sekyung x yiheon au
Sekyung hapal di mana biasanya tempat duduk Yiheon bila berkunjung ke perpustakaan kampus. Lantai tiga, meja pojok yang menghadap langsung ke kaca lebar yang memperlihatkan pohon cukup besar sehingga bisa menghalau cahaya matahari agar tidak terlalu terik menembus jendela.
Langkahnya sempat berhenti saat melirik lift yang baru saja tertutup, malas menunggu, dia memilih berjalan ke arah tangga yang berada di sebelah kanan pintu masuk.
Begitu sampai di lantai tiga, pandangannya langsung mengedar setelah dia mendorong pintu kaca untuk melangkah masuk.
Seperti dugaannya suasana perpustakaan di lantai tiga memang tidak terlalu ramai layaknya di lantai satu serta dua di jam setengah empat sore ini.
Dari arah pintu, dia cukup berjalan lurus melewati dua rak buku setinggi sekitar dua meter lalu berbelok ke arah kanan dan sampai. Di sana terdapat beberapa meja berwarna putih lengkap dengan colokan yang ada di bawahnya. Juga ada beberapa orang yang terlihat sibuk dengan laptop masing-masing namun dengan jarak yang cukup berjauhan.
Dan sebuah punggung di balik jaket biru dongker itu bisa dia kenali dengan mudah. Duduk di ujung menghadap ke kaca jendela dengan laptop dan buku-buku yang terbuka di depannya.
Namun, Sekyung mendengus kecil sambil menggeleng saat Song Yiheon justu menempelkan kepalanya di atas meja alih-alih sibuk dengan bukunya itu.
Sekyung mengeluarkan sesuatu dari dalam tas nya saat berjalan ke belakang Yiheon, sebuah minuman kaleng dingin yang tadi sengaja dia beli di kantin.
Dia menunda tangannya yang akan menaruh kaleng dingin itu di atas meja, posisinya kini berdiri tepat di samping Yiheon. Melihatnya dengan jelas bagaimana Yiheon benar-benar menutup matanya serta earphone yang terpasang di telinganya.
Ia tidur di atas tangannya yang di lipat di atas meja. Sebagian sisi wajahnya terkena sinar matahari yang masih bisa lolos diantara daun pohon di depan jendela.
Ditariknya dengan pelan kursi yang ada di depan Yiheon agar tidak mengeluarkan suara berdecit. Tidak berniat buru-buru membangunkannya, Sekyung justru menggeser duduknya agar Yiheon tidak merasa silau.
Dia menghalau sinar matahari sore itu yang mengenai wajah Yiheon dengan punggungnya.
“Lima menit ya, Yiheon. Abis itu abang bangunin kamu nanti.”
Bagaimana kalau dia tidak datang. Bisa-bisa anak itu tidur sampai perpus ditutup.
Sekyung tidak membuka laptopnya, tidak mengeluarkan bukunya, tidak juga mengambil buku dari ratusan judul yang ada di rak yang berjajar rapi itu. Dia hanya diam sambil memainkan ponselnya, sesekali membuka fitur kamera dan memfoto wajah Yiheon sambil mengulum senyum.
“Cakep banget sih, kamu.” bisiknya.
Yiheon terlihat anteng banget kalau lagi tidur dan Sekyung betah berlama-lama melihatnya.
Lima menit kemudian kening Yiheon itu berkerut dalam saat ia perlahan merasakan sensasi dingin yang menusuk di pipi kanannya.
“Anjir!” serunya sembari menepis pipinya sendiri dan membuka kedua matanya dengan kaget.
“Apasih nih.” desisnya hampir saja mengamuk dan mengutuk siapa pun yang melakukan hal tersebut padanya.
Belum sadar di depannya adalah Choi Sekyung yang memegang kaleng minuman itu, di goyang-goyangkan tanda meledek, gue nih pelakunya.
“Kok Bang Sekyung???!” ucapnya tanpa bisa ditahan, melirik pengunjung lain takut suaranya terlalu keras. Tetapi untungnya tidak ada yang perduli dan sadar sama sekali, lagipula ia duduk paling ujung cukup jauh dari yang lain.
“Iya masa setan lagi.” ujar Sekyung masih mengingat jelas bagaimana kejadian sebelumnya.
Yiheon mengucek matanya, menguap lalu menatap Sekyung dengan mata memincing curiga, “Lu bohong ya? katanya pulang anjir.” tanyanya.
“Baru mau Yiheon, belum pulang.”
Koreksi Sekyung, kelasnya memang sudah selesai dari tadi dan saat ada chat dari Yiheon dia sedang berada di kantin dengan teman-temannya.
Wajah bangun tidur itu sedikit merengut, tetapi kemudian terlihat cerah saat Sekyung membuka kaleng minuman di tangannya dan diberikan padanya.
“Makasih..” ujarnya sebelum menenggak hampir setengah isinya, seger banget. Tau aja lagi haus.
“Masih lama nggak kamu ini? Kok udah tidur aja sih.”
Yiheon menaruh kaleng minuman di atas meja tepat di samping buku catatanya.
“Orang tinggal dikit lagi, terus gak sengaja ketiduran, sumpah.” jelasnya, suasana perpus yang tenang dan juga adem banget malah membuat matanya berat. Ia melepas earphone di telinganya dan di masukan ke dalam tempatnya yang ada di tas.
“Terus abang gak pulang?”
Yiheon bertanya saat kembali memegang laptop yang menampilkan sebuah jurnal, lagi nyari bahan buat tugasnya deadline besok.
“Enggak, di sini aja ngawasin kamu biar gak tidur lagi.”
Punggungnya menyandar pada kursi, menatap Yiheon yang terlihat meringis mendengar ucapannya itu merasa tertangkap basah dan Sekyung tertawa kecil dibuatnya.
“Yaudah bentar, gue lanjutin dulu.”
Selanjutnya, meja paling ujung itu hanya diisi oleh Yiheon yang kembali fokus pada laptop dan Sekyung yang fokus memperhatikan Yiheon. Pemuda itu benar-benar tidak melakukan apa pun selain memangku dagunya menatap Yiheon atau sesekali memainkan ponselnya.
Hingga di tujuh menit kemudian, yang lebih dewasa itu sibuk menulis di post it yang dia ambil dari kotak pensil milik Yiheon lalu ditempelkan di belakang laptop pemiliknya.
Hal itu jelas membuat Yiheon yang sedang fokus sedikit terdistraksi, ia menatap Sekyung dengan penuh curiga lalu dengan cepat mengambil dan membacanya.
semangat nugasnya yiheon yang paling cakep, gemes dan lucu!
Ngapain sih anjir.
Ada dengusan kecil yang keluar dari bibir Yiheon disusul dengan kedua ujung bibirnya yang tanpa bisa ditahan bergerak berlawanan arah.
Dilihatnya Choi Sekyung yang kali ini menaik turun kan alisnya dengan senyum puas. Dia menujuk laptop Yiheon dengan dagunya pertanda menyuruh untuk kembali melanjutkan tugasnya.
Namun, Yiheon justru mengulurkan tangannya mengambil post it yang masih ada di depan Sekyung dan menulis sesuatu sebelum di tempelkan di tangan Sekyung yang dibalut sweater berwarna hitam itu.
GAK GEMES!! tapi makasih bang sekyung ganteng, baik hati dan tidak sombong!!!! :p
Choi Sekyung menahan tawanya sebisa mungkin karena masih ingat mereka ada di mana, menatap Yiheon yang memeletkan lidah padanya seperti apa yang ia tulis.
Kok anaknya tambah lucu sih kalau begini? Bisa juga balik jahil padanya.
Dia memajukan duduknya dan mencondongkan tubuhnya ke arah meja, dengan mudah tangannya bisa menjangkau puncak kepala Yiheon untuk diusak cepat.
“Lucu gini punya siapa sih.”
“Punya orang tua gue lah.”
Sahutan Yiheon itu membuat Sekyung mengangguk-ngangguk dengan sisa tawa kecilnya. Betul tidak salah sama sekali.
Lalu Yiheon melihat Sekyung yang berdiri dan berjalan melewati samping kursinya sehingga ia yang refleks langsung menahan untuk bertanya, “Mau kemana?” tanyanya mendongak pada Sekyung yang justru melirik tangan Yiheon yang memegang jemarinya dan membuatnya terdiam sesaat. Tiba-tiba banget.
“Gak pulang, kan?”
“Mau ke toilet. Mau ikut?”
Sekyung menaikan satu alisnya saat Yiheon hanya menampilkan cengiran.
“Kirain pulang.”
Yang benar saja, bahkan tas Sekyung masih ada di atas kursi tepat di depannya.
Yiheon melepaskan tangannya dari Sekyung yang mengulas senyum walaupun samar, “Yaudah sana.” katanya.
“Kalau kayak gini, nanti abang mau minta deh. Siapa tau dikasih sama Bunda.”
“Maksudnya?”
“Kamu.”
Jawab Sekyung sebelum berjalan meninggalkan Yiheon yang termenung bingung.
Maksud lu apa?
Mau minta gue ke Bunda???!!!
Yiheon berdecak kecil sambil menggelengkan kepalanya. Menenggak habis minuman kaleng yang masih tersisa tadi lalu menepuk-nepuk pipinya sendiri.
Fokus fokus fokus nugas lagi please! jangan dipikirin asbun nya orang itu, batinnya sibuk mengucap.
“Abang...”
Choi Sekyung mengangkat wajahnya dari buku yang akhirnya tadi dia ambil dari rak untuk menemaninya yang ditinggal nugas oleh Yiheon.
Dia menatap Yiheon yang masih berada di depan laptopnya, “Udah selesai?” tanyanya yang langsung diangguki dengan capat.
“Gue mau cerita yang kemarin...”
Oh, sudah mau bilang ya.
Sekyung melirik jam tangannya yang menunjukan pukul empat, dia melihat sekitar dan mendapati tiga orang yang sibuk dengan kegiatannya duduk cukup jauh dari mereka, juga mereka masih punya banyak waktu karena perpus biasanya ditutup pukul lima.
Ditutupnya buku yang tadi dibacanya lalu di simpan di atas meja, belum berniat dikembalikan ke tempatnya, nanti saja saat pulang.
Yiheon tidak melakukan hal yang sama, laptop nya masih dibiarkan terbuka begitu pun bukunya, ia hanya menggeserkan mereka saja ke samping kanannya.
“Jadi.. ada apa?”
“Kemarin gue mellow gara-gara Sungchan.”
Mulainya dengan suara pelan membuat Sekyung memilih untuk bangun dan pindah ke sampingnya supaya lebih jelas, dia menarik kursi di sebelah kiri Yiheon dan menggesernya lebih dekat.
Tingkahnya itu membuat Yiheon menatapnya heran namun merasa senang, karena kalau diingat Sekyung memang pendengar yang baik, yang selalu menyimak segala ocehannya, yang selalu terlihat excited apabila Yiheon bercerita tentang apa pun life update yang terjadi.
“Diapain sama Sungchan?” tanya Sekyung langsung begitu dia sudah duduk, menatap Yiheon ingin tahu apa yang terjadi hingga kemarin ia banyak diam.
“Masa dia tiba-tiba kepikiran gimana kalau misal dulu kita gak pernah ketemu.”
“Kita nya itu kamu sama Sungchan atau kamu sama abang?” ada raut sedikit bingung yang ditampilkan Sekyung saat ini.
“Sama Bang Sekyung.”
Yiheon menghela napas, menatap Sekyung yang mulai mengangguk paham.
“Gimana kalau dulu gue gak suka main ke tempat Sungchan dan akhirnya gak pernah ketemu sama Bang Sekyung di sana.”
“Kok bisa kepikiran gitu sih?”
“Iya kemarin dia jemput ke tempat gue, biasanya gue yang nyamperin dia kan. Gak tau, gitu deh pokoknya tiba-tiba.”
Sekyung terlihat menegakkan tubuhnya, duduk sedikit menyerong pada Yiheon yang merengut lucu. Kepalanya meneleng sedikit, ada tambahan rasa penasaran yang tiba-tiba dia rasakan saat ini mengenai kelanjutan cerita Yiheon.
“Terus kamu nya gimana?”
“Iya gue bilang gak mau, jangan aneh-aneh kalau ngomong. Gue maunya gini aja gak usah what if ini itu segala. Kalau beneran kayak gitu.. kemungkinan kita gak akan kenal, gue gak akan kenal sama Bang Sekyung.”
Song Yiheon di depannya ini berkata dengan nada merajuk namun terdengar sungguh-sungguh, benar-benar tidak ingin hal itu kejadian.
Sedikit tidak menyangka dengan jawaban yang dia dengar barusan. Sekyung sempat terdiam dan menatap pemuda di depannya ini, mencoba membaca apa yang tergambar di raut wajahnya.
Takut mereka gak pernah kenal.
Hingga kemudian dia menyunggingkan senyum di bibirnya, perlahan mengulurkan tangan untuk memeluk bahu Yiheon, menepuk-nepuk lengannya dengan lembut untuk menenangkan.
“Nggak apa-apa, Yiheon. Kan buktinya sekarang nggak begitu. Jadi, kamu sedih gara-gara ini, hmm?”
Satu anggukan kecil dari Yiheon benar-benar membuat Sekyung tertegun. Dia mengusap belakang kepala Yiheon tanpa segan, kenapa Yiheon nya bisa semanis ini sih.
Rupanya dia juga bisa mengerti apa yang diucapkan oleh Yiheon. Karena Sekyung pun tidak bisa membayangkannya kalau saja dulu dia tidak pernah mengenal sosok Yiheon.
“Terus ada lagi, abang.” beritahunya membuat Sekyung kembali fokus, dia memilih menarik kembali tangannya dan di taruh di atas meja. Netranya menatap Yiheon dengan memberi sinyal untuk melanjutkan ceritanya.
“Sungchan ada bilang sesuatu gitu terus gue jadi terharu.”
Satu senyum simpul terlihat di wajah Yiheon, pandangannya sedikit menerawang saat akan kembali berbicara. Sekyung tidak berniat memotong kali ini, dia hanya mendengarkan apa yang diucapkan Yiheon.
“Walaupun kadang suka asbun gak jelas tapi dia baik udah mau tahan sahabatan dari pas kita SMA dulu. Sungchan beneran temen yang kenal banget sama gue dari lama.”
Senyum simpul itu kian melebar hingga ke sorot matanya, Sekyung suka melihatnya bagaimana perasaan senang Yiheon saat ini ikut menular kepadanya.
“Terus sekarang ada Asa yang gue kenal pas maba dan kita bertiga udah deket. Sering banget ke kosan nya karena enak dijadiin tempat buat ngumpul. Kadang suka mikir gue punya temen baik kayak mereka itu sangat beruntung.”
“Abang ikut senang dengernya.” Sekyung akhirnya memberi respon setelah mendengar cerita Yiheon, “Karena memang nggak semua orang bisa beruntung punya temen baik kayak mereka, punya sahabat deket kayak kalian.”
Yiheon mengangguk senang terlihat bersemangat mendengar respon Sekyung yang positif, “Iyakan, bang. Makanya itu gini-gini juga gue sayang sama mereka kalau ada apa-apa bisa maju paling depan.”
Sekyung tidak bisa menahan rasa gemasnya saat ini, mau unyel-unyel, mau pukpuk, mau culik Yiheon bisa?
“Nggak cuma kamu yang beruntung, mereka juga pasti beruntung kenal sama kamu. Siapa lagi yang mau gelut buat mereka selain kamu tuh.” ucapnya membuat Yiheon mendengus tapi kemudian ia menatap Sekyung dan menghela napas kecil, bahkan mengigit bibirnya tampak ragu.
“Tapi masalahnya gue bisa gak sebaik apa yang udah mereka kasih ke gue. Takut gak bisa balesnya...”
“Yiheon...”
Sekyung tidak terlalu suka mendengar nada suara Yiheon yang tampak lesu seperti itu, penuh ragu dan tidak seperti biasa Yiheon yang dia kenal. Ia menepuk-nepuk punggung tangan Yiheon yang ada di atas meja.
“Kalau orang udah mau temanan sama kamu, bahkan sampai awet begitu berarti dia betah, dia yang lebih tau kamu kayak gimana..”
Sekyung menjeda lalu menggeleng pelan,
”..bukan seperti apa yg dilihat sama orang selewat, bukan. Tapi apa yang dirasa sama mereka sebagai orang terdekat kamu.” jelasnya dengan nada lembut, tidak ada kesan menggurui sama sekali.
Ada senyum penuh pengertian yang ditampilkannya saat ini, mencoba memahami apa resah yang dirasa oleh Yiheon yang mendengarkan semua ucapannya dengan diam.
“Kamu cukup jadi diri kamu sendiri, Yiheon. Mereka perduli karena kamu sama perdulinya ke mereka.”
Rupanya kesabaran Sekyung kali ini harus sedikit ekstra bukan karena menghadapi sikap Yiheon yang terkadang membuatnya pusing, namun dia harus menghadapi Yiheon yang justru menatapnya dengan tatapan sendu juga dengan bibir yang melengkung ke bawah.
“Abang....” cicitnya sedih.
Sekyung kembali merangkul bahunya kali ini sedikit erat, mengusap-ngusapnya penuh sayang. Rupanya pilihan tepat saat dia memberi usul kalau lebih baik cerita secara langsung karena dia bisa berada di sisi Yiheon seperti ini.
“Gini deh.. abang mau bilang sesuatu, kamu tuh selalu ngelakuin hal kecil yang bahkan mungkin menurut kamu sendiri biasa aja. Tapi menurut orang lain nggak gitu.”
Yiheon menatap tidak mengerti akan ucapan Sekyung, ia melihat seniornya itu yang mengulas senyum lembut atas tatapan bingungnya.
Memang ia melakukan apa?
Tanpa melepaskan rangkulannya, Sekyung kembali berbicara.
“Abang kasih contoh dikit aja. Kamu ingat bahkan sampai pilihin makan biar abang gak makan kerang loh, terus abang tau kamu ngajak masuk ke cafe biar abang nggak kepanasan, kamu juga selalu bawel kalo abang asal nyimpen barang karena ujung-ujungnya pasti bakal pusing sendiri buat nyari.”
Apa ia memang seperti itu? yang di katakan Sekyung menurutnya adalah hal biasa. Yiheon tidak pernah tahu kalau semua itu bisa dianggap lebih.
“Dan abang yakin teman kamu, Asa sama Sungchan juga bisa ngerasain hal seperti itu.”
Semoga begitu, pikir Yiheon.
Sekyung kembali berucap saat Yiheon masih belum berniat mengeluarkan suara, masih mau mendengar apa yang dikatakannya.
“Meskipun kalian bertiga ini kadang ribut mulu kayak kemarin tapi abang tau kok dalemnya pasti nggak gitu. Kayak yang kamu bilang kalau kamu sayang mereka kan. Pasti kalau ada apa-apa mereka-mereka juga yang akan paling khawatir.”
Yiheon mencoba memahami hal panjang lebar yang sudah dikatakan oleh Sekyung yang begitu baik menjelaskan segalanya, mengatakan kata menenangkan lebih dari siapa pun, memberi banyak alasan baginya untuk tidak berhenti mengagumi sosoknya itu.
“Jadi mau nangis dikit.” adalah ucapan pertama Yiheon yang bisa Sekyung dengar setelah obrolan panjangnya.
Lagi-lagi Choi Sekyung itu mengusap lengan Yiheon, memberi tahu kalau dia ada, kalau dia selalu di sampingnya.
“Abang bilang gini bukan mau buat kamu tambah sedih.”
Sekyung menatap wajah Yiheon yang mengangguk mengerti, ia tahu niat baik Sekyung, sangat tahu.
“Abang cuma mau kamu tau, kalau gak semua harus kamu pikirin sampai khawatir ini itu terus malah jadi overthinking.”
Tangan Sekyung menyentuh sisi kepala Yiheon, ibu jarinya bergerak pelan di pelipisnya.
“Di sini, jangan dibikin penuh sama hal yang bisa bikin pusing ya. Kamu cukup lakuin apa aja yang kamu bisa. Soal mirroring ini kan kemarin kamu bilang kalau orang baik, bales baik lagi. Inget, kan?”
Ada senyum begitu menenangkan dengan tatapan hangat yang sampai hingga ke hati Yiheon.
Entah bagaimana lagi Yiheon harus mendefinisikan perasaannya pada Sekyung yang setiap saat seperti selalu menariknya semakin dekat, memaksa dengan setiap perilakunya yang selalu bisa membuatnya berdebar.
Sekyung juga semakin lembut dalam memanggilnya sejak mereka pergi ke pantai dan Yiheon menyukainya, selalu. Perlahan ia juga mau mencoba melakukan hal yang sama.
“Kenal sama abang juga hal paling beruntung buat aku.”
“Makasih ya udah berpikir seperti itu. Abang seneng banget dengernya.”
Kali ini raut sendu itu berubah menjadi cerah, menampilkan senyum lebarnya tanpa ada ragu. Terlihat dari lesung pipi yang semakin jelas seperti ditunjukan kepada yang paling menyukainya itu, Bang Sekyung.
“Mau pulang sekarang? Udah lega?”
Yiheon mengangguk pasti, “Makasih banyak, bang.” katanya tulus yang dibalas pukpuk ringan di atas kepalanya.
Keduanya kemudian sibuk membereskan barang masing-masing. Sekyung yang tidak mengeluarkan apapun hanya mengambil buku yang tadi dia baca untuk di kembalikan, dengan sabar dia menunggu Yiheon memasukan semua barangnya di atas meja ke dalam ransel hitam miliknya.
Yiheon menatap punggung Sekyung yang berjalan pelan di depannya di antara rak penuh buku-buku, mereka menyusuri celah tidak terlalu lebar itu untuk mencari rak tempat buku yang tadi diambil oleh Sekyung.
“Ternyata di sini. Lupa tadi.”
Tidak bisa menahannya, Yiheon terkekeh kecil mendengar ucapan Sekyung, pantesan nggak sampai-sampai dari tadi. Tingkahnya itu membuat Sekyung menatapanya sambil menyipit setelah dia berhasil menaruh bukunya lagi di baris paling tinggi.
“Apa yang lucu, Yiheon.”
“Kamu.” jawabnya tanpa takut, ia bersandar di rak yang ada di sampingnya, pandangannya menatap lurus pada Sekyung yang melakukan hal yang sama di depannya.
Tidak ada yang lewat di lorong ini karena suasana perpus yang semakin sepi menjelang ditutup membuat mereka berdua leluasa diam menghalangi jalan.
Sekyung menarik satu sudut bibirnya mendengar ucapan Yiheon, jujur saja ucapan itu sedikit menggelitiknya.
Kali ini dia bahkan melipat bibirnya menahan senyum yang tidak bisa ditahan. Kedua tangannya bersembunyi di balik saku celananya, “Oh oke..” balasnya pelan.
Katanya mau pulang, tapi keduanya belum ada yang beranjak sedikit pun. Mereka tidak ada yang bicara setelahnya, hanya terdiam menikmati suasanya perpus yang semakin sepi serta suara dari mahasiswa lain dari arah kanan terdengar samar seperti membahas tugas atau mungkin sedang ngobrol seperti apa yang tadi mereka lalukan.
Betul, obrolan panjang mereka tadi juga tentu saja diucap dengan pelan agar tidak mengganggu yang lain, dan karena tidak ada yang menegurnya Yiheon merasa lega, ia mempunyai kesempatan untuk bercerita tentang gundahnya pada Sekyung yang sudah memberi banyak masukan.
Yiheon terlihat membenarkan tas yang yang hanya disampirkan di bahu kanannya. Berdehem sebentar karena dari tadi Sekyung hanya menatapnya sambil mengulas senyum tanpa berbicara apa-apa.
Bikin salting aja nih orang.
Ia akhirnya menarik punggung yang tadi bersandar untuk berdiri tegak, maju satu langkah kecil mendekat pada Sekyung membuat jarak mereka menjadi lebih dekat.
Bodoamat ia ngejar kok, batinnya percaya diri.
“Abang.. aku boleh ngelunjak nggak?” tanyanya berbisik.
“Apa?” balas Sekyung penasaran karena Yiheon sampai berbisik seperti itu.
“Hari ini aku mau minta peluk yang lama.” pintanya dengan malu-malu, “Kalau gak boleh juga gapapa sih.”
Ya Tuhan. Song Yiheon ini bisa dikarungin sekalian gak?
Senyum itu lagi, senyum Choi Sekyung yang selalu membuatnya terlihat semakin tampan terlihat jelas saat ini.
“Boleh. Abang kan pernah bilang ke kamu, kapan pun kalau kamu mau dan butuh tinggal bilang aja.”
Yiheon tahu itu, tapi tetap saja ia merasa perlu alasan untuk memintanya. Dan Sekyung seperti bisa membaca pikirannya saat ini.
“Kalau kamu lagi senang, kalau kamu lagi ngerasa capek, kalau kamu lagi ngerasa butuh seseorang buat luapin apa yang kamu rasain jangan ragu buat ngasih tau. Karena kalau kamu nya gak bilang, abang gak akan tau gitu aja, Yiheon.”
Sekyung menurunkan pandangannya, berbicara dengan meyankinkan pada Yiheon yang menghela napas dalam.
“Tapi kemarin abang tau apa yang aku butuhin tanpa aku harus bilang.”
“Iya itu karena kita lagi bareng dan abang bisa liat dengan jelas, sayang.” ujar Sekyung sedikit gemas, kemarin siapa yang tidak tahu kalau mood Yiheon sedang tidak bagus karena dalam sekali lihat saja Sekyung sudah paham.
“Emang kalau misal lagi gak bareng. Terus aku bilang butuh abang, abang bakal dateng?”
Yiheon tidak berniat mundur saat Sekyung melakukan hal yang sama seperti apa yang tadi ia lakukan. Satu langkah Choi Sekyung itu mampu membuatnya untuk menahan napas dan memegang tali ranselnya dengan erat.
“Pasti, Yiheon.” jawabnya yakin, “Abang pasti datang kalau kamu minta.”
“Memangnya aku sepenting itu?” tanyanya dengan suara lirih.
Yiheon bisa melihat iris mata Sekyung yang seperti menatap setiap inci wajahnya, dengan jarak yang sedekat ini ia tidak memilih untuk berpaling, ia membalasnya tanpa ragu.
Tidak lagi berada di dalam saku celananya, telapak tangan lebar milik Sekyung terasa hangat saat menangkup kedua pipi Yiheon yang sedikit dingin karena pendingin ruangan yang terpasang, di sana dia mengusapnya dengan pelan.
“Bohong kalau abang jawab enggak. Kamu tahu itu.”
Setelah apa yang Sekyung lakukan selama ini, Yiheon tidak perlu bertanya karena jawabannya bahkan sudah ada sejak lama.
“Iya.” bisiknya, “Kamu sepenting itu buat abang, Yiheon.”
Kalau Yiheon meminta jawabannya, maka Sekyung menjawab, dia memberitahunya agar Yiheon tahu kalau dirinya bagi Sekyung memang sangat berarti.
Lalu tidak ada yang bisa menahan Song Yiheon saat dia kemudian memeluk erat Choi Sekyung yang ada di depannya.
Tersenyum begitu lebar dengan perasaan penuh senang saat Sekyung melakukan hal yang sama, dia memeluk pinggangnya, mengusap punggungnya bahkan Yiheon bisa meraskan Sekyung yang mencium pundaknya cukup lama.
“Mau pulang sekarang, hmm?”
Yiheon menggeleng di pundak Sekyung, tetapi ia melepaskan pelukannya, menatap Sekyung dengan bibir yang mencucu lucu.
Choi Sekyung seperti mengerti, mau peluk yang lama katanya dan ini baru sebentar. Tingkah mereka ini sejak di meja hingga di sini kalau ada yang memperhatikan pasti sudah menarik perhatian orang sejak tadi.
“Kita ke mobil aja ya?” tawar Sekyung yang membuat Yiheon mengangguk cepat.
“Iya biar lebih aman takut ada yang liat.”
Sekyung tertawa kecil, menatap jahil pada Yiheon, “Mau ngapain sih takut ada yang liat segala.” katanya membuat Yiheon membulatkan mata sambil menyikut perut Sekyung cukup keras hingga dia mengaduh lebay.
“Tolong otaknya jangan kotor ya, Choi Sekyung!” ujarnya sambil berjalan lebih dulu dengan wajah memerah, meninggalkan Sekyung yang meringis memegang perutnya di belakang.
Orang minta peluk doang kok! beneran! Sumpah! Dasar Choi Sekyung!
“Oke, gimana kamu aja maunya.”
Belum selesai malunya karena ucapan Sekyung itu. Yiheon kini menatap kaget saat tangan Sekyung tiba-tiba menggenggam tangan kirinya hingga kemudian dia yang berjalan di depannya.
Sekyung menggenggamnya dengan erat, menautkan jari mereka sambil menuntunnya ke luar perpus dan berjalan menuruni tangga.
“Ngapain?”
Yiheon bertanya bingung dan Sekyung hanya bergumam pelan, berlagak seperti tidak ada yang aneh atas apa yang sudah dia lakukan.
Tangan gue woy ini lu apain kenapa digandeng begini anjir kalau ada yang liat gimana????!
Kalimat ributnya itu hanya mampu ia telan lagi. Yiheon memilih untuk diam sekarang, menatap punggung Sekyung di depannya dengan kedua sudut bibir yang ditarik berlawanan.
Seneng dikit.
Enggak, seneng banyak banget!
Tolong ini jantungnya udah gak karuan.
Bahkan pikirannya sedikit berisik.
Nggak apa-apa nggak punya pacar, soalnya gue punya Bang Sekyung yang sebaik ini, yang kasih sayangnya banyak banget, yang selalu membuatnya ngerasa bahagia terus.
Sekyung melirik ke belakang saat dia merasakan Yiheon yang membalas genggaman tangannya.
Di pandangannya saat ini Song Yiheon berkali-kali lebih tampan dengan raut yang terlihat senang, sudah dibilang kan, arti bahagia bagi Sekyung itu Yiheon, seperti sekarang.
Yiheon nya sedang bahagia, maka artinya dia lebih bahagia lagi.
“Abang aku bawa motor.”
Sial.
Sekyung lupa.
“Mau pelukan di motor aja?”
“YAKALI ANJIR!!!”
Sekyung terbahak ketika meraskan tepukan khas Yiheon di pundaknya.
“Iya di mobil aja terus nanti pulangnya masing-masing, gapapa, ya?”
“Em.” sahut Yiheon, ya memang begitu terus gimana lagi masa iya motornya ditinggal di kampus!
“Kamu beneran udah ngerasa baikan? udah gak kebawa mellow lagi gara-gara tadi kan?”
Sekyung bertanya memastikan saat mereka sudah keluar dari gedung perpustakaan dan berjalan ke arah parkiran tempat mobilnya berada.
Tidak lagi berjalan di depan, Choi Sekyung kini berjalan di sisi kiri Yiheon tanpa melepaskan tangannya.
“Udah enggak, beneran.” jawab Yiheon meyakinkan saat mereka sudah sampai di depan mobil Sekyung.
Sekyung menghela napas lega sebelum melepaskan tangan mereka, dia mengeluarkan kunci mobilnya dari saku celana dan mempersilahkan Yiheon untuk masuk lebih dulu, tidak lupa mengambil tas milik Yiheon untuk di simpan di kursi belakang bersama dengan miliknya.
Sekyung berdiri di samping pintu penumpang saat Yiheon sudah duduk dan dia menahan pintu yang belum ditutup itu.
“Jangan sampai malam ya, nanti kamu dicariin. Masa iya izin telat pulang karena kelamaan pelukan.” ujarnya bercanda.
Yiheon meringis, ya enggak lah. Ia hanya perlu beberapa menit lagi bersama Sekyung, ia masih mau merasakan nyaman yang menenangkan ketika Sekyung memeluknya dengan usapan dan tepukan pelan yang membuatnya betah berlama-lama.
Song Yiheon ini rupanya sudah beneran kena sihir karena pelukan Sekyung.
“Biarin! paling kalau tahu sama abang dibolehin kok.”
Ini anak kalau ngomong dipikir dulu nggak sih?
Tapi Choi Sekyung memang sudah kenal baik dengan keluarganya bahkan dengan si kucing imut bernama ayang itu karena seringnya dia menjemput atau mengantarnya pulang.
Tidak tahan, pipi Yiheon menjadi sasaran empuk Sekyung kali ini, dia mencubitnya geregetan hingga anaknya kewalahan dan memegang tangan Sekyung yang ada di pipinya.
“Sakit Bang Sekyung!!”
“Stop tambah lucu makanya...” ujar Sekyung lalu memajukan wajahnya ke samping Yiheon kemudian berbicara tepat di samping telinganya, “...atau nanti kita lebih dari pelukan, mau?”
Sialan.
Yiheon merinding beneran.
Sumpah.
Sekyung terkekeh melihat Yiheon yang menutup mulutnya sendiri menggunakan kedua tangan dengan heboh.
“GAK!”
“Oh kamu mikirinya emang ke sana ya?”
Tanyanya sebelum menutup pintu di samping Yiheon itu dan berjalan dengan santai ke kursi miliknya yang ada di balik kemudi.
Pokoknya semua ini gara-gara ucapan Sungchan semalam! pikir Yiheon menggerutu.
Good part, good part sialan, otaknya jadi ikutan ke sana.
“Enggak! udah gak usah dibahas.”
“Kenapa mukanya merah?”
“Diem bang atau aku gebuk.”
“Kamu yang butuh kok kamu yang galak sih, Yiheon.”
Bisa nggak, sehari tanpa drama. Yiheon menatap kesal tawa menyebalkan—tapi tetep ganteng milik Sekyung itu.
Ia mencebikan bibirnya lalu mengubah araha duduknya menyamping ke arah Sekyung.
“Buruan peluk sebelum gue makin ngamuk!” ucapnya tidak sabar, setidaknya saat dipeluk nanti, Sekyung tidak bisa melihat wajahnya yang kian memerah ini.
Melihat tingkah Yiheon yang seperti itu justru malah membuat Sekyung melipat tangannya di dada alih-alih membuka lengannya. Agak takut anaknya tantrum tapi seru juga mengerjainya.
“Bilang yang bener coba, jangan sambil marah-marah gitu. Abang gak mau.”
Song Yiheon mendesah frustasi sambil mengusap wajahnya, mengambil napas panjang mencoba mengatur emosinya yang setipis tisu itu menghadapi Sekyung yang terkadang suka sengaja mengujinya.
Ia mau dipeluk. sekarang. ngerti gak sih.
“Bang Sekyung...” ucapnya dengan suara pelan, menatap Sekyung yang mengangguk dengan senang.
“Iya Yiheon, sayang?”
Anjir.
Tahan.
GAK BOLEH PINGSAN.
“Aku minta peluk sekarang, boleh?”
“Dengan senang hati.”
Yiheon memukul pelan punggung Sekyung dengan kepalan tangannya saat ia sudah memeluk pundak itu dengan erat.
Akhirnya bisa menyembunyikan wajahnya di pundak Sekyung, bisa berlama-lama menikmati wangi menenangkan Sekyung yang entah sejak kapan disukainya.
Pokonya mau peluk yang lama.
Sampai dipisahin warga sekalian.
“Ngeselin deh asli.” gumamnya dengan suara tertahan.
Choi Sekyung mengusap belakang kepala Yiheon sebagai respon kekesalan tersebut, lengkap dengan tawa ringan yang keluar dari bibirnya.
Selain membuat Yiheon senang, rupanya membuat Yiheon kesal juga sudah menjadi hal yang sering dia lakukan.
“Maaf ya...” bisiknya.
“Gak dimaafin.” balas Yiheon enteng.
Sekyung sudah siap mengurut keningnya pusing saat dia bertanya, “Oke, jadi abang harus ngapain biar dimaafin?”
“Peluk aja yang lama.”
Haduh.
Kalau begini mah nggak usah diminta, bakal dia kasih tiap hari juga.
“Abang juga mau liat pipi bolong kamu dong, boleh lepas dulu nggak?”
“Gak!”
“Yiheon..”
“Enggak!”
Song Yiheon akhirnya melonggarkan pelukannya saat Bang Sekyung nya itu tidak bicara lagi setelah beberapa saat, ngambek gak sih? apa ia terlalu kasar?
Ia menatap Sekyung yang justru tersenyum lebar dan membuatnya menghela napas lega karena pikirannya sudah salah.
“Lihat sekali aja, please.”
Kalau begini malah Sekyung yang merengek kayak anak kecil. Dia bahkan sudah menunjuk-nujuk pipinya dengan jari.
Ya sudah, Yiheon akhirnya menarik sudut bibir kanannya hingga lesung pipinya terlihat jelas dan membuat Sekyung tertawa, nurut banget lagi??
Diusapnya lesung pipi itu dengan perlahan oleh ibu jarinya, “Kok bisa gini ya? cantik banget.” bisiknya lalu menatap kedua netra Yiheon yang mengangkat bahunya.
Gak tau lah kok tanya gue, dari sananya udah gitu, pikirnya.
“Kalau bisa dipindahin aku pindahin deh, abang kayaknya suka banget.”
Sekyung gemas, dasar asbun.
“Enggak gitu, abang gak mau ambil. Abang lebih suka liatnya ada di wajah kamu.”
Yiheon mengangguk kecil, ia juga suka lesung pipinya. Kata orang dari sejak kecil itu tampak manis di wajahnya dan kata Sekyung itu terlihat cantik.
Dan hanya dalam tiga detik kemudian kedua netra Yiheon membulat sempurna saat Choi Sekyung mencium pipinya itu, tepat di atas lesung pipi nya dan sengaja ditahan sedikit lama.
Bentar.
Napas dulu.
Choi Sekyung ngapain barusan????
“Jangan banyak marah-marah ya, banyakin senyum aja. Sayang kalau yang kayak gini diumpetin terus.” bisik Sekyung kemudian sambil membawa tubuh Yiheon kembali ke dalam pelukannya.
“Sekarang sudah boleh peluk lagi selama yang kamu mau, Yiheon.”