for 19

tw // mcd, accident, angst, blood, hurt comfort


Jinu POV

Dari awal, semuanya memang bukanlah milikku. Tuhan hanya menitipkan sebagian rasa bahagia yang belum pernah aku rasakan dalam hidup, begitu baiknya sampai aku selalu berpikir semua adalah mimpi dan aku tidak ingin terbangun sama sekali.

Maka, ketika bahagia yang baru saja aku cicipi itu direnggut kembali, kecewaku seharusnya tidak perlu sedalam ini.

Namun, yang aku alami justru sebaliknya. Rasa sakitnya seperti seluruh tulangku diremukkan secara paksa, hatiku hancur, dan hidupku seperti telah berakhir.

Tubuhku hanya mampu diam terpaku menatap ke satu arah. Aliran darahku berdesir kencang dan kepalaku terasa pusing mendengar dengung yang memekikkan telinga.

Hingga akhirnya, saat mata itu menatapku dengan begitu sayu dan tersenyum sangat tipis, tubuhku bergetar hebat dan suaraku tercekat di tenggorokan mengucap satu kata yang terasa begitu sulit.

“Pa..pa..”

Darah yang bersimbah, tubuh yang terkapar, serta orang-orang yang bergerumul telah menjadi mimpi buruk bagiku sejak saat itu hingga detik ini.

Juga, tangis Ayah yang langsung memeluk tubuh penuh darah itu menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku pahami.

Seiring waktu berlalu, aku semakin mengerti akan sebuah kesimpulan bahwa Ayah membenciku.

Karena aku lah penyebab Papa meninggal.


Papa adalah sosok paling baik yang pernah aku kenal seumur hidupku.

Bila aku bercerita tentangnya, maka aku harus mulai pada hari itu, hari pertama kali aku bertemu dengannya.

Hari dimana sebuah tangan terulur padaku dengan lolipop rasa coklat, hari dimana seorang pria berusia dua puluh enam tahun berjongkok di depan ayunan tempatku duduk, hari dimana untuk pertama kalinya senyum hangat itu menyapaku dengan begitu lembut.

Saat itu aku memanggilnya Om Wooseok, katanya Papa sedang membantu teman yang menyalurkan bantuan untuk panti asuhan tempatku tinggal.

Pertemuan kita tidak berlangsung lama, Papa hanya mengajakku bicara karena aku duduk sendirian saat anak-anak lain sibuk bermain di dalam dengan beberapa orang teman Papa yang berkunjung.

Bukannya aku tidak menghargai para tamu, namun, aku hanya sedang tidak ingin bermain saja dan Papa hanya tersenyum sambil mengacak rambutku, berkata tidak apa-apa, biar dia yang temani aku di sini.

Dengan lolipop yang masih aku makan dan ayunan yang kumainkan pelan, Papa banyak bertanya tentangku, sekolah dan kegiatan sehari-hari yang aku lakukan.

Sejujurnya aku tidak terlalu banyak bicara dengan orang yang pertama kali ku temui, namun Papa berbeda, sikapnya terasa begitu tulus memperlakukanku dengan baik, mengajaku bercanda dan juga bercerita tentang suaminya yang tidak bisa datang karena sibuk bekerja, tentang orang yang kemudian aku sebut Ayah.

Usiaku enam tahun, dan sudah selama itu aku tinggal di panti asuhan ini. Jangan tanya sejak kapan, aku tidak ingat dan Bunda, ibu panti yang merawatku hanya akan bilang bahwa kami semua adalah anak-anaknya baik tahu atau tidak asal kami.

Setiap anak memimpikan sebuah keluarga yang utuh, punya rumah, punya orang tua yang menyayangi mereka, pun begitu juga dengan aku.

Setiap ada anak yang pergi dengan keluarga barunya, kami hanya akan tersenyum sambil melambaikan tangan tanpa bisa berbohong di dalam hati setiap anak pasti merasa iri, menunggu giliran, akankah tiba waktuku seperti mereka?

Lalu ada pertemuan keduaku dengan Papa terjadi di bulan berikutnya, juga dengan Ayah.

Bila dilihat pasti ada senyum kelewat lebar miliku saat Papa berjalan memasuki halaman panti dengan sosok tinggi di sampingnya, yang merangkulnya dengan penuh sayang sambil melihat sekeliling.

Aku senang bisa melihat Papa lagi saat itu.

Ada hangat yang tidak bisa aku jelaskan saat Papa menyapaku dengan senyum lembutnya, dengan tangan yang dibuka lebar seakan memintaku untuk berjalan mendekat padanya, “Kangen deh sama Jinu.” ucapnya begitu aku tiba-tiba sudah direngkuh olehnya. Yang aku ingat, walau sempat ragu tapi aku membalas pelukan Papa dengan erat, melingkarkan tangan di pinggannya serta merasakan kepala dan punggungku yang diusap perlahan.

Pelukan pertama yang terasa begitu nyaman, pelukan Papa yang tidak akan pernah aku lupakan.