Hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit bagi Jinhyuk untuk menjalankan mobilnya dari rumah hingga memasuki sebuah lingkungan apartemen di kawasan Permata Hijau yang merupakan tempat tinggal para kontestan atau yang biasa mereka sebut dorm.

Setelah memarkirkan mobilnya, Jinhyuk berjalan dengan langkah lebar ke arah kolam berenang yang berada di bagian selatan bangunan utama, barusan saat di jalan dia sempat menelepon—yang untungnya dijawab katanya Wooseok ada disana sejak tadi.

Benar saja, begitu sampai sana pandangan Jinhyuk bisa langsung menangkap sebuah punggung berbalut kaos pendek berwarna putih yang sedang duduk di kursi yang menghadap ke kolam. Sendirian.

“Wooseok..”

Ia memanggilnya saat mendekat dan berdiri disamping Wooseok yang langsung mendongak untuk menatapnya kemudian berkata pelan, “Chef...”

Ada sebuah senyum tipis yang bisa Jinhyuk lihat saat ini di wajah manis Wooseok, namun jelas itu terlihat sendu dengan mata dan hidung yang sedikit memerah.

Tanpa bertanya pun, Jinhyuk sudah melihat tadi saat mereka syuting, Wooseok jelas-jelas menangis saat melepas appron hitamnya karena harus meninggalkan galeri.

Sudah berapa lama dia disini sendirian? Kata Byungchan, bahkan dia belum melihat Wooseok sejak tadi.

“Ayo..”

Jinhyuk berujar hingga Wooseok akhirnya berdiri, dia mengangguk dan mulai berjalan dengan langkah pelan di depan Jinhyuk.

Melihat pundak lesu Wooseok yang merosot seperti itu membuat Jinhyuk menghela napas, kegagalan dalam sebuah kompetisi adalah hal yang biasa, ada yang menang pasti ada yang kalah, kan?

Hanya saja sebuah kegagalan merupakan tahap yang membuat siapa saja jelas akan merasa kecewa dan putus asa. Namun, itu bukan akhir dari segalanya. Yang diperlukan hanya bangkit lalu mencoba lagi dan lagi dengan usaha yang lebih keras.

Begitulah hidup, sejatinya.

Langkah Wooseok terhenti karena tertegun saat pundak kirinya merasakan tepukan dari samping, dari Jinhyuk yang mencoba mengatakan,

“Gak papa, You have came this far. You did well, Wooseok.”

Wooseok menunduk tanpa benar-benar menatap Jinhyuk yang sekarang sudah berpindah berdiri di depannya, ia bertanya dengan suara yang terdengar lebih lembut dari biasanya, “Kamu ngapain disini daritadi?”

Cukup lama sebelum Wooseok membuka suara dan membiarkan hening yang mengambil alih, “Engga ngapa-ngapain...” katanya sambil menghindari tatapan Jinhyuk, “Aku.. pingin sendiri aja, gak enak di dorm, orang lain lagi pada senang masuk Top 10.... aku ngga bisa ikutan..” namun, semakin banyak Wooseok berbicara, suaranya terdengar semakin berbisik terbawa angin, terasa begitu lirih di pendengaran Jinhyuk.

Wooseok sedang tidak baik-baik saja, Jinhyuk tahu jelas itu.

“Gak harus di acara ini, kamu bisa belajar darimana aja. Jangan pernah berkecil hati gitu dong, jangan menyerah sama mimpi kamu.”

Mendengar nasihat dari Jinhyuk, Wooseok perlahan mengangkat wajahnya. Kedua netranya menatap paras Chef yang terkadang selalu membuatnya kesal karena komentar pedasnya yang diucapkan tanpa segan.

Lee Jinhyuk yang dikenalnya ini, sewaktu-waktu terasa seperti orang yang berbeda. Ada sisi-sisi lain Lee Jinhyuk yang hanya sebatas image luar yang diketahui publik, namun ada pula sisi hangat yang tanpa ragu akan hadir, terasa tulus lewat perhatian-perhatian kecilnya.

Seperti halnya malam ini.

Seperti caranya yang memandang Wooseok dengan tatapan yang jelas tersirat sebuah rasa khawatir.

Juga, diantara banyak pilihan yang lainnya, kenapa saat seperti ini Wooseok justru ingin bertemu dengan Jinhyuk?

Kenapa harus Jinhyuk yang pertama dia izinkan untuk bertemu dengan rasa sedih dan kecewanya sekarang?

“Chef..” suara Wooseok tiba-tiba tercekat di tenggorokan dan paras Jinhyuk yang teriluminasi cahaya dari lampu disekitar mereka mulai memburam di pandangannya, ia merasa berat saat akan kembali melanjutkan kata, “Aku boleh nangis... gak sih?” bisiknya parau.

Jinhyuk membatu sesaat ketika mendengar pertanyaan Wooseok, ia hanya perlu maju satu langkah kecil agar Wooseok bisa menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah, “Sini, gak ada yang melarang kamu.” jawabnya.

Tangan kanannya secara perlahan melingkar di punggung Wooseok yang mulai bergetar, menepuk-nepuknya dengan lembut tanpa banyak berbicara, meminjamkan bahunya untuk Wooseok yang saat ini justru merasa bersyukur karena ia seperti mempunyai satu tempat untuk mengadu di sini, disaat ia benar-benar sendirian.

“Mamaku... ngga marah pas aku cerita kalau aku keluar...”

Jinhyuk tersenyum kecil beberapa saat kemudian mendengar cerita Wooseok yang terbata karena masih menangis, ia masih menepuk-nepuk punggungnya seakan mengatakan semuanya akan baik-baik saja, tentang kekecewaannya maupun kesedihnya saat ini.

“Yang ada pasti Mama kamu bangga, anaknya hebat banget bisa masuk MasterChef gara-gara mix vegetables salad with peanut sauce and hard boiled eggs.”

Ucapan Jinhyuk terasa menyebalkan menurut Wooseok karena membuatnya mengingat lagi kejadian waktu itu. Asal tahu saja, ia waktu itu membuat dish lain yang enak menurut Chef Ponyo, makanya ia bisa lolos. Tapi, Jinhyuk selalu menyinggung hanya bagian itu saja seperti meledeknya.

Namun, kali ini bukannya rasa kesal seperti biasanya, Wooseok malah menangis dibuatnya, ia semakin mengubur wajahnya di bahu Jinhyuk dan membuat Jinhyuk sedikit bingung mendapatkan respon seperti itu.

“Iya maaf maaf, Wooseok. Justru audisi kamu yang paling saya ingat. Lihat kan? kamu sudah sejauh ini, ngalahin ribuan orang yang daftar, kamu sudah berkembang banyak dari Wooseok yang waktu itu.”

Wooseok hanya merespon dengan gumaman pelan disela tangisnya.

Sebelum berbicara lagi, Jinhyuk mengambil napas panjang, ia hanya bisa menatap puncak kepala Wooseok yang menguarkan wangi harum dari rambut kecoklatannya yang juga tearasa halus saat menggelitik dagunya.

“Saya tahu kamu pasti merasa kecewa hari ini dan gak ada yang salah tentang itu.”

Iya percuma berbohong, siapa pun yang ada diposisi Wooseok akan merasakan hal yang sama dengannya, dan satu anggukan yang Wooseok berikan cukup bagi Jinhyuk untuk mengusap kepalanya dengan lembut.

“Gak papa, Wooseok. It's okay, asal jangan berlarut-larut.”

“Pertama kali masuk pressure test, tapi aku langsung keluar.... Minggu lalu.. padahal udah dipuji sama Chef Seungwoo...”

Wooseok kembali berbicara dengan suara terbata, jelas ia kecewa pada dirinya sendiri. Hanya selangkah lagi untuk masuk ke Top 10 tapi ia justru harus pulang.

Time management yang pernah disinggung Jinhyuk adalah masalah utamanya tadi, ada satu komponen yang kurang di atas piring yang harus ia bawa ke depan juri karena gagal ia selesaikan.

Satu kesalahan fatal yang berhasil membuatnya berada di urutan paling bawah diantara empat kontestan yang masuk ke pressure test dan sudah jelas itu merupakan hari terakhirnya di galeri.

“Acara ini cuma batu loncatan buat semuanya, Wooseok. Selesai dari sini, itu justru yang harus dipertimbangkan menurut saya. Mau tetap dibidang ini atau kembali ke pekerjaan mereka sebelumnya dan hanya menjadikan pengalaman disini sebagai bagian dari cerita hidup.”

Wooseok mengerti apa yang dibicarakan oleh Jinhyuk, karena ia pun masih belum tahu mau apa setelah ini.

“Kamu sudah belajar banyak, saya tahu. Gak ada yang akan sia-sia untuk apa yang sudah kamu lakukan.”

Mendapatkan usapan lembut di kepalanya, tepukan halus yang menenangkan di punggungnya, serta ucapan yang terus menerus menghiburnya membuat Wooseok merasa lebih baik.

Adalah pilihan yang tepat untuknya bertemu dengan Jinhyuk malam ini, jauh lebih baik daripada yang ia bayangkan.

Perlahan, Wooseok mengangkat kepalanya untuk menjauh dari bahu Jinhyuk. Ia menarik napas panjang agar tangisnya segera berhenti. Tangannya mengusap kedua pipinya yang basah hingga sebuah sapu tangan terulur di depannya.

Dua kali Wooseok menangis di depan Jinhyuk dengan alasan yang berbeda, dulu karena komentar pedasnya yang membuat ia sakit hati, sekarang karena kegagalannya dan secara ajaib justru Jinhyuk juga lah yang menenangkannya.

“Sudah mendingan?”

Jinhyuk bertanya sambil melepasakan cardigan yang sedang digunakanya dan langsung dipasangkan di pundak Wooseok yang hanya menggunakan atasan kaos pendek.

“Pake.” katanya saat Wooseok akan menolak, apalagi ia menatap tidak enak pada Jinhyuk yang sekarang hanya memakai kaos pendek berwarna hitam.

Terasa hangat juga lembut, Wooseok memegang cardigan berwarna khaki yang ada di pundaknya tersebut, bahkan wangi parfum Jinhyuk tercium jelas olehnya sekarang, “Makasih, Chef..” bisiknya. Ia benar-benar tidak tahu lagi harus bilang apa saat sikap baik Jinhyuk yang diberikan kepadanya sebanyak ini.

“Ayo keburu malam nanti.” tangan Jinhyuk kembali berada di punggung Wooseok dan mengajaknya beranjak dari sana.

“Bebas pilih apapun dessert yang kamu mau.” tawarnya kemudian yang berhasil membuat Wooseok menarik kedua sudut bibirnya walaupun tipis.

“Resto nya masih buka, Chef?”

Mereka berjalan menuju mobil Jinhyuk yang ada di parkiran, Jinhyuk tidak langsung menjawab, ia melihat jam yang terpasang di pergelangan tangan kirinya lebih dulu.

“Masih, tapi khusus malam ini sepertinya tutup sedikit telat.” jawab Jinhyuk yang dibalas pertanyaan lagi yang terdengar sedikit tidak yakin, “...apa gara-gara aku?”

Wooseok saat ini menatapnya dengan mata sembab yang penasaran, kasihan sekali dia, tapi malah terlihat lucu karena hidung mungilnya masih memerah.

Sambil mengusak pelan rambutnya, Jinhyuk tanpa ragu mengiyakan.

“Kita makan yang manis-manis sampai mood kamu bagus lagi.”

Dan detik itu, Wooseok tidak tahu kalau Jinhyuk akan bersikap sebegitunya hanya untuk menghibur dirinya yang mungkin terlihat menyedihkan bagi dia.

Bukankah terlalu berlebihan bagi orang yang baru bertemu lagi setelah bertahun-tahun..