ilhaxaesol-au

Saat sampai di tempat yang tadi difotokan oleh Ilha, Aesol tidak bisa menemukan temannya itu. Jujur saja dirinya merasa sangat tidak enak dan jelas melihat pesan masuk dari pemuda tersebut tanpa perlu berpikir pun Aesol tahu kalau Ilha pasti marah.

Sekarang, baru bisa dilihat oleh dirinya sesaat ia selesai mengirim pesan pada Ilha, tubuh jangkung yang dibalut sweater biru tua itu sudah masuk kembali dalam pandangannya. Berjalan dengan langkah panjang sambil mendorong troli yang terlihat kecil untuknya.

Wajah Ilha dengan alis tebal yang tampak selalu memasang raut galak itu dilihat-lihat semakin tajam saat berjalan mendekatinya. Terburu-buru.

Kalau boleh jujur Aesol sedikit kicep melihatnya, tanpa sadar ia mengeratkan tangan pada tas yang dipakainya.

Takut Ilha beneran marah, dia kan memang terkenal galak di sekolah. Semua orang tahu itu.

Pasti marah sih, ini. Pasti marah banget, batinnya terus menggumam.

“Ilha.. maafin gue..”

Aesol berucap cepat bahkan saat Ilha belum berkata apa-apa di depannya. Tatapan tajam Ilha coba dibalasnya dengan wajah memelas, sedikit berharap semoga pemuda itu lebih lunak.

Dibalik rasa takutnya, Aesol jauh lebih sadar kalau di sini ialah yang salah karena pergi tanpa bilang terlebih dulu tadi atau mengabari saat tanpa sengaja berpisah di sebuah rak.

“Kalau mau kemana-mana tuh bilang. Udah tau lo lagi sama gua, jelas tanggung jawab gua biar lo gak kenapa-napa. Ngerti nggak sih?”

Sesuai dugaan, tanpa bisa dicegah perkataan Ilha langsung terdengar tegas sambil menatap Aesol yang terlihat langsung menciut di depannya.

“Iya maaf jadi ngerepotin lo harus nyari-nyari muterin tempat yang besar ini..” cicit Aesol sambil menunduk merasa bersalah membuat Ilha menghela napas kesal.

“Bukan masalah ngerepotinnya, Aesol. Gua gak perduliin itu sama sekali. Yang gue perduliin itu lo yang bikin gua panik tau nggak.” Ilha dengan nada gemasnya mencoba menjelaskan agar Aesol mengerti.

“Nggak bisa dihubungin sama sekali. Gua gak tau lo dimana atau kenapa. Bisa nggak sih sekali aja nggak bikin orang khawatir terus.” lanjutnya dengan nada lebih rendah, menatap wajah Aesol yang masih menunduk.

Karena Aesol tidak akan tahu sekhawatir dan sebingung apa Kwon Ilha saat tiba-tiba dirinya tidak bisa dihubungi. Aesol juga tidak akan tahu setiap kata yang Ilha ucapakan adalah bentuk cemas yang ia rasakan sejak tadi.

“Bagus kalau nggak kenapa napa.”

Dan tentu saja ada napas lega yang menjalar di dada Ilha saat akhirnya ia melihat Aesol berdiri menunggunya.

Ilha cuma takut, gara-gara kejadian tadi dengan Bora dan Youngshin, Aesol semakin kenapa-napa.

Perduli setan apa kata Heerak, Ilha memang tidak mau melihat Aesol patah hati. Karena ia jauh lebih tau bagaimana rasanya.

Lalu, sudah bukan hal aneh lagi kalau wajah merenggut Aesol lah yang selalu membuat Ilha akhirnya luluh walaupun kesabarannya setipis tisu, karena bila menghadapi segala tingkah No Aesol, Kwon Ilha bisa menjadi orang paling sabar dari versi dirinya.

Diliriknya tangan Aesol yang memegang tasnya dengan erat dan masih menunduk. Ilha kembali menghela napas, terlalu galak kah ia sampai Aesol takut seperti itu.

Kan rencananya gak kaya gitu gblok! ia merutuk kecil karena tingkahnya sendiri.

“Bantu cariin yang gini, masih belum ketemu satu lagi pesanan adek gua.”

Tidak ada lagi nada tegas seperti tadi saat sebuah gambar permen di layar ponsel Ilha tiba-tiba disodorkan ke depan wajah Aesol yang masih menunduk karena dimarahi.

Dengan pelan kini ponsel itu berpindah tangan, Aesol memegang ponsel Ilha dan mengangkat wajahnya setelah selesai melihat gambar tersebut.

“Oke, gue cari sampai dapat.” katanya pelan dengan yakin lalu melirik Ilha ragu-ragu, “Ini Hp nya boleh di gue dulu? Gue mau nyari di sana.” tunjuknya ke arah kanan dari tempat mereka berdiri sekarang.

“Pegang aja, tapi bareng. Jangan jauh-jauh. Kalau sendiri ntar ngilang lagi kayak tadi.”

Kan, galak lagi.

Kali ini bibir Aesol sediki mencebik pelan mendengar ucapan Ilha, “Gue bukan ngilang, Ilha.” katanya sambil menggerutu dan berjalan duluan meninggalkan pemuda tersebut.

“Emangnya gue anak kecil bisa hilang? Kan dibilangin tadi justru gue itu bantuin anak kecil dulu yang nyariin Ibunya.” lanjutnya sedikit kesal padahal sudah dijalaskan di chat tadi.

Ilha yang berjalan pelan di belakangnya sambil mendorong troli jelas masih bisa mendengar perkataan Aesol itu. Menatap punggung Aesol di depannya yang sedang merajuk adalah hal langka yang bisa ia lihat saat ini.

Kedua ujung bibirnya ditarik tanpa sadar.

Aesol itu jarang marah-marah, apalagi menggerutu begini. Anaknya terlalu baik.

Makanya harus dijagain, harus dibikin bahagia.

Dan tentu saja bisa jalan berdua dengan Aesol detik ini sudah jadi hal yang paling nggak masuk akal buat Ilha.

“Pantes sama-sama kecil jadi ilang deh tuh barengan.” ucapan Ilha berhasil membuat Aesol menghentikan langkahnya untuk berbalik dan menyipitkan mata, tatapannya jelas menuding.

“Ngomong apa? ngatain terus.”

Kesal nggak sih sama Ilha kalau dibercandain terus begini.

Kedua bahu lelaki itu terangkat pelan, sekilas ia membenarkan topi yang dipakainya untuk menutupi nada geli yang ia tahan saat melihat Aesol tampak semakin kesal menatapnya.

Kapan lagi yang begini kejadian.

Lucu banget manusia ini, Tuhan.

Jadi makin sayang.

Rugi banget kalau dibikin nangis gara-gara patah hati.

Ilha melebarkan langkahnya hingga kini berada tepat di depan Aesol. Satu tangannya yang sedang mendorong troli ia angkat dan dengan pelan ditaruh di atas kepala Aesol membuat Aesol ikut mendongak dengan tatapan bingung menatap wajahnya.

Tatapan itu berbeda sekali saat pertama Ilha tadi datang mengampirinya dengan raut tajam, kini raut tersebut jauh lebih lembut? Aesol bepikir lagi, nggak, mungkin tepatnya lebih hangat?

Seperti bukan Ilha yang selalu ia lihat di sekolah.

Ini adalah jarak paling dekat yang pernah ada sejak mereka menjadi teman sekelas.

Sedikit menduduk, Ilha berucap pelan hingga hanya Aesol yang bisa mendengarnya tanpa orang lain di sekitar mereka.

“Nih, lo tuh emang kecil dan pendek segini, No Aesol.”

Satu usakan ringan di atas rambut pendek Aesol diberikan oleh Ilha lalu dipuk-puk pelan sebelum dia menarik tanganya lagi.

“Buruan nyarinya, nanti beli es krim.”