“Papa?”
Wooseok yang sedang memasang kancing seragam baju Jinu hanya berdehem pelan dalam memberi respon. Anak yang baru berusia genap tujuh minggu lalu itu mengerucutkan bibir mungilnya merasa tidak puas dengan reaksi Wooseok untuknya yang hanya berdehem.
Seakan paham dengan responnya yang kelewat datar, Wooseok kembali mengulangi, “Kenapa, sayang?” akhirnya dia bertanya dengan melembutkan nada suaranya, tangannya kali ini sibuk memasangkan celana bermotif kotak-kotak berwarna hijau tua sebatas lutut serta memasangkan sabuknya. Kemudian tubuh Jinu diputar oleh Wooseok sekedar memastikan bagian depan dan belakang seragamnya sudah terpasang rapi.
“Mau ditungguin sekolahnya sampai selesai..”
Jinu berbisik ragu membuat Wooseok yang kali ini sedang menyisir rambutnya terdiam sebentar lalu menaikan alisnya, “Kenapa? kan Jinu sudah mau dua bulan masuk sekolah dasar. Kok masih mau ditungguin?” tanyanya penasaran.
Sang anak hanya menggelengkan kepalanya dengan wajah merajuk, mata bulatnya tiba-tiba berkaca-kaca menatap Wooseok dan bibirnya bergetar, “Jinu.. mau ditungguin.. sama Papa..” katanya dengan suara tercekat.
Kaget melihat reaksi Jinu yang akan menangis, Wooseok langsung memeluknya dan menggendong sambil mengusap-usap punggungnya dengan lembut, “Iya.. iya.. Papa tungguin nanti, ya.” bisiknya menenangkan membuat Jinu menganggukkan kepalanya. Walaupun bingung, Wooseok memilih mengiyakan terlebih dahulu daripada Jinu menangis dan malah tidak mau sekolah, bisa repot urusannya.
“Jangan nangis, Jinu sekarang sudah bukan anak tk lagi.”
Wooseok berkata sambil membawa tas sekolah Jinu yang sudah disiapkan di atas tempat tidur. Masih sambil menggendong Jinu dia kemudian berjalan ke luar kamar menuju meja makan dan menurunkan anaknya agar duduk di atas kursi.
Terlihat di atas meja makan sudah tersedia roti tawar dengan selai coklat dan seres kesukaan Jinu untuk sarapan yang sudah Wooseok siapkan sejak Jinu mandi. Jinu memang sangat menyukai coklat dan anehnya dia tidak mempunyai gigi bolong karena Wooseok rajin membawanya ke dokter gigi sejak kecil.
“Jangan nangis lagi, ya?” pintanya saat Jinu sudah duduk sambil mengusap pipinya yang basah. Tangan Wooseok secara spontan ikut mengusapnya dengan lembut, dia bahkan tidak sadar Jinu sudah mengeluarkan air matanya.
“Papa marah?”
Jinu bertanya pelan dan matanya memandang Wooseok penasaran. Ditanya seperti itu Wooseok langsung menggelengkan kepalanya, dia berjongkok di samping kursi yang diduduki oleh Jinu. Tangannya mengusap-ngusap pipi tembam Jinu dengan sayang, memberinya senyum hangat yang menenangkan.
“Papa gak marah sama sekali. Jinu gak nakal, Papa cuma mau Jinu jangan nangis. Terus besok sekolah sendiri, ya? Papa anterin tapi jangan ditungguin. Kan sekelas sama Dodo, Jinu gak sendirian.”
Senyum Wooseok semakin lebar saat Jinu mengangguk kecil dan kemudian memeluk lehernya erat.
“Besok dijemput sama mbak, ya? kan Papa harus kerja biar Jinu bisa beli mainan.”
“Iya, Papa. Besok Jinu sama mbak.”
“Anak pinter, Jinu anak Papa.”
Wooseok tertawa kecil mendengar nada suara Jinu yang sedikit merajuk, terdengar sangat menggemaskan menurutnya. Wooseok melepaskan pelukannya dan langsung memberikan satu tangkup roti yang sudah diolesi selai coklat, “Ini Jinu sarapan dulu ya, sayang. Biar gak telat sekolahnya.” katanya dan Jinu hanya mengangguk patuh sambil perlahan memakan rotinya dengan gigitan kecil.
Perhatian Wooseok kali ini sepenuhnya hanya memperhatikan Jinu yang sedang makan dengan lahap terkadang selainya belepotan dan Wooseok dengan cekatan akan mengusapnya menggunakan ujung jempol tangannya dengan dibarengi sebuah tawa kecil.
Melihat keakraban di meja makan tersebut rasanya setiap orangpun akan tahu, betapa Wooseok sangat menyayangi anak di depannya ini. Jinu adalah segalanya bagi Wooseok. Tidak ada kebahagian yang lebih utama untuknya selain kehadiran Jinu di hidupnya sejak bertahun-tahun lalu.
Lee Jinwoo adalah sebuah anugerah untuknya.
“Papa boleh tahu, kenapa hari ini Jinu mau ditungguin?”
Wooseok kembali bertanya saat dia menyiapkan bekal makanan untuk Jinu ke dalam kotak makan, hanya beberapa potong sosis serta buah-buahan yang sudah dipotong-potong. Jinu tidak terlalu suka sayur, dan sudah sejak dulu Wooseok memutar otaknya agar Jinu mau makan sayur tapi tetap saja susah hingga sekarang.
Memang kalau yang satu ini, Wooseok tahu betul dari siapa Jinu menurun, Wooseok tidak bisa menampiknya.
Jinu sudah selesai sarapan, saat ini dia sedang memakan seres yang ditaruh di atas telapak tangannya. Anak itu menggelengkan kepala dan bibirnya kembali maju beberapa senti, “Papa tanya Dodo aja.” jawabnya singkat seperti tidak mau membahas hal ini semakin jauh.
Diselimuti rasa penasaran Wooseok akhirnya mengangguk mengiyakan, biar nanti saat di sekolah Wooseok akan bertanya pada bocah tembam kesayangan sahabatnya. Wooseok hanya takut terjadi hal-hal yang tidak-tidak di sekolah sehingga Jinu meminta untuk ditemani.
“Ya sudah.. ayo, berangkat. Ini pakai tasnya. Papa ambil kunci mobil dulu, ya.” Jinu langsung memakai tas tansel bergambar Spiderman nya dan berlari dari ruang makan ke depan rumah, “Jinu tunggu Papa di depan.” katanya sambil berteriak.
Melihat tingkah Jinu yang sangat bersemangat hari ini, Wooseok hanya bisa menggelengkan kepalanya, dia secepat mungkin berganti pakaian dan menyusul Jinu yang sudah memakai sepatunya dan menunggu di dekat mobil.
“Ayo berangkat, hari ini ditungguin Papa, asikkkk!!!!” katanya berseru senang saat mobil mereka mulai melaju meninggalkan rumah.
Wooseok tertawa melihat Jinu yang begitu senang karena akan ditemani olehnya seharian, satu tangannya tidak bisa ditahan untuk mengusap gemas puncak kepala Jinu walaupun sedang menyetir. Memang beberapa hari ini Wooseok juga selalu pulang hampir pukul enam sore, waktunya dengan Jinu benar-benar sangat sedikit.
Terpaksa Wooseok hari ini membolos kerja, biar saja nanti dia berbicara dengan Seungwoo. Paling juga bos sekaligus kakak sepupunya itu akan mengoceh dan ujung-ujungnya juga membiarkan, karena bagaimana pun dia juga sangat menyayangi keponakan ini.
Dulu ketika awal masuk sekolah dasar Jinu hanya butuh tiga hari untuk ditemani sampai jam pulang, Wooseok memaklumi kala itu biar bagaimana pun Jinu belum terbiasa dengan teman-temannya yang baru. Lagipula Jinu sudah tidak asing dengan sekolah, dia dan Dodo dua tahun sebelumnya sudah bersekolah di TK yang sama.
Namun, setelah dua bulan ini, Wooseok dibuat penasaran akan alasan Jinu yang sekarang. Biasanya ada mbak yang menjemput dan menemaninya di rumah hingga Wooseok pulang bekerja di sore hari, mbak yang sudah Wooseok percaya untuk mengasuh Jinu sejak anak itu berusia satu tahun, sejak Wooseok mulai bekerja.
“Sejin..”
Wooseok menyapa Sejin begitu dia turun dari mobil dan memarkirkan mobilnya. Sejin tersenyum lebar melihatnya dan kemudian senyumnya semakin lebar saat Jinu turun dari mobil dan menyapanya dengan semangat, “Halo om, hari ini aku ditungguin papa!!!” serunya dengan senyum lebar untuk pamer khas anak kecil.
“Wah beneran? Itu sama Dodo sana.” Sejin mengusak rambut Jinu dan menunjuk Dodo yang juga baru turun dari mobil.
“Jinu kalau di sekolah manggilnya Pak Guru, bukan Om Sejin.”
Wooseok mengingatkan namun sepertinya anak itu tidak repot-repot mendengarkan perkataan Papanya karena dia sibuk menghampiri Dodo yang memamerkan mainan baru di tangannya, sebuah mobil-mobilan.
“Tumben? kamu nungguin bukan mbak yang biasa jemput?”
Mendengar pertanyaan Sejin, Wooseok hanya menghela napas pendek, “Tadi Jinu tiba-tiba nangis, minta aku tungguin hari ini. Ditanya kenapa dia gak mau jawab, Sej. Aku juga bingung, malah disuruh nanya ke Dodo.” jelasnya sambil menatap kedua bocah yang sedang sibuk entah membahas apa, intinya Dodo pamer mainan baru.
Sejin mengerutkan keningnya mendengar ucapan Wooseok, setahunya kemarin tidak ada hal aneh yang terjadi pada Jinu. Walaupun Sejin bukan guru kelas satu tapi dia yakin kalau ada apa-apa wali kelas kelas satu yaitu Pak Kukun akan memberitahunya karena Sejin sudah menitipkan Dodo dan Jinu padanya.
“Coba tanya Dodo, aku jadi ikut penasaran, Seok.”
Wooseok mengangguk dan mendekati mereka berdua, Sejin juga ikut mendekat sambil mereka berjalan memasuki halaman sekolah, tangan Sejin menuntun tangan Jinu, “Jinu duluan yuk masuk kelasnya. Dodo, Om Wooseok mau ngobrol sebentar, dijawab ya.”
Jinu hanya menurut dan menoleh ke arah papanya, “Papa jangan pulang.” katanya mengingatkan dan dengan bebarengan Dodo mengacungkan jempolnya pada Sejin, “Oke, pap.”
“Papa nungguin di kantin sampai Jinu pulang.” Wooseok meyakinkan sambil tersenyum baru setelah itu Jinu balas tersenyum lebar dan mengikuti Sejin yang menunggunya dengan sabar.
“Dodo.. Om Wooseok mau tanya boleh?” Wooseok kali ini berjongkok di depan Dodo yang masih sibuk dengan mainannya, “Aku dibeliin ini sama Papi kemarin lho om, Transformer bisa berubah. Jinu mau juga katanya tadi.”
Belum apa-apa Wooseok sudah ragu dengan apa yang akan ditanyakannya pada bocah ini, “Iya mainannya bagus. Nanti Jinu juga beli yang sama kayak gini.” Wooseok mencubit gemas pipi Dodo, anak ini super sekali bandelnya seperti papinya, Seungyoun yang Wooseok kenal dari orok.
“Om Wooseok mau tanya, Jinu kemarin kenapa? Kok minta ditungguin sama Om Wooseok hari ini, katanya Dodo tahu?”
Bocah itu mengerutkan keningnya sebentar sambil memasang raut wajah bingung menatap Wooseok, emang Jinu kenapa? pikirnya.
“Jinu kenapa, om?”
Kan! anak ini malah balik bertanya membuat Wooseok semakin pusing, namanya juga anak-anak.
“Kemarin.. ada yang aneh gak sama Jinu pas di sekolah? Ada anak yang nakal sama Jinu?”
Wooseok kembali bertanya dengan penuh kesabaran, menjadi Papa selama tujuh tahun banyak sekali mengajarkannya bersabar dalam memahami setiap ucapan dan tingkah anak-anak.
Dodo awalnya menggelengkan kepala. Tapi, dia kemudian memasang wajah cerah seperti mengingat sesuatu.
“Kemarin ada om yang nyamperin Jinu waktu nunggu dijemput sama mbak. Dodo juga lagi nunggu Papi jemput. Kita duduk di situ.” telunjuk mungil Dodo menunjuk arah ayunan yang berada tidak jauh dari halaman sekolah.
Wooseok semakin mengerutkan keningnya tidak mengerti dengan ucapan bocah tembam ini, “Siapa? Dodo kenal gak?”
Kepala Dodo menggeleng cepat, “Dodo gatau, cuma denger om nya bilang Ayah Jinu, om nya juga nanyain Dodo anak siapa.” jawabnya kemudian.
Dan detik itu tubuh Wooseok berhasil dibuat limbung karena perkataan yang terucap dari bibir polos anak berusia tujuh tahun.
“Aku masuk kelas dulu, nanti dimarahin Pak Kukun kalau telat. Dadah Om Wooseok!!!”
Wooseok bahkan tidak sempat membalas ucapan Dodo yang langsung berlari menuju kelasnya. Dirinya masih terdiam dengan pikiran yang dipenuhi satu nama.
Tangannya dengan cepat merogoh saku celana untuk mangambil ponsel dan menelpon Seungyoun yang dipanggilan ketiga baru diangkat dengan suara serak khas bangun tidur. Memang Papi tidak tahu malu, anak dan suaminya sudah duduk di kelas dia masih molor.
“Apa, seok? Sorry gue baru bangun nih.”
“Youn.... Jinhyuk..” bisiknya pelan sambil menggigit bibirnya.
“Hah? Jinhyuk? ngapain lo bahas dia? pagi-pagi begini lagi.” nada Seungyoun terdengar tidak bersahabat di telinga Wooseok, bahkan terdengar mendengus keras diakhir kalimatnya.
Wooseok menghela napas sambil memejamkan matanya, “Jinhyuk ketemu Jinu, tanpa sepengetahuan gue, Youn.” ujarnya.
“Anjing! Gimana bisa?”
“Dodo, barusan gue tanya anak lo. Jinu tiba-tiba minta ditungguin sekolahnya sama gue dan Dodo bilang kemarin ada yang nyamperin mereka pas pulang sekolah. Dodo bilang itu... Ayah Jinu.”
“Gila, anjing. Berani banget si bangsat dateng lagi.”
Wooseok hanya bisa memijat keningnya mendengar berbagai umpatan yang diucapkan oleh sahabatnya itu hingga telinganya sedikit pengang.
“Gue takut.. Jinhyuk... lo tahu... gue bingung.. gue gatau harus gimana, Youn bantuin gue... gue gak berani cerita sama Kak Seungwoo..” Wooseok berbicara dengan gusar sambil menggigit kukunya.
“Oke, pasti gue bantuin, Seok. Lo tenang dulu, tugas lo tungguin Jinu aja sekarang. Jinu pasti takut banget ada orang asing yang ngaku-ngaku Ayahnya kemarin makanya dia sampai minta lo tungguin hari ini.”
Wooseok mengambil napas panjang mencoba untuk tenang. Dirinya sibuk memikirkan bagaimana kemarin perasaan Jinu. Ya Tuhan, Wooseok tidak bisa membayangkan kebingungan anak tujuh tahun itu saat seseorang yang tidak pernah dilihatnya tiba-tiba mengaku sebagai seorang Ayah.
Pantas Jinu sampai memintanya untuk ditemani hari ini. Jinu pasti takut.
Lee Jinhyuk benar-benar egois, sejak dulu.
Sudah dua minggu semuanya kembali berjalan normal, ketakutan Wooseok akan kehadiran Jinhyuk mulai mereda, Jinu juga tidak pernah memintanya untuk ditemani hingga pulang sekolah. Wooseok juga sudah memastikan dan menitip pesan pada mbak untuk memberitahunya apabila ada yang mendekati Jinu.
Namun, jantung Wooseok dibuat berdebar kala suatu malam saat dia membereskan tas Jinu untuk mengganti bukunya dengan pelajaran besok. Wooseok menemukan sebuah mainan yang dibungkus masih utuh, Wooseok berani bertaruh bukan dia yang membelikannya.
Langkah Wooseok langsung berderap dari kamar menuju ruang tv, disana dia melihat Jinu yang sedang mewarnai sambil tengkurap di atas karpet dengan tv yang menampilkan acara anak-anak. Wooseok duduk di sampingnya dengan perlahan, “Bagus... Jinu hebat warnanya rapi.” pujinya sambil mengusap lembut rambut Jinu.
“Makasih, Papa.” jawab Jinu masih fokus, kali ini dia mengganti crayon berwarna merah dengan warna hijau untuk mewarnai daun.
“Jinu.. punya mainan baru, ya?” Wooseok bertanya pelan.
Jinu terdiam sebentar lalu menggelengkan kepalanya tanpa menoleh ke arah Wooseok, kepalanya masih menunduk sibuk mewarnai, “Papa lihat di tas sekolah Jinu.” lanjut Wooseok.
Jinu tidak pernah diajarkan berbohong dari kecil, maka Wooseok terus memancing karena pasti anaknya lama-lama akan berbicara dengan jujur.
“Jinu ketemu Om Seungwoo atau Om Chan?” tanyanya mencoba berpikir positif, Seungwoo dan Byungchan begitu memanjakan Jinu dengan berbagai mainan mahal kalau datang berkujung. Sekuat hati Wooseok berharap itu memang dari Seungwoo, walaupun kemungkinannya kecil karena Seungwoo akan selalu memberitahunya ketika menemui Jinu.
“Bukan.”
“Terus dari siapa? Papinya Dodo?”
“Bukan.” Jinu kembali menjawab dengan singkat, tangannya masih sibuk dengan crayon.
Wooseok menggigit bibirnya saat kemungkinan terbesar yang akan dia dengar dari bibir mungil Jinu adalah Jinhyuk.
“Jawab Papa dulu, sayang.”
Wooseok melihat Jinu yang menghentikan kegiatannya dan menyimpan asal crayon nya. Anak itu bangun dan beringsut untuk duduk di pangkuan sang Papa. Melingkarkan tangan mungilnya di tubuh Wooseok dan menyembunyikan wajahnya di dada Wooseok.
“Dari om tinggi. Katanya buat Jinu, tapi belum Jinu buka, takut Papa marah.”
Om tinggi? Hati Wooseok mencelos seketika karena dugaannya benar. Pasti Jinhyuk. Jinhyuk kembali menemui Jinu, “Jinu ketemu dimana?”
“Sekolah, kemarin.”
“Kan papa sudah bilang, jangan terima barang dari orang gak dikenal. Nanti kalau itu orang jahat kan bahaya, sayang.” Wooseok memegang kedua pipi Jinu dan menatap serius, “Jangan diulangi, ya? Janji sama Papa.”
Mendengar nasihat Papanya entah yang keberapa kali Jinu hanya mengangguk kecil, namun kali ini mata bulatnya memandang Wooseok dan terlihat meragu, “Tapi kata om nya dia bukan orang asing. Dia bilang dia Ayah Jinu.”
Wooseok secepat mungkin merubah raut kagetnya dengan sebuah senyum tipis mencoba tetap tenang, walaupun hatinya ingin memaki sikap ceroboh Jinhyuk yang suka seenak jidat.
“Papa belum ketemu, siapa tahu dia bohong. Jinu kan belum pernah ketemu Ayah, jadi Jinu gak tahu wajahnya.”
Jinu lagi-lagi hanya bisa mengangguk-ngangguk mendengar ucapan Wooseok, dia kembali menyandarkan kepalanya di dada sang Papa, “Besok kalau ketemu om nya lagi, Jinu balikin mainannya, pa.” cicitnya takut-takut.
Sungguh Wooseok benar-benar menghela napas lega saat Jinu mengerti kekhawatirannya. Dia begitu bersyukur karena Jinu anak yang penurut sejak kecil. Dia tidak manja seperti Dodo yang apa-apa kemauannya dituruti oleh Seungyoun, si Papi kelewat gaul itu walaupun Sejin berulang kali mengingatkan tetap saja Seungyoun bebal, katanya duit gue buat siapa lagi kalau bukan buat Dodo.
“Ya sudah, diberesin ya. Waktunya Jinu bobo sekarang.”
Tangan mungil Jinu langsung membereskan crayon dan buku mewarnai yang berserakan, langkahnya berlari ke arah ruang mainan yang berada tepat di samping kamar mereka, sebenarnya itu adalah kamar yang Wooseok sulap untuk menyimpan berbagai mainan milik Jinu sejak kecil agar tidak tercecer sembarangan. Namun tetap saja, satu atau dua bongkahan lego akan tidak sengaja terinjak dimanan pun, terkadang di dapur bekas Jinu bermain sambil makan atau di depan tv.
“Sudah, Papa.” ujarnya untuk melapor sambil kembali ke ruang tv dan tangannya langsung bergelayut manja pada kaki Wooseok yang sedang sibuk mencari remote untuk mematikan tv.
“Bantu Papa cari remote, nak.”
Tangan Jinu langsung merogoh ke balik sofa dan dia dengan senyum lebarnya mengangkat remote tersebut, “Ini, tadi aku taruh disini.” katanya sambil tertawa senang, merasa menang dari sang Papa karena dia lebih dulu menemukannya.
Wooseok hanya berdecak pinggang dan mulai menggelitiki perut Jinu tanpa ampun, “Kamu jahil banget, negerjain Papa.” katanya sambil tertawa karena tawa Jinu begitu menular padanya.
Di rumah sederhana ini, suara gelak tawa dan rengekan selalu terdengar mengisi harinya. Begitu hangat walaupun diisi hanya oleh dua orang yang berstatus Papa dan anak.
“Papa? kalau om tinggi bukan Ayah, terus Ayah Jinu yang mana?”
Tepukan Wooseok di pantat Jinu berhenti beberapa detik, kebiasaan Jinu sebelum tidur adalah dipok-pok oleh Wooseok sambil bergelung di pelukannya. Dia akan kesusahan tidur kalau tidak ada Wooseok yang menepuk-nepuk pantatnya, pernah diajak menginap beberapa kali di rumah Seungwoo dan Byungchan langsung mengeluh karena tangannya pegal, Jinu minta dipok-pok tapi tidak tidur semalaman karena menangis ingin pulang dan tidur sama Wooseok, padahal sebelumnya setuju untuk ditinggalkan.
Mendengar pertanyaan tiba-tiba anaknya, Wooseok tidak tahu harus menjawab apa, dagunya ditumpu di atas kepala Jinu sambil membenarkan selimut yang menutupi tubuh keduanya.
“Jinu mau ketemu Ayah?” bisiknya sambil menciumi rambut sang anak, rambut Jinu selalu wangi karena dia selalu minta keramas hampir setiap hari.
“Mau, tapi kata Papa, Ayah lagi kerja.”
“Iya, Ayah Jinu kerjanya jauh.”
“Gak bisa pulang? naik pesawat atau kereta? Papi Dodo juga kerja tapi bisa pulang setiap hari.”
Wooseok mengusap ujung matanya mendengar pertanyaan Jinu yang teramat polos, anak usia tujuh yang harusnya bermanja dengan Ayahnya malah belum pernah sekalipun Jinu merasakannya.
Wooseok merasa kasihan dan bersalah sekaligus, Jinu putranya yang malang.
“Om tinggi itu bohong ya, pa? dia bukan Ayah Jinu?”
“Jinu tidur, ya? Besok lagi ngobrolnya. Papa ngantuk. Nanti sekolahnya kesiangan kalau gak bobo sekarang.”
“Oke, pa.”
Tubuh Jinu semakin bergelung di pelukan Wooseok dengan wajah yang disembunyikan di ceruk lehernya. Sejak kecil memang Jinu terbiasa tidur seperti ini. Kalau sedang rewel dan saat dia bangun Wooseok tidak ada, Jinu akan menangis. Namun, kebiasaan itu mulai dihilangkan oleh Wooseok sejak Jinu masuk sekolah dasar, “Kalau Papa gak ada jangan nangis, Jinu keluar kamar dan cari Papa di dapur.” begitu nasihatnya.
Selanjutnya saat Wooseok hanya mendengar napas teratur Jinu yang sudah tertidur. Kedua matanya perlahan kembali menghangat, Wooseok bahkan lupa kapan terakhir dia menangis. Namun, pembicaraan polos Jinu barusan berhasil membuat pertahanan yang sudah dibangunya bertahun-tahun kembali runtuh.
“Maafin Papa, sayang.” bisiknya begitu lirih sambil menciumi kepala Jinu, “Jinu sudah ketemu Ayah..”
⚠️ sebelum ke part selanjutnya ku beritahu ini omegaverse, ya! thanks.