Jinwoo POV

Hari ini benar-benar berantakan menurutku. Rupanya sebuah ungkapan yang sering dilontarkan kebanyakan orang tentang “I hate Monday!” memang benar adanya. Namun, bukan karena harus menghadapi Senin dengan setumpuk jadwal kelas dari pagi sampai sore atau rentetan rapat kepanitiaan yang aku ikuti, bukan itu.

Pagi ini, saat aku tiba-tiba bertengkar dadakan dengan Papi menjadi asal mula aku tidak menyukai Senin minggu ini. Dampaknya, seharian ini mood ku tidak jelas, bahkan aku tidak bisa benar-benar fokus saat mengikuti kelas ditambah kuis dadakan yang membuat kepalaku rasanya ingin pecah.

Ini bukan pertama kali aku tidak sepaham dengan Papi, sudah sejak lama dalam beberapa hal kita memang selalu bertolak belakang. Papi yang selalu punya plan dari A hingga Z tentang semua hidup aku dengan alasan yang selalu sama,

“Semua buat kebaikan kamu, Jinwoo.”

Dan kemudian aku yang akhirnya hanya akan menurut tanpa bisa berkomentar banyak. Kulakukan itu karena aku menghormati Papi, orangtuaku.

Dimulai dari masuk SMA dan segudang jadwal les lainnya, hingga aku harus pintar-pintar mengatur waktu untuk mencoba hal-hal yang aku sukai tanpa Papi tahu. Lalu, belajar mati-matian untuk masuk ke perguruan tinggi yang Papi pilih bahkan dengan jurusan yang tentu saja Papi juga yang memilihkan.

Lagi-lagi, “semua untuk Jinwoo”, katanya.

Semakin aku mulai dewasa sejak masuk ke perguruan tinggi, aku merasa Papi selalu mengekang kebebasanku dan membatasi segalanya seakan Lee Jinwoo harus selalu menjadi anak manis yang penurut. Ditambah dengan adanya Jang Wonyoung, gadis pindahan dari Surabaya yang merupakan anak dari sahabat Ayah yang selalu sukses menambah daftar masalahku di mata Papi hingga semuanya semakin terasa nyata.

Mungkin kalau masih ada Ayah pasti tidak akan seperti ini.

Adalah ucapan yang entah sudah berapa kali aku sebut disetiap aku lelah dan merindukannya, atau disisa lamunanku setiap malam sebelum aku akhirnya bisa tidur.

Hanya mungkin dan mungkin karena faktanya itu hanya sebuah semoga yang tidak akan pernah terjadi.

Ayah sudah tidak ada dan aku tidak bisa menyangkalnya, kenyataan perih yang harus aku telan dan terima saat menginjak usia empat belas.

Sekarang hanya tinggal aku dan Papi, sudah sejak empat tahun lalu.

Walaupun rasanya baru kemarin aku masih bisa melihat Ayah yang sibuk mencuci mobil di halaman rumah saat hari libur dengan Papi yang akan mengomel karena membuat semuanya menjadi becek. Atau Ayah yang sering mengajakku bersepeda di sore yang tidak terlalu melelahkan sepulang ia bekerja. Ayah juga yang lebih sering masuk ke dalam kamarku dan mendengar semua cerita seruku di sekolah.

Semua tentang Ayah masih membekas dengan sangat jelas dalam ingatanku dan sulit aku lupakan.

Kalau boleh jujur, diantara keduanya memang dari kecil aku merasa lebih dekat dengan Ayah. Ayah yang paling bisa membuatku untuk selalu terbuka kepadanya dengan sangat nyaman, mendengar seluruh ceritaku dengan antusias seakan itu adalah dongeng paling menarik yang ia dengar. Ayah yang menjadi penengah saat Papi yang terkadang keras kepala selalu memaksakan kehendaknya. Ayah yang selalu memberiku kebebasan untuk memilih tanpa benar-benar melepasakan sepenuhnya.

Cara yang sangat berbeda dengan apa yang Papi lakukan belakangan ini. Aku menyayangi Papi sama banyaknya dengan Ayah, namun, sedikit jarak yang aku punya dengan Papi justru terasa semakin renggang dan menyesakan, aku benci jarak itu karena saat ini satu-satunya yang aku punya hanya Papi.

Begitu selesai kelas, aku tidak memutuskan untuk langsung pulang, aku butuh waktu sendiri walaupun aku tahu pasti di rumah tidak ada siapa-siapa, Papi mungkin pulang malam lagi karena kesibukannya di rumah sakit.

Aku sedang tidak ingin pulang ke rumah, rumah yang sejak empat tahun ini terasa sangat berbeda tanpa adanya sosok sang kepala keluarga.

Suasanya rumah yang teramat sepi bahkan dingin membuatku terkadang tidak nyaman karena merasa sangat kosong. Menatap nanar setiap sudut rumah dengan penuh kenangan kita bertiga membuatku tak jarang termenung sendirian, merasakan hati yang sangat ingin kembali ke moment bahagia tersebut.

Sekarang, di rumah itu hanya ada aku dan juga Papi dengan intensitas pertemuan yang seperti disetting sesingkat mungkin. Pagi hari saat sarapan, sore menjelang malam kalau beruntung aku atau pun Papi pulang tepat waktu, dan saat makan malam yang sering kali aku lewatkan tanpa minat saat harus menyuap nasi sendirian di ruang makan yang hampa.

Tanpa banyak komunikasi, tanpa banyak cerita di malam hari, tanpa banyak tawa lepas serta tanpa suasana hangat yang sejak lama aku rindukan.

Lagi-lagi sekarang aku membatin dengan dada sesak, kalau saja Ayah masih ada, kalau saja Ayah tidak meninggalkan kita secepat itu.

Saat ini aku benar-benar tidak punya tempat tujuan, dengan perut lapar dan uang yang masih cukup, aku memutuskan untuk mampir ke sebuah tempat makan fastfood yang ada disekitar kampus, mungkin sekalian aku akan memikirkan harus tidur dimana malam ini kalau aku tidak benar-benar pulang.

Belum genap pukul sembilan, pesan dari Papi yang bertanya tentang aku yang belum pulang mulai bermunculan, disusul pesan-pesan lainnya serta panggilan telepon yang sengaja aku abaikan. Maaf.

Lalu kemudian aku lihat pesan dari Om Yohan, adik sepupu Papi yang sejak dulu sering berkunjung ke rumah yang juga berprofesi sama seperti Papi sebagai dokter adalah orang yang paling sering menasehatiku lebih seperti seorang kakak yang tidak pernah aku punya.

Aku terdiam sejenak membaca pesannya, dan aku ingat betul dia pernah bilang saat aku kelas satu SMA, saat aku dengan bodohnya terlibat perkelahian hingga wajahku babak belur dan Papi dipanggil ke sekolah,

“Om itu tempat cerita buat Papi kamu sejak dulu. Bahkan sejak orangtua kamu belum pacaran. Jadi, kalau kamu bikin masalah, om yang akan tahu gimana sedihnya Papi kamu, Jinwoo.”

Aku mengusap wajah dengan kedua tangan lalu mengacak sedikit rembutku, rasanya semakin tidak karuan saat perasaanku tidak jelas seperti ini, aku meletakan ponsel diatas meja begitu saja setelah membalas pesan Om Yohan tanpa benar-benar berani membuka pesan dari Papi.

Setiap aku berselisih paham dengan Papi, jauh di dalam hati yang aku rasakan selalu rasa bersalah, aku tidak akan berani lama berhadapan dengan Papi saat itu karena kekesalanku justru berbalik membuatku ingin menangis.

Meyayangkan kenapa hal seperti ini harus terjadi saat yang kita punya hanya satu sama lain.

Hatiku selalu mencelos saat Papi bilang merasa tidak mampu untuk mengurusku dibandingkan Ayah, bukan maksudku seperti itu. Sungguh.

Yang kita perlukan mungkin hanya saling mengerti satu sama lain. Berbicara dari hati ke hati selayaknya orangtua dan anak, mengesampingkan ego kita masing-masing. Membuat semuanya lebih baik lagi bukan hanya untuk kebahagiaan aku dan Papi, tapi juga Ayah yang diatas sana sedang melihat kita.

Bagus, rasa bersalahku sekarang bercampur malu.

Maafin Jinwoo, Ayah.

Maaf, Jinwoo belum jadi anak yang baik buat Ayah sama Papi.

Maaf, Jinwoo malah buat Papi nangis di sini.

Detik itu, aku memutuskan untuk pulang, teringat kata Om Yohan tentang Papi yang pasti belum sempat istirahat sepulang kerja dan ia justru harus mengurusi tingkah anaknya ini yang hanya bisa membuatnya sedih.

Aku harus meminta maaf secara langsung kepada Papi dan mungkin walaupun sedikit malu aku akan memeluknya dengan erat. Aku ingin merasakan lagi lengan hangat yang memberikan tepukan halus dipunggungku hingga membuatku merasa tenang, membuatku merasakan kalau aku tidak sendirian.

Membuatku tersadar kalau masih ada Papi yang aku punya.

Bayangan kecanggungan yang mungkin nanti akan terjadi membuatku tidak bisa menahan kekehan sepanjang jalan, entah kapan terakhir kali aku bersikap seperti anak kecil yang minta disayang dan dimanjakan olehnya.

Atau beberapa tahun lalu kurasa kalau aku tidak salah menebak, saat kita sama-sama terpuruk ketika Ayah pergi, saat Papi masih belum menyibukan dirinya tenggelam dalam pekerjaan dan lambat laun membuatku tertinggal jauh di belakangnya, sendirian.

Namun, bayangan itu secara cepat direnggut seketika ketika sebuah sorot lampu yang sangat menyilaukan dari arah depan menghalangi pandanganku tanpa sempat aku menarik rem dan memalingkan motorku.

Lalu aku teringat pernah mendengar, katanya saat kita akan meninggal, kita bisa melihat kilas balik kehidupan kita di depan mata.

Anehnya, saat ini aku seakan melihat potongan ingatan dimana aku, Ayah dan Papi melakukan kemping saat ulang tahunku yang ke-sembilan.

Lalu, potongan bayangan itu secara cepat berganti dengan aku yang masih kecil dibantu Papi yang sedang menggambar kumis di wajah Ayah yang tertidur di ruang tengah dengan sebuah spidol berwarna sambil tertawa pelan agar ia tidak terbangun.

Aku bisa melihat hari terakhir saat aku bisa memeluk Ayah yang akan pergi keluar kota karena pekerjaannya, saat ia tersenyum dan melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan rumah untuk selamanya.

Dadaku tiba-tiba merasa sesak saat yang kemudian aku lihat adalah pusaran Ayah yang baru saja ditaburi bunga segar dengan aku sendiri yang menangis dipelukan Papi yang hanya memandang kosong. Baru aku lihat Papi yang tampak sangat menyedihkan, membayangkan ketika belahan jiwanya yang tadi pagi masih tersenyum hangat, dengan teganya di sore hari sudah terbujur kaku dengan banyak luka akibat kecelakaan beruntun yang dialaminya.

Aku ingin memejamkan mata, tidak sanggup bila harus melihat semua itu, yang aku katakan sebelumnya kepada Papi kalau aku sangat ingin bertemu dengan Ayah walaupun sekali, apakah ini waktu yang tepat?

Lalu, sebelum pandanganku benar-benar gelap dan semua tubuhku yang bahkan tidak bisa aku rasakan untuk bergerak karena sakit yang teramat sangat.

Aku membawa satu hal penyesalan dengan air mata yang entah sejak kapan keluar dari sudut mataku yang kemudian bercampur dengan bau anyir yang mengalir dari kepalaku, yaitu sebuah permintaan maafku kepada Papi secara langsung yang belum sempat aku lakukan.

Kalau memang Jinwoo harus pergi. Jinwoo minta maaf, Papi.