[epilog au eskalator]

Langkahnya tampak memilih dengan sangat hati-hati, sesekali ia melebarkanya untuk menghindari kubangan air yang tampak terlihat di bebera titik, lalu dengusannya tak bisa ditahan, lolos begitu saja dari bibir mungilnya saat tidak sengaja sepatu putihnya terkena cipratan air, kotor, dia tidak suka.

“Baru gue pake, kenapa harus turun hujan sih?” gerutunya sambil berdecak sebal.

Namun, senyumnya tampak terbit saat netranya melihat bangunan di sebrang jalan. Masih ada, cafenya masih sama hanya saja terlihat berbeda di beberapa sisi setelah lima tahun, dulu kacanya tidak selebar itu. Dulu tulisannya tampak diatas pintu, sekarang tercetak jelas di jendela kaca, rendezvous cafe.

Ketika lampu jalan menampilkan warna merah dan menghentikan laju kendaraan. Langkahnya ikut berbaur dengan beberapa pejalan kaki lainnya untuk menyebrangi jalan.

Angin berhembus cukup kencang, menguarkan khas bau tanah setelah hujan. Membuatnya sedikit bergidik karena udara dingin yang menerpa dan secara refleks langsung merapatkan jaket kebesarannya.

Langkahnya berhenti, berdiri cukup lama di depan cafe, dari luar melalui jendela kaca, dia bisa melihat langsung suasana di dalam, tidak terlalu ramai. Hanya beberapa kursi yang tampak terisi.

Kakinya mendadak meragu, dia mengetuk-ngetuk ujung sepatunya, kepalanya menengok ke dalam melalui jendela beberapa kali dan jantungnya mendadak berdegup. Kuku jarinya juga digigit beberapa kali, tanda gugup.

Saat suara lonceng dari pintu berdenting dan membuat seseorang berpakaian sebagai pegawai keluar, dia terlonjak kaget.

“Mas gapapa? Mau masuk atau..?” ucapan si pegawai menggantung diujung kalimat sambil menatapnya bingung, menunggu respon. Yang ditanya buru-buru mengangguk, “..iya ini mau masuk kok.” jawabnya.

“Uhm.. Bang Junhoo nya ada? yang punya cafe maksud saya.”

“Oh, ada. Masuk aja nanti saya panggilkan.”

Tungkainya melangkah mengikuti arahan si pegawai yang membawanya masuk melewati beberapa meja, hingga kemudian berhenti di meja yang berada tepat di depan kasir,

“Tunggu disini ya, Mas. Saya panggil bos dulu.” begitulah ucapan si pegawai yang langsung meninggalkannya menuju lantai dua.

Pandangannya mengedar ke sekitar, walaupun dari luar tampak berbeda ternyata suasana di dalam masih sama. Bau manis khas kue dan kopi langsung bisa tercium, bau yang tampak familiar. Juga, memorinya langsung terputar bagai potongan film, ia menatap meja paling ujung tepat di depan dinding yang sedang diisi oleh tiga orang anak sekolah.

Sudut bibirnya melengkung tipis dengan helaan napas yang tiba-tiba sesak, rindu. Tempat favoritnya lima tahun lalu saat ia kalau berkunjung ke tempat ini... dengan Jinhyuk.

“Wooshin?”

Sebuah panggilan yang menyerukan namanya langsung membuyarkan lamunan, memutus bayangan Jinhyuk yang diam-diam mencoba mengambil sebuah cookies di piringnya lalu akan tertawa saat tingkah jahilnya ketahuan oleh Wooseok yang sibuk membaca buku.

Wooseok mengulas senyum tipis menatap Bang Junhoo, si pemilik cafe sekaligus sepupu Jinhyuk.

***

Wooseok menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk, masih terpaku untuk sesaat sebelum kembali mengulang kalimat yang baru saja ia baca. Ponselnya menampilkan sebuah pesan dari Bang Junhoo, orang yang ditemuinya tiga hari lalu,

“Ada Jinhyuk di cafe”

Setelah bersiap, Wooseok menuruni tangga dengan terburu-buru membuat kakaknya, Airin mengerutkan kening bingung, “Mau kemana, dek?” tanyanya.

“Teh Ai, pinjem kunci mobil, aku mau keluar sebentar.”

Wooseok langsung menyambar kunci mobil Airin yang disimpan diatas meja dekat tv, dia memeluk Airin erat-erat sebelum keluar rumah, “Kamu mau kemana?” tanya kakaknya yang masih penasaran dengan tingkah adiknya barusan.

Wooseok menatap Airin yang mengikuti langkahnya keluar rumah dan bersandar di depan pintu, masih menatapnya heran bercampur penasaran.

Dengan mengulas senyum lebar sebelum masuk ke dalam mobil, Wooseok menjawab,

“Mau ketemu mantan, teh.”

Selama menyetir, Wooseok terus mengulas lengkung indah di bibirnya sambil sesekali mengikuti lirik lagu yang diputar dari radio mobil Airin. Tangannya juga beberapa kali mengikuti irama dengan mengetuk-ngetukan jarinya pada kemudi.

Pikiran dan fisiknya selaras, sama-sama sudah tidak sabar untuk sampai di cafe tempat Jinhyuk berada saat ini.

Akhirnya, akhirnya setelah memutuskan hubungan setelah lima tahun, Wooseok akan melihat sosok Lee Jinhyuk lagi, seseorang yang pernah menjadi mataharinya. Seseorang yang mengajarkan arti kehilangan, namun faktanya Wooseok tidak pernah benar-benar menghilangkan Jinhyuk dari pikirannya.

Lima tahun memang waktu yang cukup lama, dia tidak pernah mendengar kabar Jinhyuk. Teman-teman Jinhyuk pun seakan mengerti, tidak lagi ada yang selalu merecokinya. Setelah lulus, semuanya seperti menghilang.

Wooseok memilih tinggal kembali dengan orangtuanya di luar kota, walaupun keputusannya sempat mendapatkan protesan dari kakaknya yang tidak mau ditinggalkan. Sedangkan kata bang Junhoo, Jinhyuk melanjutkan S2 dan bekerja di bagian kota lainnya dan baru beberapa bulan ini kembali setelah akhirnya mendapatkan pekerjaan disini karena permintaan Ibunya.

Ingatan Wooseok kembali terputar, Jinhyuk bilang ia mempunyai cita-cita masa kecil yaitu menjadi ilmuan. Wooseok terkekeh saat itu, mempertanyakan kenapa ia malah menjadi mahasiswa ilmu komunikasi alih-alih mahasiswa science. Yang ditanya hanya cengengesan sambil menjawab, “Bakatku ternyata bacot, bukan ngelab.”

Rupanya, Wooseok terlalu asik dengan pikirannya, tentang kenangan masa lalunya. Tentang imajinasi bagaimana rupa Jinhyuk sekarang setelah lima tahun mereka tidak bertemu, apa semakin tampan? apa senyumnya masih selebar dulu? apa tingkahnya masih suka jahil?

Juga tentang kemungkinan hubungan mereka di masa sekarang... bisakah mereka mengulang dari awal? apa Jinhyuk masih mengingatnya sebagaimana Wooseok yang tidak pernah bisa melupakan Jinhyuk selama ini.

Saat ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan masuk, Wooseok tidak menyadarinya sama sekali. Pesan dari bang Junhoo,

“Maaf, Wooshin. Sepertinya Jinhyuk janjian dengan pacarnya.”

Satu pesan kembali masuk,

“Waktu itu saya gak bilang, soalnya takut kamu kecewa. Tapi, saya lebih takut kalau kamu lihat langsung sekarang.

Kamu mau tetap datang?”