[epilog 2]

Hatinya mencelos, pernah ngerasain terbang tapi langsung dijatuhin ke jurang? Wooseok sedang mengalaminya detik ini.

Tubuhnya bersandar pasrah pada kursi mobil yang baru saja ia parkir di samping cafe. Tangannya memegang erat ponsel yang menampilkan dua buah pesan yang baru saja ia baca. Telat, ia sudah sampai disini.

Jinhyuk sudah punya pacar?

Bodoh, Wooseok tertawa sinis disela sesaknya. Apa yang dia harapkan selama lima tahun ini? Jinhyuk yang masih mengingatnya? Jinhyuk yang masih menunggunya? atau Jinhyuk yang masih mempunyai perasaan seperti dulu? Jinhyuk yang mencintainya.

“Lo aja yang bego, shin.” gumamnya sambil menelungkupkan wajah diatas kemudi, bahkan beberapa kali mengetuk-ngetuk kepalanya sambil terus berguman pelan. Merutuki kebodohan, merutuki harapan yang dia ciptakan sendiri sejak tadi, ah bukan, sejak lima tahun lalu.

“Lima tahun itu lama, apapun bisa terjadi, shin.”

Sekarang, saat sudah disini. Apa yang harus ia lakukan? Turun lalu menyapa seperti teman lama?

“Hai Jinhyuk, kamu apa kabar? lama gak ketemu.”

Begitu? pura-pura baik-baik saja? pura-pura tidak ada yang mengganjal hatinya saat ini atau pura-pura tidak tahu tentang seseorang yang mungkin sedang duduk dengan Jinhyuk.

atau haruskah ia kembali menyalakan mobilnya-mobil airin-lalu berputar arah dan meninggalkan cafe, membuang satu-satunya kesempatan untuk melihat Lee Jinhyuk lagi, setelah selama ini ia merindukannya. Teramat sangat.

Dengan tanganya yang sedikit bergetar, Wooseok mengambil ponsel yang sejak tadi langsung dilempar begitu saja ke kursi samping, menekan angka satu, mendial nomor kakaknya.

“Teh Ai.” ucapnya langsung saat disebrang sana Airin bertanya ada apa. Wooseok memejamkan matanya, menggigit bibir saat Airin terus-terusan bertanya ada apa.

“Teh Ai, aku harus gimana?” bisiknya lirih dengan nada putus asa. Wooseok mendengus saat merasakan ujung matanya yang mulai menghangat, gak guna nangis waktu kayak gini. Percuma, shin!

“Kamu kenapa, dek? itu udah ketemu sama Jinhyuk?”

Wooseok menggelengkan kepalanya walaupun tahu kakaknya tidak mungkin melihat,

“Belum... aku gak sanggup teh. Takut.”

“Kamu nangis? kenapa? mau teteh susulin? shareloc tempatnya sekarang!”

“Enggak usah.”

Wooseok menghela napas panjang, berusaha mengatur suaranya agar Airin tidak khawatir di rumah. Kepalanya ditumpu lagi pada kemudi, ponselnya masih disamping telinga dengan suara Airin yang keukeuh menanyakan apa yang sebenernya terjadi.

“Jinhyuk...” Wooseok berkali-kali lipat merasa sesak saat akan mengatakannya,

”... Jinhyuk sama pacarnya.”


Semoga, Wooseok hanya bisa berharap keputusannya kali ini benar. Setelah berbicara dengan kakaknya, butuh hingga hampir sepuluh menit untuk Wooseok merenung. Memikirkan langkah apa yang harus dia ambil sekarang.

Hatinya mungkin akan tersayat perih saat nanti melihat Jinhyuk bersama yang lain, tapi jauh di dalam hati kecilnya ada yang terus meminta bertemu, sekali saja. Setelahnya biarkan nanti Wooseok menata hatinya yang hancur, sendirian.

Sebelum benar-benar keluar dari mobil, Wooseok memilih membalas pesan bang Junhoo,

“Gak usah minta maaf bang. Aku tetep datang, ini udah di parkiran.”

Biar bagaimana pun, peran sepupu Jinhyuk itu sangat berarti karena Wooseok tidak mungkin mendatangi langsung rumah Jinhyuk untuk bertanya mencari tahu kabarnya.

Butuh beberapa kali Wooseok menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan pelan, hatinya terus berbicara mencoba menguatkan dirinya sendiri,

“Ayo shin, lo bisa. Jangan nangis. Cukup ketemu sebentar cuma buat ngobatin rindu. Habis itu langsung balik.” bibir mungilnya juga ikut bergumam. Kedua tanganya bertautan, karena gugup.

Tungkainya melangkah dengan penuh keraguan menuju depan cafe, sengaja Wooseok tidak melihat dahulu suasana di dalam melalui jendela kaca seperti waktu itu karena faktanya dia masih menyisakan banyak sekali ragu, haruskah?

Gak bisa, Wooseok berbalik lagi, kakinya mendadak lemas ditambah jantungnya yang masih berdenyut nyeri, padahal ia baru mendengar kabar belum melihatnya langsung. Apalagi saat nanti Jinhyuk ada didepannya dan mungenalkan pacar barunya, Wooseok tidak bisa menjamin ia akan kuat.

Lebih baik ia pulang. Mungkin seperti ini keputusan terbaik, Wooseok tidak akan melihat Jinhyuk lagi. Wooseok harus melupakan Jinhyuk, biar saja ia hanya akan mengingat wajah Jinhyuk lima tahun lalu.. ia lebih baik tidak tahu bagaimana paras Jinhyuk yang sekarang, ia tidak akan penasaran lagi apa Jinhyuk masih suka tersenyum lebar, apa Jinhyuk masih suka bertingkah jahil, apa Lee Jinhyuk berbeda setelah dewasa.

Suara denting dari lonceng diatas pintu cafe yang terbuka dan sebuah suara yang menyerukan namanya membuat Wooseok menghentikan langkah.

“Tunggu Wooshin, kamu beneran datang?”

Suara bang Junhoo.

Wooseok mau tidak mau berbalik dan tersenyum tipis, “Ya.” gumamnya.

Bohong kalau Junhoo tidak bisa melihat mata Wooseok yang memerah walaupun sudah terhalang oleh kacamata bulatnya.

“Kamu gapapa, kan?”

Pertanyaan retorik gak sih? mana mungkin Kim Wooseok sedang baik-baik saja. Tapi, yang dilakukan Wooseok hanya mengangguk samar. Pembohong.

“Jinhyuk ada di dalam.”

Wooseok meneguk ludahnya susah payah, jantungnya berdegup saat mendengar kalimat penjelas dari orang di depannya. Jantungnya tidak bisa berbohong, masih memberi respon yang sama pada satu nama. Namun, sayangnya kali ini degup tersebut dibarengi rasa sesak.

Melihat Wooseok yang hanya terdiam membuat Junhoo tidak tega, “Jangan kalau kamu gak sanggup.” ucapnya pelan dengan raut prihatin, biar bagaimana pun ia dulu menjadi saksi bagaimana kedua anak adam tersebut saling mencintai, berbagi tawa saat berkujung ke cafenya. Ia sangat tahu bagaimana sepupunya selalu memperlakukan Wooseok dengan penuh sayang.

Wooseok menunduk menatap ujung sepatunya, tanganya mengusap ujung matanya lagi. Kan, dia bahkan cuma diperingatkan tapi sudah begini. Jinhyuk nya saja belum nampak.

“Jinhyuk tau aku datang?” tanyanya pelan dan kemudian ia mengangguk saat melihat Junhoo menggelengkan kepalanya, “Pasti kaget lihat aku nanti..” dia menarik satu sudut bibirnya, “Niatnya aku yang mau bikin suprise, tapi malah aku yang disuprise-in duluan ya, bang.” lanjutnya dengan tawa kecil yang sangat penuh kepalsuan.

“Yaudah, ayo masuk.”

Junhoo mengangguk, membuka pintu cafe dan mempersilahkan Wooseok untuk masuk.

Wooseok merasa tepukan di bahunya lalu ia melihat arah yang ditunjuk oleh Junhoo, meja tempat Jinhyuk dan seseorang yang kebetulan duduk membelakanginya. Ia dengan jelas melihat sosok Lee Jinhyuk versi dewasa, tampak sedang tertawa... dengan pacarnya.

Detik ini, Wooseok sadar kalau keputusannya untuk melihat Jinhyuk adalah sebuah kesalahan. Dia berbalik menatap Junhoo dan menggelengkan kepalanya dengan putus asa,

“Aku gak bisa. Aku mau pulang.”

Ia tidak sanggup, hatinya berdenyut semakin nyeri saat melihat secara langsung.

“Harusnya aku gak lihat sekalian.” gumamnya lirih.

Jinhyuk sudah menemukan alasannya bahagia dan itu bukan dirinya lagi.

Wooseok tidak baik-baik saja dengan fakta tersebut.