[epilog 4]

“Jinhyuk, lepasin.”

Wooseok berucap pelan sambil mencoba melepaskan tangan Jinhyuk yang semakin erat memegang lengannya. Dia tidak berani mendongak untuk protes sambil menatap wajah Jinhyuk langsung, sangat berbeda dengan dulu yang bisa dengan berani memberikan tatapan nyalang saat kesal.

Jinhyuk tidak bergeming sedikit pun, dia seakan menikmati setiap kata yang keluar dari bibir Wooseok, ia rindu suara itu. Suara ketika Wooseok memanggil namanya.

“Ushin..”

Wooseok semakin kuat menyentak tangan Jinhyuk agar terlepas, dia mau pergi. Mau disimpan dimana wajahnya kalau ia malah menangis disini, menangisi pacar orang lain pula.

“Lee Jinhyuk!”

Suaranya meninggi bebarengan dengan tanganya yang berhasil terlepas dari cengkraman Jinhyuk, entah memang tenaganya yang mendadak kuat atau Jinhyuk yang sengaja berniat melepaskannya.

Jinhyuk hanya bisa menghela napas sambil mengucap kata maaf saat melihat tangan Wooseok yang sedikit memerah karena ulahnya.

Wooseok buru-buru mengambil kunci mobilnya, dia akan pergi secepat mungkin. Sudah tidak tahan berada disini. Ingin pulang, menangis sepuasnya tanpa ada yang melihat. Melepaskan sesak yang daritadi bergumul di dadanya.

Namun, sosok di depannya juga tidak gentar. Setelah cengkramannya terlepas, bukan serta merta Jinhyuk akan membiarkan Wooseok pergi begitu saja.

Ini waktunya, mengembalikan keadaan seperti semula. Memulai semuanya kembali dari awal, karena kalau detik ini ia membiarkan Wooseok pergi, maka sudah dipastikan semuanya akan semakin runyam. Benar-benar tidak ada harapan lagi.

“Ushin, jangan dulu pulang, ya?”

Wooseok mendecih, buat apa? cuma buat melihat dia dan pacarnya disini? Jahat banget sih manusia ini.

“Gak penting aku tetap disini.”

Jinhyuk menggelengkan kepalanya, menatap Wooseok yang masih menunduk, tanganya menggenggam kunci mobil dengan erat seperti sedang menyalurkan emosinya.

“Kata siapa, hmm? Buat aku penting, banget.”

Mendengar ucapan Jinhyuk lagi-lagi Wooseok hanya bisa mendecih sebal. Bohong. Wooseok tidak percaya. Jinhyuk.. Jinhyuk hanya basa-basi. Jinhyuk sudah tidak mengharapkannya lagi.

Jinhyuk sudah memilih yang lain. Mereka cuma masa lalu.

Wooseok menyandarkan tubuhnya pada mobil, kepalanya mendadak seperti mau pecah memikirkan orang di depannya ini.

“Shin, kamu gapapa?” nada khawatir jelas tersirat dalam suara Jinhyuk. Tangannya dengan refleks melingkar di bahu sempit Wooseok, “Aku anterin pulang ya?”

“Gak usah. Aku bisa pulang sendiri.”

Wooseok dan kepala batunya yang tidak pernah berubah membuat Jinhyuk menghela napas dalam, masih sama.

Jinhyuk mengambil kunci mobil yang masih di pegang oleh Wooseok, sedikit memaksa saat yang punya mempertahankannya sambil mencoba berkelit, gerutuan langsung bisa Jinhyuk dengar keluar dari bibir mungil Wooseok, sungguh ia sangat rindu dengan segala omelan Wooseok, selalu terdengar lucu menurutnya.

“Aku anterin kamu pulang. Kamu diem, jangan banyak protes.”

Tangannya langsung menggandeng Wooseok, memutari mobil untuk menyuruhnya masuk ke kursi penumpang. Tegas, tanda tidak mau dibantah.

Namun, bukan Wooseok namanya kalau langsung menurut begitu saja, si kepala batu ini memberanikan diri menatap langsung wajah pemuda di depannya.

“Siapa kamu berani nyuruh-nyuruh aku diem? Kamu cuma mantan. Jangan melewati batas, Jinhyuk.”

Haruskah pertemuan pertama mereka setelah lima tahun berakhir seperti ini?

Tanpa senyuman, tanpa pelukan hangat, tanpa bertanya kabar terlebih dahulu, tanpa mengungkapkan kata-kata rindu yang telah menumpuk selama bertahun-tahun.

“Aku gak perduli. Aku bakal melewati batas, daripada kamu kenapa-kenapa di jalan..”

Jinhyuk membalas tatapannya dengan lembut, sedikit menunduk agar wajahnya sejajar dengan wajah Wooseok, kedua sudut bibirnya ditarik sedikit saat dia benar-benar bisa melihat dengan jelas setiap inchi dari paras Wooseok, rindu. Jinhyuk merindukannya, demi Tuhan.

“Aku mau jagain kamu lagi, kali ini gak akan pernah aku lepasin.”