if you're happy and you know it, clap your hands

if you're happy and you know it, and you really want to show it

if you're happy and you know it, clap your hands

if you're happy and you know it, stomp your feet ...

Jinu meloncat-loncat di atas sofa ruang tv sambil bernyanyi mengikuti lagu anak-anak yang sudah diputar sejak tadi pagi oleh Wooseok. Nadanya terdengar berantakan dan dia hanya mengikuti kata akhirnya saja yang diucapkan dengan lantang, sedangkan kalimat awalnya hanya digumamkan tidak jelas. Namun, justru hal itu lah yang membuat Wooseok yang berada di dalam kamar tertawa bahagia mendengarnya.

“Papa, clap your hands...”

Dan tawa senang Jinu akan bergema mengisi ruang tv yang tidak begitu besar itu saat mendengar Wooseok bertepuk tangan sesuai perintahnya.

Hari Sabtu-Minggu adalah hari favorit mereka berdua, Jinu libur sekolah dan Wooseok juga libur bekerja. Mereka bisa menghabiskan waktu seharian berdua di rumah, Wooseok akan menemani Jinu yang menyusun lego dan bermain slime atau kalau bosan mereka bisa bersepeda keliling komplek.

Beda lagi kalau Dodo menelpon, anak itu pasti merengek pada Papinya untuk berjalan-jalan ke luar dan mereka akan berakhir dengan bermain bersama di Trampoline Park serta makan siang sambil sibuk memilih mainan dari Happy Meal.

“Jinu sini pakai baju dulu, sayang.” Wooseok terdengar memberitahu dengan suara yang sedikit naik karena volume tv yang cukup kencang.

Jinu tidak mengindahkan ucapan Papanya, dia masih sibuk menyanyi dan mencoba menjentikkan jari mungilnya mengikuti apa yang dilakukan tokoh animasi anak-anak di dalam tv yang lirik lagunya berbunyi if you're happy and you know it, snap your fingers.

Anak itu bersenang-senang sendiri dengan hanya menggunakan sempak bergambar Spiderman. Saat ini jarum jam menunjukan pukul sepuluh pagi dan Jinu baru selesai mandi. Belum sempat memakai baju, anaknya sudah berlarian meninggalkan kamar.

Oh iya, Jinu begitu menyukai tokoh super hero Spiderman. Dari mulai tas sekolah, baju, topi, buku mewarnai, lego dan segala pernak-perniknya hampir semua tentang manusia laba-laba satu ini. Bahkan Seungwoo membelikannya action figure yang sangat disukai Jinu ketika ulang tahunnya kemarin. Sampai saat ini hadiah dari Seungwoo menjadi mainan favoritnya, Dodo pun tidak boleh memegangnya. Jinu bahkan menyimpannya di kamar tidur mereka, tidak di kamar mainannya.

“Papa ada bel bunyi.”

Langkah kecil Jinu berlari ke dalam kamar untuk memberitahu Papanya. Wooseok yang sedang membereskan lemari pakaian langsung berdiri dan berjalan menyusul Jinu yang sudah berlari duluan ke arah pintu, biasanya yang berkunjung di hari libur itu Seungwoo dan Byungchan.

“Jinu malu, lho. Ada Om Chan masa gak pakai baju.”

Jinu hanya terkikik geli mendengar perkataan Papanya, dia malah tertawa senang karena Byungchan selalu memanjakannya dengan berbagai jajanan, belum lagi Seungwoo yang pasti akan membawa mainan kalau berkunjung.

“Jinu mau ketemu Om Chan! Mau jajan es krim!!!” katanya bersemangat sambil meloncat-loncat tidak sabar menunggu Wooseok membuka pintu.

Dengan tawa yang tidak bisa disembunyikan melihat tingkah bersemangat anaknya, Wooseok membuka pintu rumahnya yang terkunci dengan perlahan. Namun, seketika tubuhnya terasa membeku. Tawanya langsung hilang dalam sekejap digantikan dengan bibir yang terkatup rapat membentuk garis lurus.

Alih-alih Byungchan dan Seungwoo yang dilihat Wooseok justru sosok lain.

Lee Jinhyuk yang beberapa tahun ini tidak pernah Wooseok lihat batang hidungnya sekarang sedang berdiri tepat di depan matanya, di rumahnya.

“Wooseok...”

Panggilan Jinhyuk berhasil menarik kembali kesadaran Wooseok yang sempat hilang beberapa saat lalu. Kakinya tanpa sadar mundur perlahan, namun tangan Jinu yang memegang erat ujung kaosnya membuat langkah Wooseok tertahan, dia menunduk cepat untuk menatap putranya itu kemudian menghela napas dalam dengan berbagai hal yang berkecamuk di dalam pikirannya.

Jinu bersembunyi di balik kaki Wooseok saat menatap orang yang berdiri di hadapan mereka, anak itu mengenal betul siapa dia.

Itu om tinggi yang pernah menemuinya dua kali di sekolah, pertama dia mengaku sebagai Ayahnya, yang kedua dia memberinya sebuah mainan yang hingga sekarang bahkan belum Jinu buka karena om tinggi itu tidak kembali lagi ke sekolah dan Jinu tidak bisa mengembalikannya.

“Papa..” cicitnya pelan.

Jinhyuk mengalihkan tatapannya dari Wooseok ketika mendengar sebuah suara yang bercicit pelan dari balik tubuh Wooseok. Dia tersenyum kecil melihat Jinu yang terlihat malu atau takut? anak itu bersembunyi di belakang kaki Wooseok. Jinhyuk kemudian membawa tubuh jangkungnya untuk berjongkok agar sejajar dengan Jinu yang hanya menyembulkan sedikit wajahnya.

Jinhyuk tidak bisa menyembunyikan binar bahagia sekaligus geli di kedua bola matanya saat melihat Jinu yang hanya memakai sempak, tampak segar seperti baru saja mandi.

“Hai.. kita ketemu lagi, jagoan.” sapanya lembut.

Mendengarnya, Wooseok hanya bisa memejamkan mata sambil berpegangan pada pintu. Beruntung tubuhnya tidak sampai limbung kali ini. Ucapan Jinhyuk barusan membuktikan bahwa Jinhyuk benar-benar pernah menemui Jinu sebelumnya dan sekarang dia datang ke rumah mereka.

Wooseok berusaha mengatur napasnya yang memburu agar kembali tenang.

“Kak Jinhyuk tahu darimana rumah aku?”

Wooseok berusaha susah payah agar suaranya tidak bergetar, dia juga masih tahu sopan santun untuk memanggil Jinhyuk dengan embel-embel Kakak karena usia Jinhyuk memang berbeda tiga tahun dengannya.

Oh, harusnya Wooseok tidak usah kaget saat Jinhyuk tiba-tiba datang seperti ini. Jinhyuk bahkan sudah mengetahui sekolah Jinu sejak sebulan lalu, bukan hal yang tidak mungkin bagi Jinhyuk untuk mengetahui rumahnya juga.

Jinhyuk menghela napas mendengar nada tajam yang dilontarkan oleh Wooseok kepadanya, dia mendongak untuk membalas Wooseok yang menatapnya tidak bersahabat, “Aku nyari sendiri, Wooseok.” jawabnya.

Pandangannya kembali pada sosok kecil yang masih tidak mengerti dengan obrolan diantara kedua orang dewasa ini. Tangan Jinu masih memegang ujung kaos Wooseok dan memeluk kakinya.

“Jinwoo... ini. Ayah bawa hadiah buat Jinwoo.”

Jinhyuk memegang paper bag cukup besar dan menunjukannya pada Jinu. Belum ada satu menit Jinhyuk tidak bisa menyembunyikan raut kecewanya karena Jinu hanya menatapnya diam sambil tetap bersembunyi di balik kaki Wooseok.

Anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya, “Gak boleh kata Papa. Jangan sembarangan nerima dari orang asing.” cicitnya kemudian yang membuat Jinhyuk mengulas senyum, “Ini dari Ayah buat Jinwoo. Jadi, Jinwoo gak usah takut, ya.”

“Tapi om tinggi bukan Ayah Jinu.”

Jinhyuk seperti ditampar mendengar perkataan yang baru saja keluar dari bibir mungil anaknya. Dia terdiam sebentar sebelum pandangannya menatap Wooseok menuntut penjelasan, bagaimana bisa Jinu berbicara seperti itu kepadanya, “Wooseok?” panggilnya.

Wooseok lagi-lagi memejamkan matanya, jauh di dalam hatinya dia ingin bersikap egois, sekali saja. Wooseok tidak ingin berbagi Jinu dengan Jinhyuk. Mereka sudah terbiasa saling memiliki satu sama lain, hanya berdua.

Beruntung Wooseok masih bisa berpikir jernih untuk mengesampingkan ego nya saat ini.

Jinu berhak tahu siapa Ayahnya.

Wooseok tidak bisa membohonginya saat ini, Wooseok tidak bisa membuatnya semakin sedih karena tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah selama hidupnya.

Wooseok tidak bisa melihat Jinu yang terkadang dia tahu, anaknya merasa iri dengan Dodo yang selalu dimanjakan oleh Papinya.

Wooseok tidak bisa terus-terusan membuat Jinu menunggu Ayahnya yang dia kira sedang bekerja di tempat yang jauh.

Jinhyuk bisa melihat perubahan raut wajah Wooseok ketika menatapnya dan saat menatap Jinu. Raut wajahnya melembut, berbeda sangat jauh.

Dengan sedikit berat hati Wooseok perlahan ikut menurunkan tubuhnya dan mensejajarkan tingginya dengan Jinu, tangannya bergetar saat memegang pipi tembam Jinu, dia mengulas senyum paling hangat yang pernah Jinhyuk lihat dari seorang Kim Wooseok.

“Jinu, sayang... salim dulu sama Ayah, ya.”

Suaranya tercekat di tenggorokan, Wooseok masih tidak percaya akhirnya dia mengucapkan kalimat itu.

Menyuruh Jinu untuk menyalami Ayahnya.

Mendengar permintaan Papanya, Jinu menatap ragu pada Jinhyuk yang masih memandanginya. Dengan dituntun oleh Wooseok kaki mungilnya melangkah pelan ke depan pintu dan berdiri tepat di hadapan Jinhyuk.

“Salim nak... sama Ayah Jinhyuk.” bisik Wooseok lirih sambil mengusap punggung telanjangnya.

Jinu anak baik, dia menurut pada Papanya. Tangannya terulur untuk memegang telapak tangan Jinhyuk dan dia kemudian mencium punggung tangan Ayahnya itu untuk salim.

Detik itu, Jinhyuk merasakan perasaan asing yang membuat hatinya penuh sesak saat tangan mungil Jinu menggenggam tangannya, menciumnya khas anak kecil yang dibuat berbunyi.

“Om tinggi beneran Ayah Jinu?” tanyanya dengan memasang wajah menelisik, khas Wooseok sekali.

Jinhyuk hanya mengangguk, walaupun panggilan Jinu kepadanya sedikit membuat dia bingung, om tinggi?

Tangan Jinhyuk tiba-tiba merasa segan saat akan memegang pipi tembam Jinu dan mengusap puncak kepalanya, “Ayah boleh peluk Jinwoo?” tanyanya kemudian dengan penuh harap.

Sebelum menjawab, Jinu menoleh ke arah Wooseok seakan meminta izin dari Papanya. Wooseok hanya mengangguk kecil dan Jinu kembali mencicit, “Kata Papa boleh, om.”

Wooseok bisa melihat bahu Jinhyuk yang perlahan mulai bergetar saat memeluk Jinu. Tubuh mungil Jinu berada sepenuhnya di dalam rengkuhan lengan Jinhyuk.

Itu merupakan pemandangan yang benar-benar asing sekaligus haru yang pernah Wooseok lihat.

Jinu berada di pelukan hangat Ayahnya.

Jinu tidak protes saat Jinhyuk memeluknya erat, tangan mungilnya hanya terdiam di kedua sisi tubuhnya tanpa membalas memeluk. Namun, Jinhyuk tidak mempermasalahkannya. Dengan Jinu mau dipeluk oleh nya saja dia sangat bersyukur, teramat bersyukur.

“Ayah kangen banget sama Jinwoo.” bisik Jinhyuk berkali-kali sambil menciumi kepala Jinu, “Ayah kangen anak Ayah..”

Wooseok tidak tahan, dia terduduk meluruh di atas lantai sambil punggungnya bersandar di daun pintu. Ketiganya tidak repot-repot berpindah untuk masuk ke dalam terlebih dahulu.

Wooseok terisak pelan sambil menggigit bibir bawahnya, hatinya merasa sesak mendengar setiap kata rindu yang diucapkan oleh Jinhyuk untuk Jinu dan ada sedikit lega yang terselip.

“Om sudah gak kerja? Kata Papa, Ayah Jinu kerjanya jauh, jadi gak bisa pulang.”

Mendengar pertanyaan yang begitu polos dari anaknya membuat Jinhyuk semakin memeluk erat tubuh mungil Jinu, kali ini dia mengucap maaf berkali-kali.

“Ayah minta maaf, Ayah minta maaf sama Jinwoo.. Ayah minta maaf gak pernah pulang buat ketemu Jinwoo.”

Tangan Jinhyuk mengusap pipinya yang sudah basah, dia mencoba tersenyum untuk memandang anak semata wayangnya, memegang kedua bahu mungilnya, menatap setiap inchi dari parasnya yang hampir semuanya sangat mirip dengan Wooseok, hanya alis tebal dan garis hidungnya yang Jinhyuk akui sangat mirip dengannya.

“Jinwoo sudah besar, sayang..” gumamnya sambil mengelus kedua pipi Jinu, “Maaf, Ayah minta maaf sama Jinwoo, ya. Ayah janji, Ayah gak akan pergi jauh lagi.” ujarnya.

Jinu hanya mengangguk polos mendengar permintaan maaf Ayahnya, dia kemudian menoleh ke arah Papanya dan langsung melepaskan diri dari Jinhyuk.

Anak polos itu bertanya panik saat melihat Papanya yang sedang menangis, “Papa kenapa nangis?” tangan mungilnya langsung melingkar di leher Wooseok dan tidak lama dia ikut menangis.

“Papa.. jangan nangis hiks...” katanya susah payah sambil terisak di bahu Wooseok.

Jinhyuk merasakan matanya yang kembali memanas melihat perlakuan Jinu kepada Wooseok, Jinhyuk tahu ikatan batin keduanya yang sudah begitu kuat. Dia bahkan tidak berani mendekat karena masih ada benteng tinggi yang membatasi dirinya dengan Wooseok.

Wooseok yang terduduk dengan Jinu di pangkuannya mencoba berdiri dengan berpegangan pada pintu. Dia dengan cepat menenangkan dirinya dan menepuk-nepuk punggung Jinu sambil terus mengulang kata yang sama, “Papa gapapa. Jinu jangan nangis. Papa gak nangis.”

Namun, tangis Jinu malah semakin kencang sambil memeluk erat lehernya, bahkan hingga sesegukan.

“Sudah ya, sayang. Jinu anak baik gak boleh nangis.”

Wooseok berjalan memasuki rumah karena takut suara tangis Jinu menganggu tetangganya.

Sedangkan Lee Jinhyuk meragu saat dirinya sudah berdiri, dia masih terdiam di depan pintu, haruskah dia ikut masuk?

Seakan baru ingat, Wooseok menoleh dan menatap Jinhyuk yang masih di tempatnya, “...kalau Kak Jinhyuk mau masuk, tolong tutup pintunya, suara Jinu kedengeran ke luar.” ucapan Wooseok membuat Jinhyuk lekas membawa paper bag nya dan membuka sepatunya, dia melangkahkan kaki memasuki rumah sederhana ini serta menutup pintunya.

Jinhyuk berjalan canggung melihat keseluruh isi rumah, netranya langsung bisa melihat beberapa bingkai foto yang terpasang di dinding maupun di dalam lemari kaca yang membatasi ruang tamu dan ruang tv.

Foto dari mulai Jinu masih bayi yang tertidur di atas stroller, ketika Jinu tengkurap dengan kepala yang botak dan hanya memakai pempers, ketika Jinu belajar berjalan dan ada Wooseok yang menuntunnya dari belakang.

Ada pula foto ketika di kebun binatang disana Jinu berpelukan sambil tertawa dengan anak yang waktu itu Jinhyuk lihat, anaknya Seungyoun. Foto Jinu dengan kedua om nya, Seungwoo dan Byungchan. Serta masih banyak lagi, Wooseok banyak mengabadikan moment-moment kebersamaanya dengan Jinu.

Dan yang membuat Jinhyuk semakin nelangsa saat dia melihat foto kelulusan Jinu dari TK. Jinu memakai toga dan hiasan kumis yang tampak lucu dengan Wooseok yang memeluknya dari belakang. Mereka tersenyum lebar begitu bahagia, dibawahnya tertulis jelas nama lengkap Jinu beserta kelasnya.

Jinhyuk mengusap kembali sudut matanya yang terasa hangat, melihat ini semua begitu menyesakkan, seakan palu besar benar-benar menghantam ulu hatinya dengan keras.

Sudah selama ini Jinhyuk begitu jauh dengan anaknya.. atau bahkan mungkin tidak pernah dekat sedari awal. Jinhyuk hanya bisa tertawa miris di dalam hatinya.

Suara Jinu yang masih menangis kembali membuat Jinhyuk mengalihkan tatapannya. Wooseok masih berusaha menenangkan Jinu. Mendengar suara tangisan Jinu membuat Jinhyuk menengadah untuk menghalau air matanya sendiri.

“Sayang... sudah, ya. Papa gak nangis. Jinu jangan nangis, nanti Papa sedih.”

Wooseok mengelus-ngelus punggung telanjang Jinu dengan penuh kesabaran. Jinhyuk bisa melihat Wooseok yang mencoba tegar untuk dirinya sendiri agar Jinu tidak melihatnya saat menangis.

“Pakai baju dulu, ya? Nanti Jinu masuk angin kalau sambil nangis begini.” Jinu tidak menjawab, anak itu hanya sesegukan di bahu Wooseok, “Malu dilihat Ayah. Masa Jinu nangis pas ada Ayah.” Wooseok masih mencoba menenangkan anaknya.

“Jinu sama Ayah dulu sebentar ya, sayang? Papa mau ambil baju sama kayu putih.”

Wooseok perlahan berjalan menghampiri Jinhyuk yang masih berdiri kaku di depan beberapa bingkai foto.

Jinhyuk memang seorang Ayah, statusnya saja. Fakta yang lagi-lagi menamparnya karena kenyataannya dia tidak pernah mengurus Jinu dan dia tidak tahu harus berbuat apa saat ini.

Wooseok memandangnya dengan tatapan putus asa sambil terus menenangkan Jinu. Dia menarik sudut bibirnya mengulas senyum sumbang saat melihat Jinhyuk yang hanya terdiam.

“Sama Ayah, mau? Jinu kan belum pernah digendong sama Ayah, iya?”

Jinhyuk tahu Wooseok bukan sedang menyindirnya. Miris, tapi itu memang sebuah kenyataan.

Jinhyuk meletakan begitu saja paper bag nya di lantai. Tangannya walaupun ragu dengan perlahan terulur untuk mengambil alih Jinu yang memeluk leher Wooseok sambil terisak.

“Jinwoo.. sama Ayah dulu, ya? Biar papa bisa ngambil baju dulu.” Jinhyuk berucap lembut membujuk anaknya.

Dengan sedikit usaha, Wooseok berhasil memindahkan Jinu ke pelukan Jinhyuk. Tangan mungil itu perlahan memeluk leher Jinhyuk dengan erat dan tangisnya entah mengapa semakin kencang di bahu Ayahnya.

“Jinwoo gak boleh nangis, nanti main sama Ayah, ya?”

Jinhyuk mengusap-ngusap lembut punggung serta kepala Jinu seperti apa yang dilakukan oleh Wooseok tadi. Dia juga membisikkan kata-kata menenangkan berulangkali.

“Sekarang ada Ayah.. Jinwoo jangan nangis lagi.”

“Jagoan gak boleh nangis.”

“Ayah bawa mainan buat Jinwoo.”

Jinu kalau sedang rewel memang begini dan sudah lama dia tidak menangis lama seperti ini.

Namun, saat melihat Jinu berada di pelukan Ayahnya, Wooseok tahu Jinu bukan menangis tanpa alasan karena Wooseok bisa melihat jelas Jinu yang memeluk erat Jinhyuk serta bibir mungilnya yang bergetar terus menggumamkan kata Ayah dengan sangat lirih.

Jinu yang malang, untuk pertama kalinya anak baik itu menangis dipelukan Ayahnya.

Wooseok berjalan ke dalam kamar sambil mengusap pipinya yang tanpa sadar sudah basah oleh air matanya lagi. Dadanya begitu sesak melihat Jinu yang merindukan Ayah yang bahkan baru pertama kali dikenalnya itu.

“Aku ngambil baju Jinu dulu.”

Wooseok berkata sambil lalu kepada Jinhyuk yang menatap punggungnya dengan pandangan yang sulit diartikan namun sarat akan rasa bersalah.