A G O R A

[II]

Apakah kau beranggapan apabila sekolah di Agora itu penuh dengan sihir dan tongkat ajaib seperti layaknya sebuah film? Karena Wooseok pernah mengira seperti itu, dulu, sewaktu kecil saat mendengar cerita dari Ibunya tentang tempat tersebut.

Namun, nyatanya berbeda. Sedikit. Di sini, hanya para Master yang mengajar saja yang memiliki hal semacam itu. Para siswa hanya mempunyai kemampuan bawaan dari orangtuanya yang kemudian akan dilatih dan dikembangkan di sini, pada dasarnya itu adalah fungsi sebuah sekolah, bukan?

Sebelum tinggal di Agora atau saat masih tinggal dengan manusia, dari kecil tentu saja mereka sudah pernah bersekolah, namun di sini sedikit “berbeda” saja. Banyak hal-hal yang tentu saja tidak dipelajari di dunia manusia, terutama tentang sebagian dari apa yang ada di dalam diri mereka, dewa, vampir dan hal semacamnya.

Lantas, kemampuan seperti apa yang dimaksud?

Misalnya, katakanlah putra Ares yang tidak terkalahkan apabila ada pertarungan yang diadakan di akhir semester, pedangnya benar-benar berkilat tajam hingga terkadang tidak ada yang berani macam-macam padanya karena darah dingin dari dewa perang yang ia miliki siap membantai lawannya tanpa ampun.

Ada pula putra Athena yang mewarisi segala sikap bijaksana dan kepintarannya, half olympian itu selalu menjadi yang terpintar, selalu menjadi yang terbaik saat ujian. Ia akan dengan mudah mendapatkan nilai sempurna, karya seninya dipajang megah di ballroom utama bangunan sekolah ini, bersanding dengan karya lainnya dari pelukis terbaik yang pernah ada.

Gambaran besarnya seperti itu.

Untuk half blood, mereka terkenal berdasarkan klan asal usulnya, yang terkuat lahir dari anggota kerajaan hingga kaum biasa.

Half blood tidak seperti vampir yang haus darah setiap saat. Mereka bisa makan selayaknya manusia, walaupun tetap saja sewaktu-waktu ada sebuah sakral yang harus dilakukan, biar bagaimanapun kodrat mereka adalah manusia peminum darah.

Secepat vampir, pucat dan dingin, namun, tidak takut terkena cahaya matahari. Dalam batas normal.

Werewolf, dulu di tempat asalnya Wooseok pernah bertemu dengan kaum ini yang sedang menyintas menuju Agora.

Tentu saja dalam wujud manusia.

Saat di sini ia untuk pertama kalinya melihat bagaimana mereka melakukan shifting, berubah menjadi serigala bertubuh besar dan melonglong mengisi sunyinya malam di Agora.

Bukan hanya ia, hampir semua orang sepertinya baru bisa melihat hal yang seperti itu di sini. Karena shifting baru dilatih dan diperbolehkan hanya saat mereka mulai sekolah di Agora. Saat masih tinggal dengan manusia tentu saja hal itu amat sangat dilarang oleh dewa karena bisa menyebabkan kekacauan, insting hewani mereka harus benar-benar dilatih dan dikendalikan.

“Sejin!”

Suara nyaring Byungchan di lobi asrama berhasil membuat beberapa kepala menengok mencari sumber suara, putra Artemis itu langsung membungkam mulutnya sendiri dan tersenyum malu hingga ke matanya,

“Maaf.” cicitnya berkali-kali.

Merasa malu sendiri sudah membuat sedikit keributan. Sedangkan, orang-orang di sana hanya menggelengkan kepala lalu kembali melanjutkan jalannya. Juga Wooseok, yang ternyata berdiri di sampingnya hanya bisa mendengus kecil melihat kelakuan Byungchan.

Byungchan adalah putra Artemis, dikenal sebagai dewi bulan, kalahiran, alam liar dan pemburu. Artemis merupakan keturunan Zeus dan saudari kembar Apollo, dewa cahaya, musik, pengobatan serta pemanah dengan busur terbuat dari emas.

“Kau darimana saja, Sejin!”

Byungchan kembali berseru saat Sejin saudaranya yang merupakan putra Apollo akhirnya mendekat.

“Aku dari toilet. Kenapa kau selalu heboh sih? Lihat temanmu hanya bisa menunduk malu melihat tingkahmu itu.”

Dagu Sejin menunjuk Wooseok lalu tersenyum lembut, berbeda seratus delapan puluh derajat saat ia menatap Byungchan.

“Aku sudah lapar! Ayo makan. Jangan sampai kita telat.”

Sejin dan Wooseok hanya bisa menghela napas panjang mendengar ocehan Byungchan, kemudian ketiganya berjalan ke arah dinning hall yang berada di tengah ketiga bangunan asrama.

Wooseok mengenal Byungchan tepat saat ia masuk ke kamar asramanya untuk pertama kali setahun lalu.

Byungchan sangat berisik, banyak bicara, mudah merengek, riang dan senyumnya sungguh indah dengan lesung pipi dalam, seindah bulan sabit yang kerap kali terlihat di langit gelapnya malam Agora.

Ia masuk di tahun yang sama dengan Wooseok, begitupula Sejin. Sejin juga tinggal di lantai yang sama dengan mereka, ia berbagi kamar dengan putra Hermes.

Beberapa minggu ini Byungchan sedang sibuk memikirkan akan memelihara seekor hewan, katanya ia mau seperti Ibunya yang dikenal sebagai dewi alam liar dan juga pemburu. Sialnya Wooseok hanya bisa mengelus dada saat mendengar rusa liar masuk ke dalam list.

Tidak salah sih, di hutan sekitar sekolah mereka pasti ada banyak. Tapi sungguh, di dunia ini masih ada makhluk bernama kucing, anjing atau bahkan kelinci yang menggemaskan, tidak bisakah salah satunya saja?

Bunyi jam yang berdenting tiga kali menandakan tepat pukul tujuh malam. Suaranya nyaring menggema, jam super besar yang berada di gedung utama sekolah itu bisa terdengar ke seluruh penjuru kastil, even in the lowest rat hole, kalau kata Byungchan.

Sebelum jam berdenting, semua siswa sudah duduk dalam meja panjang yang berjejer rapi dengan berbagai jamuan makan malam di atasnya. Pintu super tinggi dan berat itu sudah ditutup rapat oleh salah seorang penjaga sehingga yang telat datang tidak akan mendapatkan makan malam.

Di paling depan, beberapa Master terlihat duduk menghadap kearah para siswa.

Kegiatan makan adalah salah satu kegiatan yang mengumpulkan mereka dalam satu ruangan super besar. Half oyimpian, half blood dan para werewolf berbaur menjadi satu untuk mengisi perut mereka.

Setelah makan, mereka akan berbagi cerita, mengobrol, bergurau, ataupun melirik satu sama lain dan kemudian saling melemparkan senyum seperti yang sedang dilakukan oleh Sejin.

“Werewolf, huh?”

Byungchan berkata sambil menaikan alisnya, netranya mengikuti kemana arah pandang Sejin.

Meja kumpulan para werewolf yang terlihat ramai.

Sejin berdehem lalu memilih kembali memakan buah anggur merah di depannya dalam sekali suap, satu potong pie susu miliknya ia simpan di piring Byungchan, agar saudaranya itu diam.

“Yang mana, Sej? Alpha atau Beta?” tanyanya penasaran, matanya memincing masih menatap ke ujung sana, membuat beberapa werewolf kesenangan karena ditatap langsung oleh putra sang dewi.

“Lupakan! Sudah cukup, kau hanya semakin menarik perhatian mereka agar melihat ke sini, Byungchan.”

Nyatanya, perhatian hampir semua orang memang dari awal adalah ke meja mereka, di sana ada Wooseok, Byungchan, dan Sejin. Tiga pilar keindahan dari half olympian tahun pertama.

Wooseok dengan kecantikannya tentu saja, Byungchan dengan sikap riang dan senyum indahnya, dan Sejin putra Apollo itu bukan pemarah seperti Ayahnya, sikap lembutnya didapat dari Ibunya, kepiawaiannya dalam bermusik membuat setiap orang terkagum-kagum, saat kau mendengar alunan suara senar Lira dari tangan lentiknya, maka tidak ada lagi yang menurutmu paling indah dari suara petikannya.

Wooseok berteman dengan Byungchan, Byungchan bersaudara dengan Sejin, hingga akhirnya begitulah ketiga orang itu menjadi dekat.

Byungchan akhirnya menyerah saat Sejin tidak memberitahu yang mana dari salah satu werewolf di sana yang bisa menarik perhatian saudaranya itu.

Lalu, pandangannya sekarang fokus pada Wooseok yang duduk di depannya, ia hanya menunduk sambil memotong-motong asal kudapannya tanpa dimakan sama sekali, masih utuh. Hanya piring makan malam utamannya yang sudah kosong.

Awalnya, Byungchan pikir Wooseok berhati dingin dan tipikal orang yang tidak bisa diajak berteman. Dia tidak banyak bicara, sangat pendiam dan hanya bicara seperlunya saja. Namun, semakin lama Byungchan sadar, Wooseok hanya mencoba membatasi lingkup pertemanan saja. Ketat sekali.

Setelah satu tahun berbagi kamar dengan Byungchan yang mulutnya tidak bisa diam membuat Wooseok perlahan mulai terbuka, tak jarang setiap malam sebelum tidur mereka akan mengobrol hingga lupa waktu.

“Wooseok..”

Panggilnya membuat Wooseok mengangkat kepala, mata indahnya mengerjap lamat-lamat dibalik kacamata bulatnya menatap Byungchan dan Sejin yang duduk di depannya, “Ya?”

“Tadi, pulang sekolah kemana? Pas aku ke kamar, kau tidak ada.”

“Perpustakaan. Ada beberapa buku yang harus aku kembalikan. Lalu.. aku ke belakang sekolah untuk melihat bunga Amaryllis tapi tidak jadi.” jelasnya diakhiri nada lesu dengan pundak merosot.

“Gara-gara hujan, kan? Petir dan guntur tadi keras sekali.”

Sejin menimpali sambil mencebikkan bibirnya tidak suka. Ia putra dewa yang diberi kuasa untuk mengatur matahari di langit, Sejin lebih menyukai cahaya hangat yang menyapa Agora alih-alih hujan serta petir yang menyambar-nyambar.

Wooseok mengangguk mengiyakan, gara-gara hujan deras tadi Wooseok tidak bisa mendekat untuk melihat bunga Amaryllis di taman belakang, padahal ia sedang merindukannya Ayahnya. Bunga dengan kisah cukup tragis itu adalah bunga kesukaan Ayahnya.

“H-Hai-i...”

Sebuah suara yang terengah beserta presensi pemuda tampan langsung mencuri atensi ketiganya. Pemuda itu duduk di samping Wooseok. Kepalanya langsung ditaruh di atas meja begitu saja dengan menyingkirkan terlebih dahulu piring-piring menggunakan tangan kokohnya.

Ia tampak kelelahan, napasnya putus-putus.

Sejin langsung memukul bahu pemuda itu, tampak tidak perduli dengan tampilan lelahnya.

“Darimana saja si putra Hermes ini! Dari aku bangun tidur kau sudah menghilang, burung peliharaanmu juga tidak ada. Kau bolos di kelas Master Park, berani sekali!”

“Jangan marah-marah dulu, Sej. Aku lelah sekali, tenagaku terkuras habis rasanya. Sialan, Ayahku memang dewa yang sangat menyebalkan.” gerutunya sambil memukul meja dengan kepalan tangannya yang kokoh.

Kepalanya mengedar sebentar, “Aku tidak ketahuan kan baru datang? aku berhasil masuk karena menyelinap dari pintu dapur.” berkata sambil mengangkat lagi wajahnya, lalu mengambil buah anggur di piring Wooseok tanpa izin dan langsung memakannya. Tidak sopan!

Dia lapar, serius.

Maka karena kasihan, Wooseok langsung menggeserkan piringnya, memberi kudapannya yang memang belum ia makan.

“Terimakasih, cantik.”

Balas pemuda itu dengan senyum kelewat lebar sambil menyenggol bahu Wooseok dengan tubuh besarnya, membuat Wooseok mendengus keras karena sedikit limbung.

Yuvin son of Hermes.

Teman sekamar Sejin.

Dua kata untuknya, supel dan tampan. Harus digaris bawahi, kata tampan tersemat bukan karena sembarangan, tentu saja ia peroleh dari Ayahnya yang merupakan dewa pembawa pesan, penunjuk jalan dan penuntun arwah.

Owl-ku pagi tadi hilang..”

Yuvin memulai ceritanya, menegak minum terlebih dahulu sebelum melanjutkan.

“Ternyata itu kerjaan Ayahku agar aku keluar asrama untuk mencarinya bahkan hingga hutan belakang sekolah. Lalu aku disuruh ke perbatasan untuk menyampaikan pesan pada Dewi Iris. Kalian tahu kan jauhnya bagaimana? Dan aku hanya diberi kuda tua!” nadanya terdengar kesal karena frustasi, tenaganya habis karena menunggang kuda seharian.

“Kenapa sih dunia manusia lebih maju daripada Agora, setidaknya selain lift asrama dan peralatan canggih di sekolah, aku berharap kita diperbolehkan memiliki ponsel ataupun mobil di sini agar tugasku lebih mudah. Tinggal telpon saja Dewi Iris alih-alih berangkat menggunakan kuda tua. Kadang aku ingin kembali tinggal dengan Ibuku saja, baru satu tahun di Agora sudah begini, apalagi seumur hidup!”

Ketiga temannya hanya menghela napas, mau setuju tapi tidak sepenuhnya setuju, konyol sekali dia, mau ada mobil bagaimana? di sini saja yang bisa mereka lihat hanya hutan lebat.

Agora memang sangat berbeda jauh dengan tempat tinggal mereka dulu, sulit dipercaya di abad ke-20 seperti sekarang masih ada tempat yang kalau kata Wooseok seperti kembali ke masa Yunani kuno.

Hey, di mana di abad sekarang yang berkendara masih menggunakan kuda? hanya Agora, sepertinya.

Oh, ada pula kereta uap yang jadwalnya bisa dihitung jari. Wooseok saja baru beberapa kali menggunakannya.

Lihat saja bangunan sekolah mereka, kastil yang tampak seperti dibangun dari beratus-ratus tahun lalu dan di sekelilingnya hanya hutan. Membutuhkan waktu seharian apabila ingin ke luar lingkungan sekolah untuk ke pasar atau pemukiman penduduk.

Walaupun tidak masuk akal, tapi Wooseok ingin mengucap beruntung sekali di asrama ada lift, coba bayangkan kalau tidak ada? kakinya bisa copot bila ia setiap hari harus naik-turun tangga ke lantai 14.

Memang benar, di sekolah ini juga tidak diperbolehkan membawa ponsel. Andai saja diperbolehkan Wooseok pasti bisa menghubungi Ayahnya sekarang juga, tidak harus menunggu pulang saat liburan semester atau hanya mengandalkan surat!

Tapi, semua itu hal yang mustahil, akan dapat sinyal darimana. Dunia mereka terlalu berbeda.

“Memang Ayahmu kemana, Yuvin? hingga tugasnya diberikan padamu?”

Yuvin memutar bola matanya sambil berdecak samar, lalu ia menyuap pie susu milik Wooseok yang sudah dipotong-potong menjadi sangat kecil.

“Jalan-jalan ke underworld. Katanya ada arwah yang sangat sulit diberi petunjuk hingga Ayahku harus turun tangan langsung mengantarnya.”

Kali ini ketiganya mengangguk paham mendengar penjelasan Yuvin.

Hermes adalah salah satu dari lima dewa yang bisa bebas keluar-masuk underworld tanpa halangan selain Hades dan istrinya Persefone, Hekate yang merupakan dewi sihir dan Thanatos si dewa kematian.

Kembali lagi, mungkin kalau ditanya siapa yang paling membuat iri siswa di sini karena bisa dekat dengan ketiga orang ini jawabannya adalah Yuvin.

He's affable.

Dia berteman dengan siapa saja, baik half blood ataupun werewolf bahkan dengan half olympian kelas paling atas sekalipun yaitu Seungwoo.

Yuvin seperti Ayahnya, ia berperan sebagai half olympian yang-sepertinya mengetahui segala hal.

Biar bagaimana pun buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitulah apa yang banyak terjadi di sini. Dirimu sebagaimana orang tuamu.

Terkadang ia ditunjuk oleh Head Master untuk menyampaikan pesan kepada dewa penjaga kaki Gunung Olympus bila ada sesuatu yang harus disampaikan kepada yang agung.

Yuvin berdehem sebentar setelah selesai menghabiskan kudapan milik Wooseok juga secangkir susu milik Sejin yang masih utuh di dalam gelas berwarna tembaga.

Menumpu kedua sikunya di atas meja, pandangannya mengedar lagi, dinning hall ini masih sangat ramai walaupun pintu utama sudah dibuka daritadi yang artinya yang sudah selesai makan diperbolehkan meninggalkan ruangan untuk kembali ke asrama. Para Master pun sudah tidak terlihat di sana.

Yuvin melambaikan tangannya untuk menyapa temannya membuat Wooseok yang duduk di sampingnya ikut melihat, meja para half blood.

“Jaehyun berasal dari Arkadia, tidak tertarik, Seok? Arkadia tempat petinggi para vampir, lho. Sepertimu, dia itu bangsawan.” bisiknya.

Wooseok hanya menggelengkan kepalanya acuh mendengar penjelasan Yuvin. Bibirnya ditarik sedikit saat pemuda tampan berkulit pucat di sebrang sana memberikan sebuah senyuman.

Faktanya, walaupun sudah satu tahun tinggal di Agora dan setiap hari bertemu dengan para half blood entah mengapa Wooseok selalu merasa tidak nyaman bila di dekat mereka, rasanya seperti ia sedang diintai secara terang-terangan.

Lalu Yuvin kembali melambaikan tangannya, kali ini ke arah meja para werewolf, meja yang tadi dilihat oleh Sejin.

“Seungyoun. Ayahnya adalah salah satu Alpha yang tak kerkalahkan di Sparta, bahkan hampir sebagian dari ibu kotanya-Laconia adalah daerah kekuasaannya. Menikah dengannya tidak akan menderita hingga mungkin seratus turunan, trust me.” ujarnya hiperbola, kali ini Yuvin berkata tidak hanya kepada Wooseok, tapi juga kepada kedua temannya.

Ia lalu mengulas senyum menggoda saat pandangannya bertemu dengan Sejin, “Nanti aku kenalkan padamu.” katanya dibarengi dengan gelak tawa serta Byungchan yang langsung berseru akhirnya rasa penasarannya terjawab sudah.

Seakan mengabsen, Yuvin tidak berhenti di sana, tangannya kembali melambai pada meja yang terlihat lebih besar dengan kudapan yang lebih banyak. Dia sedikit menganggukkan kepalanya.

Meja itu hanya diisi oleh tiga orang penghuni lantai paling atas asrama mereka. Tanpa Yuvin mengoceh pun, mereka sudah hafal di luar kepala tentang ketiga half olympian di sana.

Pertama, putra raja dari semua dewa di Olympus, Seungwoo. Tampan, berwibawa dan pandai memikat adalah ciri khasnya. Orang yang paling disegani di sekolah ini karena statusnya tentu saja.

Kedua, putra si penguasa laut Pesoidon, Wonwoo. Dikenal sebagai half olympian yang jarang sekali menunjukan emosinya. Pembawaannya begitu tenang seperti lautan tak berombak.

Terakhir, putri dari Demeter dewi pertanian dan musim sekaligus yang paling muda diantara ketiganya, Roseanne. Wooseok mengenal baik sosoknya, mereka sering bertemu di taman belakang sekolah. Rambutnya panjang berwarna pirang, sering kali dihiasi flower crown dari bunga daisy putih yang membuatnya tampak cantik seperti seorang puteri yang keluar dari negeri dongeng.