Mas Radit
Sekilas tentang Radit.
Dia adalah si sulung, anak yang paling bisa diandalkan. Sejak kecil dipanggil mas oleh orangtua dan adik-adiknya. Anak yang penyayang dan juga sering menjadi tempat mengadu. Sifatnya cenderung pendiam daripada yang lain juga pembawaannya lebih serius.
Radit dihormati oleh adik-adiknya walaupun secara harfiah mereka hanya berbeda dalam hitungan menit saja saat dilahirkan dua puluh tujuh tahun lalu.
Pemuda lulusan Manajemen Bisnis salah satu Universitas Negeri itu mulai merintis usaha kecil-kecilan dari kuliah, bersama kedua temannya yaitu Seungyoun dan Jaehwan. Seungyoun yang merupakan wong sugih, dulu yang mengeluarkan modal paling besar diantara mereka, hingga akhirnya usaha mereka bisa sukses seperti sekarang dengan cabang angkirang yang tersebar dimana-mana dan omset yang tentu saja lebih dari “lumayan.”
Terkadang ketiganya sering diundang ke acara seminar sebagai pembicara, entrepreneur muda, katanya. Radit sih tidak sampai yakin dirinya sesukses itu hingga bisa diundang jadi pembicara, namun dia menghormati saja sebagai alumni. Jujur merasa bangga juga.
Sejak kuliah memang dirinya dikenal sebagai mawapres dengan berbagai prestasi, terlebih PKM-PKM nya yang berhasil didanai. Sejak dulu dia memang sudah tertarik di dunia bisnis. Pernah exchange ke Jepang juga selama satu semester.
Pokoknya Radit itu tipikal anak sulung yang membanggakan keluarga. Namun, Bapak sama Ibu tidak pernah yang namanya pilih kasih. Semua anak-anaknya sama rata. Disayangi dan dididik tanpa dibeda-bedakan.
“Dek Ushin mau nambah? saya ambilkan ya?”
Wooseok yang sedang menggigit sate kulit langsung menggelengkan kepalanya, apalagi Radit yang duduk di depannya ini sudah berdiri. Tangannya secara refleks menahan lengan Radit, “Enggak usah, mas. Udah cukup kok ini. Aku kenyang.” katanya sambil menengadah menatap wajah Radit.
“Beneran?”
Kepala Wooseok mengangguk cepat, “Udah, beneran.” katanya meyakinkan. Radit menghela napas kecil lalu kembali duduk di depan Wooseok.
“Ya sudah. Nanti dibungkus saja ya. Buat di rumah.”
“Mas, gak perlu.”
Radit tersenyum simpul menatap Wooseok yang memasang wajah tidak enak, “Gapapa, saya yang mau kok.” pandangannya melirik ke sebelah kanan Wooseok dimana terdapat seseorang yang masih anteng makan.
“Kamu kalau mau nambah ambil saja ya. Gratis.” katanya pada Yohan. Pemuda dua puluh tahun itu menatap Radit dengan mata berbinar, “Nambah sate boleh, mas?” tanyanya yang langsung disikut oleh Wooseok.
“Yoyo.” katanya dengan nada sedikit kesal dan malu. Haduh, di depan Mas Radit masa kayak gini sih!
“Iya boleh, ambil saja. Sama nasinya juga.”
Yohan langsung berdiri dan meninggalkan meja mereka sambil membawa piringnya, tidak lupa bilang makasih terlebih dulu pada Radit.
Sumpah tingkah sepupunya itu membuat Wooseok mendengus kecil. Malu-maluin.
“Maaf ya, Mas Radit.” katanya sambil tersenyum sungkan. Dia kemudian mengelap mulut dan tangannya menggunakan tisu yang ada di atas meja.
“Gapapa, gak perlu minta maaf. Saya kan yang menawarkan.” balasnya dengan senyum tulus.
Tadi saat Wooseok sedang memilih makanan, Radit yang terlihat baru saja datang langsung menghampirinya, alhasil mereka akhirnya makan bertiga di satu meja.
Angkringan Mas Radit ini memang tersedia dua tempat, ada beberapa meja dan ada lesehannya. Kebetulan tadi yang di lesehan itu penuh.
Salah seorang pegawai mengambil piring kotor milik mereka. Yohan tidak balik lagi. Anak itu pindah ke tempat lesehan, makan sendiri karena dia sepertinya cukup peka.
Kayaknya juragan angkringan ini naksir sama Kak Ushin, batinnya berasumsi.
Suasana angkringan milik Radit semakin malam semakin ramai saja, apalagi lokasinya yang ini tidak jauh dari alun-alun kota. Beberapa pengamen jalanan juga terlihat mampir dan meramaikan suasana.
Wooseok menggenggam gelasnya yang berisi susu jahe hangat yang dipesankan oleh Radit. Sedangkan Raditnya sendiri memilih kopi.
“Mas Radit, gak lagi sibuk? Lagi datang ke cabang yang di sini?”
Wooseok sedikit banyak tahu ceritanya dari Koh Uyon saat mereka bertemu terakhir. Ternyata Koh Uyon yang dulu tetangganya saat kecil ini teman kuliah Mas Radit. Sambil menyesap sedikit susu jahe nya, Wooseok bertanya pelan. Menatap Radit yang tampak rapi menggunakan sweater berwarna ungu dengan garis vertikal putih.
“Enggak, dek. Tapi, kalau sepupu kamu ga ketemu Uyon kayaknya kita ga bakal ketemu. Saya tadi awalnya mau ke daerah barat.” jelasnya masih menampilkan senyum yang begitu tampan.
Adem banget, mana pembawaannya tenang, Wooseok membatin.
“Maksudnya? gara-gara aku mau ke sini. Jadinya Mas Radit ke sini juga?” nada suara Wooseok sedikit tidak yakin, dan dia menahan napasnya tanpa sadar saat Radit mengangguk pelan.
“Saya mau bertemu Dek Ushin.” katanya serius dengan senyum yang terlihat samar. Dia memandang Wooseok yang mengerjapkan-ngerjapkan mata bulatnya. Radit tahu, pemuda mungil yang menggunakan hoodie kuning itu jelas terlihat kaget mendengar ucapannya.
Radit meloloskan tawa kecilnya. Suaranya sopan banget masuk ke telinga Wooseok. Seakan suara bising di sekitar mereka menghilang begitu saja.
“Kamu, lucu banget. Saya suka lihatnya.”