au eskalator
Jinhyuk menghela napas panjang saat melihat pesannya hanya dibaca oleh Wooseok, ponselnya di letakan begitu saja di atas meja dengan layar yang masih menunjukkan chatroomnya. Tangan kanannya memijit keningnya, tampak pusing. Sesulit itu untuk mengerti apa mau Wooseok sebenarnya.
Tingkahnya menarik perhatian Airin yang memang masih duduk di ruang tamu bersamanya. Yang juga melakukan hal sama, telah mengirim pesan pada Wooseok, adiknya yang sangat-sangat keras kepala.
“Gak dibales, teh.”
Jinhyuk berucap pelan, netranya beberapa kali melirik ke arah tangga, menunggu presensi Wooseok yang tak kunjung nampak.
Airin atau yang biasa dipanggil Teteh itu menatap Jinhyuk prihatin, “Jinhyuk, teteh mau nanya. Pas ushin insomnia waktu itu, kalian ada telponan gak?” tanyanya.
Jinhyuk mengalihkan tatapannya pada Airin sambil membuat raut wajah bingung, “Enggak, memangnya kenapa, teh?” boro-boro telponan, panggilannya saja langsung direject oleh adiknya.
“Oh, kirain. Pas bangun tidur matanya sembab banget. Teteh tanya katanya baru tidur jam 4an gitu. Padahal jelas banget itu habis nangis.” Airin sedikit menerawang mencoba mengingatnya, “Oh iya, belum lagi ngeluh pusing, akhirnya pas berangkat ke kampus dianterin karena gak kuat kalau nyetir sendiri, teteh juga gak bakal ngasih izin takut ada apa-apa.”
Jinhyuk menelan ludahnya kasar saat mendengar cerita Airin, mereka memang tidak telponan, tapi malam itu kan pas mereka kembali membahas-pertikaian-masa lalu.
Benar, itu saat Wooseok menangis, saat Jinhyuk juga kalang kabut mengingat hubungan setelah satu bulan akhirnya kembali bercakap langsung hancur lagi dalam semalam, juga saat akhirnya Jinhyuk memutuskan untuk tidak lagi mengaharapkan hubungan yang tidak perlu dipertahankan, semuanya memang harus selesai.
Antara dia dan Wooseok
Airin tersenyum tipis sambil menatap Jinhyuk yang masih terdiam, “Teteh sebenarnya sudah percaya sama kamu buat jagain Ushin. Kamu bisa tahan setahun lebih sama dia, hebat banget. Apalagi jaman kamu masih pdkt dan gak ditanggapi. Tapi, memang kayaknya gak bisa lagi ya? Teteh tau ushin masih sayang sama kamu, hyuk dan teteh juga bisa tau kamu juga masih sama. Tapi, kadang semuanya gak sesuai sama apa yang kita mau.” Airin tampak menjeda sebelum kembali melanjutakan ucapannya, “Ushin terlalu keras kepala anaknya, kamu gak bisa maksa. Biar dia sadar sendiri, nanti juga nyesel.”
“Bohong kalau saya bilang udah gak sayang atau udah gak cinta sama ushin. Tapi, dengan keadaan kita yang kayak gini, saya juga ragu, teh. Belum lagi kasian ushin, dia belum bisa lepas dari kecewa sama saya dan jujur saya juga.”
Jinhyuk menyandarkan punggungnya pada kursi, lelahnya tampak nyata bukan hanya di pikirannya saja. Masalah yang sudah menyangkut hati, perasaan dan kepercayaan memang tidak bisa dianggap remeh begitu saja.
“Ushin bakal terus melabeli saya selingkuh dan saya yang akan terus berpikir tidak nyaman karena merasa dituduh pada apa yang saya gak lakukan sama sekali. Makanya tujuan saya kesini buat ngelurusin semuanya, teh.”
Airin mengangguk paham mendengar penjelasan Jinhyuk, sedikit banyak dia tahu ceritanya dari Ushin tentu saja, namun dari sisi Jinhyuk dia juga sudah mendengar, semuanya hanya salah paham. Kenapa mereka sangat sulit menyelesaikannya? yang paling tidak habis pikir tentu saja dengan tingah adiknya. Wooseok lebih milih menutup mata dan menulikan telinga, tapi malah membiarkan hatinya tersakiti oleh pikiran dan tingkahnya sendiri.
Airin tidak mau ikut campur terlalu jauh, mereka sama-sama sudah dewasa yang malah bertingkah kekanakan, biarkan saja. Ia menatap Jinhyuk lurus-lurus lalu mengedikkan dagunya ke arah tangga,
“Mau teteh yang maksa dia turun, atau kamu yang ke atas? Selesain cepet, jangan lama-lama ngambang kayak gini. Perjelas, mau balikan atau pisah.”
Jinhyuk tersenyum masam mendengarnya, tapi dia langsung berdiri sambil menggelengkan kepalanya membalas tatapan Airin, “Maaf teh, saya rasa berpisah yang terbaik. Kalau gitu saya izin ke atas, ya. Gak lama kok.” katanya lirih.
Jinhyuk menyambar ponselnya yang tadi diletakkan di atas meja, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Dia juga mengambil sebuah paperbag yang daritadi tergeletak di atas kursi.
Mengangguk sebentar pada Airin sebelum benar-benar melangkahkan tungkainya masuk semakin dalam ke kediaman kakak beradik itu.
Langkah kakinya masih mengingat jelas dimana harus berhenti setelah memasuki lantai 2, setahun terakhir rumah ini banyak sekali menyimpan kenangan yang masih bisa terputar jelas diingatan Jinhyuk.
Karena kalau boleh jujur kebanyakan mereka menghabiskan waktu di rumah Wooseok, sekedar menonton film, bermain games, mengerjakan tugas atau makan bersama. Semua karena Wooseok yang kesepian hanya tinggal berdua dengan kakaknya, orang tuanya tinggal di kota yang berbeda.
Wooseok juga tidak terlalu suka menghabiskan waktu di cafe yang ramai, paling hanya sesekali kalau sedang jenuh, mereka punya cafe langganan tempat dessert favorit Wooseok dan Jinhyuk tidak pernah merasa keberatan sama sekali, bersama Wooseok tidak ada waktu yang merasa ia buang sia-sia.
Langkahnya berhenti tepat di depan pintu berwarna coklat kayu dengan foto Wooseok saat kecil yang tergantung di depannya, katanya dulu itu sengaja dipasang saat dia smp dan tidak ada niatan untuk dilepas lagi hingga sekarang. Jinhyuk mengulas senyum tipis melihatnya, tangannya mengusap foto itu dengan perlahan, teramat sangat hati-hati walaupun tentu saja tidak akan rusak karena telah dipasang bingkai. Untuk terakhir kalinya Jinhyuk bisa melihat Wooseok kecil dengan pipi tembam yang sedang tersenyum dan tampak sangat menggemaskan itu.
Jinhyuk mengetuk pintu dua kali hingga terdengar suara sahutan Wooseok yang menyuruhnya masuk, tentu saja dia mengira kalau itu adalah ketukan dari kakaknya.
Jinhyuk menghembuskan napasnya perlahan, sebelum benar-benar membuka pintu didepannya. Presensinya membuat Wooseok memekik kaget, tentu saja dia tidak akan menyangka kalau Jinhyuk sampai masuk ke kamarnya. Bahkan mungkin dia kira Jinhyuk sudah pulang setelah pesannya 10menit lalu tidak ia balas.
“Jinhyuk, ngapain lo?”
Wooseok langsung bangun dari kasurnya, langkahnya berderap hingga membuatnya berdiri di depan Jinhyuk yang menjulang, lalu dengan cepat melewatinya untuk membuka pintu, “Gue gak mau ketemu sama lo. Keluar.” katanya sambil menarik tangan Jinhyuk, sayang usahanya sia-sia.
Jinhyuk masih tidak beranjak, ia malah melipat tangannya di dada, “Gak, gue gak akan pergi sebelum ngomong.” katanya sambil menatap serius langsung ke dalam mata Wooseok. Membuat Wooseok mendengus dengan tatapan kesalnya.
Tangan Jinhyuk dengan cepat menutup pintu lalu menarik Wooseok agar duduk di tepi tempat tidur. “Diem, gausah banyak protes. Gue udah capek.” ucapnya tegas sambil menggeser kursi dari meja belajar untuknya sendiri duduk tepat di depan Wooseok. Ia meletakan paperbagnya begitu saja diatas meja belajar Wooseok tanpa berkata apapun.
Hening tepatnya suasa sangat canggung, bagaimana pun ini pertama kalinya mereka berduaan setelah putus. Kalau bertemu saja tentu pernah saat Jinhyuk beberapa kali mendatanginya di fakultas setelah putus, tapi selalu saja Wooseok bisa menghindar.
Waktu Jinhyuk datang langsung ke rumah sama saja, selalu katanya tidak ada. Tentu saja apa yang dikatakan maidnya hanya akal-akalan dari Wooseok yang tidak ingin bertemu. Hingga akhirnya, Jinhyuk lelah sendiri dan tanpa terasa sudah sebulan setelah kejadian (di)putus(kan)nya.
Jinhyuk menatap Wooseok, netranya menilik setiap inchi paras Wooseok yang sangat ia rindukan. Tidak ada yang berubah sedikit pun, Wooseok masih sama seperti setahun yang lalu bahkan sebulan lalu, oh ada satu yang diam-diam menyesakan hatinya, Wooseok di depannya bukan Wooseok nya lagi, bukan miliknya lagi. Jinhyuk hanya bisa tersenyum miris mendengar bisikan hatinya.
Sedangkan Wooseok memilih menatap ke sembarang arah, menghindar dari Lee Jinhyuk adalah keahlian barunya.
“Mau ngomong apa sih? cepetan. Biar cepet keluar lo dari kamar gue.”
Nada ketus Wooseok mengingatkan Jinhyuk pada perkenalan mereka dulu.
“Gue mau meluruskan semuanya, shin. Tentang gue yang keliatan gak ada beban di mata lo. Tentang lo yang gabisa bebas masih terjebak dalam pikiran lo, tentang gue yang gak PERNAH selingkuh, tentang semua kesalah pahaman, dan tentang hubungan kita kedepannya.”
Wooseok akhirnya membalas tatapan Jinhyuk, tampak berani walaupun jauh di dalam hatinya merasa gelisah. Tangannya meremas kedua sisi bajunya.
“Lo gak perlu ngomong, gapapa. Biar gue aja, lo cukup dengerin.”
“Harusnya masalah kita kelar sebulan lalu, harusnya gue gak capek buat ngejar lo buat ngejelasin semuanya. Harusnya lo gak usah ngehindar dan mertahanin ego lo. Siapa yang akhirnya sakit? Kita berdua, shin. Bukan cuma lo doang. Gue juga.” Jinhyuk, melembutkan tatapannya, “Gue gak baik-baik aja, shin. Sama kayak lo. Gue capek, gue frutasi, gue mencoba biasa aja depan temen-temen gue tapi gue juga gak pernah lupa, ushin. Gue gak pernah lupain lo.”
Jinhyuk mengacak rambutnya, emosinya selama sebulan yang dia pendam mulai merangkak mengambil alih, salahin Wooseok, kalau bukan karena dia yang batu, kalian gak bakal selesai gitu aja, setan di kepalanya terus berbisik demikian.
Jinhyuk mengambil napas panjang, mencoba tenang, dia memejamkan matanya sejenak sebelum kembali menatap Wooseok, tangannya memegang kedua bahu Wooseok dengan sedikit meremasnya, “Lupain. Hilangin di pikiran lo kalau gue selingkuh. Gue gak pernah sama sekali kayak gitu. Yang lo liat cuma sebagian dari kejadiannya.” katanya lirih, “Percaya sama gue, shin. Lo cuma nyiksa diri lo sendiri.”
Wooseok semakin meremas bajunya, napasnya memburu selaras dengan matanya yang mulai memburam, sialan. Kepalanya menggeleng pelan mendengar ucapan Jinhyuk.
“Gue liat, Jinhyuk...” suaranya bergetar tercekat di tenggorokan, “...gue liat lo sama mantan lo.” tepat, satu bulir air mata dari sudut matanya dengan kurang ajar mulai turun seolah memberi jalan untuk yang sudah susah payah dia tahan.
Tatapannya Wooseok sangat terluka saat mengucapkanya, membuat Jinhyuk mengalihkan tatapannya tidak ingin melihat, karena sumpah demi apapun hatinya langsung berdenyut nyeri. Belum pernah sekalipun Jinhyuk melihat tatapan seperti itu sejak dia mengenal Wooseok.
“Ushin, gue gak ngapa-ngapain. Gue gak sengaja ketemu sama dia. Kita cuma masa lalu.”
Wooseok menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isakan, tangannya sudah tidak meremas bajunya, dia malah menepuk-nepuk dadanya mencoba menghentikan tangis yang siap lolos. Sesak, sungguh.
Wooseok mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan, “Jinhyuk.. mau dilihat sama orang lain pun. Pasti mereka setuju sama aku...” suara Wooseok kembali tertahan di tenggorokan, tangisnya langsung terdengar sangat pilu di telinga Jinhyuk, “..kamu keluar sama dia.. dari bar.” lanjutnya disusul dengan isakan menyedihkan.
“Aku liat, Jinhyuk. Aku liat pake mata aku sendiri.” Wooseok masih mencoba bicara walaupun dengan susah payah, keduanya tangannya memegang lengan Jinhyuk sedikit meremasnya mencoba menyalurkan sesak, “..Aku liat, Jinhyuk..” tatapannya, sorot kecewanya yang mencoba mengadu pada Jinhyuk membuat Jinhyuk menahan napas. Kenapa Wooseok tampak sangat terluka seperti ini.
Jinhyuk mengusap wajahnya, “Gue kesana sama temen gue, shin. Bukan buat selingkuh sama dia.” jelasnya kembali, merasa frustasi harus bagaimana lagi menjelaskannya.
“Kita terjebak di salah paham, shin.”
Wooseok masih menangis, belum mau mengangkat wajahnya, sesungguhnya jauh di dalam hatinya dia-mau-percaya dengan ucapan Jinhyuk, namun di pikirannya kembali berkata kalau Jinhyuk memang berselingkuh berdasarkan penglihatannya sendiri. Dan ya, pikirannya menang.
Jinhyuk mengulurkan tangannya untuk mengusap bahu Wooseok dengan lembut, “Jangan nangis, please. Ushin, lo tau gue gabisa liat lo nangis kayak gini. Hati gue ikutan sakit, shin.” Jinhyuk mencoba menarik tangan Wooseok yang menutupi wajahnya, namun langsung ditolak.
“Kita sama-sama lepasin bebannya, shin. Biar bisa ngelangkah lagi.” Jinhyuk berkata dengan lembut, “Biar bisa ngelangkah masing-masing.” lanjutnya lirih.
“Kamu harus bisa, shin. Ceria lagi, bebas lagi ngelakuin apa pun tanpa harus ngerasa terjebak masa lalu. Cari orang yang lebih ngertiin kamu, mungkin aku bukan orangnya.”
“Kita udah gabisa bareng lagi.” Jinhyuk merasakan tenggorokannya mulai tercekat, “kita cari bahagia masing-masing, ya? sebelumnya kamu harus damai dulu sama masa lalu. Buang jauh-jauh kalau kamu ngerasa aku sakitin dengan cara diselingkuhin. Karena faktanya gak gitu. Kamu gak pantes disakitin kamu gak pantes di sia-siain.”
Jinhyuk membawa Wooseok ke pelukannya, menghirup wangi harum Wooseok yang menjadi favoritnya, untuk yang terakhir.
“Aku lepasin kamu hari ini. Aku gabisa bertahan sendirian, shin. Aku gabisa kalau kamunya gak mau. Aku gak bisa maksa.”
Jinhyuk mencium puncak kepala Wooseok, untuk yang terakhir. Ujung matanya sudah terasa panas dan air matanya ikut turun. “Maaf kalau kamu jadi kayak gini gara-gara kenal aku.” bisiknya lirih.
Jinhyuk melepaskan pelukannya, menatap Wooseok sedekat ini, untuk yang terakhir. Dia mengulas senyum pedih.
“Aku gak pernah bohong pas bilang kamu mantan terindah aku, cuma wooshin.”
Tangannya mengusap air mata Wooseok yang belum nampak berhenti justru malah semakin deras, Jinhyuk-mencoba-tertawa diantara sesaknya, “Udah dong jangan nangis, aku jadi ikutan kan.” katanya kemudian mengusap ujung matanya sendiri.
Dua-duanya tampak menyedihkan, sungguh. Jinhyuk ingin bertahan, namun dia tahu Wooseok kecewa, pun begitu sebaliknya Wooseok ingin bertahan, namun dia ragu dengan Jinhyuk.
Wooseok menggelengkan kepalanya, isakannya belum hilang semua, netranya menatap jauh ke dalam mata Jinhyuk, susah payah dengan tercekat dia mencoba bebicara.
“Kamu balikin si Bruni? kamu bahkan gak mau nerima hadiah dari aku?”
Jinhyuk terkekeh walau terdengar sumbang, sempat-sempatnya bertanya hal itu, “Aku gak mau, karena kamu nyuruh Yohan buang itu. Artinya itu udah bukan buat aku. Jadi, aku balikin ke kamu.” jawabnya.
Wooseok terdiam sesaat, isakan-isakan kecil masih keluar dari bilah bibirnya, hidungnya sudah memerah dan air matanya yang belum berhenti masih di usap oleh tangan Jinhyuk.
“Aku udah tau bakal kayak gini, tapi kenapa rasanya sakit banget, Jinhyuk?” Wooseok bertanya dengan pelan, semakin sesak saat melihat air mata Jinhyuk yang kembali terlihat di sudut matanya, Wooseok belum pernah melihat Jinhyuk menangis dan tidak pernah sekalipun dia membayangkannya, terlebih pribadi Jinhyuk yang sehari-harinya selalu ceria. Menjadi mataharinya.
“Apa aku gak pantes buat kamu ya, hyuk? Aku terlalu egois ya? Kamu capek sama aku, aku gak cukup buat jadi alasan kamu bertahan, aku.. gimana kalau aku gabisa lupain kamu?”