A G O R A

[I]

Riak dari genangan air di depannya semakin terlihat takala hujan yang mengguyur tanah Agora semakin deras seperti ditumpahkan tanpa segan. Hal tersebut membuat suasana di sekitarnya menjadi berisik karena gemercik air dari langit jatuh langsung pada lantai marmer berpola penuh ukiran abstrak yang sudah berwarna merah pudar akibat dimakan waktu, belum lagi udara yang dingin, lembab, serta cipratan kecil mengenai ujung sepatu putihnya hingga memberikan sedikit noda.

Namun, walaupun begitu, walaupun ujung sepatunya menjadi kotor, anak tersebut tetap diam seakan kakinya telah dipatok permanen di sana, di tepi pelataran halaman belakang sekolah.

Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku hoodie berwarna marun yang sedang ia gunakan untuk melapisi baju seragam sekolahnya.

Napasnya terdengar dihembuskan secara kasar.

Lalu kepalanya menengadah, menatap langit yang berwarna kelabu-hampir hitam-serta kilat terang menyerupai akar yang seakan sedang menari-nari menghiasi kepolosan warna di sana, gemuruh guntur yang memekakkan telinga juga saling bersautan seperti ikut bersorak.

“Sepertinya Zeus sedang murka di Olympus sana.”

Tiba-tiba sebuah suara terdengar begitu dekat di belakangnya, suara langkah kaki yang teredam suara hujan samar-samar masuk ke pendengarannya, ada yang datang.

Ekor matanya hanya melirik sekilas pada tamu tak diundang tersebut untuk memastikan. Tidak pucat, itu adalah kesimpulan yang paling cepat ia pikirkan. Anak itu lalu memilih kembali menatap awan kelabu seakan di sana jauh lebih menarik.

Ia mengabaikan si pendatang.

Mereka berdiri bersampingan dengan jarak kurang dari dua meter. Menimbulkan perbedaan tinggi yang terlihat cukup mencolok, tentu saja si pendatang yang lebih unggul.

Pandangannya ikut melihat ke atas sana, lalu tangan kanannya terulur untuk menadah air hujan guna merasakan tetesan dari kemurkaan Zeus yang entah karena apa. Dingin, begitu yang dia rasakan saat air hujan itu menyapa telapak tangannya. Sedangkan, tangan kirinya tersembunyi rapat di dalam saku celana.

“Wooseok son of Aphrodite.”

Wooseok, anak yang telah hampir lima belas menit berdiri sendirian di sana hanya menggumam pelan. Sepertinya ia tidak tertarik menanggapi ucapan si pendatang yang entah siapa.

Sekolahnya memiliki hampir tiga ratus siswa dari berbagai jenis makhluk yang hidup di Agora dan bukan urusan Wooseok untuk tahu nama dari setiap kepala.

Sebuah saputangan hitam polos dengan tepian dijahit rapi berwana emas-terlihat mewah-yang terulur di depannya cukup menyita perhatian Wooseok, kepalanya menoleh sedikit untuk menatap ke arah pemuda tak dikenal itu.

Untuk apa? bingungnya sambil mengerutkan kening.

“Sepatumu kotor.” ucap dia seakan bisa membaca tatapan bingung di paras Wooseok.

Tanpa menunduk untuk menatap ujung sepatunya pun Wooseok sudah tahu, memang kotor.

Kakinya mundur dua langkah guna menghindari cipratan air walaupun terkesan sangat telat. Namun, hanya butuh satu menit kemudian Wooseok berjalan ke arah kursi di dekatnya, mengambil ransel yang terlihat ringan berwarna hitam pekat dengan gantungan berbentuk bunga Amaryllis berwarna merah di salah satu resletingnya, hadiah dari sang Ayah.

Kemudian tungkainya memilih melangkah pergi, meninggalkan pemuda itu tanpa berniat menengok lagi ke belakang.

“Wooseok..”

Langkah Wooseok terhenti saat mendengar namanya diserukan dari jauh, menggema di lorong kastil yang sunyi karena sekolah sudah berakhir hampir satu jam lalu.

Wooseok tidak menoleh, ia hanya terdiam menunggu apa kata selanjutnya, namun hingga beberapa detik ia hanya mendengar suara hujan dan guntur yang masih bersautan. Baru ketika langkahnya kembali akan mengayun ia mendengar lanjutannya, diucapkan dengan suara dalam dan berat,

“Kau cantik.”

Wooseok menghela napas pendek, entah sudah keberapa kali ia mendengar pujian itu hari ini. Wajahnya menoleh hanya sedikit tidak sampai menatap ke belakang, lagi-lagi ia hanya mengizinkan ekor matanya saja yang menatap pemuda jangkung itu, “Terimakasih.” balasnya samar yang entah akan terdengar atau tidak oleh pemuda yang masih berdiri di ujung sana.

Kemudian, Wooseok kembali melanjutkan langkahnya lagi. Meninggalkan gema dari sepatunya yang berketuk di sepanjang lorong kastil. Berbelok dibalik pilar tinggi hingga menghilang dari pandangan pemuda yang menatapnya dalam diam disertai tarikan di satu sudut bibirnya, sangat tipis.

Wooseok son of Aphrodite.

Sejak kecil itu adalah titelnya. Ia lahir dari salah satu dewi Olympus. Ibunya Aphrodite dikenal sebagai dewi cinta, seksualitas dan kecantikan. Sedangkan Ayahnya seorang manusia berstatus Pangeran dari Troya.

Hidup sebagai half god atau setengah dewa membuat Wooseok dikirim ke Agora oleh sang Ibu, ia tidak bisa membantah karena memang sudah peraturannya seperti itu sejak ribuan tahun lalu, entahlah.

Semakin dewasa tepatnya usia tujuh belas, para half god (manusia setengah dewa), half blood (manusia setengah vampir) dan werewolf (manusia serigala) memiliki tempatnya sendiri yang berbeda dengan manusia.

Maka, sejak satu tahun lalu Wooseok harus rela berpisah dengan Ayahnya yang sejak kecil selalu ia banggakan lebih dari Ibunya sendiri yang hanya bisa ia lihat sesekali karena beliau tinggal di Olympus.

Menurut Wooseok, Ayahnya yang terbaik, Ayahnya yang mengurus dia dari kecil, sedangkan satu-satunya yang bisa ia banggakan dari sang Ibu hanyalah status.

Wooseok hidup dengan status sebagai salah satu putra Aphrodite.

Agora adalah sebuah tempat yang berada sangat jauh dari tempat tinggal manusia.

Di sini semua kaum half god, half blood, dan werewolf hidup berdampingan. Memang tidak sepenuhnya selalu damai dan tentram, ada kalanya terjadi suatu konflik diantara mereka karena satu fakta yang tidak bisa dihindari sebagai makhluk sosial. Mau itu manusia, setengah manusia atau para dewa sekali pun pasti akan terjadi suatu perselisihan.

Agora berada diantara Sparta dan Athena, dua wilayah besar dengan berbagai cerita di dalamnya.

Selain itu apabila melihat ke arah utara, di sana kau akan melihat kaki Gunung Olympus dimana di atasnya, jauh di puncak sana terdapat istana para dewa yang sangat diagungkan tinggal.

Dewa Olympus atau Olympians adalah dewa yang mengatur alam semesta. Tidak semua dewa berstatus sebagai dewa olympus, begitupun keturunannya. Ada hal yang disebut half olympian diantara para half god atau anak-anak para dewa olympus dimana Wooseok termasuk salah satunya.

Selama satu tahun hidup di Agora, Wooseok tinggal di asrama yang disediakan oleh sekolah. Statusnya sebagai putra Aphrodite membuat ia mendapatkan privilages yang tidak bisa dianggap remeh, salah satunya mengenai urutan tempat tinggal di asrama yang berdasarkan status orangtuanya.

Tentu saja, si putra Zeus raja dari semua Dewa Olympus mempunyai kamar paling lengkap dengan fasilitas luar biasa dan berada di tingkat paling atas bangunan asrama. Di lantai yang sama, putra Poseidon dan putri Demeter juga tinggal di sana.

Sedangkan Wooseok, ia menempati kamar tepat satu lantai di bawahnya. Wooseok berbagi kamar dengan Byungchan, putra Dewi Artemis.

Sejak satu tahun bersekolah di sini, Wooseok dikenal sebagai poros atas apa yang dinamakan kecantikan.

Kulitnya putih seperti pualam dan semulus porselin.

Mata bulat jernih dengan sorot percaya diri dibingkai indah dengan bulu mata lentik yang selalu tersembunyi dibalik kacamata bulatnya.

Memiliki tulang hidung yang ramping tampak sempurna apabila dilihat dari sisi manapun.

Bibir mungilnya yang tidak terlalu tipis berwarna merah muda seperti bunga mawar yang merekah indah membuat setiap orang penasaran seperti apa gilanya apabila mereka bisa mengecup ranum milik putra sang dewi.

Wajahnya tirus dengan tulang rahang sempurna dilengkapi dengan surai indah berwarna kecoklatan.

Setiap detail dari proporsi wajahnya akan mengundang decak kagum. Semuanya, semua apa yang diturunkan oleh dewi kecantikan memang tidak salah jatuh pada Wooseok.

Selain itu, konon Ibu dari Ayahnya adalah seorang naiad, kaum nimfa atau perwujudan peri dan bidadari yang hidup di air tawar. Naiad dikenal dengan kecantikannya karena mereka tidak menua dan digambarkan sebagai gadis cantik yang pandai menyanyi dan menari.

Tidak heran, dahulu Aphrodite rela menyamar menjadi manusia hanya untuk medekati Ayahnya. Hingga akhirnya sembilan bulan kemudian sang dewi mengakui kebohongannya.

Sejak itu, Aphrodite menyerahkan bayinya-Wooseok-dan dia kembali tinggal di Olympus.

Wooseok mempunyai nama lain dari Ibunya, Cleine yang memiliki arti terkenal. Maka, sepertinya keinginan sang Ibu benar terjadi.

Sejak kecil, Wooseok selalu membuat semua orang menatapnya penuh iri, bagaimana mungkin seorang pria bisa secantik dan seindah ini. Mereka hanya bisa memandang dengan berjuta kekaguman hingga tidak bisa diucapkan, hanya mampu menelan ludah.

Setiap orang yang melihatnya perlu hingga-setidaknya tiga kali untuk mengekori setiap geriknya. Wooseok seperti magis dengan kecantikannya, dimanapun keindahan seorang Wooseok tidak akan tertandingi, seperti Ibunya.

Bila saja mengizinkan, Wooseok tidak akan tahu berapa juta orang yang akan berlutut untuknya, setiap orang yang mendambanya rela menukar apapun demi bisa mendapatkan perhatiannya. Sayangnya selama ini Wooseok membatasi karena pergaulannya tidak begitu luas. Ia memang mengenal hampir semua anak dari para Olympians, namun yang menjadi teman dekatnya hanya bisa dihitung jari.

Jadi, jangan pernah tanyakan kepada siapa Wooseok akhirnya memusatkan perhatian karena ia tidak tertarik sama sekali, atau belum.

Eros yang merupakan salah satu Putra Ares dan Aphrodite pernah menyapanya saat Wooseok pertama kali menginjakkan kaki di Agora, dewa cinta yang selalu membawa busur panah itu memberitahunya, kalau nanti ia menginginkan seseorang, ia bisa mengatakannya pada Eros.

Eros dengan senang hati akan membatu dengan busur panahnya yang siap dia tarik, melesat tepat dan akurat pada targetnya.

Dewa cinta itu berkata sambil mengedipkan satu matanya, bibirnya tersenyum menggoda membuat Wooseok membalas sambil tersenyum simpul dan berucap terimakasih. Namun, hingga kini Wooseok tidak pernah melihat dewa bersayap indah itu lagi, Eros dan para dewa bersayap atau Erotes lebih sering bepergian dengan Aphrodite.

Sebagai half olympian yang mengenal Eros, tidak jarang Wooseok mendapati teman-temannya yang meminta tolong agar dipertemukan langsung dengan dewa cinta tersebut demi mendapatkan kisah yang diinginkan.

“Wooseok?”

Sebuah suara yang cukup dikenalnya membuat Wooseok menoleh, dilihatnya sosok si putra Zeus yang berusaha menyusulnya agar berjalan beriringan.

“Baru pulang?” tanyanya.

Wooseok mengangguk singkat dengan mengulas senyum tipis, mereka sekarang di lobi asrama. Menunggu lift yang masih beberapa menit lagi akan terbuka. Omong-omong, asrama di sekolah ini terbagi menjadi tiga bangunan, untuk para half god, half blood dan tentu saja werewolf.

“Ayahmu sepertinya sedang murka, petir dan gunturnya masih belum berhenti.”

Suara Wooseok memecah keheningan diantara mereka yang sekarang sudah masuk ke dalam lift. Ia menekan angka 14 dan 15, yang diajak bicara mengangkat bahunya, “Entahlah.” katanya pelan.

Mari kita asumsikan saja seperti itu, apabila ada petir, maka Zeus sedang murka.

“Terimakasih, Wooseok.”

Si Putra Zeus berkata sambil mengulas senyum penuh pesonanya saat dia baru menyadari Wooseok sudah menekan tombol 15, lantai tempatnya tinggal.

“Sama-sama, Seungwoo.”