Bang Wei
Sekilas tentang Wei.
Anak kedua yang hanya berselisih lima menit dengan Radit, anak paling tidak bisa diam sejak kecil. Sangat hyperaktif, bermain layangan dengan anak-anak komplek, bermain lumpur kotor-kotoran bila hujan dan yang paling sering membuat Ibunya mengomel karena lupa waktu kalau sudah bermain hingga Bapak perlu mencarinya walaupun lelah sepulang bekerja.
Wei terbiasa dipanggil abang oleh orangtua dan adik-adiknya, dulu awalnya memang sengaja dibedakan dengan Radit oleh kedua orangtua mereka, katanya agar kedua adiknya tidak bingung saat mereka mulai bisa berbicara dan mengenali satu sama lain.
Seperti yang pernah disinggung oleh Jinhyuk, Wei itu paling badung. Pengaruh pergaulan sejak dia SMP dan melanjutkan ke STM, sepertinya. Bapak pernah beberapa kali dipanggil ke sekolah karena tingkahnya itu. Paling parah sempat ditahan polisi dua hari karena ikut tauran. Baik kakak dan adik-adiknya hanya menggelengkan kepala saat dia pulang dengan wajah babak belur.
Baiklah, tadi itu hanya cerita masa remajanya. Setelah lulus STM dia melanjutkan kuliah jurusan Teknik Mesin dan sempat bekerja di salah satu perusahaan manufaktur yang cukup besar, namun hanya bertahan dua tahun saja.
Setelah punya cukup tabungan hasil bekerjanya itu, dia bertemu temannya semasa kuliah dan mengajaknya membuka usaha bengkel, tapi itu juga tidak bertahan lama. Memang, usahanya tidak semulus Radit. Wei mengakui itu.
“Eh, anying. Setiap orang punya ceritanya masing-masing walaupun kita anak kembar. Gak usah sok menghakimi.”
Itu adalah slogan andalan yang dipegang oleh dirinya ketika mulai dibanding-bandingkan dengan Radit. Kesel banget.
Temannya Wei itu banyak dan dimana-mana, saat sedang galau karena pekerjaan yang tidak jelas, dia bertemu dengan Hangyul yang merupakan teman STM nya di sebuah warkop sambil makan Indomie. Hangyul itu anaknya juragan buah, tidak hanya supply ke pasar, tapi juga ke beberapa supermarket.
“Lo punya duit berapa? beli kios di pasar aja. Papa gue lagi ngeluh harga sewanya mahal. Menjanjikan katanya. Baru dibangun tuh lantai tiga. Lo beli dah beberapa, langsung kaya tiap bulan.”
Katanya waktu itu yang membuat Wei mikir sampai berhari-hari dan menjadi awal dari cerita lulusan teknik mesin jadi juragan kios di pasar.
Hingga akhirnya anak yang dulu sering membuat Ibuk ngomel itu bilang, “Aku punya uang mau nyewain kios di pasar, jangan gengsi yang penting uangnya nanti banyak ya, buk.”
Sampai akhirnya sekarang dia sudah mempunyai yang berjumlah “cukup”, setiap bulan pokoknya kipas-kipas pakai uang sewa.
Senyum Wei melebar saat dia melihat sosok berkacamata yang menggunakan sweater ungu. Anaknya lagi duduk di kursi panjang di dalam tenda tukang bubur ayam tidak jauh dari parkiran pasar.
Wei memang terbiasa nongkrong di pasar, TAPI dia bukan preman ya, hanya suka nongkrong saja karena gabut. Suka disalah artikan memang, tapi dia bodoamat. Kadang nongkrong sama kang siomay sambil jajan, sama kang kopi, sama preman pasar di warkop sambil makan, sama kang parkir ataupun sama Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang berjualan.
Semua orang disini sepertinya tahu siapa Bang Wei. Namun, mereka hanya sebatas tahu sih, tidak sampai tahu latar belakang keluarganya.
Perlu digaris bawahi walaupun suka nongkrong di pasar, Wei tidak bau dan kucel, sama sekali!!!! Ya pasarnya juga besar gini, pasar terbesar di pusat kota, bersih lagi.
Dia ganteng dan wangi, sampai Ibu-ibu nempel dan sering kali menjodohkan anak-anak mereka.
“Bang Wei, udah ada calon belum sih? apa masih jomblo?”
“Bang, anak saya baru lulus SMA, cantik. Boleh kali kenalan.“
Dan macam-macam, sampai bosan.
Oh iya, celana sobek-sobek adalah fashion andalannya! Biar keren aja gitu, katanya.
“Bang Wei!”
Baru saja akan menghampiri Wooseok, dia berbalik saat namanya diserukan dari belakang. Terlihat seorang pemuda perawakan mungil yang sedang tersenyum padanya, “Bang Wei udah sarapan? Aku bawa makanan buat Papaku. Sarapan sekalian di atas yuk.” ajaknya tanpa sungkan.
Wei menggaruk tengkuknya sebelum bicara, “Maaf, Sejin.. gw ada perlu. Kapan-kapan aja ya.” katanya.
Lee Sejin, anaknya juragan textil di lantai tiga yang menyewa tiga kiosnya sekaligus. Memang Papanya itu kerap kali mengkode padanya agar dia berpacaran dengan Sejin.
Menurut kabar burung, Sejin suka padanya.
“Oh.. gitu. Yaudah, aku ke atas dulu.” pamitnya dengan senyum tipis sambil berlalu masuk ke dalam pasar, terlihat sedikit kecewa dengan penolakan Wei.
Pemuda yang sedang menggunakan kemeja merah tanpa dikancing dengan kaos di dalamnya itu menghela napas kecil dan melangkah ke arah Wooseok.
“Bang, bubur satu ya. Biasa.” katanya begitu saja saat dia duduk di depan Wooseok yang terlihat baru selesai makan.
“Siap, Bang Wei. Kagak pake kacang yak.” jawab si abang-abangnya, sudah dibilang kan, dia mah terkenal.
“Ushin..” sapanya sambil tersenyum, “Akhirnya ketemu ya. Wasafnya kok gak dibales?”
Wooseok sedikit merutuk dalam hatinya, kok ketahuan. Padahal tadi ia sempat melihat Wei yang sedang bicara dengan orang, kirain mau pergi itu mereka berdua.
“Maaf, aku gak ada kuota, belum beli.”
Wei tertawa kecil melihat wajah Wooseok yang sedikit cemberut, “Oh.. btw ini dikasih tahu kang parkir kalau kamu penasaran Bang Wei tahu kamu ada disini.” ucapnya yang membuat Wooseok meringis, entah dia beneran atau cuma bercanda.
“Mamanya belum selesai belanja? tadi Bang Wei lihat lagi di toko bahan kue gitu.” Wei menopang dagunya dan dengan terang-terangan menatap Wooseok yang sudah cukup lama tidak terlihat, sibuk sih udah kerja.
“Belum, masih lama kayaknya. Banyak yang harus dibeli.” balas Wooseok sambil menatap Wei di depannya, ia menarik sedikit sudut bibirnya untuk mengulas senyum tipis, “Martabak yang waktu itu.. makasih ya.”
Wangi, simpul Wooseok tanpa perlu berpikir panjang tentang sosok di depannya ini. Kadang ia berpikir, Wei pakai parfum sebanyak apa sih sampai wangi banget.
Diantara keempat orang berwajah serupa itu, Wei adalah orang pertama yang dikenalnya. Dia sudah cukup lama tahu “Bang Wei,” namun mereka biasanya hanya berpapasan atau Wooseok yang sadar diperhatikan tanpa benar-benar bertegur sapa.
Baru akhir-akhir ini saja Wei mengajaknya kenalan.
“Sama-sama. Mamanya sering buat kue, ya?” tanya Wei sesaat setelah satu mangkuk bubur tersaji di depannya, kemudian diaduk.
Oke bagus ternyata mereka satu tim, Wooseok tanpa sadar membatin melihatnya.
“Iya, bang. Buat dessert box. Suka ada yang pesan orang deket-deket sih, belum sampai punya nama.”
Wooseok menjawab pertanyaan Wei, yang bertanya mengangguk paham sambil menyuap makanannya, “Ushin mau lagi? pesen aja.” tawarnya yang langsung ditolak, “Udah kenyang, makasih.”
Oke, Wei sebenarnya tidak semenyebalkan itu. Dia baik hanya saja suka jahil dan menggodanya.
“Yang kayak dessert box viral itu, ya? yang katanya mau meninggal kalau makan itu.” Wooseok mengangguk sambil membenarkan kacamata, lucunya kelewatan.
Jujur, Wei agak menyesal tidak mengajaknya kenalan dari dulu sejak dia lihat di parkiran pertama kali.
“Bang Wei pesen kalau gitu, 6 ya? Besok diambil ke rumah.”
Wooseok langsung memasang wajah cerah mendengarnya, rejeki buat Mamanya, “Boleh, bang. Nanti aku kirim foto variannya ya? biar milih. Ada banyak.”
Melihat wajah cerah Wooseok, Wei tanpa bisa ditahan tertawa kecil, dia berdehem sebentar sebelum minum teh hangat yang disediakan di atas meja.
“Tapi, kayaknya kalau Bang Wei makan kue buatan Mama kamu, bukan kayak mau meninggal deh shin rasanya..” pemuda jangkung itu menjeda sambil mengambil kerupuk di dalam toples yang ada di sana kemudian menggigitnya yang menimbulkan bunyi.
Wooseok menaikan satu alisnya sambil menunggu lanjutan kalimat Wei, mata bulatnya menatap penasaran, “Apa?” tanyanya.
”...kayak mau dijadikan mantu.” ujarnya langsung setelah selesai menelan makanannya. Dia menaik turunkan kedua alisnya membalas tatapan Wooseok, ada senyum jenaka di sudut bibirnya.
Tuh kan! nyebelin.
Kang gombal!
Tingkahnya itu membuat Wooseok memutar bola matanya, hampir saja dia terbatuk.
“Apasih, Bang Wei. Gak lucu tahu!”
Wei hanya tertawa menanggapi perkataan Wooseok. Dia kemudian menyimpan sendoknya dan merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel.
Ponsel mahal tentu saja, juragan kios. Lebih mahal dari punya Wooseok.
Tidak lama ponsel Wooseok bunyi, terdapat sebuah pesan masuk yang membuatnya melotot dan langsung menatap Wei.
“Bang Wei ini ngirim aku pulsa? lima ratus ribu?????”
“Buat beli kuota, biar pesan Bang Wei dibales sama kamu.”
Wooseok menjatuhkan rahangnya, gila!!!! GAK GITU HEI
Ia secepat mungkin menggelengkan kepalanya untuk menolak, “Ih apaan, bang. Gak usah. Ini caranya transfer pulsa gimana? aku mau balikin.” katanya cepat dengan sedikit panik, pandangannya menatap Wei yang justru terlihat santai.
“Bang Wei... gimana caranya aku gak tahu.” Wooseok menggigit bibirnya masih menatap Wei, sumpah kok jadi gini sih.
“Gimana, bang?” keukeuhnya masih bertanya.
Wei menghela napas pendek dan menahan tangan Wooseok yang sedang memegang ponselnya sendiri.
“Jangan dibalikin. Itu buat Ushin. Anggap aja rejeki anak soleh yang udah nganterin Mamanya pergi belanja.”
“Tapi ini banyak-”
“Sstt... kamu bawel banget ya ternyata.” Wei memotong perkataan Wooseok sambil sedikit memajukan duduk agar bisa mengusak puncak kepalanya dan kemudian terdengar tertawa kecil saat Wooseok hanya terdiam mematung dengan wajah kaget dan mulut merapat.
“Wajah kamu, merah. Ushin makin gemes.” katanya pelan lalu melanjutkan makannya dengan santai.