ilhaxaesol-au
Suasana sekolah di hampir pukul enam sore ini tergolong ramai karena terlihat anak-anak ekskul yang dengan santainya masih berkeliaran belum pulang.
Pertandingan basket pun baru selesai sekitar lima belas menit lalu.
Ada wajah cerah yang sekarang ditampilkan Ilha saat ia berjalan keluar gedung olahraga bersama kedua temannya. Lengkap dengan tas dan setelan sweater hitam, tubuh jangkung itu melangkah sambil sesekali mengobrol hingga akhirnya terhenti begitu mereka tiba di parkiran.
“Cewek lu tuh udah nungguin.”
Salah satu celetukan temannya membuat Ilha melihat ke arah yang ditunjuk, sedikit tergelitik ia tertawa kecil mendengar hal tersebut. Memang teman-teman satu timnya sudah mengenali wajah Aesol karena sudah beberapa kali pula Aesol datang menunggunya latihan.
“Cewek siapa. Masih belum, anjir!” balas Ilha sambil menyikut pelan perut temannya itu yang langsung merintih lebay.
Tapi, kapan ya beneran kejadian.
“Lama sih lu keburu diambil yang lain kata gue. HTS mulu.” sahutnya terdengar jelas oleh Ilha sebelum ia melangkah pergi. “Udahlah. Gua duluan!” ucapnya tanpa memberi tanggapan lain sambil berlari kecil meninggalkan kedua temannya yang saling mendengus.
Bagi mereka adalah hal baru selama menjadi anggota basket melihat Kwon Ilha ditunggui oleh cewek. Maka sudah bisa dipastikan hasil dari tebak-tebakan semua kalau Aesol itu bukan sekedar teman sekelasnya didukung oleh segala tingkah Ilha yang menurut mereka amat sangat mencurigakan. Dia itu kalau ada Aesol di pinggir lapangan udah kayak disamperin pacar habis ldr dua tahun, tiap menit diliatin terus takut hilang sampai semua anggotanya sudah hapal dan hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Mana ada temen kayak gitu.
Dari sana langkah kaki lebar Ilha berbelok cepat menuju bangku yang tidak jauh dari parkiran, tepat di taman kecil yang menghadap ke arah kolam ikan di depan ruang osis. Di area ruang hijau sekolah yang biasanya digunakan untuk nongkrong anak-anak saat jam istirahat.
Ada Aesol di sana.
Mau beli ice cream, katanya. Janji sederhana yang dibuat oleh gadis itu untuknya kalau ia selesai bertanding hari ini.
“Aesol...”
Yang dipanggil sedang menunduk memainkan ponselnya kemudian mendongak dan Ilha dengan jelas bisa melihat perlahan kedua sudut bibir mungil itu melengkung dengan cepat.
“Selamat ya Ilha udah menang!”
Ucapan pertama untuknya dengan senyum tipis lengkap dengan tepuk tangan kecil membuat Aesol berkali-kali lipat lebih lucu di mata Ilha.
Ilha yang berdiri menjulang di depannya tergelak, tidak bisa menahan rasa gemas melihat tingkah Aesol yang seperti ini.
Sekuat tenaga menjaga tangannya agar tidak kurang ajar untuk mengusak rambut Aesol walaupun sudah gatal atau mungkin kalau bisa mau cubit pipinya sekalian. Ngelunjak.
Tapi, nanti kali ada saatnya kalau hubungan mereka sudah lebih jauh dan jelas, untuk sekarang lebih baik Ilha sadar diri dulu.
Oleh karena itu ia memilih buru-buru untuk duduk saja di samping Aesol, bangku taman itu tampak kecil saat sudah diisi oleh dua orang dan Aesol segera memberi ruang untuknya dengan bergeser.
“Makasih Aesol, maaf ya lama gua beres-beres dulu.”
Aesol mengangguk kecil, lagipula tadi dia menunggu bersama Nara di sini sebelum akhirnya pulang dengan Kimchi. “Iya gapapa kok.” tangannya lalu mengambil satu kaleng soda yang masih dingin di dalam tas, diberikannya ke Ilha yang sibuk menaikan alis tebalnya, apaan nih.
“Buat kamu.”
Meski bingung Ilha tetap menerimanya, “Gapapa kita di sini aja, kamu pasti capek. Istirahat dulu, Ilha.” jelas Aesol seperti tahu kebingungan di wajah teman kelasnya itu.
Seperti orang bodoh, Ilha menatap minuman kaleng yang kini ada di tangannya sambil tersenyum lebar. Kontrol muka lo, kalau Heerak atau yang lain lihat pasti ia sudah habis dikata-katain, pikirnya.
“Kok malah diliatin doang?”
“Lo nggak mau?” Ilha justru balik bertanya membuat Aesol menggelengkan kepala lalu sambil mengangkat bahu dan terkekeh pelan ia menjawab, “Nggak, kamu aja. Orang aku bawa buat kamu kok.”
Oh sengaja. Dibawain. Tolong dicatet.
Nggak pernah tuh sekalipun Ilha bakal kepikiran yang seperti ini kejadian lagi. Dulu juga pernah kejadian persis waktu ia dikasih susu pisang oleh Aesol yang menunggunya selesai latihan dengan sabar tanpa protes sedikit pun.
“Oke.. makasih ya.” ucapnya kemudian membuka dan meminumnya dengan senang hati.
Doakan saja semoga ia masih waras sampai pulang. Walaupun dari detik ini rasanya kedua sudut bibir Ilha tidak bisa lurus lagi. Bawaanya ingin senyum terus. Perutnya geli.
“Capek banget ya hari ini, Ilha?”
Satu yang baru-baru ini disadari oleh Ilha adalah cara Aesol bicara, dia selalu memberikan fokus penuh pada lawannya. Seperti sekarang tubuhnya sedikit menyamping padanya dan Ilha dipaksa terbiasa dengan tatapan Aesol yang kini berpusat untuknya.
Melihat bagaimana cara Aesol menatapnya, menunggu dengan penuh pengertian jawaban atas pertanyaannya barusan rupanya membuat jantung Ilha harus rela bekerja lebih ekstra.
“Banget...” balas Ilha sedikit menggantung, ia menyandarkan punggungnya pada kursi dan terlihat lebih santai sambil membalas tatapan Aesol sebisanya, “Namanya juga pemain inti. Hampir full empat kuarter tadi main.”
“Iya pasti sih... aku kan juga lihat pas kamu udah main kuarter kedua.”
Aesol mengangguk paham mendengarnya, dengan pertandingan yang habis-habisan seperti tadi karena point yang beda tipis mereka saling mempertahankan angka, sudah pasti para pemain di lapangan capek banget.
Sebagai penonton yang duduk di tribun saja mereka bisa tahu bagaimana kedua tim bermain secara maksimal. Kalau kata Jangsoo tadi kedua tim memang punya jam terbang yang tidak diragukan lagi, sama-sama langganan ikut kejuaraan.
Tidak bisa dipungkiri oleh Aesol, ia bisa melihat gurat lelah di wajah Ilha walaupun sudah terlihat lebih segar karena rambutnya sedikit basah. Kayaknya habis mandi dulu.
“Nanti aja perginya atau nggak jadi ya? Besok lagi, Ilha.” Aesol kembali bersuara dan ikut menyandarkan punggungnya pada kursi. Kasian takut pemuda di sampingnya ini benar-benar sedang lelah.
Gerakan tiba-tibanya itu membuat Ilha berdehem langsung melirik ke samping saat bahu mereka sekarang saling menempel karena terlalu dekat.
“Apaan gak bisa gitu! Harus jadi. Gak masalah capek juga karena gua seneng.” balasnya cepat dan ngotot, ini kan yang ia tunggu-tunggu. Enak aja main dibatalin. Hal itu membuat Aesol kembali menatapnya dengan tawa pelan, “Iya iya biasa aja dong.”
Ilha terkekeh mendengar ucapan Aesol, keliatan banget ngebetnya tapi ia tidak perduli. Netranya tanpa sadar bergeser untuk melirik lagi wajah Aesol dari samping yang kini sedang memandang lurus ke depan dengan tangan yang terlipat di dadanya.
Tanpa ada obrolan lagi, Aesol tampak anteng menatap entah apa yang ada di depannya dan Ilha sendiri justru ikut diam sambil menatap gadis di sampingnya.
Terbalik dengan suasana hening diantara mereka, di kepala Ilha saat ini justru sedang berisik sekali gara-gara teringat pesan di grup kelas.
Kedekatan mereka sudah bukan hal aneh lagi karena satu kelas sudah tahu. Ilha pikir, bagaimana mungkin Aesol tidak menyadarinya saat yang lain jelas-jelas bisa melihat apa yang terjadi diantara mereka berdua.
Lo, tau nggak sih sebenernya perasaan gua, Aesol?
Ada hela napas berat yang keluar dari bibir Ilha kala ia mengingat lagi apa yang dilihatnya tadi. Ia sempat melihat Aesol dan Jongwon begitu pertandingan berakhir, melihat bagaimana tangan Jongwon dengan ringan merangkul pundak Aesol di depan banyak orang dan Aesol yang tidak terlihat keberatan sama sekali untuk membalasnya sambil tersenyum lebar.
Di ujung lapangan Ilha hanya menatapnya dan menyadari kalau ia mungkin masih jauh untuk bisa disebut dekat dengan Aesol.
Teringat obrolan semalam tentang Aesol yang ingin tahu tentang dirinya membuat Ilha sedikit menumbuhkan harapannya, mungkin ada kemajuan tentang hubungan mereka. Walapun faktanya ia tidak mau terburu-buru mengambil kesimpulan.
Jujur saja, Ilha masih merasa kalau Aesol hanya menganggapnya teman kelas biasa. Friendzone, benar kata Mas nya tadi di grup.
Ilha kembali meneguk minumnya dengan perasaan gondok. Gini amat jadi gua, batinnya.
“Tapi kamu keren banget tadi.”
Bangsat. Gak pake aba-aba dulu tiba-tiba ngomong.
Kwon Ilha dan agenda kebodohannya di depan Aesol rupanya terus berlanjut.
Kali ini ia tersedak sampai batuk. Soda yang diminumnya terasa membakar tenggrokan. Sialan! kenapa harus sekarang.
Rasanya Ilha mau kabur saat Aesol ikut menepuk-nepuk punggunya sedikit kencang. “Kamu kenapa sih, Ilha? Gapapa?” ada nada panik yang terdengar membuat Ilha mengangkat tangannya sambil meringis, “Gak apa-apa, udah Sol, udah.” ia menjawab masih terbatuk pelan.
Kemudian yang bisa dilakukan Ilha hanya tertawa malu sambil mengurut keningnya dengan tangan kiri yang tidak sedang memegang kaleng minumnya.
Malu banget anjing, batinnya sibuk mencak-mencak.
“Maaf ya, Sol. Lagi bego.” ujarnya masih sambil menyisakan tawa kecil. Dan tentu saja Aesol yang masih menatapnya malah terheran, “Aneh banget lagian. Ada-ada aja.” balasnya tidak habis pikir, tangan yang masih di punggung Ilha itu kini ditepuk-tepuk pelan cukup lama sebelum ditarik kembali saat Ilha terlihat sudah lebih baik, namun wajahnya masih memerah.
“Hati-hati makanya, Ilha.” wejangan Aesol itu hanya dibalas cengiran demi menutupi urat malunya.
Ilha berdehem setelah ia merasa baik-baik saja dan mereka kembali menyandar pada kursi, saling diam sibuk dengan pikiran masing-masing.
Selang berapa menit Aesol berbalik melirik Ilha saat pemuda itu kembali bicara, “Tim gua yang keren, makanya tadi bisa menang.” oh, rupanya ia menyambung dengan obrolan Aesol tadi, dan Aesol bisa melihat ada binar senang di kedua netra Ilha.
Tanpa dijelaskan pun Aesol tahu sosok di sampingnya ini sepertinya benar-benar menyukai basket. Hal itu membuat Aesol tanpa sadar tersenyum tipis. Satu fakta kecil yang dia tahu tentang Kwon Ilha bertambah.
“Iya tau, tapi kamu nya juga kan tadi bagus banget.” gumam Aesol pelan tanpa sungkan memuji Ilha yang terlihat salah tingkah melihat senyumnya yang manis, yang lembut, yang tulus, yang membuat Ilha ketar-ketir.
Bohong kalau saat ini Ilha bilang detak jantungya biasa-biasa saja. Bohong besar. Aesol dan word of affirmation-nya selalu menyisakan dampak nyata.
Bahkan dari sebelum ini jantungnya sudah tidak karu-karuan.
Entah sejak ia tadi berlari keluar lapangan dan menemui Aesol sebelum bertanding demi mendapatkan dukungan langsung. Atau sejak ia melihat Aesol datang di kuarter kedua dan duduk di tribun samping Jangsoo sambil melambaikan tangannya penuh semangat padanya. Atau mungkin saat ia tidak sabar ingin keluar gedung olahraga karena tau Aesol sudah menunggunya di sini.
Lupakan sebentar tentang hal yang membuatnya resah, gampang nanti lagi dipikirin. Saat ini Ilha cuma mau menghabiskan waktu dengan Aesol.
“Mau pergi sekarang aja?”
Bahaya kalau mereka masih di sini, Ilha benar-benar dibuat mati kutu oleh kata-kata ajaib Aesol. Harga dirinya akan benar-benar hilang kalau Aesol bicara lagi. Bisa-bisa ia meleleh di tempat.
“Boleh, Ilha.”
Keduanya lalu berjalan pelan menuju parkiran yang terlihat jelas setelah mereka berdiri.
Lalu tanpa disangka ada beberapa adik kelas perempuan menyapa Ilha untuk mengucapkan selamat membuat Aesol yang berjalan di sampingnya menyikut lengannya sambil menahan tawa.
“Keren banget Kak Ilha ternyata banyak fansnya ya.” kata Aesol sambil mengerling padanya dengan tatapan jahil membuat Ilha mendengus pelan dan memutar matanya mendegar Aesol menekan kata Kak di kalimatnya. Sengaja banget.
Kali ini tanpa bisa dicegah tangan Ilha bergerak untuk mengusak puncak kepala Aesol gemas dan gregetan. “Ngomong apa sih, udah gak usah lebay. Ayo buruan.” ujarnya sambil berjalan duluan.
“Gak lebay... emang tadi pas aku nonton di tribun juga banyak kok yang ngomongin kamu, si nomor 24 katanya.” balas Aesol kekeh yang sekarang mengekori langkah di belakangnya.
“Iya iya terserah deh..” Ilha terlihat tidak terlalu menggubris ucapannya membuat Aesol yang menatap punggung pemuda tersebut hanya bisa tertawa pelan.
Ketika sudah sampai di depan motor, diambilnya satu helm tambahan yang sengaja Ilha bawa di bawah jok. Lalu tubuhnya berbalik kembali pada Aesol yang masih berdiri menatapnya sambil menengadahkan tangan menunggu helm itu diberikan padanya.
Telat banget Ilha baru sadar kalau Aesol masih menggunakan seragam sekolah mereka, kemeja putih lengan pendek.
“Pake jaket dulu, kamu bawa jaket gak?”
“Enggak. Aku lupa.”
Dihadapkan dengan senyum kecil Aesol sambil meringis malu, Ilha tidak bisa berbuat banyak selain menghela napas dan menggelengkan kepalanya.
“Kebiasaan.” ucapnya, mau heran tapi ini Aesol, padahal dari kemarin sudah dibilangin kalau mereka akan pulang bareng. Yang ngajakin juga kan Aesol.
Helm itu diberikan pada Aesol saat ia sibuk membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah jaket berwarna hitam, “Pake ini aja dulu. Baru dicuci kok. Gak apa-apa kegedean juga daripada kamu sakit, masuk angin nanti.”
Tanpa banyak protes Aesol menerima jaket dari Ilha dan memakainya yang memang sangat kebesaran. Oke ini bukan jaket pertama Ilha yang dipakai olehnya tapi yang satu ini ukurannya benar-benar besar hingga setengah paha dan bagian tangannya yang tenggelam.
Diperhatikannya Aesol yang selesai memakai jaket miliknya membuat Ilha tidak bisa menahan tawa, nggak bisa ini terlalu lucu.
“Kok malah kayak anak ayam. Sampai kelelep gini. Kalau aja warnanya kuning lebih lucu dan mirip.”
Akhirnya terdengar tawa renyah Ilha di parkiran membuat beberapa pasang mata yang kebetulan ada di situ melirik ke arah mereka.
Aesol menepuk-nepuk lengan pemuda itu malu sambil melirik sekitar mereka, menyuruh Ilha untuk diam, tapi yang disuruh tampak tidak perduli, “Yaelah biarin aja, nggak ada yang larang.” katanya cuek sambil masih tertawa dan memegang lengan Aesol, melipat-lipat jaket bagian tangan yang kebesaran itu dengan telaten agar rapi.
Setelah selesai, Ilha tampak puas dengan hasil karyanya dan melirik Aesol yang ternyata sedang menatapnya, “Makasih Ilha, baik banget.” ujarnya membuat Ilha tidak bisa menahan senyum lebar.
Kenyang banget dipuji terus hari ini.
Tidak sampai di situ, Ilha justru sedikit menundukkan kepalanya untuk memasangkan pengait helm di bawah dagu Aesol.
“Ini dipasang yang betul dong, Aesol.”
“Emang belum, Ilha.”
Ilha hanya bergumam sambil melirik Aesol yang refleks mengangkat dagunya. Dengan jarak sedekat ini ia bisa melihat sejelas mungkin paras Aesol. Bagaimana bulu matanya yang tidak terlalu panjang namun lentik, bagaimana hidung mungilnya, bagaimana bibirnya yang tipis, bagaimana matanya yang mengerjap pelan membalas tatapannya.
Oke, cukup.
Ditegakkan lagi badannya sebelum Ilha kembali hilang kontrol. Gak kuat cakep banget anjing cewek di depannya ini.
Apalagi tatapan Aesol yang menurutnya terlalu dalam, lengkap dengan senyum lembut yang ditampilkan tanpa rasa bersalah. Gak mikir apa gimana perasaan Ilha saat ini. Mending kalau bisa tanggung jawab.
“Gak usah liatin gua kayak gitu dah. Nanti gua kepedean.” gerutunya sedikit merajuk.
“Kepedean kenapa?”
Untung aja itu Aesol, kalau bukan pasti udah Ilha getok kepala helmnya. Pake nanya lagi.
Takut gua mikir kalau lo mulai punya perasaan yang sama.
Ingin rasanya bilang seperti itu tapi nyatanya Ilha memilih menelan kembali kalimatnya. Masih belum berani membahas hal tersebut lagi-lagi karena ia belum merasa yakin kalau kedekatan mereka ada di tingkat mana. Sudah pas kah buat bicara ke arah sana? ia saja nggak tahu dianggap apa dirinya sama Aesol.
“Udah ayo naik.”
Walaupun sambil mendengus kecil karena tidak mendapatkan jawaban, Aesol tetap naik ke atas motornya.
“Pegangan.”
Dari kaca spion Ilha bisa melihat wajah Aesol yang tampak sedikit merenggut dengan bibir mencebik ke bawah namun tetap menurut memegang kedua sisi sweater miliknya. Hal itu membuat Ilha tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Ada-ada aja.
“Gua takut kemakan ekspektasi sendiri jadinya.”
Sedari awal kan seorang Ilha kalau soal Aesol banyak takutnya, banyak begonya.
Ilha nggak tau Aesol dengar atau tidak gumamannya karena ia bicara cukup pelan di tengah bisingnya jalanan sore itu. Toh ia sedang bicara sendiri bukan maksud mengajak ngobrol yang di belakang.
Hanya saja ada yang nggak Ilha sadari kalau sedari tadi wajah Aesol berada tepat di atas pundak kanannya.