas sofa itu mengerut bingung ketika tiba-tiba sebuah kantong makanan terlulur dari belakang menghalangi pandangannya, dan “Hai.” satu sapaan singkat dari suara berat yang sangat dikenalnya berhasil membuat Kafka menengadah.

Ada Arsen yang mengulas senyum di atasnya.

Bohong kalau Arsen tidak bisa melihat iris mata Kafka yang membulat saat menyadari kahadirannya. Anak itu terpaku beberapa saat hingga kemudian mengerjap ketika Arsen menyentuh ujung hidungnya.

“Ngedip dulu, Kafka.”

“Sensennnnnn!”

Bodoh! Kan ceritanya lagi ngambek, kenapa masih sempat-sempatnya terpaku saat melihat Arsen yang dipikirkannya sejak tadi kini ada di depan mata.

Arsen tertawa sekilas mendengar nada kesal dari Kafka itu, ia berjalan memutari sofa untuk duduk di sampingnya yang sudah bangun dari posisi tiduran.

Saat Arsen menghempaskan tubuh di samping kanannya, Kafka bisa mencium harum sabun mandi familiar yang selalu digunakan oleh Arsen. Dan bila dilihat memang sepertinya Arsen baru mandi karena tampilannya cukup segar dengan rambut sedikit basah.

Mungkin baru pulang kerja.

Kantong makanan tadi kembali terulur di depan Kafka, “Cake kesukaan kamu sama ada es krim juga.” Arsen menghela napas kecil saat Kafka yang sepertinya masih ngambek itu enggan mengambilnya dan hanya meliriknya saja.

“Oh gitu, ya sudah buat Lintang saja nanti.”

Bibir Kafka kembali melengkung ke bawah mendengar ucapan Arsen, enak saja biarin Mas Lintang beli sendiri.

Kini ia coba mengambil kantong itu dari tangan Arsen yang justru menjauhkan dan memindahkannya ke tangan yang lain sambil menaikan satu alis, “Bukannya gak mau?” tanyanya.

Tidak menjawab, Kafka lalu mendekat dan kembali mencoba meraihnya tanpa beranjak dari duduk. Sedangkan Arsen malah semakin mengulurkan tangannya menjauh dari jangkauan Kafka.

“Sensen, aku mau es krim.” ucapan Kafka sambil mencoba meraih tangannya susah payah itu membuat Arsen menarik kedua sudut bibirnya lalu terkekeh kecil karena perlahan raut datar Kafka sudah menghilang.

“Mas Arsen!” Kafka mengerang kecil sedikit kesal namun diselingi tawa saat Arsen masih tidak mengalah memberikan kantong itu padanya, jarang sekali Arsen bersikap jahil seperti Lintang.

Suara Kafka yang sibuk ingin merebut dari tangannya itu menutup suara dari tv yang memenuhi kediamannya, “Aku kira kamu nggak mau, kaf.”

“Mau, Mas Arsennnnn!”

Diliriknya wajah Arsen saat daritadi ia fokus pada tangan pemuda itu yang terangkat menjauh darinya.

Rasanya dunia Kafka sempat terhenti sesaat ketika ia menyadari betapa dekatnya posisi mereka saat ini. Sisa tawa di bibirnya perlahan menghilang. Kafka baru menyadari satu tangannya yang tidak sedang meraih lengan Arsen sudah berada di bahu pemuda itu.

Dan juga sejak kapan tangan kiri Arsen menahan pinggangnya yang sibuk bergerak agar tidak jatuh, ia bahkan sedikit meremas piyama Kafka.

Tanpa sadar, Kafka menelan ludahnya sendiri saat kedua netranya menatap Arsen yang juga melihatnya.

Ia mungkin sudah terbiasa melihat wajah Arsen selama sepuluh tahun, tapi Kafka tidak akan menampik kalau dalam jarak sedekat ini, Arsen bisa jauh lebih tampan.

Sensen, kalau begini mana bisa aku move on dari kamu! pikirannya berisik sekaligus heboh sendiri.

Melihat wajah Kafka yang berada tepat di depannya membuat Arsen mengalah, ia menuruhkan tangannya dan memberikan kantong makanan itu pada Kafka yang menerimanya lalu buru-buru membenarkan duduknya.

Tidak bisa menyembunyikan senyum senangnya, Kafka juga berpikir cake dari kafe kakaknya Bian di jam segini memang masih ada ya?

Arsen yang seperti mengerti tatapan Kafka menjawab sambil menyandarkan tubuh di sandaran sofa empuk berwarna abu itu, “Tadi sore aku chat kakaknya Bian, suruh pisahin dulu buat diambil pulang kerja.”

Bian nya tahu nggak ya? kenapa anak itu tidak bilang apa-apa padahal sejak tadi dia tahu kalau Kafka sedang galau karena Arsen.

“Oh, makasih Mas Arsen.”

Kafka tentu harus menarik ucapanya kalau Arsen tidak perduli. Faktanya Arsen selalu ingat hal apa yang disukainya, Arsen juga selalu baik dan penuh perhatian, dan Arsen akan menjadi orang pertama selain keluarganya yang paling perduli pada Kafka, sejak dulu.

Telapak tangan Arsen tiba-tiba menengadah padanya, “Apa?”

“Strawberry yang kamu tanam. Mana katanya aku mau dikasih kan?”

“Ada! bentar.” ia menggeleng saat Kafka menjawab penuh semangat dengan senyum lebarnya lalu berlari kecil ke arah dapur sebelum kembali dengan mangkuk kecil berisi tiga buah strawberry berwarna merah.

Arsen memang tahu dulu saat Kafka menanamnya di halaman belakang karena tentu saja saat ia sedang ada di rumah ini dan bahkan membantunya.

“Ini buat Mas Arsen karena udah bantuin nanam.”

“Makasih, Kafka.”

Sepertinya Arsen memang salah saat tadi menanggapi chat Kafka, ia tidak berpikir seperti itu. Arsen justru berpikir kalau lebih baik buat Kafka saja semua karena Arsen tahu dia sangat menyukainya. Namun, Kafka malah menganggap berbeda maksudnya hingga dia ngambek.

Kafka yang kini sedang memakan es krim nya melirik diam-diam pada Arsen yang menonton tv di depan mereka setelah memakan strawberry darinya. Walaupun hanya menggunakan kaos putih dan celana pendek Arsen selalu terlihat tampan dan keren di matanya. Jangankan baru mandi, masih ngantuk bangun tidur pun menurutnya Arsen tetap tampan.

“Mas Arsen emang baru pulang ya?”

“Iya, habis makan terus mandi aku langsung kesini.”

Info penting banget sepertinya karena Kafka sekarang harus menahan senyum lagi, segitunya ya Sensen gak mau aku ngambek lama-lama? pikirnya.

Dipeluknya bantal sofa yang ada di belakangnya, Arsen terlihat semakin nyaman bersandar di samping Kafka yang sibuk makan. Ah, rumah ini juga tumben sepi sekali. Arsen tahu kalau Kafka sedang sendirian saat tadi bertemu dengan Lintang yang akan pergi.

“Kafka..”

Kafka menjawab pelan, ia yang baru menghabiskan es krimnya menatap Arsen yang menahan senyumnya sambil mengulurkan tangan dan mengusap cepat sudut bibir Kafka menggunakan jarinya.

Oke, ini bukan yang pertama kali Arsen bersikap perhatian karena lagi-lagi sejak ia kecil Arsen memang tipikal orang yang berlaku lembut padanya. Tapi, tetap saja hal itu selalu membuat Kafka tidak bisa menahan degup jantungnya yang bekerja beberapa kali lipat.

“Kamu tadi nggak nangis beneran, kan?” Kafka meringis mendengar pertanyaan Arsen, tentu saja tidak!

Tetapi ia hanya mengangkat bahunya tidak ingin menjawab. Kafka ikut bersandar pada sofa, cake yang dibawa oleh Arsen tadi dibiarkan dulu di atas meja belum ingin dimakan.

“Kalau aku nangis gimana, Mas?” tanyanya tanpa menatap Arsen, ia justru menatap layar tv di depan alih-alih membalas tatapan Arsen.

“Maaf.” Arsen menjawab, “Maaf kalau aku sering bikin kamu kesal.”

Sebetulnya Kafka sadar tentang apa yang selalu dilakukannya kepada Arsen, urat malunya bahkan seperti sudah putus kalau itu untuk mencari perhatian pemuda di sampingnya ini.

Harusnya, mungkin Arsen yang kesal dengan segala sikapnya yang ngeyel dan ngotot untuk menunjukan perasaannya. Tapi, Arsen itu tidak pernah sekalipun marah atau membentaknya.

Arsen mungkin lebih banyak menghindar karena memikirkan perasaannya. Arsen tidak pernah ingin menyakiti atau menyinggung perasaannya sejak dulu.

Tapi, Kafka tidak bisa meminta maaf untuk itu. Kafka terlalu egois memikirkan perasaannya sendiri karena jelas dia tidak mau menyerah untuk Arsen.

Kafka menyukainya.

Aku gak mau cuma dianggap adik sama Mas Arsen.

Kafka menyayanginya lebih dari sekedar titel sosok kakak yang selalu Arsen tunjukan padanya.

Arsen bukan Lintang, mereka jelas berbeda.

“Aku gak nangis kok.” Kafka menyunggingkan senyum kecil, kali ini dibalasnya tatapan Arsen yang begitu teduh menatapnya, “Aku udah gede, enggak cengeng, Mas.”

“Iya. Terus kenapa kamu pingin ngekost? karena udah gede juga?”

Karena mau move on dari kamu, Sensen!!!

Arsen mengerjap saat tiba-tiba telunjuknya Kafka terarah lurus di depan wajahnya. Bahkan anak itu memasang wajah kelewat serius.

“Biar Mas Arsen gak bisa liat aku tiap hari. Rasain nanti kangen terus.”

Namun, Kafka berhasil dibuat melongo saat Arsen justru tertawa pelan menanggapi ucapannya itu, padahal biasanya dia akan menjadikan kening atau hidung Kafka sebagai sasaran empuk telunjuknya seperti tadi.

Diturukannya tangan Kafka yang ada di depan wajahnya hingga Kafka bisa melihat keseluruhan raut Arsen yang masih melepaskan tawa lalu tersenyum padanya.

“Oke, kalau gitu jangan ngekost ya.”