Hari Selasa di jam enam belas lebih dua puluh menit, rush hour jelas terlihat di luar bagaimana mobil dan kendaraan lainnya hanya berjalan merayap dilengkapi dengan klakson yang saling bersautan. Tampilan wajah-wajah lelah tergambar di balik orang-orang yang mengendalikan kemudi mereka yang terjebak dalam kemacetan panjang.
Berbanding terbalik dengan mereka di jalan yang berbondong-bondong menuju rumah setelah lelah bekerja. Saat ini aku justru duduk di meja dekat jendela di sebuah kafe di daerah perkantoran dengan seseorang.
Ditemani dua cangkir kopi hangat yang masih mengepulkan asap tipis dan belum disentuh sedikitpun oleh aku maupun dia. Juga dengan suara musik yang mengalun lembut di seluruh penjuru kafe.
Di awal hanya ada sapaan kecil sebagai formalitas saat akhirnya kita bertemu lagi, dia yang duluan datang. Aku hanya sempat meminta maaf karena terlambat akibat pekerjaanku yang sedikit molor di kantor.
Saat aku tanya apa kabar, dia hanya tersenyum tipis. Matanya ikut tersenyum namun terlihat sayu, menatapku dengan pandangan penuh sirat berkata aku tidak baik-baik saja.
Aku rindu kamu, begitu yang bisa aku tafsirkan.
Sayangnya aku memilih diam. Seakan aku tak bisa membacanya, seakan hatiku sudah tidak mengerti dia lagi. Ku selipkan kata maaf dengan lirih saat aku kembali bertanya, bagaimana kehidupannya satu tahun ini, yang berarti tanpa aku, tanpa kita lagi.
Dia yang kali ini membuka suara menjawab dengan suara lirih yang sedikit asing di pendengaranku, tidak biasa untuku yang selalu mendengar nada lembut yang membuatku berdebar dan meluluh karenanya.
“Aku kangen kamu.” katanya.
Senyumku dibuat sebiasa mungkin, mataku sedikit bergetar saat mendengarnya secara langsung. Tanganku yang sejak melangkah masuk ke kafe sudah mendadak terasa dingin, kali ini berkali lipat semakin dingin, maka yang ku lakukan di bawah meja adalah mengusap di atas paha untuk menetralkannya.
Aku juga, kangen kamu yang dulu. Kangen kita, kalau boleh jujur.
Namun, yang keluar dari mulutku hanya oh panjang yang membuatnya mengangguk kecil lalu tersenyum lagi dengan mata yang lebih sipit, “Aku aja ya, kamunya nggak. Maaf.” katanya dengan tangan yang langsung menggaruk pelipis.
Ada nada tidak enak yang bisa aku tangkap, tidak enak karena sudah berani merindukanku yang bukan siapa-siapanya lagi.
Sedikit, balasku cepat. Aku juga kangen. Begitu.
Bukan untuk membayar rasa kecewanya, namun jelas itu suara hatiku yang tidak sepenuhnya benar. Banyak, faktanya aku rindu kamu banyak sekali bukan sedikit.
Dia langsung berhenti tersenyum dan berganti menjadi menatapku dalam diam, membiarkan sunyi disekitar kita diambil alih oleh suara musik yang terdengar semakin samar.
Aku hanya bisa membalas tatapanya, dia yang kini memakai coat berwarna coklat muda untuk melapisi sweater nya tampak sama, aku menyadari tidak banyak yang berubah darinya sejak setahun lalu kita bertemu.
“Aku lega.” bisiknya kemudian, menyelipkan senyum teduh lebih percaya diri, “Makasih sudah nggak lupa pernah ada kita, dulu.”
Giliranku yang mengangguk kecil, tidak tahu harus merespon apa pada lelaki yang kini sedang duduk tepat di depanku. Lelaki yang mengisi hariku dulu dengan penuh tawa, memberikan kenangan manis di masa aku beranjak dewasa.
Jinhyuk, ku panggil namanya dengan gugup setelah kita mati dalam obrolan yang tidak tahu harus mulai darimana lagi. Dan dia hanya menaikan satu alisnya menunggu kalimat lengkapku yang sengaja digantung, kebiasaan lama yang pasti dia tahu.
Ku bilang padanya, usahaku melupakanmu akhirnya gagal hari ini saat aku melihatmu lagi. Kamu masih ada di tempat teristimewa.
Sesungguhnya, pertemuan seperti ini, tentang aku dan dia menjadi yang paling aku tunggu. Sayangnya aku tidak terlalu berani untuk memulai. Berterimakasihlah seharusnya aku atas keberanian dia yang menghubungiku beberapa hari lalu. Berterimakasih padanya yang menyempatkan untuk mengajaku bertemu disela kesibukannya yang mengunjungi lagi kota ini.
Dia terbatuk, kaget mendengar perkataanku. Meminum kopinya dengan terburu lalu mengaduh saat ternyata itu masih cukup panas dan membuat lidahnya sedikit perih.
Aku meringis lalu tertawa kecil, hati-hati ucapku padanya.
Jelas dia masih sama, Jinhyuk yang aku kenal sejak lama. Jinhyuk yang selalu bersikap spontan, mampu memberiku tawa oleh sikap kecilnya sekalipun.
“Mau balik ke tahun lalu? Aku sih mau.” tanyanya kemudian setelah cukup lama menimbang, setelah kita hanya saling menatap dan sibuk dengan susunan kata apa yang sebaiknya diucap.
Dengan ragu dia mengulurkan tangannya di atas meja kepadaku, menunggu aku untuk menyambutnya.
Ternyata, tangannya masih sama, sehangat dulu. Menggenggamku dengan erat begitu aku menyentuhnya.
“Mau gini terus, bisa?” pintanya sambil menatap tangan kita yang sudah bertautan, ibu jarinya mengusap tanganku dengan lembut seperti yang dulu selalu dia lakukan, “Aku nggak pergi, begitu pun kamu.” katanya yang kali ini menatap pada kedua mataku, penuh permohonan, ada harapan yang dia bawa dari sisa-sisa tahun lalu.
Kujawab permintaannya dengan senyum yang langsung menular padanya. Mengangguk pasti, ku bilang aku tidak akan pergi, hanya dengannya akan mengulang apa yang terjadi diantara kita dulu dengan cerita baru tentang masa depan.
“Makasih ya.. sayangku nggak berubah sejak dulu. Cuma kamu, Wooseok.”
Kalimatnya diucap sambil membawa tanganku ke bibirnya, dikecup lembut buku jariku tepat di jari manis olehnya.
Detik itu, aku kembali merasakan debar yang teramat hebat, merasakan jutaan kupu-kupu yang sudah sejak lama minta dilepaskan berterbangan di perutku sehingga menggelitik, aku rindu momen seperti ini.
Hatiku seutuhnya ternyata masih sama sesuai apa yang aku pikirkan, milik Jinhyuk.
Aku rindu, ku bilang lagi padanya dengan pelan, dengan perasaan penuh hingga membuatku ingin menangis.
Rindu segalanya, segala afeksi yang selalu dia berikan kepadaku sejak lama yang setahun belakangan ini terasa begitu kosong tanpanya.
Rindu Jinhyuk.
Dia mengangguk, menatapku dengan lembut, meyakinkanku dengan sangat, “Aku lebih rindu kamu.” ucapnya, “Lebih dari apapun di dunia, Wooseok. Setahun lalu adalah sebuah kebodohan, melepaskanmu, berharap kita bahagia masing-masing. Namun, nihil. Aku tidak bisa. Bahagiaku adalah kamu, Kim Wooseok.”
Tanganku masih digenggamnya dengan erat saat setitik air mata turun di sudut mataku, membuatnya menatap panik lalu menarik kursinya agar mendekat, “Jangan nangis, aku bersalah. Maaf baru datang hari ini.” dia mengusapnya, air mata dan pipiku dengan teramat lembut.
“Maaf, Wooseok. Aku janji, nggak akan ada air mata lagi yang disebabkan olehku. Hari ini dan seterusnya, aku hanya ingin kamu bahagia.”
Hatiku terasa semakin penuh mendengarnya, ucapan Jinhyuk dan janjinya membuat air mataku jatuh lagi.
Dan sesak yang membelengguku selama satu tahun ini meluruh saat aku dibawa ke pelukannya, dibawa bersandar di bahunya. Dibawa ke tempat ternyaman bagiku sejak lama.
“Jinhyuk..” bisiku lirih, “Tolong jangan pergi lagi.. jangan jadi orang asing untuku.”