[epilog 5]
“Kamu apa kabar?”
Jinhyuk tahu ini telat, tapi ia tetap bertanya. Ia sungguh-sungguh ingin mengetahui bagaimana kabar Wooseok. Lima tahun setelah memutuskan hubungan ia hanya tahu bahwa Wooseok tinggal dengan orangtuanya, itu pun ia tahu karena bertemu Airin secara tidak sengaja di salah satu tempat makan tidak lama setelah kelulusan mereka.
Jinhyuk masih menunggu jawaban, yang ditanya masih diam, sibuk merapatkan bibirnya. Suasana rumah yang sunyi seakan menambah aura dingin disekitar mereka. Tadi saat pertama datang memang ada Airin, tapi setelahnya yang lebih dewasa seakan mengerti, ia memilih meninggalkan keduanya untuk bicara.
Jinhyuk memang sedang duduk di ruang tamu rumah Wooseok, tadi dengan segala usahanya ia berhasil mengantarkan Wooseok pulang. Walaupun selama di jalan, Wooseok hanya diam dan terus-menerus menghindarinya.
Percaya tidak percaya Jinhyuk akhirnya menginjak rumah ini lagi, tidak banyak yang berubah. Rumah ini masih banyak menyimpan kenangan yang tidak bisa ia lupakan.
Apa kabar?
Itu hanya sebuah pertanyaan kecil yang harusnya tidak susah untuk dijawab. Kalau pertanyaan itu ditanyakan padanya pagi tadi, Wooseok pasti akan menjawab dengan riang, dengan senyum lebarnya dan berkata ia baik-baik saja, sangat baik.
Tapi, sekarang berbeda. Wooseok tidak baik-baik saja. Wooseok ingin menangis, mirisnya justru menangisi orang yang menanyakan kabarnya tersebut. Pikirannya semakin kalut, ia tidak mengerti dengan ucapan Jinhyuk tadi yang menurutnya semakin memperumit keadaan, bisa-bisanya Jinhyuk berucap seperti itu disaat sudah dengan yang lain, apa Jinhyuk mencoba mempermainkan perasaannya.
“Ushin...”
Wooseok menggigit bibirnya, dia hanya menunduk menatap tanganya yang saling berpilin, mencoba tetap tenang. Harusnya ia tadi menyuruh Jinhyuk langsung pulang saja, bukan malah membiarkan dia masuk ke rumah dan duduk di sampingnya seperti sekarang.
Wooseok harus bisa mengontrol emosinya agar suaranya tidak tercekat, “..kamu pulang aja, hyuk.” bukannya menjawab pertanyaan sederhana dari Jinhyuk, Wooseok memilih mengucapkan kata lain. Sesusah itu menjawab pertanyaan dari Jinhyuk.
“Shin..”
Jinhyuk memberanikan untuk menggenggam tangan Wooseok yang saling berpilin, kebiasaan kecil yang sudah sangat dihapal oleh Jinhyuk di luar kepalanya, Wooseok sedang gugup.
Tingkahnya berhasil membuat Wooseok kembali berani menatapnya, mengangkat wajahnya yang sedari tadi terus menunduk. Membuat Jinhyuk hanya bisa melihat ujung kepalanya, dengan mati-matian tanganya ditahan, ia sangat ingin mengelus rambut halus Wooseok, mengusap-ngusapnya dengan sayang, mengusaknya dan mencium harum aromanya, seperti dulu.
Wooseok merasakan ujung matanya yang memanas lagi, dipandangannya yang mulai memburam karena air mata sialan yang terus mendesak keluar, dia bisa melihat wajah Jinhyuk sedekat ini, ia mengingat garis-garis wajah Jinhyuk yang tidak banyak berubah setelah lima tahun berlalu, hanya pipinya yang semakin berisi, tidak setirus dulu.
Kalau nyalinya masih ada, kalau saja hatinya tidak menyerukan bahwa Jinhyuk sudah milik orang lain, Wooseok pasti sudah mengulurkan tangannya untuk memegang setiap inchi dari wajah di depannya, memastikan bahwa Jinhyuk di depannya adalah nyata. Bahwa orang yang dirindukannya selama bertahun-tahun ini benar-benar hadir bukan hanya di mimpinya.
“Jinhyuk..”
Suaranya parau, bergumam dengan sangat lirih, Wooseok tidak bisa menahannya lebih dari ini, dia akhirnya menujukan dirinya yang tidak baik-baik saja di depan Jinhyuk.
Air matanya dibiarkan mengalir melalui sudut mata indahnya, menganak sungai melalui pipi tirusnya hingga ke dagu membuat Jinhyuk dengan sigap langsung menghapusnya, ia menyimpan kacamata bulat milik Wooseok di meja, lalu kembali menangkup kedua pipi tirus itu membiarkan tanganya kembali merasakan bagaimana halus dan lembutnya pipi Wooseok yang sekarang sedikit memerah.
“Jangan nangis, Shin. Setelah lima tahun, masa aku malah lihat air mata kamu..”
Namun, rasanya sia-sia, air mata Wooseok malah semakin banyak, “..aku cuma mau lihat senyum kamu. Aku kangen banget.” Jinhyuk berbisik dengan senyumnya, mencoba agar Wooseok melakukan hal yang sama.
Permintaan Jinhyuk sangat sederhana, tapi Wooseok menggelengkan kepala, dia tidak bisa mengabulkannya, dia benar-benar hanya ingin menangis sekarang, melepaskan sesak yang sedari tadi mati-matian ditahan.
Bahunya semakin bergetar dan tangisnya pecah saat Jinhyuk mendekapnya, membawanya kedalam pelukan hangat yang sangat dirindukannya, menggumamkan kata-kata menenangkan dan menciumi berkali-kali puncak kepalanya.
Wooseok menyembunyikan wajahnya, air matanya tercetak jelas di bagian bahu kemeja biru muda yang sedang dipakai oleh Jinhyuk, dan tangannya meremas bagian belakang kemeja tersebut, tepat di punggungnya.
Wooseok membalas pelukannya dan hati Jinhyuk menghangat, ia tahu Wooseok merasakan hal yang sama, Wooseok merindukannya sebanyak ia merindukan Wooseok.
“Jinhyuk..”
Disela-sela isakannya, Wooseok beberapa kali menggumam pelan, membuat Jinhyuk semakin yakin, Wooseok sudah berdamai dengan masa lalunya. Beban yang dulu, masalah yang menjadi alasan mereka selesai sudah tidak ada lagi.
Dulu Jinhyuk berkata ia melepaskan Wooseok supaya mereka bisa mencari bahagianya masing-masing, dengan yang lain. Namun, faktanya tidak. Bahagia Jinhyuk ada disini, di pemuda yang saat ini sedang didekapnya.
Diciumnya dalam-dalam pelipis Wooseok, hatinya sesak karena terlalu bahagia, kali ini ia yakin, bukan hanya dirinya yang mau bertahan, ia tidak sendiri, ada Wooseok yang juga ingin kembali.
“Aku sayang banget sama kamu, Shin. Dari dulu, sehari pun gak pernah berubah.”
Wooseok menggelengkan kepalanya pelan, “Jinhyuk bohong..” gumamnya lirih.
Kenapa Jinhyuk berucap semudah itu, dia memukul pelan punggung Jinhyuk dengan kepalan tanganya,
”..kalau sayang, kenapa kamu punya pacar?”