om tinggi

Kesedihan, kekecewaan dan segala bentuk apapun yang akan membuat Jinu tidak merasa nyaman adalah hal yang paling ingin dihindari oleh Kim Wooseok sejak lima belas tahun lalu, sejak hadirnya sosok tersebut di kehidupannya.

Jinu hadir di saat masa-masa sulitnya harus terbiasa untuk menerima keadaan yang begitu asing bagi kehidupannya yang bahkan belum genap dua puluh tiga tahun. Maka, yang ingin diberikan oleh Wooseok hanyalah bahagia, bahagia dan bahagia, dunia dan seisinya bakal ia beri kalau itu untuk senyum Jinu.

Ingatannya terbang jauh, bagaimana tangis nyaring dari bayi mungil tersebut terdengar memenuhi ruang rawatnya, bagaimana jemari yang begitu kecil itu terlihat sempurna ketika menyentuh ringan ujung jari telunjuknya seakan berkata, ada aku Papa, sekarang ada aku yang akan selalu bersamamu.

Saat pertama kali menggendong malaikat kecilnya merupakan perasaan yang sampai saat ini masih tidak bisa ia lupakan, yang bisa Wooseok lakukan hari itu hanya menangis penuh haru.

Lee Jinwoo adalah anugerah untuknya.

Wooseok meyakininya, sangat.

Setiap ia mengelus lembut pipi tembamnya yang masih berwarna merah, setiap ia mencium kepalanya dengan sayang, setiap ia mendekapnya dengan erat menenangkan bayinya yang menangis. Wooseok akan berucap berulang kali berbisik dalam hatinya penuh rasa syukur, anak Papa terimakasih sudah hadir ke dunia ini, sayang.

Di samping tempat tidurnya ada Seungwoo dan Byungchan yang selalu menemaninya. Mereka yang masih berpacaran tampak kompak akan meluangkan waktunya untuk Wooseok, disaat apapun. Disaat sulitnya, menghiburnya, menemaninya agar tidak merasa tarasing, sendirian.

“Orang tua kamu.. udah datang?”

Seungwoo bertanya ragu setelah menimbang perkataannya dan gerakan tangan Wooseok yang sedang mengelus kepala Jinu terhenti sepersekian detik, ia mengangguk pelan lalu tersenyum samar menatap Seungwoo juga Byungchan, “Udah. Tadi.” bisiknya.

Byungchan ikut tersenyum senang mendengarnya hingga menampilkan lesung di kedua pipinya tanpa ragu lalu duduk di tepi tempat tidur dan memegang tangan mungil si bayi, “Mulai sekarang kamu jadi kesayangannya Om Ucan ya.”

“Keponakanku itu, yang.” sela Seungwoo tidak mau kalah sambil ikut mendekat dan menatap bayi yang ada di gendongan Wooseok.

Han Seungwoo yang merupakan kakak sepupunya itu baik sekali, dia dan Byungchan banyak mengurus apa yang diperlukan oleh Wooseok. Entah harus bagaiman Wooseok mengucap terimakasih, kehadiran mereka sangat berarti bagi dirinya maupun Jinu.

Menjadi satu-satunya keluarga yang mereka punya hingga saat ini.

Namun, apa yang ingin dihindari oleh Wooseok itu justru semakin mengejar seiring Jinu tumbuh besar.

Kehadiraan sosok Ayah yang kerap kali ditanyakannya ketika tiba-tiba teringat atau sering sebelum dia memejamkan matanya di malam hari. Rasa iri melihat teman-temannya yang memiliki keluarga utuh serta cerita seru liburan keluarga mereka. Lee Jinwoo tidak akan merengek padanya untuk meminta, tidak akan, anak itu terlalu baik, terlalu mengerti Wooseok. Hanya saja sebagai orangtuanya Wooseok tahu dia ingin seperti mereka, pasti hal-hal tersebut ada di daftar keinginannya suatu saat nanti.

Selanjutnya Wooseok akan merasa bersalah, ia sadar kalau dirinya tidak bisa menjanjikan hal itu untuk Jinu.

Delapan tahun lalu saat Jinhyuk yang berstatus Ayahnya hadir. Wooseok sangat mengetahui kalau segala kekosongan di hati anak semata wayangnya itu kian terisi. Mimpinya. Keinginan serta pertanyaannya selama ini mengenai sosok sang Ayah terjawab sudah di suatu pagi saat Lee Jinhyuk menampilkan batang hidungnya di depan rumah mereka.

Hari yang masih diingat jelas oleh Wooseok walaupun sudah lama. Hari dimana untuk pertama kalinya Jinu menyebut memanggil sang Ayah di depannya langsung, menangis sambil memeluk erat Jinhyuk.

Ada hal yang tidak bisa diberi oleh Wooseok kepada Jinu sebagaimana pun bahagia yang sudah ia kasih. Ada hal yang harus melengkapi itu semua yang diinginkan lebih oleh sang anak, yaitu Lee Jinhyuk.

Wooseok paham, waktu berjalan tanpa bisa dicegah, berlalu begitu saja saat akhirnya diantara mereka terbiasa ada Jinhyuk yang melengkapi Jinu. Menjadikannya anak paling bahagia yang akhirnya mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya yang utuh.

Menghabiskan waktu yang tidak pernah didapatnya sewaktu kecil dulu, waktu untuk mereka bertiga.

Hal yang sangat mahal yang selalu dia idamkan; mendapatkan sebuah pelukan hangat, bermain bersama menghabiskan sore hari sepulang sekolah, pergi ke suatu tempat baru yang seru seperti cerita liburan teman-temannya, makan satu meja bertiga diselipi cerita panjang tentang hari mereka.

Terimakasih kepada sang waktu, Jinu bisa merasakan itu semua pada akhirnya. Dia bahagia.

Wooseok kerap kali termenung, menatap Jinu yang sedang duduk berdua dengan Jinhyuk di depan televisi yang tidak dilihatnya sama sekali, mereka justru sibuk berbicara banyak hal tentang kegiatan sang anak di sekolah. Tentang tugas matematikanya yang sulit, tentang serunya pelajaran olaharaga ketika berlatih badminton, tentang guru seni rupanya yang kerap kali melucu saat mengajar ataupun tentang kegiatan ekskulnya yang membuat dia terlambat pulang.

Ada binar yang selalu terlihat antusias di mata bulat Jinu ketika menatap Jinhyuk. Melihat bagaimana dia selalu excited ketika diberi tahu kalau Jinhyuk akan datang ke rumah membuat Wooseok merasa Jinu tidak bisa tanpa Jinhyuk lagi.

Tidak akan pernah bisa.

Namun, rutinitas dan kebahagian itu seketika dijeda hingga sekarang. Hingga berbulan-bulan lamanya.

Ada obrolan ia dan Jinhyuk di telepon saat jarum jam menunjukan pukul dua puluh tiga saat Wooseok baru saja akan memejamkan matanya. Ia yang lebih dulu bertanya ada apa saat malam-malam begini Jinhyuk menelepon, tidak biasanya.

Lalu, selanjutnya Wooseok memilih mendengar setiap kata yang akan diucapkan Jinhyuk di sebrang sana karena Jinhyuk justru terdiam hingga beberapa menit,

“Aku izin sama kamu untuk memberitahu Jinwoo besok.”

Yang Wooseok tangkap, suara Jinhyuk terasa berat, ada ragu, gusar juga resah yang terselip di sana.

“Aku nggak bisa nahan lebih lama lagi, Wooseok.”

Jinhyuk terdengar menghela napas panjang membuat sambungan telepon mereka hanya diisi sunyi setelahnya.

“Jinwoo sudah besar dan aku mau hubungan kita. Antara aku, kamu dan Jinwoo lebih jujur.. apalagi kita sebagai orangtuanya.”

Wooseok menggigit bibirnya, tidak menyangka Jinhyuk akan membawa obrolan seperti ini, sudah tiba waktunya ya.

“Aku takut..” bisiknya tanpa bisa dicegah, jelas ia memikirkan perasaan Jinu di atas segalanya. Ia takut menghadapi kekecewaan Jinu nantinya.

Di ujung sana Jinhyuk mengusap wajahnya bingung, ini adalah keputusan yang berat namun tidak dapat mereka hindari. Dia kembali bersuara dengan nada lemah.

“Bohong kalau aku enggak takut, Seok. Tapi, sekarang atau pun nanti sama aja Jinwoo bakal tau gimana aku yang dulu... dan aku juga tau jelas konsekuensinya, Jinwoo pasti membenciku, kan?”

Wooseok tidak ingin menjawab ketika Jinhyuk tertawa kecil yang justru terdengar pedih di pendengarannya. Sebuah tawa yang menutupi perasaan kalutnya. Miris.

“Wooseok.. maaf..”

Wooseok menggumam pelan, memeluk bantal dengan erat karena hatinya terasa sesak saat ini, gelisah tentang bagaimana hari esok bagi mereka.

“Maaf aku membuat anak kita kecewa lagi.”

Di meja makan itu, saat akhirnya Lee Jinhyuk memberi tahu Jinu. Wooseok tidak bisa menahan air matanya saat melihat bagaimana tatapan bingung sang anak mendengar cerita Ayahnya.

Bagaimana dia kemudian menatap Jinhyuk dengan tatapan kecewanya yang terlihat sangat terluka, “Ayah ninggalin aku sama Papa?” bisiknya tidak percaya.

Lalu kemudian dia paham dengan cepat kalau cerita Wooseok selama ini tentang kesibukan Jinhyuk yang pergi jauh untuk bekerja ternyata sebuah kebohongan semata untuk menghibur Jinu kecil yang merindukan Ayahnya.

Karena faktanya Jinhyuk tidak pernah ada sejak awal.

Jinhyuk tidak pernah bersama mereka.

Lee Jinwoo mengepalkan tangannya yang entah sejak kapan terasa dingin. Hati dan pikiran anak remaja itu begitu penuh saat mendengar fakta yang amat mengejutkan di hari yang harusnya bahagia dan seru karena bertemu Ayah.

Sebuah fakta tentang bagaimana sosok Ayahnya yang begitu dia sayangi, yang dia banggakan sebagai om tingginya ternyata tidak sebaik itu.

Lantas, kebahagian yang selama ini untuknya serta kasih sayang yang diberikan Jinhyuk, itu semua adalah upaya mengganti waktu yang hilang, yang tidak pernah Jinhyuk beri lebih awal?

Wooseok mengusap cepat air matanya mencoba terlihat baik-baik saja saat Jinu beralih menatapnya. Tatapan itu berubah, kecewanya sang anak berganti menjadi sedih, membayangkan apa yang Papa rasakan di masa lalu karena kehadiran dirinya.

Gara-gara ada aku, ya.

Jinu berdiri, matanya sudah memerah menahan tangis dengan bibir yang bergetar, napasnya bahkan terdengar memburu penuh sesak seperti ingin meledak. Sedih, kecewa, marah, bingung, semuanya tercampur di pikirannya saat ini.

“Jinwoo, maaf.. Ayah bersalah..” ucap Jinhyuk tidak tega menatap sang anak yang ingin sekali dia peluk. Ketakutannya terbukti sekarang, tatapan Jinu padanya membuat Jinhyuk kembali mengutuk dirinya di masa lalu. Lo brengsek Lee Jinhyuk, lo udah nyakitin orang yang paling berharga yang lo punya!

Parkataan Jinhyuk tidak diindahkannya, dengan jelas diabaikan karena yang Jinu lakukan setelahnya adalah meninggalkan mereka berdua tanpa satu katapun yang terucap, meninggalkan rasa bersalah yang teramat hebat bagi Jinhyuk juga Wooseok sebagai sosok orangtua.

“Jinu..” Wooseok hanya bisa berbisik lirih tanpa berniat mencegah Jinu pergi, dia mengerti, Jinu butuh sendiri, butuh tenang untuk kembali diajak bicara.

Suara pintu kamar yang ditutup dengan keras serta punggung Jinu lah yang terakhir mereka lihat saat itu, bahkan hingga sekarang kalau itu bagi Jinhyuk.

.

Kali ini, Wooseok tidak mau Jinu merasakan kecewa lagi. Jangan sampai. Ia hanya memohon dan berharap Jinhyuk tidak menyakiti hati anak mereka lagi.

Wooseok merasa sesak seperti ada yang menekannya begitu kuat saat Jinu menatapnya dengan tatapan sendu yang sudah lama tidak pernah ia lihat.

“Ayah nggak jadi datang, ya Pa?” bisiknya sedih.

Ia buru-buru menggelengkan kepalanya, tersenyum tipis lalu mendekati Jinu yang duduk di meja makan masih menatap ponselnya sendiri, menujukan pesan-pesannya yang tidak dibaca oleh Jinhyuk.

“Pasti macet, kan udah janji. Jinu tunggu sebentar lagi aja, ya?” dirangkulnya pundak Jinu dari samping dan ditepuk-tepuk pelan guna menenangkannya, “Ayah Jinu pasti datang.” lanjutnya sambil menumpu dagu di atas kepalanya dan berharap itu benar.

Jinu mengangguk kecil, mengaminkan dalam hatinya semoga ucapan Papa benar. Namun, dia tidak bisa berbohong, dia menggenggam tangan Wooseok yang ada di pundaknya, “Aku takut, Papa..” bisiknya parau pada akhirnya, berbalik menatap Wooseok lalu memeluk pinggangnya dengan erat, memilih menyembunyikan wajahnya di pelukan menenangkan sang Papa, “..takut Ayah pergi.” ungkapnya mencoba jujur.

Apa mungkin gara-gara dia yang kemarin-kemarin tidak ingin bertemu Ayah, makanya Ayah berlaku sama? apa Ayah marah padaku? pikirnya.

“Enggak, sayang. Jinu jangan mikir macem-macem, ya? Jinu tungguin Ayah di kamar aja. Papa mau selesain masak.”

Remaja berusia lima belas itu masih terdiam, mencoba menghilangkan pikiran negatifnya tentang kemungkinan yang terjadi.

Setelah beberapa saat mendapatkan usapan menenangkan dari Wooseok, baru Jinu perlahan melepaskan pelukannya.

“Papa makasih udah masak. Kalau Ayah nggak dateng.. nanti aku yang habisin makanannya.” kalimat tersebut diucapkan Jinu sambil tersenyum tipis menatap Wooseok, “.. kan sayang masakan Papa enak semua.” tambahnya yang membuat Wooseok ingin menangis. Karena demi Tuhan, senyum dan tatapannya sangat bertolak belakang. Ada sorot mata yang redup di kedua bola mata Jinu walaupun sebuah senyum diukir di wajah tampannya.

Wooseok hanya bisa mengangguk, menarik kedua sudut bibirnya susah payah agar kekhawatirannya saat ini tidak terlihat oleh Jinu. Tangannya mengusap puncak kepala sang anak dengan penuh sayang, menangkup kedua pipinya lalu mengucap doa dalam hati bersungguh-sungguh meminta, Ya Tuhan jangan sampai anakku mengalami kecewa lagi, tolong berikan di bahagia yang banyak.

“Tunggu di kamar, ya. Nanti, kalau Ayah udah dateng, Papa panggil Jinu.” pungkasnya karena Wooseok tidak tahan berlama-lama melihat sang anak yang memasang wajah sedih, hatinya hanya akan semakin perih.

Jangan lagi, Lee Jinhyuk.

Tolong.

Aku tidak akan pernah tahu mau sebagaimana lagi Jinu dibuat kecewa kalau hari ini kamu tidak datang.