sekyung x yiheon au

Yiheon sedikit bergidik saat hembusan angin menerpa wajahnya, ia memeluk tubuhnya sendiri yang hanya mengenakan kaos pendek berwarna putih polos itu.

Dingin, pantas saja Choi Sekyung menyuruhnya untuk memakai jaket.

Di tangannya sekarang ada jaket berwarna hitam milik Sekyung yang tadi sengaja Yiheon ambil dari tumpukan baju seniornya itu. Jaket yang dari kemarin sore juga sudah dipakainya ketika melihat sunset karena salahkan saja Choi Sekyung yang memberi tahu rencana liburan di last minute sebelum mereka berangkat hingga Yiheon tidak ingat untuk membawa jaket sendiri. Lebih tepatnya ia kemarin hanya asal saja membawa baju karena terburu-buru tanpa pikir panjang.

Kali ini kedua tanganya bersembunyi di balik saku jaket yang sudah dipakai, wangi familiar Sekyung terasa melingkupinya, terhirup semakin jelas saat dipasangnya kupluk yang menutupi hampir seluruh kepalanya itu. Membuatnya tanpa sadar mengulum senyum, wangi Bang Sekyung enak, berasa lagi dipeluk—seperti semalam.

Kakinya yang beralaskan sandal itu bisa merasakan lembutnya pasir yang mengenainya saat ia berjalan semakin jauh ke tepi pantai.

Pandangannya mengedar untuk memindai sekitar, di jam enam kurang lima menit ini matahari masih belum nampak sempurna, cuacanya tidak mendung namun berawan sehingga tidak terlalu cerah. Pengunjung pantai juga hanya segelintir orang karena mungkin di sini bukan spot yang terlalu bagus untuk melihat sunrise.

Ada sekumpulan anak kecil yang sedang bermain bola di ujung sana membuat Yiheon tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya, kayaknya seru banget kalau punya rumah dekat pantai seperti mereka.

Dari tempatnya menginap, Yiheon hitung tidak sampai lima menit untuk berjalan sampai di sini. Berterimakasih lah pada Namra yang sudah mengurus agenda liburan mereka dan atau agenda liburan dadakan baginya.

Bohong kalau Yiheon tidak kaget saat melihat resort yang akan mereka tempati saat kemarin tiba di parkiran. Bagus banget!

Dan saat Yiheon bertanya lagi, kenapa gampang sekali bagi Namra mengurus semuanya, Lomon hanya menjawab pelan, “Ini punya keluarganya kok, ya suka-suka dia aja.” yang sontak membuat Yiheon membulatkan mulut, menatap Namra yang hanya tertawa kecil melihat wajah kagetnya, “Jangan percaya, bohong itu.” ujarnya yang sudah jelas lebih bohong.

Sial, ternyata Kak Namra anak sultan beneran. Yiheon tahu jelas kalau Choi Sekyung itu anak tunggal—kaya raya, begitu juga Lomon yang memang ia tahu sejak mengenal Sekyung. Ini satu circle agak ngeri juga, batinnya meringis.

Dan seperti apa yang mereka bilang, semuanya sudah disiapkan, Yiheon memang tidak perlu pusing mikir apalagi, tinggal ikut dan duduk manis saja kok. Enak banget, bukan?

Suara debur ombak yang mengisi pendengarannya membuat Yiheon kembali melebarkan senyum, dibukanya lebar-lebar kedua tangannya itu, meregangkan tubuhnya yang baru bangun tidur itu sambil mengambil napas dalam mengisi paru-parunya dengan udara yang masih segar.

Suasana pantai di pagi hari jelas lebih baik daripada siang terik seperti kemarin saat ia pergi bersepeda dengan Sekyung.

Ngomong-ngomong oknum Choi Sekyung itu tidak terlihat batang hidungnya sama sekali. Katanya dia sedang di pantai. Namun, sejauh Yiheon berjalan pun dia belum juga nampak.

Saat Yiheon bangun tadi, tempat tidur Sekyung sudah kosong. Entah sejak kapan seniornya itu bangun karena semalam pun saat Yiheon tidur kembali sekitar pukul sebelas, Sekyung masih di luar asik mengobrol dengan Lomon, paling juga ngopi lagi sama nyebat.

Sejenak, ingatannya tentang semalam kembali terputar di benak Yiheon membuatnya berpikir tidak percaya, tapi hatinya jelas menghangat.

Ia menyukainya bagimana dirinya dan Sekyung bisa menjadi semakin dekat seperti itu.

Namun sekarang, Yiheon seperti anak hilang, si tukang ribut itu sibuk bermain air sendirian. Meninggalkan sandalnya begitu saja di atas pasir, menggulung celana panjangnya sebatas betis, lalu membiarkan kaki telanjangnya disapu oleh ombak kecil yang cukup dingin.

Kepalanya sesekali menoleh ke kanan dan kiri berhadap seseorang yang dikenalnya itu akan datang. Tapi lagi-lagi ia mendengus dan bertanya kemana sih kok gue ditinggal sendirian mulu.


Dari kejauhan Choi Sekyung tidak perlu berusaha menajamkan penglihatannya saat kedua netranya dengan cepat mengenali punggung tegap yang berada di pinggir pantai itu, terlebih dia amat mengenal jaket miliknya sendiri yang sedang dipakai oleh Yiheon.

Langkahnya dengan pasti berjalan ke arah pemuda yang saat ini terlihat sibuk menghindari ombak tapi kemudian ia akan kembali mendekat lagi hingga celananya tampak basah. Begitu terus asik sendiri dengan raut wajah senang.

Kayak bocah baru lihat pantai, pikir Sekyung lucu.

Dilepasnya sandal yang dia pakai dan di simpan bersamaan dengan milik Yiheon yang tergeletak begitu saja. Keningnya sedikit berjengit saat kulitnya menyentuh air laut di jam enam pagi ini, dingin juga ternyata.

“Lagi ngapain sendirian, hmm?”

Tanpa perlu menoleh untuk memastikan, Song Yiheon tahu betul suara dan tangan siapa yang kini merangkulnya dari samping. Mengusak kepalanya tanpa ragu sehingga kupluk jaket itu terlepas membuat anak rambutnya berantakan terkena angin yang berembus lumayan kencang.

“Main sama ombak. Kasian gak menurut lu? Gue bangun tidur gak ada siapa-siapa. Katanya Bang Sekyung di pantai tapi pas disamperin dari tadi gak ada. Gak di kamar, gak di pantai sama aja ditinggal sendirian. Masih mau nanya kenapa?”

Sekyung meringis kecil, baru juga ditanya gitu doang udah langsung ngamuk panjang lebar.

“Gak usah ketawa, Abang.”

Padahal gak ada yang ketawa sama sekali.

“Iya maaf ya, Yiheon.” ucap Sekyung sambil mengusap-ngusap lengan atas Yiheon dengan tangan kanan yang memang sedang merangkulnya. “Gue beneran gak tau ada notif masuk. Serius.”

Anggukan kecil dari Yiheon membuat Sekyung bernapas lega.

“Terus gue dari tadi di sana tuh yang banyak perahu. Nungguin lu juga kok gak dateng-dateng.” jelasnya lagi.

Kali ini Yiheon melihat Sekyung yang menujuk dengan dagunya ke arah yang memang belum ia datangi, jauh di pantai sebalah kanan dari tempat mereka berdiri sekarang.

“Seru liatin nelayan baru balik melaut, pada bawa ikan macam-macam.” lanjut Sekyung membuat Yiheon membulatkan mulutnya.

“Ada anak hiu gemes banget loh.”

Kali ini ia mengerutkan keningnya, melirik Sekyung yang tampak semangat memberitahunya, agak heran mendengar perkataan sang senior.

“Mana ada hiu gemes. Aneh lu, bang. Gemes tuh ikan cupang. Kecil, lucu, imut!” komentarnya tanpa segan yang membuat Sekyung menggelengkan kepalanya tidak setuju.

“Enggak, harus liat sendiri. Percaya sama gue deh. Pokonya galak-galak gitu kalau lagi diem bakal gemes juga, Yiheon.”

Sekyung terdengar menjeda ucapannya, dia manatap dari samping memperhatikan Yiheon yang kini memandang jauh ke arah perahu-perahu di sebelah kanan mereka dengan sedikit raut penasaran, bener gak yang dibilang Sekyung itu.

“Agak-agak mirip lah kayak lu gini.”

Kedua mata Yiheon langsung mendelik saat telunjuk Sekyung menekan lagi di pipinya.

Seharusnya ia tahu kalau Choi Sekyung cuma mengerjainya saja.

Lagi-lagi Song Yiheon masuk perangkapnya entah sudah yang keberapa kali.

“Males ribut masih pagi.”

Kedua bahu Sekyung terangkat pelan sambil menahan tawa, iya jangan sampai mereka ribut gara-gara ikan doang. Sudah cukup mengerjainya kali ini, walaupun alasannya jelas bukan candaan semata.

Ditariknya bahu Yiheon untuk ke tepi saat ombak yang datang sedikit tinggi. Sekyung memakai celana pendek di atas lutut, dia tidak masalah sama sekali kalau kakinya basah, tapi Yiheon ini pakai celana panjang yang cuma digulung asal. Emang dasar mau basah-basahan atau bagaimana.

“Ngapain sih main air jam segini.” gumamanya tidak habis pikir, bahkan dia sendiri malah jadi ikutan nyebur.

Tidak ada protes sama sekali yang keluar dari Yiheon, ia hanya menurut saat Sekyung mengajaknya pergi dari sana untuk berjalan ke tempat dimana sandal mereka berada.

“Mau balik sekarang?”

Bertanya pada Sekyung tepat saat akan memakai sandalnya kembali. Namun, yang ditanya justru malah mendudukkan dirinya di atas pasir tanpa perduli celana pendek hitamnya itu kotor.

“Nanti aja, duduk sini deh. Biar lihat dulu mataharinya.”

Jawaban Sekyung mau tidak mau membuatnya ikut duduk di samping seniornya itu saat Sekyung dengan jelas menepuk-nepuk pasir dengan tangannya agar ia menyusul.

Ketika Yiheon memilih untuk meluruskan kakinya, Choi Sekyung justru berlaku sebaliknya.

Dia memilih untuk memeluk kedua kakinya membuat Yiheon sekilas meliriknya. Bang Sekyung memang pake jaket, tapi apa gak dingin tuh paha pake celana pendek banget, pikirnya heran namun ia hanya menggeleng pelan, biarin aja deh suka-suka dia.

Di depan mereka saat ini cahaya jingga sedikit kemerahan terlihat jelas di ufuk timur pertanda bahwa sang mentari mulai menampakan dirinya kembali untuk memberi hangat pada pagi yang dingin juga sepi.

Memberi hangat pada mereka yang tidak membuka suara lagi, pandangan keduanya sama-sama lurus ke depan, menatap laut luas tanpa ujung berwarna biru dengan permukaan yang tampak berkilau akibat cahaya yang mulai merangkak naik.

Cantik sekali seperti halnya matahari terbenam yang mereka lihat kemarin dengan orang yang masih sama.

Kemarin Choi Sekyung bercerita bahwa diantara tempat yang pernah dikunjunginya, pantai adalah salah satu tempat yang paling dia sukai.

Tempat di mana dia tidak merasa bosan walau hanya duduk diam, tempat di mana dia hanya bisa mendengar ombak tanpa suara-suara lain, tempat dimana dia bisa menikmati angin yang menerpa wajahnya sambil menutup mata.

Tempat yang bisa membawa tenang untuk hidupnya yang terkadang sepi atau bahkan terlalu berisik sekalipun.

Dia menyukainya saat ini, aroma laut, suara debur ombak, hangatnya matahari pagi, lembutnya pasir tempat dia duduk serta sosok di sampingnya yang seakan turut melengkapi.

Kaki telanjangnya yang kotor oleh pasir seakan tidak digubris sama sekali. Choi Sekyung kali ini pun justru memilih menutup matanya, lagi-lagi ia merasakan angin yang membuat rambutnya bergerak liar. Kedua sudut bibirnya ditarik berlawanan membuat senyum tipis yang tampak puas.

Diantara heningnya mereka tanpa ada yang berniat berbicara lebih dulu, Song Yiheon memilih untuk berpaling, menolehkan wajahnya dari laut lepas yang sedari tadi ia lihat.

Kali ini ia memilih untuk menatap penuh kagum pada Sekyung yang masih memejamkan matanya. Sibuk menebak-nebak apa kira-kira yang ada dipikiran seniornya itu saat ini.

Sorot cahaya matahari berwarna jingga itu menerpa wajah putih Sekyung tanpa izin seakan membelainya penuh kelembutan dan kehangatan.

Mengenai pipinya, mengenai hidung mancungnya, mengenai bibirnya yang selalu tersenyum tanpa ragu, juga mengenai kening yang tertutup rambut hitamnya yang sedikit berantakan karena tiupan angin.

Adalah hal yang membuat Yiheon mati-matian menahan tangannya sendiri untuk tidak bergerak ke sana secara kurang ajar, yaitu merapikan rambut seorang Choi Sekyung.

Yiheon ternyata tidak seberani itu, atau lebih tepatnya belum berani. Mungkin benar kata Sungchan, kalau urusan gelut ia bisa maju paling depan, tapi bila itu menyangkut Choi Sekyung, Yiheon merasa ciut.

Semakin ia memperhatikan setiap indahnya Sekyung, maka semakin cepat juga degup yang bisa dirasakan oleh dirinya sendiri.

Melihat sudut bibir yang masih mengulas senyum itu, Yiheon tahu bahwa cerita kemarin mungkin benar adanya, bahwa Sekyung benar benar menyukai pantai.

Dia udah lama mau ngajakin kamu.

Perkataan Namra kemarin entah mengapa kembali teringat oleh Yiheon. Dan ketika saat ini ia duduk bersama Sekyung di tempat kesukaannya membuat Yiheon mengulum senyum tanpa ragu.

Yiheon jelas mengetahui bahwa jantungnya harus rela berkerja lebih cepat saat bersama Sekyung, namun anehnya ia menginginkannya dan ia menyukainya.

Tidak perlu menghindar sedikit pun atau menyangkal apa pun lagi, Yiheon terlihat sangat menikmati setiap detiknya saat ini bersama Choi Sekyung.

“Udah puas liatinnya belum, Yiheon?”

Perlahan kedua mata Sekyung terbuka, menatap langsung pada Yiheon yang belum sempat berpaling atau memang tidak ada niatan untuk berpaling barang sedikit pun.

Dengan jelas Sekyung bisa melihat iris mata yang tampak lebih terang karena terkena cahaya matahari itu terlihat berbinar menatapnya penuh kagum.

Satu kekehan pelan berhasil keluar dari kedua bilah bibir Sekyung, dia menyenggol tubuh Yiheon yang masih belum menjawab. Sekyung dari tadi jelas menyadari kalau Yiheon terus menatap wajahnya, tetapi dia memilih diam membiarkannya tidak ingin cepat-cepat membuka mata.

“Gue seganteng itu, ya?” tanyanya dengan kedua mata yang mengerling jahil, “Hmm?”

Yiheon berdecak kecil melihat wajah penuh percaya diri Sekyung, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke depan saat matahari justru bergerak di balik awan.

“Udah tau masih nanya.” jawab Yiheon yang jelas kembali mengundang tawa puas dari Sekyung.

Pertanyaan bodoh, kalau ia tanya semua orang di sini pun sudah jelas jawabannya apa. Yiheon malah akan ngamuk gak terima kalau ada yang bilang Choi Sekyung jelek. Mata lu rabun!

Kalau saja Song Yiheon penuh ragu, maka tidak dengan Choi Sekyung.

Saat angin kembali berembus membuat rambut mereka berantakan, dia tanpa segan akan mengulurkan tangannya untuk merapikan rambut Yiheon dengan lembut. Menyisir surai hitam itu secara perlahan dan penuh perhatian.

“Nunduk dikit sini.”

Perlakuannya itu lengkap dengan senyum yang seakan terpatri tidak pernah hilang dari wajahnya, pemuda itu akan tampak puas saat hasil karyanya terlihat sempurna walaupun satu menit kemudian angin akan kembali membuatnya berantakan dan membuatnya tertawa lucu.

Song Yiheon tidak tahu sejak kapan menyadari bahwa melihat Sekyung yang tersenyum padanya begitu menyenangkan.

Mendegar tawanya yang terkadang jahil justru membuatnya berdebar tidak karuan.

Dan semua perhatian-perhatian serta semua sikap baik Sekyung padanya membuat ia bergantung, membuat ia tanpa sadar telah berharap lebih atas batas yang sekarang ada diantara mereka.

Tidak ada gerutuan sebal, tidak ada delikan tajam bahkan kata-kata ketus yang di keluarkan Yiheon saat Sekyung dari tadi bermain-main dengan rambutnya.

Ia hanya tertawa kecil membuat lesung pipinya terlihat samar.

“Percuma, abang. Berantakan lagi..”

Mungkin Sekyung sudah sadar perubahan sikap Yiheon yang sedikit melunak sejak mereka di sini. Dari kemarin Yiheon lucu sekali, menjadi anak baik yang penurut, minta ini itu kadang mengekorinya seperti anak ayam, juga tentang semalam yang masih teringat jelas di ingatannya.

Ada sisi Yiheon yang Sekyung tahu betul diluar tukang ribut gampang ngegasnya itu.

Yiheon selalu memperhatikan hal kecil yang kadang menurutnya biasa saja dan ia mungkin tidak sadar akan sikap baiknya sendiri.

Kemarin dengan jelas Yiheon mengingat kalau dia tidak menyukai kerang, bahkan Sekyung sendiri tidak ingat mengatakannya kapan.

Saat ditanya anaknya hanya menjawab pelan, “Kita makan bareng gak cuma sekali dua kali, bang. Gue jelas tau.” saat itu Sekyung hanya mengangguk paham, menepuk-nepuk puncak kepalanya dan merangkulnya untuk berjalan memasuki tempat makan yang dipilih oleh Namra.

Oh atau saat kemarin ia tiba-tiba menghentikan sepedanya di sebuah cafe dan berkata kalau ia haus. Padahal Sekyung tahu jelas apa maksudnya, Yiheon mau agar dia tidak di tempat yang panas. Lucu kalau diingat bagaimana ia memaksa Sekyung dengan menarik lengannya untuk duduk istirahat dan dirinya yang langsung sibuk memesan minum, takut abang keburu pingsan katanya.

Tentang Yiheon, Choi Sekyung tidak bisa mengabaikannya. Mungkin sejak pertama mereka bertemu.

“Bang Sekyung...”

Suara Yiheon kembali menarik kesadaran Sekyung, dia melihat Yiheon yang menatapnya sambil memasang wajah khawatir, “Kenapa?” tanyanya, “Kayak ngelamun, gapapa kan?”

“Gapapa...”

Sekyung justru menumpu kepalanya di atas lutut yang masih di peluknya.

Dia menatap Yiheon sambil kembali menampilkan senyum tipisnya, “Yiheon kok perhatian banget. Gue jadi terharu.” ujarnya tanpa niat bercanda, dia berkata jujur.

Juga tentang bagaimana tadi Yiheon yang berkata khawatir saat dia tidak bisa dihubungi, takut Bang Sekyung hilang katanya yang berhasil membuat Sekyung terkikik geli namun jelas menyentuh hatinya tanpa sadar.

Yang ditatap hanya mengedikan bahunya, duduk lebih santai sambil menaruh tangan di atas pasir tepat di samping kedua pinggangnya. Kakinya yang masih berselonjor ia tumpangkan di samping sandalnya yang tadi tidak jadi dipakai lagi.

Netranya menatap jauh ke depan saat birunya laut terlihat lebih cantik berpadu dengan langit yang mulai terang serta pasir putih yang mereka duduki.

Ada hela napas kecil yang bisa Sekyung lihat dari Yiheon. Seperti sedang berpikir.

“Kalau Bang Sekyung sadar gue lagi menebar positive vibes.” mulainya pelan, Yiheon kira Sekyung akan tertawa mendengar ocehannya, namun seniornya itu malah menyimak dengan penuh perhatian.

“Gue lagi mirroring aja sih sebenernya, kalau ada orang baik sama gue, bakal gue baikin balik.” lanjutnya.

“Oh.. keren.”

Mendengar balasan Sekyung, ia tersenyum senang seperti mendapat dukungan.

Ditatapnya lagi Choi Sekyung yang masih memberikan fokus padanya.

“Bang Sekyung udah baik sama gue. Banyak banget, kayaknya gak akan bisa gue hitung satu-satu. Jadi gue bakal bales semuanya tapi pelan-pelan ya, bang.”

Yiheon berbicara dengan nada selembut yang dia bisa sebagaimana Sekyung selalu berucap padanya.

Sekyung tidak pernah meminta balasan apapun, apa yang dilakukannya untuk Yiheon adalah karena ingin, karena dia teramat perduli pada orang di sampingnya ini.

Dia hanya mengangguk kecil, kedua sudut bibirnya ditarik bersamaan melengkung indah sambil kembali mengusap puncak kepala Yiheon, gemes banget.

Mau culik sampai ke rumah.

“Makasih ya.”

Kali ini ada senyum jahil yang di tampilkan Yiheon sebelum ia bicara lagi, “Tapi, kalau Bang Sekyung jahat, gue bales lagi. Gue tonjok pokoknya!” katanya dengan kepalan tangan yang diperlihatkan pada Sekyung yang menaikan kedua alisnya.

“Ngapain juga gue jahatin lu, Yiheon.”

“Iya kan kalau. Tapi gue juga gak bakal berani sih.” ujar Yiheon, menatap Sekyung sambil menggigit bawahnya sedikit ragu.

“Gue juga gak mau bayanginnya, takut.”

Suaranya terdengar enggan, karena apabila ada list kemungkinan yang akan terjadi, Yiheon harap hal tersebut tidak pernah ada di dalamnya.

Sekyung hanya menggelengkan kepalanya saat mendengar ucapan Yiheon yang semakin kemana-mana.

Dia beranjak untuk berdiri. Menepuk-nepuk bagian belakang celananya yang penuh pasir dan memakai sandalnya kembali.

Sedangkan Yiheon yang masih duduk menatap dengan alis terangkat bingung, balik sekarang nih? Ia buru-buru ikut berdiri dan memakai sandalnya saat Sekyung mulai berjalan.

“Lagian di mana ada orang yang bakal jahatin orang yang dia sayang, Yiheon.”

Gumam Sekyung pelan ditelan oleh suara debur ombak yang terdengar.

Menyisakan wajah kaget dari Song Yiheon yang tertinggal di belakangnya, menatap punggung dibalik jaket itu dengan perasaan campur aduk.

Ia berani bersumpah tidak salah dengar ucapan Sekyung walaupun samar.

Tanpa bisa ditahan, senyumnya perlahan terlihat kelewat lebar hingga pipi bolong kesukaan Sekyung itu tampak jelas di wajahnya.

Jadi yang tadi di chat itu bukan asal ngetik?

Pagi ini rasanya bahagia Yiheon kumpul semua gara-gara orang di depannya.

Satu kalimat Sekyung mungkin terdengar biasa saja bila dibandingkan dengan segala perlakuannya, bila dibandingkan dengan segala afeksi yang telah diberikan Sekyung padanya.

Namun, bagi Yiheon itu adalah hal yang benar-benar ingin dia dengar secara langsung.

Sambil berlari kecil si tukang ribut itu menyusul seniornya, merangkul pundak yang lebih tinggi lima sentimeter darinya itu sambil haha hehe.

“Bang Sekyung mau es krim kelapa kayak kemaren kan? nanti gue beliin ya ya ya ya?”

“Enggak, lu aja paling itu yang mau.”

“Gak gitu, pokonya gue beliin nanti. Mau ya, bang?”

“Apasih, aneh banget, Yiheon. Gue ngeri sendiri.”

Yiheon tertawa lepas saat Sekyung mencoba menghindarinya sambil menatap heran dan berjalan lebih dulu.

Bang Sekyung bisa salting juga nggak sih?

Dalam perjalanan yang bahkan baru satu hari ini benar-benar bisa membuat Yiheon merasakan berbagai hal dari mulai baper, salting, bahagia seperti sekarang sampai rasa frustasinya tadi malam, semuanya karena satu orang yang sama, Choi Sekyung.

Sambil masih tertawa, Yiheon tentu saja dengan mudah kembali mengejar Sekyung, kali ini tidak ada tatapan heran seperti tadi.

Choi Sekyung justru ikut tertawa saat yang lebih muda naik ke atas punggungnya. Memeluk lehernya dari belakang dan membuatnya refleks memegangi kaki Yiheon.

“Ngapain sih, kalau jatuh gimana, Yiheon?!”

“Lu gak mungkin biarin gue jatuh, Bang Sekyung.”

Yiheon seakan tahu fakta itu dengan jelas.

Dan tentu saja Sekyung tidak bisa mengelak dan menolak, dia hanya tersenyum kecil melirik Yiheon yang sudah menumpu dagu di atas pundak kirinya tampak nyaman membuat kedua sisi wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja.

Choi Sekyung memelankan langkahnya, berjalan menyusuri pantai yang masih cukup sepi, pandangannya sesekali bertemu dengan pengunjung lain yang menatap mereka, namun dia memilih tidak perduli.

“Mana ada tukang gelut manja gini.”

“Ada. Gue!”

Yiheon membalas cepat tanpa pikir panjang sambil terkikik geli dengan antusiasnya sendiri.

Semangat amat lu, Song Yiheon, batinnya sibuk mengoceh. Tapi, gapapa soalnya lagi seneng.

Selain sebuah pelukan saat tadi malam, sepertinya ini adalah jarak terdekat lain yang pernah ada antara ia dengan Sekyung.

“Tapi ke Bang Sekyung doang, boleh ya?”

Yiheon bertanya penasaran dengan nada yang mungkin tanpa ia sadari merajuk seperti anak kecil serta pelukannya yang semakin mengerat.

Ia bahkan menatap wajah Sekyung dari samping saat yang ditanya belum memberinya jawaban. Lagi, lagi ia mengagumi sosok di pelukannya ini.

“Abang.. boleh kan?” tanyanya sekali lagi berbisik lirih yang terdengar samar, sekilas ia bahkan membasahi bibirnya yang mendadak kering karena gugup.

Berani juga melawan ragu yang tadi bahkan masih ia punya.

“Boleh, sayang.”

Sekyung kembali melepaskan tawa saat Yiheon sedikit mendengus saat mendengar kata sayang yang dia ucapkan.

Tetapi, anak itu tidak menimpuknya seperti yang ia janjikan di dalam chat, Yiheon justru semakin mengerut di pelukannya membuat Sekyung harus membenarkan posisi kakinya lagi.

“Makasih Bang Sekyung ganteng.”

Berhadapan dengan Yiheon yang bertingkah manja seperti ini mungkin tidak pernah Sekyung bayangkan datang secepat ini.

Bukan, dia tidak keberatan sama sekali, dia menyukainya karena bagaimana pun kelakuan ajaibnya yang kadang membuat pusing, dia tetap Song Yiheon yang Sekyung kenal.

Dan Yiheon mungkin tidak akan tahu kalau sejak lama tempat yang selalu membawa Sekyung tenang bukan hanya pantai, tapi juga ada Yiheon di dalamnya.

“Sama-sama Yiheon cantik.”

“Gak gitu ya anjir! Gue gebuk juga nih.”

“Yaudah, turun gak?”

“Gak mau!”