om tinggi

“Wooseok?”

Dari sebrang sana, Jinhyuk bisa mendengar suara Wooseok yang terisak pelan tanpa menjawab, dia menjauhkan teleponnya sebentar untuk melihat panggilannya tersambung karena barusan Wooseok jelas-jelas mengangkat telepon darinya, “Wooseok, dengar aku? kamu di mana?” tanyanya lagi dengan nada yang lebih lembut.

Setelah beberapa saat akhirnya ada jawaban walaupun terdengar serak, “Kantin kantor.”

Jinhyuk sengaja menepi ke arah tangga darurat, mencari tempat sepi di kantornya dan meninggalkan beberapa temannya yang tadi mengobrol bersama. Dia kembali membuka suara setelah menutup pintu, lalu duduk di anak tangga ketiga yang menuju lantai atas.

“Masih menangis dan diliatin orang?”

“Masih.”

Entah mengapa Jinhyuk bisa tersenyum diantara rasa khawatirnya sekarang, membayangkan Wooseok menyuap makanan sambil menangis malah membuatnya mengingat masa lalu.

Yang ada di bayangan Lee Jinhyuk saat ini seperti Jinu waktu kecil dulu ketika menangis karena tidak sabar ingin bermain dengannya, namun Wooseok menyuruhnya makan siang terlebih dulu dan dia yang hanya mampu menunggu sambil menghibur sang anak, sesekali membantu mengusap air mata yang ada di pipi kembung yang sibuk sambil menguyah makanan itu.

“Minum dulu, nggak apa-apa, Wooseok. Tenangin diri dulu, ya? Aku juga sama mau nangis pas baca chat Jinwoo tadi.”

Jinhyuk dengar selanjutnya suara Wooseok yang membuka air mineral dan meminumnya, “Sudah?”

“Hmm.”

Wooseok masih terisak di sebrang sana, mengambil tisu dan mengusap air matanya, ia menunduk saat melihat beberapa pasang mata masih ada yang melirik ingin tahu padanya. Tentu saja ia sadar kalau tingkahnya ini bisa menarik perhatian, makan sambil menangis, kurang aneh apalagi ia sekarang di mata rekan-rekan kerjanya.

Genggaman tangannya pada ponsel yang ada di telinganya semakin mengerat ketika Jinhyuk kembali berbicara, “Boleh aku temani kamu lewat telepon? biar kamu nggak sendiri. Silahkan lanjutin makannya sampai selesai, Seok.”

Ada anggukan kecil yang Wooseok berikan, namun tangannya mendorong jauh piring makan siangnya yang masih tersisa setengah dari yang sudah ia makan, “Sudah selesai.” ucapnya, “Aku gak bisa makan lagi.”

Walaupun ucapan Wooseok terbata-bata karena masih menangis, Jinhyuk di ujung sana bisa mengerti dan dia mengiyakan, paham betul pasti selera makan Wooseok mungkin sudah hilang daritadi.

Sekarang, sambungan mereka justru diisi tanpa kata apapun, Jinhyuk mencoba menunggu Wooseok yang memang masih menghentikan tangisnya walaupun setiap isakan pelan Wooseok yang dia dengar berhasil membuat Jinhyuk merasa seperti ada yang menekan dadanya.

Ingin sekali dia memastikan langsung keadaan Wooseok saat ini, mungkin lebih lancangnya lagi, ingin sekali dia mengilangkan jejak air mata yang sekarang memenuhi pipi tirus Wooseok.

“Jinwoo tadi chat aku, minta tolong buat mastiin kalau kamu nggak apa-apa, khawatir sekali dia sama Papanya.” ucap Jinhyuk saat tangis Wooseok terdengar mereda, “Sudah, ya? Jangan nangis lagi.”

“Maaf...” Wooseok berbisik.

“Nggak apa-apa, nanti aku bilangin. Dia takut soalnya gara-gara dia yang bikin kamu nangis.” Jinhyuk sedikit menimbang saat akan kembali berbicara, bahkan dia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal sama sekali, ada ragu yang terselip di kalimatnya, “Bahkan, Jinwoo sempat bilang.. apa perlu ganti nama grup kita biar Papa nggak nangis. Jinwoo—”

“Jangan.” sela Wooseok cepat memotong ucapan Jinhyuk.

“Jangan?”

“Jangan diganti, tetap seperti itu. Seperti maunya Jinu...” Wooseok menggigit bibirnya, mengambil napas panjang sebelum kembali melanjutkan, “Kan memang benar, nggak ada yang harus diganti.. aku dan Kak Jinhyuk, kita memang rumah bagi Jinu.. karena kita orang tuanya.”

Jinhyuk hanya mampu bereaksi dengan anggukan kecil, paham kalau alasan Wooseok menangis karena arti rumah yang dimaksud oleh sang anak, karena dia pun sama seperti itu. Hanya saja memang Jinu yang berpikir kalau sedihnya sang Papa harus membuatnya mengganti nama tersebut.

“Mengetahui arti rumah buat Jinu, lalu sebelumya dia bahkan harus nunggu lama hanya untuk sebuah grup chat membuatku merasa bersalah.” Wooseok mengusap wajahnya, suaranya terdengar lemah di pendengaran Jinhyuk dan tercekat, “Aku nggak cukup baik ya kak sebagai Papa?”

Jelas kedua alis Jinhyuk langsung bertemu kala keningnya berkerut tajam, tidak setuju, “Kok ngomongnya gitu sih, Seok.” ucapnya tidak mengerti.

“Nggak ada yang lebih baik sebagai orangtuanya Jinwoo selain kamu. Nggak ada, bahkan aku nggak akan pernah berani sama sekali membandingkan diriku sama kamu karena aku, jelas Ayah yang bersikap buruk.”

“Kamu pikir siapa yang selama ini selalu ada buat Jinwoo? kamu, Wooseok. Jawabannya cuma kamu. Dan aku nggak perlu ngasih tahu kamu sesayang apa Jinwoo kepada Papanya, kamu jelas tahu itu.”

Wooseok bisa merasakan ujung matanya kembali menghangat saat mendengar ucapan Jinhyuk, ia menunduk, menyembunyikan wajahnya di atas meja dengan ponsel yang masih menempel di telingannya, “Aku takut akhir-akhir ini ada yang salah sama aku karena Jinu nggak berani bilang apa-apa ke aku langsung, kak...”

“Nggak ada, aku jamin. Kita kan udah tahu tadi alasannya, Jinwoo hanya takut nggak dikasih izin. Mungkin Jinwoo pikir kita nggak akan nyaman kalau ada dalam satu grup obrolan atau apa pun itu. Bukan karena kamunya, Seok. Tolong jangan pernah berpikir seperti itu lagi, ya?”

Jinhyuk tidak habis pikir, kenapa Wooseok sampai punya pikiran seperti itu. Namun, harus diakuinya, mereka terbiasa saling terbuka, saling cerita, dia juga sedikit menyayangkan kenapa sang anak sampai setakut itu untuk bilang keinginan yang bahkan sangat sederhana menurut mereka.

“Sudah, Wooseok.. habis ini, kabarin Jinwoo, ya? Jangan buat dia khawatir. Apa perlu sama aku?”

“Nggak usah, sama aku aja.”

Ada nada lega yang dikeluarkan oleh Jinhyuk saat ini, berharap Wooseok sudah baik-baik saja di sana saat sudah tidak terdengar isakan lagi. Karena bukan hanya Jinwoo, dia pun jauh lebih khawatir.

Jinhyuk melihat jam di pergelangan tangannya, waktu istirahat mereka sudah hampir habis.

“Masih di kantin? Masih diliatin orang? Nggak takut nanti digosipin loh Pak Wooseok nangis sambil makan.”

Wooseok mendengus dan tertawa kecil di ujung sana, bisa didengar jelas oleh Jinhyuk yang membuat dia menarik kedua sudut bibirnya berlawanan, “Sudah ya? nanti kalau kedengeran sama Seungwoo, pasti yang disalahinnya aku.”

“Ngapain nyalahin kamu. Nggak nyambung.” sahut Wooseok sambil perlahan beranjak dari sana, mengabaikan tatapan orang-orang yang masih mengekorinya. Ia berjalan dengan telepon yang masih menempel di telinganya.

“Bisa jadi, Seok. Di mata Seungwoo, siapa lagi yang bisa buat kamu terluka kalau bukan aku orangnya.”

Langkah kaki Wooseok melambat saat mendengar balasan Jinhyuk di ujung sana. Namun, yang ia lakukan hanya bergumam pelan, tidak ingin berkomentar banyak atau pun menanggapinya apalagi saat ia dengar ada getar penuh sesal yang diucap oleh Jinhyuk.

Punggung Wooseok kemudian bersandar pada tembok yang menghadap ke taman kecil di sudut bangunan dalam perjalannya kembali ke ruangannya, berhenti sejenak.

“Kak Jinhyuk... makasih.” katanya sungguh-sungguh.

“Buat?”

“Buat sekarang...” lanjutnya, mengambil napas panjang, “Makasih udah menghubungiku, makasih udah buat aku merasa lebih baik.. dan nggak sendiri.”

Jinhyuk langsung beranjak dari duduknya, tidak bisa dia menyembunyikan senyum lebarnya saat mendengar perkataan Wooseok barusan, kalau bisa ingin dia rekam, ingin dia ulang terus-menerus.

“Kapan pun, Wooseok. Kapan pun kalau kamu butuh teman, butuh tempat, butuh sesuatu, aku sudah berjanji, buat kamu, buat anak kita, kalau aku akan berusaha selalu ada untuk kalian. Walaupun aku sadar, masih banyak sekali kurang. Tapi, aku mau jadi Ayah yang baik buat Jinwoo.”

Juga, pasangan yang baik buat kamu.

“Makasih, kak.” bisik Wooseok sekali lagi, kali ini dengan senyum yang tampak samar di sudut bibir kecilnya, dengan perasaan hangatnya yang ia dapat karena ucapan Jinhyuk, juga dengan bahu yang terasa lebih ringan.

“Sama-sama, Wooseok.” balas Jinhyuk.

Dia kemudian sedikit gusar, menaiki anak tangga lalu menuruninya lagi saat di ujung sana Wooseok tidak mengeluarkan suara ataupun menutup panggilan, dan mereka masih tersambung.

“Mobil kamu masih di bengkel?” Jinhyuk bertanya setelah beberapa detik hening, dia mengetuk-ngetuk pegangan tangga karena sedikit gugup.

“Masih, lusa baru diambil.” jawab Wooseok begitu tenang, berbeda sekali dengan dirinya.

“Nanti, bisa tunggu dulu 30 menit? atau 20 menit aja, takutnya kelamaan. Kantorku lumayan jauh dari sana.”

“Maksudnya gimana?”

“Biar aku antar kamu pulang, boleh?”

Ada jeda cukup panjang di ujung sana yang hampir saja membuat Jinhyuk menyerah, mungkin memang belum, batinnya.

Kim Wooseok belum sepenuh itu untuk membuka kesempatan baginya, selama ini mereka memang bersikap baik sebagai orang tua untuk Jinu, namun hanya sebatas teman dalam hal lainnya, tidak lebih.

Mendapatkan maaf dari Wooseok saja adalah hal yang sangat disyukurinya, lebih dari apapun dan membuat sedikit beban di pundaknya terangkat. Lee Jinhyuk bahkan pernah berpikir untuk tidak serakah, hari-hari yang dilaluinya sekarang sudah jauh membuatnya merasa bahagia, merasa punya tujuan hidup yang jelas, bersama Jinu, juga bersama Wooseok walaupun dalam situasi seperti ini.

Wooseok masih membangun tembok untuknya walaupun tidak setinggi seperti di awal pertemuan mereka. Namun, kebersamaan mereka setelah beberapa tahun ini, walau perlahan, Jinhyuk meyakini tembok itu mulai terkikis.

Mungkin, kalau pun ada kesempatan nantinya tinggal menunggu waktu yang bicara dan selama apapun tidak masalah baginya, sekali lagi bisa seperti ini saja adalah hal yang selalu Jinhyuk syukuri tanpa henti, bersama mereka, menghabiskan waktu bertiga, adalah hari terbahagianya.

Jinhyuk ingin percaya apa yang pernah dikatakan oleh Adiknya, kalau saja Kim Wooseok tidak menerimanya, mungkin dia sudah diusir dari lama. Ada amin yang dia ucap di sudut hatinya kala itu, ada banyak harapan kalau yang kembali baik bukan hanya dia dengan sang anak, namun juga dengan Wooseok.

Memulai semuanya lagi dengan awal yang lebih baik, dengan cerita yang tidak penuh kekecewaan dan kesedihan, juga dengan luka yang telah dia torehkan begitu tega.

Jinhyuk tidak akan bertanya bagaimana arti rumah bagi Wooseok, tentang siapa yang dia anggap sebagai rumah itu sendiri, seperti halnya Jinu yang dengan jelas mengatakan kalau itu dirinya dan Wooseok.

Dengan apa yang dikatakan Jinu dalam pesannya, Jinhyuk bersyukur kalau itu setidaknya tersampaikan, kalau Wooseok membacanya, kalau Wooseok mengetahui bahwa ia dan Jinu sudah menjadi rumah bagi Jinhyuk, sudah menjadi orang yang paling penting, paling berharga yang dia punya di dunia ini.

“20 menit jangan terlambat.”

Telinga Jinhyuk tidak yakin hingga dia perlu memastikannya sekali lagi, dan saat yang didengarnya kemudian adalah suara tawa kecil Wooseok disebrang sana yang begitu menenangkan lebih dari apapun, berkata kalau dirinya tidak salah dengar.

Detik itu, Lee Jinhyuk dilanda perasaan lega yang luar biasa, “Sampai nanti, Wooseok dan terimakasih banyak, ya.” ucapnya dengan senyum lebar.

Kesempatan itu ada, untuk mereka.

“Jangan terlambat lagi, Kak Jinhyuk.”