plus one
you, me and coffe.
Sekitar pukul satu dini hari Lee Jinhyuk menghentikan mobilnya di depan rumah yang terlihat gelap dan sepi. Dia menoleh ke arah samping dimana ada Wooseok yang tertidur begitu pulas dengan tubuh ditutupi oleh jas miliknya yang dijadikan sebagai selimut.
Sengaja biar tidak dingin, walaupun tadi sempat ditolak tapi lama kelamaan diiyakan juga oleh Wooseok dan tentu saja wangi parfum Jinhyuk langsung ikut menempel kepadanya.
“Wooseok..” bisik Jinhyuk sambil menepuk bahunya pelan, dia mencondongkan tubuhnya setelah membuka seatbelt dan kali ini setelah lebih mudah, dia beralih menepuk pelan—cenderung mengusap pipi Wooseok yang menghadap ke arah jendela, “Kita sudah sampai.” ucapnya dengan sabar.
Ada satu senyum tertahan di sudut bibirnya saat yang dibangunkan justru bergumam tidak jelas dan masih enggan membuka mata, lucunya.
“Wooseok...” panggilnya sekali lagi masih dengan tangan yang belum beranjak dari pipi Wooseok.
Lagi, Wooseok bergumam tidak jelas, namun kali ini sambil terbangun dan mengucek matanya, ia bisa melihat Jinhyuk yang masih begitu dekat. Beruntung, rupanya Jinhyuk sadar akan jarak mereka yang terlalu dekat, dia langsung mundur kembali ke kursinya dan duduk dengan benar.
Oh sudah sampai? Wooseok melihat ke luar mobil dengan mata menyipit dan memang benar itu adalah rumahnya. Tangannya menurunkan jas milik Jinhyuk yang masih menutupi tubuhnya lalu dibiarkan ditaruh di atas pahanya.
Masih sambil menyandarkan kepalanya di kursi untuk mengumpulkan nyawanya, ia langsung melihat jam pada layar ponsel yang dipegangnya. Ada pesan Seungyoun satu jam lalu yang baru dibaca, berarti ia tertidur cukup lama hingga akhirnya sampai.
Wooseok segera membalas pesan temannya itu sambil menatap Jinhyuk yang baru saja menguap dan meminum air mineral, dia bahkan meregangkan tubuhnya sesaat sambil menempuk-nepuk pundaknya sendiri, kasihan Jinhyuk pasti capek.
Sekarang, ada rasa menyesal di hati Wooseok, kenapa nggak menginap saja sesuai ajakan Seungyoun tadi padanya. Padahal ia pernah diberitahu kalau rumah Jinhyuk dari sini cukup jauh.
“Jinhyuk maaf aku malah tidur. Kamu ngantuk banget, ya?” tanya dengan nada tidak enak, “Harusnya tadi kita nginep aja.. maaf...”
“Nggak apa-apa, Wooseok.” Jinhyuk mengulas senyum menenangkan saat dilihatnya raut wajah Wooseok yang terlihat bersalah, “Nanti biar aku mampir ke minimarket 24 jam. Harus beli kopi kayaknya.”
“Aku punya.” balas Wooseok cepat sambil menegakkan duduknya dan sedikit menyamping ke arah Jinhyuk dan Jinhyuk menatapnya tidak yakin, “Ada kopi. Di rumahku, banyak.” lanjutnya.
“Oh..” di balik kemudinya Jinhyuk hanya membeo pelan.
Jujur dia memang sudah sangat lelah dan sedikit mengantuk, apalagi sejak tadi hanya sendirian tidak ada teman berbicara karena Wooseok tertidur pulas.
“Masuk dulu aja. Aku takut kamu ketiduran sambil nyetir. Bahaya. Ini kan gara-gara aku juga, udah jam segini..” cemas serta sedikit memohon yang diucap oleh Wooseok karena ia betul-betul merasa tidak enak kali ini, “Mau ya, hyuk?”
Mampir di jam segini?
Jinhyuk sedikit meragu sambil melirik jam tangan di lengan kirinya. Tidak tega melihat bagaimana Wooseok sekarang yang menatapnya penuh harap serta dia sendiri yang memang butuh kafein membuatnya akhirnya setuju, “Boleh kalau gitu.”
Lalu, begitu saja saat akhirnya mereka turun dan Jinhyuk sudah berada di dalam rumah Wooseok.
Ini bukan pertama kalinya Jinhyuk masuk ke sini karena selagi menunggu Wooseok bersiap untuk pergi dengannya, dia selalu dipersilahkan masuk. Bahkan, tadi pagi pun saat datang dengan terburu-buru serta perut kosong, Wooseok menyuruhnya sarapan terlebih dulu dengan roti lapis yang ia siapkan.
Namun, ini jelas yang pertama saat dia datang di pukul satu dini hari!! Paling malam pun Jinhyuk mengantar Wooseok pulang pasti dibawah pukul dua belas.
Wooseok bergegas menyalakan semua lampu rumah termasuk yang di teras saat Jinhyuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Saat ia membuka gerbang tadi, hanya rumahnya yang gelap gulita diantara para tetangganya. Karena memang tidak ada niat pulang sedikit pun sampai dini hari begini, makanya Wooseok tidak menyalakan lampu saat tadi pagi mereka pergi.
“Sini, hyuk.”
Jinhyuk yang baru keluar kamar mandi mendekat ke arah Wooseok yang berada di dapur dan sedang memanaskan air, “Tunggu sebentar ya, nggak lama kok.” katanya dan Jinhyuk tidak masalah dengan hal itu.
“Nggak apa-apa, diajak masuk pun aku sudah terimakasih, Wooseok.”
Rumah ini memang terasa sepi sekali mau bagaimana pun Jinhyuk mengedarkan seluruh pandangannya karena yang Jinhyuk tahu Wooseok itu memang tinggal sendirian.
Dan justru semakin sepi saat kemudian tidak ada pembicaraan apapun yang terjadi diantara keduanya.
Wooseok sedang berdiri dan bersandar di meja makan memperhatikan teko berisi air dipanaskan, ia bahkan melipat tangan di dada sambil menggigit kuku jarinya saking gabutnya.
Kedua matanya diam-diam melirik dan mencuri pandang pada Jinhyuk yang berdiri di depannya kini sibuk bermain ponsel.
Jasnya sudah dibuka dan bahkan dijadikan selimut untuknya tadi selama tidur di dalam mobil, dan walaupun samar, Wooseok masih bisa mencium parfum Jinhyuk di sekitar bajunya sendiri.
Wangi lembut yang semakin familiar di penciumannya seiring semakin seringnya mereka bertemu.
Ia suka, wanginya bisa begitu menenangkan.
Sekarang apa yang dikenakan oleh Jinhyuk hanya kemeja putih yang digulung asal hingga siku serta celana bahan berwarna hitam yang membungkus kaki jenjangnya.
Sesuai apa yang pernah ditanyakan pemuda itu tadi pagi, mau seganteng dan serapi apa pacarnya Wooseok hari ini. Rupanya dibuktikan dengan sangat tepat, dilakukan dengan apa yang memang seharusnya Jinhyuk siapkan karena Kim Wooseok tidak punya keluhan apapun sejak tadi melihatnya di depan pintu.
Serapi dan seganteng apa Lee Jinhyuk hari ini sebagai pacarnya membuat dia tersenyum puas dan tanpa ragu memujinya.
“Begini lebih dari cukup, aku suka.”
Semakin Wooseok memperhatikan sosok di depannya, ia semakin sadar pula kalau Lee Jinhyuk yang tidak terlalu rapi begini juga.. tetap ganteng.
Namun, ada satu yang mengganggu yang membuatnya gatal.
Tanpa bisa dicegah tangan Wooseok mengambil tisu di atas meja dan kakinya melangkah kecil ke depan.
“Maaf ya...” ia berbisik lalu diusapnya sebagian kening Jinhyuk yang sedang menunduk menatap ponsel hingga ujung rambut kemerahannya yang masih basah sehabis mencuci muka dan sedikit berantakan jatuh secara acak di atas keningnya.
“Di kamar mandi ada tisu, hyuk. Masa nggak kelihatan.” ucapnya sedikit menegur.
Sempat mematung dalam tiga detik akibat mendapatkan perlakuan seperti itu secara tiba-tiba. Jinhyuk lalu tersenyum kecil, memilih memasukan ponselnya ke saku celana dan menurunkan tinggi tubuhnya agar lebih mudah bagi Wooseok, “Aku nggak lihat.” balasnya dengan nada halus yang membuat Wooseok begumam kecil.
Sebetulnya, bila dilihat oleh orang luar, oleh orang yang tidak tahu apa-apa tentang hubungan mereka, bukan saja Lee Jinhyuk yang sempurna berperan sebagai seorang kekasih.
Jauh lebih detailnya, sikap Wooseok sangat melengkapi segalanya dengan perhatian-perhatian kecil yang ia tunjukan tanpa sungkan.
Menata rambut Jinhyuk yang sedikit berantakan, membetulkan letak dasinya yang miring, merapikan lipatan jas ataupun kerahnya yang kurang rapi, juga ia selalu melingkarkan tangannya di lengan Jinhyuk di banyak kesempatan seakan tidak mau jauh dan melepaskan gandengan dari sang kekasih di dalam acara yang selalu ramai itu.
Jinhyuk memejamkan mata saat Wooseok menyuruh dan mengusap di atas alisnya, ditap tap dengan lembut hingga saat tisu itu pindah ke pipi baru Jinhyuk membuka matanya lagi.
Dirinya masih menekuk lutut saat ini sehingga wajah Wooseok berada tepat di depannya dan hanya berjarak beberapa senti saja.
Lebih dari cukup untuk membuatnya bisa menyapu seluruh pandangannya pada paras Wooseok, memperhatikan setiap detail dari wajah yang terlihat begitu tenang, berbeda sekali dengan tadi yang memerah menahan malu.
“Wooseok...” suaranya berbisik pelan, sedikit serak.
Namun, yang dipanggil tampak tidak berniat menjauhkan wajahnya sedikit pun. Ia malah menatap langsung kedua mata Jinhyuk ketika tangannya sampai di dagu pemuda itu dan mengulas senyum paling manis membuat sebagian akal sehat Jinhyuk jatuh ke dengkulnya.
Wooseok memajukan badannya hingga ia bisa merasakan napas mereka yang beradu, keping mata Jinhyuk sedikit melebar saat wajah Wooseok bergerak ke samping dan berbisik di telinganya.
“Airnya sudah panas, hyuk.”
Sialan.
Boleh mengumpat tidak sih?!
Lee Jinhyuk langsung menegakkan badannya lagi, wajahnya merenggut menatap Wooseok yang langsung berjalan meninggalkannya untuk membuat kopi tanpa rasa bersalah seakan yang barusan bukan apa-apa.
“Wooseok bercandanya gitu ya..”
Gumaman Jinhyuk itu jelas bisa didengar oleh Wooseok yang langsung meliriknya dan kemudian tertawa jahil yang tampak begitu puas, “Kamu pikir emangnya aku mau ngapain sih.”
“Enggak tahu tuh, kok tanya aku.” kilah Jinhyuk tidak mau memperpanjang, jangan sampai Wooseok berpikir yang bukan-bukan tentang dirinya.
Setelahnya, diberikan gelas kopi tersebut pada Jinhyuk yang sekarang sudah duduk, Wooseok juga memegang gelas lain yang berisi teh hangat.
Mereka duduk saling berhadapan di meja makan yang memang tidak terlalu besar, ditemani dengan suara detik jarum jam yang tidak bisa dihentikan, bergerak konstan hingga jarum panjangnya menyentuh angka lima.
Hampir setengah dua dini hari.
“Kamu nggak ngantuk?” tanya Jinhyuk setelah menyesap kopinya, menatap Wooseok yang memegang gelas dengan kedua tangannya lalu meniup-niup isinya.
“Nggak terlalu, kan udah tidur tadi di mobil.”
“Aku habisin cepet deh. Biar Wooseok bisa istirahat lagi.” lanjut Jinhyuk dan kembali meminum kopinya sedikit terburu.
Sedangkan di depannya, Wooseok memilih menaruh gelasnya, melipat kedua tangannya di atas meja sambil menggelengkan kepala tanda tidak setuju, “Senyamannya kamu aja, hyuk. Sampai nggak ngantuk.” ia tersenyum tipis, “Aku nggak apa-apa kok.”
“Beneran?”
“Iya, Jinhyuk.”
Tanda setuju, tidak ada yang akan dirugikan dan keberatan.
Lalu, ada obrolan yang kemudian mengalir diantara mereka, hal yang jarang, sangat jarang seperti ini terjadi suasai ada acara bersama. Karena biasannya pertemuan mereka hanya sampai Jinhyuk yang mengantar Wooseok pulang, setelahnya tidak ada apa-apa lagi.
Ruang makan itu, sampai pukul satu empat puluh menit menjadi tidak sepi, menjadi tempat paling hangat yang Wooseok punya dari seluruh bagian sisi rumahnya malam ini.
Bersama Jinhyuk, bersama orang yang berkali-kali membuatnya tertawa.
“Kayaknya aku pulang sekarang aja.”
Jinhyuk kemudian berjalan kearah ruang depan dengan Wooseok yang ada di sampingnya untuk mengantar. Dia sudah merasa tidak mengantuk lagi untuk kembali menyetir setelah obrolan dan tawa kecil yang sesekali terjadi diantara mereka sambil menghabiskan kopi barusan.
Pintunya belum dibuka saat Jinhyuk menatap Wooseok lebih dulu, acara hari ini selesai dan entah kapan lagi Wooseok akan menghubunginya. Sayangnya memang sangat tidak menentu sekali waktu untuk pertemuan mereka.
Jinhyuk menarik kedua sudut bibirnya, kembali tersenyum selembut tadi tidak perduli di sini hanya ada mereka, karena bukan untuk dipamerkan pada yang lain, bukan.
Hanya untuk Wooseok.
“Selamat malam Wooseok. Langsung istirahat, ya. Aku pulang.” pamitnya.
Wooseok mengangguk, berkata hati-hati.
Namun, setelah melihat tubuh jangkung Jinhyuk berbalik untuk membuka pintu, ada rasa tidak rela yang menyeruak dalam hatinya.
Ingin lebih, ingin sering melihat wajah dan senyumnya.
Wooseok yang sempat terdiam dan sibuk dengan pikirannya itu justru ikut melangkah, menahan cepat lengan kanan Jinhyuk sebelum pergi dan membuka pintu.
“Hyuk..”
Ada kata kenapa yang belum sempat diucap Jinhyuk dan teredam kembali di pangkal tenggorokannya saat tahu-tahu Wooseok yang sudah di depannya berjinjit dan kembali mendekatkan wajahnya.
Tepat di sudut bibirnya, Jinhyuk bisa meraskan kecupan itu dengan teramat jelas diantara kagetnya.
Yang hangat.
Yang teramat lembut mengusap kesadarannya.
”...makasih untuk hari ini.” bisik Wooseok sambil menurunkan kakinya lagi, memberi jarak yang ternyata tidak terlalu berarti karena Jinhyuk masih bisa merasakan napasnya begitu dekat.
Kedua netra Jinhyuk menatap Wooseok yang mengulas senyum manis seperti tadi saat menjahilinya, namun kali ini berbeda, yang barusan itu memang benar-benar nyata dilakukan lebih dulu oleh Wooseok.
Sebagian sisa akal sehat Jinhyuk yang tadi jatuh ke dengkul rupanya masih belum kembali karena sekarang yang dia lakukan adalah menunduk dengan satu tangan yang langsung menangkup pipi Wooseok dan membuatnya mendongak.
Ditatapnya dalam-dalam kedua iris kecoklatan itu sebelum akhirnya dia benar-benar balas menciumnya.
Tidak, tidak pernah sekalipun hal seperti ini terjadi sebelumnya diantara mereka berdua. Karena hubungan mereka hanya terjadi saat di depan orang banyak, di setiap acara yang dihadiri oleh Kim Wooseok yang hanya membutuhkan kehadirian Lee Jinhyuk.
Dan tidak pernah sekalipun Jinhyuk bepikir kalau Wooseok akan menciumnya lebih dulu seperti tadi karena ada batasan yang coba selalu dia terapkan diluar apa yang diminta Wooseok sebagai pacarnya.
Jinhyuk masih menunduk saat Wooseok menarik dirinya dan melepaskan ciuman mereka. Yang bisa dilakukannya saat ini hanya menyentuh keningnya dengan kening Wooseok sambil memejamkan mata, dengan tangan yang entah sejak kapan berada di pinggang Wooseok yang bersandar di tembok tepat di samping pintu yang tadi belum sempat dibuka.
Wooseok yang masih mencoba meraup napas banyak-banyak mengusap pipi kiri pemuda itu dengan pelan dan menatapnya dengan sorot ingin tahu, lalu bertanya nyaris seperti bisikan, “Sama pacar kamu yang lain seperti ini juga?”
Pacar yang lain, Lee Jinhyuk sedikit tergangu dengan penggunaan kata tersebut. Sangat. Karena dia tahu arti pacar yang lain yang dimaksud oleh Wooseok.
Tentu tidak!
Dia membuka matanya perlahan, menatap Wooseok sehangat yang dia bisa, membawa telapak tangan yang berada di pipi ke depan bibirnya, dikecup dengan pelan dan lama sebelum menjawab.
“Cuma Wooseok.” jawabnya serius.
“Nggak ada yang lain.”
Dada Wooseok seperti penuh yang bisa membuatnya meledak ketika mendegar jawaban Jinhyuk untuk rasa ingin tahunya.
“Cuma Wooseok.” ucap Jinhyuk sekali lagi sambil mencium pelipis Wooseok dan menahannya cukup lama juga mengusak hidung mancungnya di sakitar rambut Wooseok yang lembut dan wangi.
Wooseok benar-benar terdiam mendengarnya, menatap lagi ke dalam netra Jinhyuk yang masih menatapnya begitu hangat hingga rasa panas menjalar ke seluruh wajahnya.
Lalu seakan belum cukup meyakinkan, ibu jari Jinhyuk mengusap pipinya dengan teramat lembut.
“Dari awal, pacarnya aku itu memang Wooseok.”
Kali ini, dikecupnya sudut bibir Wooseok seperti bagaimana yang tadi Wooseok lakukan padanya, “Semoga Wooseok juga berpikir seperti itu.”
Sudah cukup!
Wooseok terlihat akan menangis menatap Jinhyuk, ia bahkan mengigit bibirnya sebelum berbicara, “Jinhyuk, free?” tanyanya pelan.
Kehadirannya yang entah sejak kapan menjadi hal yang sangat penting, yang mampu melengkapinya juga diinginkannya sekaligus.
Kedua alis Jinhyuk bertemu dan sedikit bingung mendapat pertanyaan seperti itu, dan belum lagi Wooseok yang terlihat akan menangis sambil memegang sisi kemejanya dengan erat.
“Sekarang? Kenapa, Wooseok? mau ditemani kemana jam segini, hmm?”
“Enggak mau kemana-mana.” jawab Wooseok dengan suara lirih, kedua bola matanya yang jernih itu sedikit berkabut saat kembali berbicara, “Temani di sini.”
“Menginap maksudnya?”
“Iya, tapi gak pake fee tambahan...” cicitnya dengan bibir mengerucut dan tatapan penuh harap.
Lee Jinhyuk tidak bisa menahan tawanya saat mendengar suara Wooseok, bahkan sampai melempar kepalanya ke balakang karena Wooseok saat ini terlihat begitu lucu di matanya.
“Boleh boleh, tentu saja. Aku nggak pernah minta apa-apa.” ucapnya sambil mencubit gemas kedua pipi Wooseok yang kali ini terlihat memerah walaupun samar.
“Sudah nggak usah sedih apalagi mau nangis gitu.” lanjutnya dan membawa Wooseok ke pelukannya.
Wanginya semakin jelas, menenangkan Wooseok yang langsung memeluknyaa dengan erat dan kembali menyembunyikan wajah di dadanya, “Jadi plus one aku sampai besok...” pintanya dengan suara teredam.
“Oh, cuma sampai besok? padahal cuma Wooseok yang ingin aku temani setiap hari nggak hanya di setiap acara.”
because being alone was never hard before i met you.