nathan x alina au

“Kenapa nggak dimakan lagi?”

Nathan bertanya heran sambil menatap Alin yang kini justru menggelengkan kepalanya, ia mendorong satu cup gelato yang masih banyak ke depan Nathan yang kemudian menghela napas kecil.

“Kenyang.. buat lo aja semuanya ya.” jawabnya sambil meringis memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Dasar.

Pantas saja daritadi juga cuma diicip-icip doang. Artinya sekarang di depan Nathan ada dua cup gelato dengan empat rasa berbeda.

“Kan, dibilangin tadi pesen satu aja, Alina. Udah tahu kita baru beres makan.”

“Iya maaf... kirain gue gak akan sekenyang ini, Atan.” cicitnya pelan, kedua sudut bibirnya melengkung ke bawah saat wajah Nathan seakan protes, ujung-ujungnya gue juga yang ngabisin.

Namun, faktanya tanpa banyak bicara pemuda itu mengambil cup milik Alin dan memakannya dengan tenang membuat Alin mengambil napas lega dan melebarkan senyumnya.

Memang salahnya yang tadi menyeret Nathan untuk mampir ke sini setelah mereka keluar dari tempat makan dan kekeh ingin memesan sendiri-sendiri. Padahal sebelumnya Nathan sudah memberi saran. Alin yang terkadang ngeyel kalau dibilangin dan Nathan juga yang tidak mau ribut ujung-ujungnya selalu mengiyakan.

“Iya terserah deh, lin. Biar cepet.” adalah kalimat andalannya bila sudah berhadapan dengan sifat Alin yang satu itu.

Di sela makannya, pandangan Nathan sesekali mengedar ke sekeliling kedai yang cukup ramai di malam minggu seperti ini, tidak hanya banyak anak muda yang nongkrong bahkan beberapa kursi diisi keluarga membawa anak kecil yang sibuk makan belepotan di mulutnya.

“Enak nggak?”

Pertanyaan Alin membuat Nathan kembali memfokuskan dirinya pada gadis yang duduk di depannya itu. Kedua tangannya ditumpu di atas meja dengan badan yang dicondongkan ke depan, siapa pun akan tahu kalau Alin terlihat begitu antusias untuk mendengar jawaban Nathan.

Ditatapnya Alin yang setaunya jarang menggunakan kontak lensa, namun malam ini ia terlihat sedikit berbeda. Ketika iris berwana keabuan di bawah bulu mata lentik itu berbinar-binar seperti sekarang sedang mamandangnya, Nathan harus berdehem pelan untuk menghalihkan tatapannya sekilas.

Kacau. Cantik banget Alina malam ini.

Ralat, seharusnya tidak hanya malam ini saja. Karena Alin selalu terlihat cantik setiap hari, bahkan sejak mereka bertemu pertama kali beberapa tahun lalu. Saat Nathan melihat Alin yang sibuk dengan tumpukan kardus di teras rumah yang biasanya kosong.

Tangan Nathan menunjuk gelato milik Alin dengan sendoknya, “Menurut gue yang ini kayak rasa odol, tapi masih bisa dimakan. Terus yang ini lumayan enak, rasa oreo gitu.”

Alin sontak tertawa kecil mendengarnya, sebetulnya ia juga tadi hanya penasaran memilih mint choco. Tapi sepertinya ia setuju dengan apa yang dikatakan oleh Nathan.

“Itu padahal kata Kila enak banget, makanya gue cobain.”

“Biasa aja deh. Mau nyoba yang punya gue?”

Tingkah Nathan yang tiba-tiba mengangkat sendok padanya tepat sebelum dia akan menyuap lagi membuat tawa Alin perlahan berhenti.

Nathan bergumam pelan sambil melirik tangannya yang terulur di depan wajah Alin seakan bicara lewat tatapan, buruan makan ini tangan gue pegel.

Meski sedikit ragu dan tentu saja lengkap dengan sikap malu-malu di tempat umum, Alin perlahan membuka mulutnya.

Manis.

Setelah itu, ia tidak bisa memikirkan rasa apalagi karena justru yang lebih sibuk bekerja bukan indera perasanya. Malainkan jatungnya yang berdegup tanpa bisa dikontrol.

Gue disuapin sama Atan, sudah bisa dipastikan batinnya kemudian sibuk mengoceh kesenengan.

Ekspresi Alin itu tentu saja tidak luput dari pandangan Nathan yang sejak tadi menatapnya; raut terkejutnya, rona kemerahan di pipinya bahkan hingga kini terlihat sebuah senyum salah tingkah yang menggemaskan dengan kedua sudut mata ikut menyipit.

Dan Nathan tidak bisa atau mungkin tidak berniat menyembunyikan senyum lebarnya saat melihat Alin yang ada di depannya saat ini.

Gemes banget nih anak orang.

Hanya butuh sekitar sepuluh menit kemudian Alin bertanya saat melihat Nathan sudah menghabiskan semua gelato punya mereka, “Habis ini kita langsung pulang?”

“Emang mau kemana lagi, lin?” dia melihat jam yang ada di tangan kanannya, “Udah mau jam sepuluh. Nanti gue disate sama Om Adrian kalau kita pulang lewat jam sebelas.”

Tentu saja Alin langsung mendengus dengan keasbunan Nathan. Yang benar saja emang Papaku itu tukang jagal? Main sate-satean segala!

“Iya enggak kemana-mana sih...” jawabnya.

“Yaudah kita pulang sekarang aja.”

Melihat Nathan yang sudah berdiri lalu menunggunya membuat Alin mengangguk lesu dan mengikuti langkah lebar pemuda di depannya yang berjalan keluar menuju tempat parkir.

Tubuh Nathan selalu terlihat menjulang tinggi bila Alin berjalan di belakangnya. Bahkan kata Mbak Kinan, Alin seperti diapit gapura kabupaten kalau ia berada di antara Nathan dan juga Azka.

Alin menatap punggung lebar di balik kemeja denim itu sambil sedikit menggerutu.

“Kok waktu tiba-tiba cepet banget sih! orang gue masih mau ngedate.”

Sesaat, Nathan menyadari kalau Alin berjalan pelan dan tertinggal di belakangnya membuat dia menghentikan langkah lalu berbalik. Dan benar saja, Alina dan bibirnya yang cemberut menjadi hal pertama yang bisa dilihat oleh Nathan.

Beneran jadi badmood? pikir Nathan.

Tanpa banyak bicara juga bertanya apa-apa, dia melangkah ke belakang Alin lalu memegang bahu Alin dengan kedua tangan besarnya.

Nathan mendorong tubuh Alin agar berjalan sambil menaruh dagu di atas kepala gadis itu yang jauh terlihat mungil dibandingkan ukuran tubuhnya.

“Buruan jalannya, Alina.” bisiknya pelan.

Ini adalah cara paling ampuh bagi Nathan kalau Alin sedang bersikap malas-malasan. Karena gadis itu biasanya akan menurut tanpa banyak protes.

“Iyaaaa.”

Begitu sampai di depan motornya yang terparkir, Nathan mengambil helm berwarna tosca yang terlihat kontras sekali dengan helm hitam miliknya. Ditatapnya Alin yang kini terlihat lebih baik, setidaknya bibir kecilnya itu tidak maju seperti tadi.

Tangan Nathan tanpa canggung memakaikan helm berwarna gemas itu seperti hal tersebut sudah menjadi kegiatan rutinnya. Dia juga selalu bertanya apa Alin sudah merasa nyaman atau belum, lengkap dengan memasangkan pengait di bawah dagunya, atau sesekali tangannya akan merapikan rambut Alin yang berantakan akibat memakai helm.

Ada senyum kecil di sudut bibirnya saat puas melihat Alin yang sudah siap.

Namun, bukannya buru-buru memasang helm miliknya sendiri. Nathan justru merendahkan tinggi badannya hingga wajahnya bisa sejajar dengan Alin, dibalasnya tatapan penuh tanda tanya di paras cantik Alin itu dengan sebuah senyum simpul yang tampak hangat.

“Alina, kalau masih mau ngedate. Gapapa nanti gue tinggal nyamperin ke rumah aja. Kan katanya cuma lima langkah doang, hmm?”

Nathan tidak menghilangkan sedikit pun senyum di wajah tampannya saat Alin masih sibuk mencerna setiap ucapannya.

“Sekarang mending kita jalan pulang dulu aja ya.”

Demi Tuhan, Nathandra dan segala tingkahnya hari ini sangat tidak baik untuk kesehatan jantung Alina.