I hope I'll meet you in a story some day,
and the ending won't be this sad.
Ia terbang bebas di atas langit yang berwarna jingga, terlihat begitu ringan bagai kapas yang tertiup oleh angin, figurnya tampak indah dengan cahaya yang melewati celah di setiap kepak sayap berwarna putih bersihnya yang senada dengan pakaian yang dikenakannya.
Ia adalah paras akan apa yang selama ini kita bayangkan tentang sebuah wujud bernama malaikat, yaitu Kim Wooseok.
Namun, di wajahnya saat ini hanya menyiratkan sebuah gelisah dan khawatir, mata bulatnya menatap dengan penuh fokus ke arah lalu lalang di bawah pandangannya, ia yang kini melayang di atas sebuah gedung yang berada di persimpangan jalan itu terus menggumamkan satu kalimat yang diulang,
“Jinhyuk dimana, ya?”
Lalu, satu kepakan kuat dari sayap indahnya itu berhasil membuat ia pindah dari sana dengan mudah, untuk mencari apa yang bisa ia cari, untuk mencari apa yang ingin ia temukan saat ini.
Di sana, di atap sebuah gedung rumah sakit ia akhirnya bisa melihat sosok yang sedang berdiri tegap di tepi gedung. Pakaian dan sayap hitam pekatnya terlihat sangat kontras dengan suasana hangat dari sang mentari yang akan kembali ke paraduannya.
“Lee Jinhyuk.”
Panggilnya mendekat, turun dengan perlahan untuk memijak lantai semen berwarna hijau pudar tepat di belakang Jinhyuk.
“Aku mencarimu.”
Beritahunya sambil berjalan agar berdiri di samping Jinhyuk yang sudah berbalik untuk menatapnya dengan senyum tipis, rambutnya yang sedikit panjang melewati telinga terkibas angin dan membuatnya menjadi sedikit berantakan.
Tangan yang daritadi tersimpan rapat di dalam saku celana Jinhyuk akhirnya keluar dan terulur, “Duduk di sini, Wooseok. Bersamaku.” ajaknya tanpa ragu yang disambut senyum senang oleh Wooseok.
Ia menyukainya, tangan yang bertauan dengan Jinhyuk selalu terasa hangat.
Kedua sayap di punggung mereka masing-masing memudar secara perlahan, menghilang seperti ditelan asap yang entah dari mana, ajaib, memang seperti itu.
Terkadang, ada hal-hal di luar nalar yang tidak bisa dijangkau oleh manusia.
Keduanya duduk di tepi gedung dengan kaki terucang, tanpa merasa ngeri sedikitpun karena terbang dan melihat dari ketinggian adalah hal yang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka.
Sayap adalah kehidupan.
Kehidupan kedua yang mereka miliki.
Manusia di bawah sana tampak sangat sibuk, berlalu lalang dengan berbagai raut yang tergambar; duka kehilangan, tangis kebahagian, cemas yang menghantui dan sebuah senyum hangat yang juga tidak bisa ditampik.
Juga, suara sirine ambulan yang terdengar bagai pelengkap mengingat dimana mereka berada sekarang.
Wooseok menoleh ke arah Jinhyuk, ia menatap wajah yang tertimpa sinar mentari hangat itu dengan penasaran, “Tugas hari ini?” tanyanya, “Lancar?”
Yang ditanya mengangguk tanpa membalas tatapan Wooseok, pandangannya justru menatap jauh ke depan untuk menerawang, dia menjeda cukup lama hingga rambutnya kembali tersibak angin membuat Wooseok ingin sekali membenarkannya.
“Seorang Nenek yang menjadi satu-satunya keluarga anak kecil usia sembilan tahun.” jawab Jinhyuk sedikit berbisik.
Kemudian, genggaman jemarinya sedikit mengerat membuat Wooseok menunduk untuk menatap tangan mereka yang masih belum dilepaskan oleh Jinhyuk bahkan saat kini ia sudah duduk di sampingnya.
Selalu seperti ini, sejak awal.
Dia adalah Lee Jinhyuk yang selalu merasa terbebani sewaktu-waktu dengan tugasnya, persetan saat dia harus mencabut nyawa seorang brengsek yang pantas mati menurutnya. Namun, dia akan selalu merasa bersalah saat harus merenggut nyawa yang lemah.
Menyaksikan tangis orang-orang yang ditinggalkan, menimbulkan duka mendalam bagi mereka membuat Jinhyuk kerap kali termenung sesaat di tempatnya.
Dia, telah mengambil bahagia orang lain.
Dia, Lee Jinhyuk yang dikutuk dengan tugas berat ini.
Hari ini, Jinhyuk harus menyaksikan seorang anak sembilan tahun yang meringkuk sambil menangisi jasad Neneknya. Dia menangis dengan suara yang sangat lirih sambil kebingungan saat yang dipanggilnya tidak menjawab, dan tangisnya semakin pilu terasa menyesakan saat seorang suster akhirnya menutup keseluruhan tubuh sang Nenek dengan kain putih.
“Nenekmu sudah meninggal, Nak.”
Suara tangis anak kecil itu adalah suara tangis yang akan selalu Jinhyuk dengar di malam-malam sepinya... suara dari tangisan orang-orang yang kehilangan.
Dan Wooseok yang ada di sampingnya akan tersenyum tipis, mengeratkan genggaman tangan mereka agar Jinhyuk merasa lebih baik.
“They're headed for a better place, it's okay.” katanya selalu seperti itu.
Jinhyuk mengambil napas panjang, selalu berterimakasih kepada Wooseok yang selalu ada di sampingnya, sejak awal. Sejak dia datang ke dunia yang tidak dia mengerti semasa hidup.
“Terimakasih, Wooseok.” ucap Jinhyuk yang kembali mengulum senyum tipis, menatap Wooseok dengan tangan yang kembali mengerat, mau seperti apa dia tanpa sosok di depannya ini.
Hitam dan putih.
Lambang keburukan dan kebaikan.
Keduanya terlalu mencolok untuk duduk bersama. Untuk saling menautkan jari, untuk berbagi senyum, untuk bercerita banyak tentang tugas masing-masing, bahkan untuk saling menatap dengan binar yang memancarkan rasa.
Namun, siapa perduli?
Tidak akan ada yang melihat dan bukan ranah manusia untuk menghardik mereka karena bersama.
Kecuali di mata yang di atas.
“Aku membawa dosa besar, dikutuklah aku menjadi seperti ini. Turun ke bumi dengan sebuah tugas.”
Apa itu after life? atau bagaimana di sana? seperti apa indahnya surga dan semengerikan apa yang disebut neraka?
Entah apa yang Jinhyuk dulu bayangkan saat dia masih hidup dan bahagia di dunia ketika memikirkan pertanyaan tersebut.
Namun, tidak sekalipun Jinhyuk pernah membayangkan kalau dia akan mempunyai sayap hitam legam di belakang punggung lebarnya.
Atau membayangkan kalau dia akan dikutuk karena dosanya.
Dosa besar yang membuatnya tenggelam dalam sebuah sumur penyesalan tanpa dasar.
Tidak sekalipun dia pernah membayangkan kalau dia sekarang adalah seorang malaikat kematian.
Jinhyuk mengingat jelas, dia menangis hebat di tugas pertamanya saat dimana dia mulai merasakan kutukan yang begitu sangat berat dan jahat untuknya.
Dia harus mengambil nyawa seorang anak kecil yang tidak bersalah, anak yang akan selalu dia ingat, anak yang sangat Jinhyuk sayangi bahkan sebelum lahir ke dunia.
Dia adalah adiknya, adik kesayangannya.
Anak yang menatapnya dengan senyum polos lalu berkata dengan suara yang terdengar lugu,
“Kak Jinhyuk jemput aku? Aku nggak sakit lagi sekarang, ya?”
Lalu anak itu bangun dari tempat tidurnya, kaki kecilnya berjalan untuk menghampiri Jinhyuk yang berdiri di sisi ruangan. Dia meninggalkan tubuhnya sendiri yang masih terbaring di atas ranjang dengan berbagai selang yang masih terpasang.
“Tapi kasihan Mama jadi nangis kalau aku tinggal.”
Jinhyuk mengusap pipinya yang basah sejaj dia memasuki ruangan ini, beginikah cara seseorang meninggal? dan itu adalah tugasnya mulai sekarang?
Dia menatap nanar seorang Ibu yang meluruh di lantai sebuah kamar rawat, menangis, meraung sambil mamanggil nama anak bungsunya yang begitu dia sayangi, yang dia rawat sekuat tenaga, yang dia temani di semua saat-saat sulitnya melewati kemoterapi untuk melawan penyakitnya.
Itu adalah Ibu, yang bahkan belum genap satu bulan lalu kehilangan Jinhyuk, anak sulungnya.
Takdirnya sangat kejam, begitu tega hingga Jinhyuk tidak akan pernah tertidur nyenyak setelahnya.
Pada akhirnya, anak kecil itu harus pergi meninggalkan Ibunya yang malang sendirian, dia telah dijemput oleh sang kakak yang kini berjalan menuntunnya dengan erat.
“Jinu sekarang nggak akan sakit lagi. Jagoannya Kakak.”
Selanjutnya, kehidupan kedua Lee Jinhyuk berlangsung seperti itu, tidak terelakan, tidak bisa menolak.
Melihat kematian adalah harga yang harus ia tebus untuk pengampunannya.
“Lalu bertemu aku?” tanyanya.
Adalah Wooseok yang datang menyambutnya pertama kali sejak dia dibawa oleh malaikat kematian kala itu, yang katanya ditugaskan untuk menuntun Jinhyuk menuju gerbang penghakiman.
Kim Wooseok yang selalu membuatnya berpikir, dunia di sini tidak terlalu buruk hanya karena kehadirannya.
“Wooseok, ini terlalu berat..”
Hanya kepada Wooseok lah Jinhyuk akan melepaskan semua beban di pundaknya atas kutukan yang tidak pernah sekalipun dia terbiasa olehnya walaupun sudah berapa ratus nyawa yang dia ambil.
Satu hari di dunia ini, terasa begitu lama untuk dilalui, terasa beratus-ratus kali lebih sulit bagi Jinhyuk.
Wooseok berbeda, dia bukan yang dikutuk, dia adalah yang ditugaskan dengan hormat, dia yang melindungi banyak orang yang kesulitan, bukan seperti dirinya.
Tidak pernah sekalipun Wooseok akan keberatan dengan segala keluh kesahnya, Wooseok dengan pembawaannya yang selalu menenangkan berhasil membuatnya kembali memiliki sedikit harapan di sudut hatinya.
“Apa mungkin reinkarnasi itu ada?”
Suatu hari Jinhyuk bertanya pada Wooseok yang duduk di taman dengan jemari lentiknya yang sedang merangkai bunga, tampak cantik seperti Wooseok.
Sebuah flower crown itu setelah jadi dipakainya di atas kepalanya sendiri dan Jinhyuk tersenyum lembut.
Malaikat yang ada di depannya ini tidak pernah salah sudah menyandang nama tersebut.
“Ada, Jinhyuk..” jawabnya, “Bagus kah?” pertanyaan itu jelas untuk flower crown di atas kepalanya.
“Cantik dan bagus.” Jinhyuk menjawab sambil membenarkan sedikit letaknya yang miring.
“Thank you.”
“Kamu mau, reinkarnasi?”
Jinhyuk kembali melontarkan pertanyaannya dan kali ini Wooseok langsung menjawab dengan pasti, ada sebuah senyum penuh harapan yang tergambar di wajahnya,
“Mau, mau jadi anaknya orangtuaku lagi yang sangat baik, masih banyak hal yang belum pernah aku lakukan dulu.”
“Sedangkan, dosaku tidak terampuni, Wooseok. Terlalu besar, aku akan terjebak selamanya di sini.”
Kepala Wooseok menggeleng pelan, dia menatap ke dalam mata Jinhyuk yang selalu terlihat sendu. Kedua tangannya terangkat untuk menangkup pipi Jinhyuk yang terlihat semakin tirus sejak dulu mereka pertama bertemu.
“Minta ampun, Jinhyuk. Kamu sedang melakukannya. Sepuluh tahu, seratus tahun bahkan seribu tahun, kamu harus meminta dengan tulus.”
“Nyawa-nyawa tidak berdosa yang aku hilangkan akan menahanku disini.” nada suara Jinhyuk selalu tercekat di tenggorokan bila mengingatnya.
“Ada Ibu dari seorang anak yang ditinggalkan, Ayah sang kepala keluarga yang ditunggu keluarganya di rumah sepulang bekerja, anak kecil yang masih suka bermain pasir dengan teman sekolahnya.. anak SMA yang mimpinya begitu tinggi untuk masuk ke Universitas..”
Dan, pundak sang malaikat kematian itu perlahan bergetar saat Wooseok membawa kepalanya untuk bersandar padanya. Wooseok selalu menawarkan sebuah bahu yang sangat dibutuhkan oleh Jinhyuk untuk melepaskan semua sakit melalui tangis yang kerap kali ditahannya.
”...seorang Kakek pencari nafkah dengan dagangan yang ada disana, supir taxi yang berada tepat di depan mobilku.. anak yang baru saja lulus—”
“Jinhyuk, sudah..”
Wooseok memotongnya, ia tidak sanggup mendengar seluruh cerita Jinhyuk yang memang sudah diketahuinya.
Tangannya meremas pundak Jinhyuk dan ikut menangis, ia bisa merasakan betapa beratnya pundak Jinhyuk saat ini.
Menanggung dosa besar yang di maksudnya sebagai penyebab dari sebuah kecelakaan beruntun yang menewaskan banyak nyawa tidak bersalah.
“Iya, lalu aku kembali berdosa. Karena jatuh cinta padamu adalah hal yang dilarang.”
Jinhyuk memang tidak tahu malu, Jinhyuk memang sudah berbuat lancang, Jinhyuk memang egois karena disaat seperti ini pun dia menginginkan Kim Wooseok.
“Masih sempat untuk bermain-main, Lee Jinhyuk?”
Salah seorang yang begitu dihormati akan statusnya “di sana,” bertanya pada Jinhyuk saat dia baru saja meyelesaikan tugasnya untuk mengantarkan seorang nyawa yang diambilnya hari ini menjelang fajar.
Awalnya Jinhyuk tidak paham sama sekali apa maksud pembicaraan orang tua tersebut, dengan janggut panjang dan jubah putihnya yang menyapu lantai, dia menatap lurus tepat pada kedua manik Jinhyuk.
“Kim Wooseok.”
Sebuah nama diucapkannya dengan dalam saat Jinhyuk tidak menangkap maksudnya, dan hati Jinhyuk merasa diremas seketika.
Akhirnya dia paham, kemana arah pertanyaan itu, apa itu yang dimaksudkan dengan kata “bermain-main”.
Dia telah melanggar ketentuan mutlak yang ada di sini.
Itu adalah kenyataan yang baru saja Jinhyuk tahu ketika tidak sengaja mendengar dua malaikat yang lewat di depannya kala itu, mereka yang waktu itu jelas sedang membicarakan salah satu kasus beratus-ratus tahun lalu berhasil menarik perhatian dirinya yang berjalan tepat dibelakang keduanya.
“Serius? dia masih bertugas di the deepest hell?”
“Tidak ada yang tahu, itu rahasia. Namun, intinya kau akan abadi di sini saat melanggar perintah yang di atas.”
“Melanggar dalam hal apa?”
“Jelas saja menjalin hubungan, jatuh cinta, dasar bodoh!”
Lalu, status Lee Jinhyuk detik itu bertambah, dia adalah malaikat kematian yang telah berdosa karena berani-beraninya mencintai Kim Wooseok.
“Jinhyuk?”
Ada Wooseok dengan pakaian putihnya yang seperti biasa, dengan senyum cantiknya yang indah, dengan tatapan teduhnya yang tidak pernah gagal membawa ketenangan bagi Jinhyuk ditengah runyamnya segala dosa bersalah yang dia tanggung.
“Kenapa?”
Jinhyuk menarik napas panjang, mengulas senyum tipis untuk menyambut datangnya Wooseok.
“Tidak, aku hanya... merenung.”
Sorot mata Jinhyuk terasa lebih gelap saat ini, Wooseok menyadarinya dengan sangat jelas, “Apa tugasnya sulit hari ini?”
“Tidak, aku hanya mengambil nyawa seorang pencuri yang ditembak mati polisi.” ceritanya, “Kamu bagaiman?”
Senyum Wooseok terlihat lebih lebar, dia yang kini sudah duduk di depan Jinhyuk mulai memangku dagunya siap bercerita, ada binar bahagia yang bisa Jinhyuk lihat dengan jelas, dia menyukainya.
Semua tentang malaikat di depannya ini, Lee Jinhyuk sangat menyukainya.
“Tadi aku di rumah sakit, di ruangan bayi.” mulainya, “Kelahiran hari ini sangat mengharukan, aku sampai menangis karenanya.” caranya menyampaikan cerita yang selalu antusias membuat Jinhyuk ingin mendengar lebih banyak lagi yang keluar dari bibir mungil Wooseok.
Setiap hari, setiap waktu, hanya suara Wooseok yang paling menenangkan di sini.
“Anaknya kembar, laki-laki dan perempuan.”
“Lalu apanya yang mengharukan?”
Seluruh atensi Jinhyuk sudah beralih saat ini hanya untuk Wooseok yang sekarang menatapnya dengan mata bulat yang berkedip lucu.
“Bayinya?” jawabnya tidak yakin, “Bayinya yang lucu dan kembar, Lee Jinhyuk.”
“Katanya semua bayi itu lucu? kamu pernah bilang waktu itu?”
Bahu Wooseok terangkat pelan, dia membenarkan pertanyaan Jinhyuk, namun, yang kali ini seperti berbeda.
“Mungkin karena Ayahnya? tadi aku lihat tidak pernah berhenti berdoa untuk keselamatan Istri dan anak-anaknya. Setelah ke ruangan bayi, dia menangis bahagia sampai tersedu-sedu dan berterimakasih kepada anak-anaknya karena sudah lahir dengan selamat.”
Pandangan Wooseok sedikit menerawang untuk mengingat lagi kejadian hari ini,
“Hatiku jadi menghangat melihatnya. Sebuah kelahiran selalu membawa cerita dan kehidupan yang baru, sebuah keluarga akhirnya terbentuk, dan itu sangat indah, Jinhyuk.”
Kim Wooseok dan ceritanya adalah hal yang menyenangkan, penuh kebahagian yang terkandung di dalamnya, hal yang berbeda sangat jauh dengan dirinya yang hanya berisi cerita kematian.
Jinhyuk menunduk dengan berbagai pikiran yang berkecamuk, dia mengambil tangan Wooseok dan digenggamnya dengan lembut, tangan ajaib ini lah yang selalu menguatkannya, yang selalu menyalurkan ketenangan di setiap genggamannya.
“Wooseok..” ucapannya pelan, dan Wooseok langsung menatapnya bingung, “Kenapa?”
Senyum tipis Jinhyuk terlihat jauh berkali-kali lebih tampan kala dia mengangkat kembali wajahnya, menatap setiap detail dari paras Wooseok yang ada di depannya, yang akan sangat dia rindukan.
Mengunci pandangannya, Jinhyuk bersitatap dengan mata bulat yang selalu berbinar penuh kehangatan itu.
“Kamu harus terlahir kembali, ya? Mau jadi anaknya orangtuamu lagi, 'kan? Mau melakukan banyak hal yang dulu belum sempat, mimpi kamu itu banyak sekali.”
Hati Wooseok terasa sesak, senyum tipis Jinhyuk seperti bukan untuk hal yang bagus. Bukan pula untuk kata-kata yang akan mambuatnya tersenyum dan merasakan jutaan kupu-kupu yang menari seperti menggelitik di perutnya.
Yang diucapkan selanjutnya adalah yang paling ditakuti oleh Wooseok.
“Aku jatuh cinta padamu, tapi aku tidak mau menahanmu di sini, Wooseok.”
Jinhyuk mengelus punggung tangan Wooseok yang mulai terasa dingin.
Sekarang dosanya bertambah. Dia telah membuat malaikat paling baik yang dia kenal itu menangis.
“Aku tidak akan pernah menahanmu. Biarkan aku di sini sendirian untuk melakukan penebusan dosa.”
“Kamu sudah terlalu lama di sini, Wooseok. Jauh sebelum aku datang. Kebaikan yang kamu lakukan sudah lebih dari cukup untuk membayar kehidupan yang baru.”
Mau jadi apa Jinhyuk tanpa Wooseok? sehari, sepuluh tahu, seratus tahun, atau seribu tahun dia di sini pasti akan terasa semakin menyiksa.
Namun, membawa Wooseok tenggelam dalam sumur penyesalan tanpa dasar miliknya adalah hal yang tidak akan pernah Jinhyuk lakukan.
Dia bersumpah, karena Jinhyuk sangat mencintainya.
“Kita bertemu lagi, ya? kalau pengampunanku sudah selesai, kalau kutukanku sudah patah, kalau semua dosa dari nyawa-nyawa yang aku hilangkan sudah diangkat.”
Sudah tidak ada lagi segan yang dirasa saat melihat Wooseok menangis, Jinhyuk hanya bisa membawa tubuh yang bergetar hebat itu kedalam pelukannya.
Begini, tiba saatnya dia yang menggantikan peran Wooseok yang selalu memberinya bahu kala dia membutuhkan sandaran.
“Nanti kamu akan bertemu Jinhyuk yang baru, yang tidak menyedihkan kerena penuh dosa di pundaknya.”
Jinhyuk berbisik, mengeratkan pelukannya untuk mengecup pelipis Wooseok dengan lembut,
“Percayalah dia masih Jinhyuk yang akan sama mencintaimu seperti saat ini, aku bersumpah, Wooseok.”