[epilog 6]

Tanpa dijawab pun pertanyaannya perihal kabar, Jinhyuk sudah tahu pasti bahwa Wooseok sedang tidak baik-baik saja, setidaknya hari ini.

Untuk hari-hari sebelumnya, minggu lalu, beberapa bulan lalu, bahkan beberapa tahun belakangan Jinhyuk hanya berharap bahwa Wooseok selalu dalam kabar yang baik. Wooseok yang melanjutkan harinya kembali, Wooseok yang selalu bersemangat, atau Wooseok yang sesekali akan bersikap galak khas dengan nada juteknya.

Jinhyuk lebih suka melihat Wooseok yang seperti itu daripada kali ini ia melihatnya untuk pertama kali setelah begitu lama, Jinhyuk justru mendapati sebuah tangisan.

Jinhyuk belum menjawab pertanyaan Wooseok barusan, ia tidak mau kejadian salah paham seperti dulu terulang lagi. Jangan sampai. Maka, ia dengan sabar menunggu Wooseok agar tenang terlebih dahulu, biarkan dia menyelesaikan tangisnya.

Ketika tangis Wooseok sudah berhenti menyisakan mata sembab, jejak air mata yang lengket dan hidung yang memerah, punggungnya bersandar lelah pada sandaran kursi. Dia menangis cukup lama dalam pelukan Jinhyuk, bisa dilihat dari kemeja Jinhyuk yang masih basah, tapi siempunya tidak mempermasalahkannya sama sekali, belum lagi bagian punggungnya yang menjadi kusut.

“Pusing?”

Jinhyuk bertanya khawatir saat Wooseok memijit pangkal hidungnya sambil memejamkan mata. Pertanyaannya hanya dibalas gumaman tidak jelas.

“Mau pindah ke kamar, Shin?”

Wooseok tidak menjawab, kepalanya benar-benar berat dan serasa berputar. Mungkin gara-gara kelamaan menangis.

Walaupun Wooseok tidak menjawab, Jinhyuk rasa Wooseok perlu istirahat dengan nyaman di kamarnya daripada di ruang tamu seperti ini dan untungnya dia tidak banyak protes saat Jinhyuk membantunya untuk berdiri.

Ingatan Jinhyuk masih sangat jelas kemana tungkainya harus melangkah sambil merangkul pundak Wooseok, menaiki setiap anak tangga dengan hati-hati, lalu berbelok kearah kanan hingga berhenti di depan sebuah pintu berwarna coklat kayu dengan foto kecil Wooseok yang masih saja tergantung di depannya.

Kamarnya masih sama, bahkan tata letaknya Jinhyuk ingat betul dimana tempat tidur, dimana lemari pakaian, dan dimana meja belajarnya. Persis seperti terakhir kali ia kesini saat mereka benar-benar berpisah hari itu.

Wooseok duduk bersandar pada headboard dengan bantal yang mengganjal punggungnya dan Jinhyuk langsung memberinya minum yang memang selalu tersedia di atas meja nakas samping tempat tidur.

“Perlu minum obat? nanti aku minta bibi bawain obat pusing, ya?”

“Gak usah.”

Wooseok menjawab dengan suara pelan sambil memejamkan mata, keningnya mengerut tanda menahan sakit, membuat Jinhyuk tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatirnya. Tanganya terulur untuk mengusap puncak kepala Wooseok, lalu beralih mengelus pelan alisnya mencoba menghilangkan kerutan tersebut berharap sakitnya sedikit berkurang.

“Kamu jangan sakit, jangan buat aku khawatir.”

Mendengarnya, Wooseok hanya menarik sedikit sudut bibirnya, meyakinkan kalau ia tidak apa-apa. Jauh di dalam hatinya ia merindukan sikap Jinhyuk yang seperti ini, yang selalu memperlakukannya dengan penuh sayang.

Namun, tetap saja Wooseok harus kembali ke realita saat ini.

“Pacar kamu gapapa emang, kamu kayak gini ke aku? Gak marah?”

Wooseok bertanya dengan susah payah, ia masih belum membuka matanya, “Males nanti disebut pho.” lanjutnya.

Sialan, jiwa julidnya memang masih tetap tidak berubah. Wooseok tidak bisa mengontrolnya sekalipun kepalanya semakin terasa berat, juga pilu dihatinya yang ikut memperparah.

“Pacar yang mana?”

Detik itu Wooseok rasanya mau menangis, lagi.

Lee Jinhyuk ini sebenarnya punya pacar berapa sih?! Sekali fakboi tetap saja fakboi!!!

Wooseok langsung menepis tangan Jinhyuk yang masih di keningnya. Matanya perlahan terbuka dengan menyipit karena masih pusing, sekarang justru berkali-kali semakin pusing saat mendengar ucapan Jinhyuk.

“Kamu tuh punya pacar berapa sih, Jinhyuk? selain cewek tadi!”

Gak tau dapat tenaga darimana, tangannya langsung memukul bahu Jinhyuk.

Kesel, marah, kecewa, capek sama Jinhyuk.

Jinhyuk buru-buru menggelengkan kepalanya saat tahu Wooseok salah paham lagi, maksudnya bukan begitu. Bodoh. Tanganya menahan tangan brutal Wooseok yang terus memukulinya. Mengunci dikedua sisinya.

“Aku gak punya pacar, Shin. Maksud aku pacar yang mana yang marah, punya aja enggak.”

Wooseok semakin pusing mendengar ocehan Jinhyuk. Matanya menatap serius dengan tatapan tajam yang menuding,

“Maksud kamu yang tadi bukan pacar kamu? Jangan coba-coba bohongin aku. Jelas-jelas bang Junhoo bilang dia itu pacar kamu!”

Jinhyuk mengangguk lalu menggelengkan kepalanya dalam memberi respon kepada perkataan Wooseok, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya lalu menujukkan chat dari Sujeong.

“Iya tadi pacar, tapi sekarang udah jadi mantan. Ini barusan aku diputusin sama dia. Jadi, aku gak bohongin kamu.”

Dan Wooseok hanya bisa mengerang frustasi, kehabisan kata dengan tingkah Jinhyuk.