sekyung x yiheon au
Yiheon menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin yang berada di kamar mandi. Wajahnya bahkan ia majukan semakin dekat untuk melihat jelas luka-lukanya kali ini. Plesternya baru diganti lagi oleh Sekyung barusan.
Sebelumnya Sekyung memang sempat meninggalkannya sendirian di ruang keluarga, tapi alih-alih kembali membawa selimut, dia malah membawa kotak obatnya lagi.
Yiheon merasa lega karena pikirannya ternyata tidak benar. Padahal ia tadi sempat misuh-misuh saat Sekyung benar-benar pergi dari pandangannya.
Lagipula dirinya seakan tidak tahu saja kalau Sekyung mana tega melakukannya, menyuruh pacarnya itu untuk tidur di sana sendirian.
Saat diobati, suara ringisan Yiheon yang banyak protes itu memenuhi ruang keluarga kediaman Sekyung yang lengang dan sunyi hingga membuat mbak yang sedang lewat di sana ikut menatapnya ngilu.
“Pelan-pelan, perih tau!”
“Mas Sekyung jangan galak-galak ngobatinnya, kasian Mas Yiheon kesakitan gitu.” komentarnya membuat Yiheon tertawa garing, si mbak ini malah diperjelas segala.
Karena memang berbeda dengan saat di kost Asa tadi, kali ini Sekyung melakukannya sambil sedikit menggerutu, udah tahu sakit kan masih aja nggak kapok.
Bibir Yiheon semakin bedecak kesal saat ia melihat wajahnya dari berbagai sisi dengan tangan yang berada di dagunya, dari sebelah kanan atau sebelah kiri sama saja.
Intinya satu. Jelek banget lu, Song Yiheon, simpulnya pasrah.
Tapi, mau bagaimana lagi sudah luka, sudah kejadian.
Semuanya gara-gara Jaemin, bocah yang selalu mencari gara-gara dengannya dari sejak mereka SMA. Entah bagaimana awalnya tapi sekolah mereka berdua dulu memang berdekatan dan selalu saja ada hal yang diributkan. Akhirnya hingga sampai sekarang pun mereka berdua tidak pernah akur.
Harusnya tadi ia tidak usah ikut terpancing saat satu bogem mentah mengenai pipinya.
Harusnya ia pergi saja.
Namun, Song Yiheon yang memang kesabarannya setipis tisu itu justru meladeninya dengan semangat, membalas pukulan itu hingga mereka berdua berakhir seperti ini.
Jaemin mungkin lebih parah lagi saat dia tadi dibawa oleh temannya.
Yiheon membuka tiga kancing atas piyama yang dipakainya, disingkap ke bawah hingga bahunya terlihat jelas, ia berdiri menyamping mencoba melihat bagian belakang bahu kanannya itu, beruntung tidak ada luka luar di sana.
Ia hanya merasa sedikit terganggu saat menggerakan tangannya ke atas, sepertinya akibat terbentur pas tubuhnya jatuh lumayan keras ke tanah tadi.
Juga, Yiheon mengangkat bajunya dari bawah melihat perutnya lewat pantulan kaca di depannya yang ternyata memang ada bagian yang memerah di sana, sedikit sih tapi pasti tadi Sekyung juga sempat menyadarinya.
“Yiheon?”
Suara Sekyung terdengar di balik pintu yang tertutup, mengetuk dua kali membuatnya memasang kembali kancing yang tadi ia lepas. Luka seperti ini bukan hal yang baru pertama kali dirasakannya, jadi Yiheon hanya menghela napas berpikir besok juga mendingan.
“Gapapa?”
Tanya Sekyung begitu ia membuka pintu, pasalnya dari tadi Yiheon belum keluar. Ia menjawab pelan lalu mengikuti Sekyung yang berjalan ke arah tempat tidur, memberinya isyarat agar ia duduk di sana.
Ada sebuah kantung es yang bisa ia lihat di atas meja belajar Sekyung, sepertinya itu diambil pas Yiheon sedang di kamar mandi.
“Abang ngapain?”
Yiheon menatap heran Sekyung yang duduk di lantai tepat di depannya, pemuda itu menatapnya sambil tersenyum tipis setelah sempat mengambil kantong es yang ada di atas meja tadi.
“Mau ngompres.” jawabnya singkat.
“Hah? gak usah! Aku bisa sendiri, bang. Ngapain sampai duduk di lantai gitu sih.”
Tentu saja Yiheon menolak, bagaimana mungkin membiarkan si tuan rumah duduk di bawah saat ia duduk di atas. Tapi, rupanya Sekyung lah yang menang. Pemuda itu hanya menatap seakan berkata diem, kamu nurut aja. Tidak berani membantah, Yiheon kembali mengatupkan bibirnya.
Tadi saat di kosan Asa, kakinya memang belum sempat dikompres. Tulang keringnya sebelah kanannya itu cukup berdenyut saat ia berjalan sehingga harus dipapah atau berpegangan.
Celana piyama pendek di atas lutut yang dipakainya kali ini membuat kakinya terlihat jelas, tidak seperti tadi saat ia memakai celana panjang untuk ke kampus. Di sana terlihat ada memar berwana merah yang masih samar dan mungkin besok akan terlihat jelas bahkan membiru.
Sekyung dengan perlahan dan telaten mengompresnya diiringin dengan Yiheon yang sesekali meringis antara sakit dan merasa dinginnya es yang menyentuh kulitnya.
Tidak sampai sepuluh menit, ia menarik kakinya dari Sekyung yang kemudian menatapnya.
“Udahan. Besok lagi aja.” katanya.
“Gimana sedikit mendingan?”
Kepala Yiheon mengangguk untuk menjawab Sekyung yang langsung memasang wajah lega.
Jam digital yang ada di atas meja sudah menunjukan hampir pukul sepuluh malam.
Sekyung kemudian beranjak dari duduknya sambil membawa kantung es tadi untuk disimpan kembali ke dapur. Dia pergi keluar kamar meninggalkan Yiheon yang menatap punggungnya hingga menghilang di balik pintu.
Dihembuskannya napas dengan dalam saat Yiheon menatap pintu kamar yang sudah tertutup.
Suasana diantara mereka mungkin sudah agak membaik akibat beberapa obrolan tadi di meja makan. Namun, Yiheon jelas sadar Sekyung masih belum kembali seperti biasa.
Walaupun seperti itu, tapi baiknya dia tidak berkurang sedikit pun, dilihatnya kakinya sendiri yang masih terasa dingin dengan pandangan sendu.
Saat Sekyung kembali dan membuka pintu kamarnya dia sedikit terlonjak karena Yiheon sudah berdiri di depan pintu menunggunya. Terlihat di tangan kanan Sekyung ada mug berwana putih dengan asap tipis yang masih mengepul di atasnya.
Dia berjalan ke arah meja dan menyimpan mug berisi coklat panas itu di sana, “Nanti minum ini, sekarang masih panas. Biar tunggu hangat dulu.” jelasnya.
Yiheon hanya mengikuti gerak-gerik pacarnya yang kini berbalik menatapnya dengan lagi-lagi memasang wajah kaget saat tahu-tahu Yiheon berada di depannya.
Persis seperti anak ayam yang terus mengekori induknya.
“Ngapain sih kamu?” ditanyanya Yiheon yang justru mengalihkan tatapannya ke arah rak buku di samping meja belajar, ia tidak mau menatap Sekyung yang terlihat heran dengan kelakuannya ini.
Tingkah Yiheon itu membuat Sekyung mengerutkan keningnya tidak mengerti hingga dia hanya menepuk bahu Yiheon sekilas lalu beranjak ke tempat tidur saat Yiheon masih berdiri di tempatnya.
Serius, mau tidur gitu aja dan gue masih didiemin kayak gini?
Tanpa berbalik, Yiheon menarik kursi yang ada di depannya, lalu duduk di sana menghadap ke meja belajar. Membelakangi tempat tidur juga Sekyung dan mantap ke jendela yang tertutup gorden berwana putih itu.
Sepertinya jendela ini menghadap ke halaman belakang, karena Yiheon tebak bukan ke arah depan rumah. Besok siang pasti terlihat jelas, untuk sekarang ia juga tidak berniat membukannya sekedar untuk mengintip.
Yiheon memegang mug yang terasa hangat di telapak tangannya. Diangkatnya ke depan bibirnya lalu meniup-niupnya. Menyesap secara perlahan rasa manis sedikit pahit dari coklat hangat yang enak itu membuatnya tidak bisa menahan senyum karena dibikinin ini sama Bang Sekyung.
Diliriknya jam di atas meja yang sudah berada di angka sepuluh lewat sepuluh, tidak sadar Yiheon menikmati waktu sendirinya sambil melihat-lihat buku di atas meja Sekyung lengkap dengan post it yang di tempel berisi deadline bermacam tugas mahasiswa semester enam itu.
Yiheon menyimpan kembali pulpen yang tadi digunakannya untuk menulis sesuatu di post it yang ada di atas meja, lalu ditempel bersisian dengan yang lain. Ia kemudian menenggak habis minumnya yang masih tersisa sampai mug tersebut kosong.
Tubuhnya lalu berbalik menatap Sekyung yang ternyata sedang anteng membaca buku sambil bersandar di kepala ranjang dengan kacamata baca yang demi Tuhan jarang sekali Yiheon lihat, mungkin dipakai saat di kelas saja.
Bisa-bisanya santai begitu!
Walau hanya mengenakan baju kaos hitam polos lengkap dengan celana pendeknya, Choi Sekyung itu terlihat begitu tampan di mata Yiheon.
Kesal sih tapi masih sempat membucin juga.
“Abang...” panggilnya.
Sekyung berdehem pelan untuk menjawab, dia menutup bukunya lalu menyimpannya di meja kecil samping tempat tidur. Menatap Yiheon tanpa melepas kacamatanya.
“Sudah ngantuk?” tanyanya.
Yiheon berdiri dan berjalan ke arah Sekyung alih-alih tinggal naik ke sisi tempat tidur yang berada di dekatnya.
“Kamu masih marah?”
Tanyannya serius, iya betul walaupun mengantuk tapi Yiheon memilih untuk berdiri di samping tempat tidur dan menatap Sekyung di kedua matanya.
Jujur ia capek hari ini, badannya sakit, mukanya perih, ditambah Sekyung yang membuatnya merasa tidak tenang dengan sikapnya itu.
Ia sadar diantara mereka belum clear sepenuhnya dan Yiheon tidak suka kalau ada yang mengganjal seperti ini.
“Maaf kalau tadi aku gak bilang dulu terus akhirnya malah jadi begini...” ucapnya jelas mengakui, ia tidak sedang ingin membela dirinya karena kenyataannya memang seperti itu.
“Maaf kalau mungkin aku udah bikin abang khawatir.”
“Bukan mungkin, tapi memang, Yiheon.” potong Sekyung cepat mengoreksi ucapannya, dia berkata dengan nada tenang tanpa emosi untuk memarahinya tapi entah mengapa justru membuat Yiheon menunduk sedih.
“Maaf kalau abang jadi repot harus ngurusin aku yang ribut lagi.”
Kali ini suaranya sedikit tertahan di tenggorokan, tercekat lalu tangannya meremas pelan kedua ujung piyama yang tak luput dari penglihatan Sekyung.
Yiheon tidak mau merasakan frustasi yang kedua kalinya menghadapi Sekyung seperti saat mereka pergi liburan waktu itu.
Namun, nyatanya ia sendiri yang mencari perkara. Ia sendiri yang membuat Sekyung bersikap seperti itu padanya.
Pasti Bang Sekyung kecewa, pasti Bang Sekyung pusing gue bikin masalah lagi, pasti Bang Sekyung muak lagi-lagi harus ngobatin gue.
Dan tidak menutup kemungkinan pasti Bang Sekyung lama-lama capek dan mungkin bisa pergi darinya kalau begini terus.
“Yiheon...”
Sekyung memanggil Yiheon yang sudah menunduk, menyembunyikan wajahnya yang perlahan memerah menahan amarah untuk dirinya sendiri, kalau Sekyung pergi yang salah adalah dirinya.
Ia yang cari gara-gara sendiri.
Ia yang sudah berulah dan bandel.
Tangannya kini bahkan terkepal di kedua sisi tubuhnya.
Overthinking sepertinya telah mengambil alih Yiheon sepenuhnya saat ini.
“Song Yiheon...”
Panggilnya lebih lembut lagi, dia melepas kacamatanya dan disimpan di atas buku tadi. Sekyung lalu menghela napas kecil saat melihat Yiheon yang masih enggan menatapnya, “Kalau gak jawab, abang nanti marah beneran.” ucapnya itu berhasil membuat Yiheon akhirnya mengangkat wajah.
Tidak mau. Jangan sampai itu kejadian.
Ia menatap Sekyung dengan berbagai emosi yang terpancar jelas di wajahnya dan Sekyung yang mengenal betul sosok Yiheon mudah sekali membacanya.
Dia tahu semua bagaimana Song Yiheon kalau marah, senang, malu, kesal, bahkan salah tingkah hingga wajahnya akan memerah lucu.
Tetapi, sedihnya yang sekarang ia tampilkan membuat Sekyung merasa kalau Song Yiheon benar-benar sudah mengambil seluruh perdulinya, mengambil seluruh perasaannya.
Karena Sekyung bertaruh demi apa pun, dia tidak ingin melihat lagi hal tersebut di wajah Yiheon.
Sekyung hanya ingin memberinya bahagia sebanyak yang dia bisa.
“Sini....”
Yiheon menatap tangan Sekyung yang terulur padanya, mengajaknya untuk mendekat, menawarkan hal yang membuatnya tidak bisa menolak bukan karena takut namun karena butuh.
“Sayang, sini...”
Hatinya menghangat takala Choi Sekyung memanggilnya dengan lembut, menyambut lengannya yang terulur, menariknya untuk ikut naik ke tempat tidur saat dia menggeser duduknya serta kemudian membawa tubuhnya ke dalam sebuah pelukan yang begitu hangat merengkuhnya.
“Kamu tahu gimana khawatirnya abang pas tiba-tiba dikabarin kalau kamu berantem?”
Yiheon menggigit bibirnya lalu menggeleng pelan sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Sekyung.
“Kamu tahu perasaan abang pas liat keadaan kamu yang sangat berantakan kayak tadi?”
Yiheon lagi-lagi menggeleng mendengar pertanyaan Sekyung yang jawabannya padahal sudah jelas. Ia semakin menyembunyikan wajahnya di dada Sekyung, merasa sangat bersalah, tahu kalau tingkahnya ini sudah kelewatan.
“Yiheon, sekarang kamu itu punya abang, ada abang yang bakal paling khawatir kalau kamu kenapa-napa. Kalau kamu nggak mau abang terlalu jauh ikut campur gapapa, abang bakal coba ngerti. Tapi jangan tiba-tiba datang dengan tubuh penuh luka begini juga, sayang.”
Choi Sekyung tentu perlu waktu untuk mendinginkan kepalanya tadi. Rasa khawatir, kesal serta marahnya itu seperti berlomba-lomba mengambil alih emosinya.
Dia jelas tidak mau membuat semuanya menjadi runyam dan memilih banyak diam karena takut malah berkata yang tidak seharusnya dan akan membuat Yiheon sedih dan berpikir macam-macam.
Sekyung juga menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengannya, saat keduanya sama-sama bisa berpikir tenang dengan kepala dingin. Sekarang. Karena kalau tadi dia memaksa bicara langsung dengan Yiheon yang juga belum tenang sepenuhnya, dia bisa membayangkan akan seperti apa akibatnya.
“Jangan berpikir mentang-mentang abang sering ngobatin kamu dari dulu, abang jadi terbiasa melihatnya. Dan semua itu jadi kamu anggap baik-baik saja. Enggak begitu, Yiheon.”
Sekyung menepuk-nepuk pelan pundaknya, berharap Yiheon mengerti bagaimana kalau ia berada di posisinya, “Abang nggak akan pernah mau terbiasa kalau harus melihat wajah kamu penuh luka seperti ini, sayang...” dia memberi jeda sambil memegang bahu Yiheon membuatnya mau tidak mau menatapnya dengan sudut mata sudah menghangat.
“Kamu boleh anggap sikap abang lebay atau apa pun terserah.. abang cuma terlalu sayang sama kamu, Yiheon. Kamu ngerti kan?”
Sekyung mengerjap kaget saat ia kembali memeluknya dan merasakan pundak Yiheon yang perlahan bergetar.
Yiheon nya malah menangis.
Diusapnya dengan penuh sayang punggung Yiheon untuk menenangkannya.
Akhirnya daripada memilih menyuruhnya berhenti, Sekyung justru membiarkan Yiheon menumpahkan semua yang mungkin sudah ia pendam dari tadi. Memvalidasi bahwa emosinya nyata dan tidak perlu ditahan.
Yiheon tidak perlu menjadi kuat untuk setiap saat.
Sekyung memeluk tubuh yang semakin bergelung padanya dan mengucap kata maaf berulang kali dengan suara parau.
“Iya gapapa... abang nggak marah ke kamu, sayang. Sudah nggak usah minta maaf terus.”
Sekyung menarik selimut yang ada di kakinya, memasangkan dengan benar pada tubuhnya juga Yiheon yang masih terisak pelan di pelukannya.
Ditaruhnya dagunya di atas kepala Yiheon yang masih belum selesai, Sekyung menghela napas saat Yiheon sudah membasahi baju bagian depannya dengan air mata.
Sebanyak apa ia menangis, setakut apa yang dirasakan Yiheon saat ini hingga membuat Sekyung harus kembali mengulang kata menenangkan yang sama.
Abang nggak marah, sayang.
Yiheon memejamkan matanya, rasanya sakit yang dia rasa karena Jaemin tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ia menghadapi marah serta kecewanya Choi Sekyung saat ini.
Tangisnya pecah sendiri tanpa bisa ditahan begitu Sekyung semakin banyak berbica sambil memberi hangat padanya yang semakin kalut dengan pikiran yang begitu penuh dan semakin kemana-mana
Berbaring tanpa melepaskan pelukannya, Sekyung tampak sabar mengusap punggung Yiheon, menyisir rambutnya yang menguarkan wangi familiar dari shampo miliknya yang tadi Yiheon pakai.
Berkali-kali dia juga mengecup kepalanya dengan sayang saat pemuda di dekapannnya ini belum mau menunjukan wajahnya.
Muka penuh luka, ditambah nangis kayak bocah, mata sembab, hidung mampet. Yiheon bahkan tidak sempat memikirkan kemungkinan itu tadi.
“Sudah tenang?” suara lembut Sekyung terdengar di telinganya, membuat ia bergumam pelan. Entah sudah berapa menit kamar sunyi Sekyung itu hanya diisi oleh suara tangis Yiheon yang teredam di pelukannya.
Yiheon akhirnya menjauhkan wajah dari dada Sekyung, ia meringis melihat baju bagian depan Sekyung yang terlihat basah lalu mengusapnya pelan.
Tanpa ada yang berniat melepaskan pelukannya, Choi Sekyung sedikit menunduk untuk menatap Yiheon. Disentuhnya ujung mata yang lebih muda itu dengan ibu jarinya, lembut dan hati-hati mengusap jejak-jejak air mata yang bisa dia lihat hingga ke dagunya.
“Aku jelek ya...” guman Yiheon dengan suara serak khas habis nangis, Sekyung menggeleng pelan, tersenyum teduh hingga ke matanya.
“Enggak.” katanya, “Tapi abang gak suka lihatnya, ini pasti sakit.” Sekyung menunjuk luka-luka di wajahnya.
Yiheon menahan napasnya saat Sekyung kemudian menunduk untuk mengecup keningnya dan menahannya cukup lama.
“Abang cuma nggak mau orang yang abang sayangi terluka dan merasa sakit, abang juga nggak mau lihat kamu sedih dan nangis lagi, Yiheon.”
Jangan terluka seperti ini lagi.
Kedua iris Yiheon menatap Sekyung yang membuatnya tidak bisa berpaling, dia menguncinya tanpa perlu tatapan tajam. Sekyung justru menatapnya dengan tatapan paling hangat yang membuatnya merasa disayang dan dicintai.
Yiheon tahu jelas bahwa ia tidak jatuh cinta sendirian.
Karena Choi Sekyung bahkan sudah mencintainya jauh sebelum ia sadar dengan perasaannya sendiri.
“Maaf untuk hari ini.. aku tahu aku salah. Janji gak diulang lagi.” bisik Yiheon masih dengan suara seraknya yang terdengar lebih dalam, ia bisa merasakan usapan tangan Sekyung di rambutnya semakin memelan.
“Aku takut kalau abang marah nanti malah pergi, nanti aku nya ditinggalin. Aku gak mau, aku gak bisa kalau gak ada Bang Sekyung. “
“Abang nggak pernah kemana-mana.” balas Sekyung serius, sedikit bingung bisa-bisanya Yiheon berpikir seperti itu, kedua iris matanya menatap dalam padanya, “Dan gak akan kemana-mana, sayang.”
Yiheon seharusnya tahu itu, dari dulu Choi Sekyung adalah orang pertama yang akan selalu ada untuknya, Choi Sekyung yang selalu memberikan waktu bahkan hanya untuk mengajaknya makan siang di kantin. Choi Sekyung yang dengan senang akan mengantar jemputnya tanpa pernah diminta, serta masih banyak lagi yang sudah dia lakukan untuk Yiheon kesayangannya ini.
Yiheon tersenyum tipis mendengarnya, perkataan Sekyung bagai janji yang bisa ia yakini kalau Sekyung berkata begitu serius. Begitu sungguh-sungguh kalau dia akan selalu ada di sampingnya di saat apa pun keadaan Yiheon.
“Jangan ngomong atau pun berpikir gitu lagi.” pintanya yang diangguki oleh Yiheon.
Sekyung kembali mendaratnya ciuman lembut di keningnya, serta di pipinya yang menjadi tempat kesukaannya.
Akhirnya lesung pipi itu tampak jelas terlihat dari jarak yang begitu dekat seperti sekarang, memberi tanda bahwa Yiheon sudah bisa tersenyum sedikit lebih lebar walau belum begitu lepas, tapi Sekyung sudah bisa bernapas lega.
Sekyung juga kembali memeluknya, mempersempit jarak diantara mereka dan menyembunyikan wajahnya di bahu kiri Yiheon, menutup matanya, menghirup wangi Yiheon yang tercampur dengan miliknya sendiri dari mulai piyama hingga sabun yang tadi ia gunakan.
“Abang sayang banget sama kamu, Yiheon, kamu harus tahu itu.” bisik Sekyung, “Kamu segalanya buat abang.”
Bila harus menabak siapa yang paling beruntung di sini, Yiheon mungkin akan menjawab kalau itu adalah dirinya. Betapa beruntungnya ia bisa mengenal Choi Sekyung, lalu berteman baik dengannya sampai menjadi dekat, hingga akhirnya sampai di titik bahwa ia begitu dicintai olehnya.
“Aku tahu.. aku juga sayang sama abang.” balasnya.
“Kalau sayang berarti harus apa? Jangan banyak berulah, takut abang beneran hipertensi nanti ngadepin tingkah kamu lagi.”
Yiheon mendengus kecil lalu mendorong dada Sekyung agar menjauh, ia menarik selimut sampai lehernya dan berbalik untuk memunggungi Sekyung yang tidak bisa menahan senyumnya.
Emang aku segitunya bikin kamu stress???!
Sudah bisa merajuk, berarti sudah aman. Lebih baik begini daripada melihat tatapan sendu juga sedih darinya seperti tadi.
“Mau peluk kamu saja sampai tidur biar kayak guling.”
Sekyung mengulurkan tangannya di bawah kepala Yiheon untuk dijadikan bantal lalu mendekap bahunya dengan nyaman. Yiheon tidak protes saat Sekyung kembali mengubur wajahnya di bahunya. Lalu sesekali ia meraskan Sekyung mengecupnya di sana sambil berguman pelan mengulang kata yang sama.
Sayangku Yiheon.
Sejujurnya ini masih seperti mimpi bagi Yiheon, mereka sudah resmi pacaran dan bisa begitu dekat seperti sekarang.
“I love you.” bisik Sekyung sambil mencium pipinya dari belakang.
Yiheon memegang lengan Sekyung yang memeluk bahunya dari belakang, mengusap dengan ibu jarinya lengan yang selalu memberinya tenang melalui dekapannya, lengan yang selalu terulur lebih dulu padanya tanpa meminta balasan apapun hingga akhirnya ia menyambutnya dengan senang hati dan tentu saja akan menggenggamnya dengan erat.
Yiheon juga begitu mencintainya, orang sebaik Sekyung yang entah bagaimana bisa tiba-tiba hadir di hidupnya.
Ia kemudian berbalik lagi dan memilih untuk menatap Sekyung, masih menjadikan tangan Sekyung sebagai bantal dan bisa dibayangkan sedekat apa jarak mereka saat ini.
“Curang. Aku juga mau meluk pacar aku. Takut kabur lagi nanti pas bangun kayak waktu itu.”
Kata Yiheon dengan mata sembab yang terlihat mengantuk karena jam di meja Sekyung sudah menujukan angka dua tiga serta ia cukup lelah setelah menangis cukup lama tadi.
Sekyung menarik kedua sudut bibirnya, satu tangannya yang bebas menangkup pipi Yiheon pelan takut mengenai lukanya, mengusapnya sesekali, atau hanya menyentuh rambutnya yang turun ke pelipis menutupi plester yang ada di sana.
Tanpa bicara apa pun keduanya hanya menikmati waktu dalam diam, hanya saling melempar senyum tipis dengan pandangan yang sama-sama berbinar penuh kagum, yang begitu tulus, yang merasa beruntung karena memiliki satu sama lain.
Membawa tenang pada suasana malam yang tadi sunyi namun perlahan mulai terdengar suara hujan yang samar dari luar.
“Sudah ngantuk banget?”
Yiheon menggeleng kecil, sepertinya masih bisa ditahan kalau ada Sekyung di depannya.
“Ini masih sakit? perlu dikompres dulu nggak? abang ambil es lagi ke bawah ya.”
Dia mengusap sudut bibir Yiheon yang terluka berwarna merah tampak lebam dan akan beranjak kalau Yiheon tidak menahan lengannya. “Gak usah.. gapapa kok.” tahan Yiheon dengan pelan, “Besok aja.”
Sekyung mengangguk mengerti lalu perlahan menunduk untuk menciumnya tepat di sana.
“Cepat sembuh, sayang.”
“I love you too, abang.” balas Yiheon untuk yang tadi membuat Sekyung terkekeh kecil lalu mengecup pucuk hidungnya hingga Yiheon tersenyum semakin lebar apalagi saat dia mencuri kecupan di bibirnya secepat kilat, gak kerasa malah, hanya dapat saltingnya saja.
“Yiheonku gemes banget sih, mukanya merah tuh.”
“Makanya gak usah cium-cium!” balasnya dan Sekyung tentu tidak mengindahkan larangannya.
Dibisikin kata cinta banyak banget, dikecup lagi sambil memasang wajah paling tampan lengkap dengan senyum lembutnya.
Choi Sekyung seakan mau melihat wajah semerah tomat itu lebih lama hingga Yiheon harus berbalik memunggunginya lagi sambil mengerang ketika Sekyung semakin gencar menggodanya dengan tawa dalam tampak senang mengerjai pacarnya yang benar-benar memerah hingga ke telinga.
“Abang, hujannya besar.” gumam Yiheon kemudian setelah mereka kembali hanya terdiam dengan tangan Sekyung yang lagi-lagi bermain-main dengan rambutnya, “Aku jadi ngantuk denger suaranya.”
Seakan mengerti, Sekyung kembali membawa pacarnya itu ke dalam dekapannya, menaruh dagunya lagi di atas kepala Yiheon, memberi banyak cinta dengan ciuman yang entah sudah berapa banyak di puncak kepalanya. Juga dengan tangan yang kini mengusap lembut penuh afeksi pada punggung hingga pinggang yang sudah bergelung nyaman.
“Tidur yang nyenyak malam ini, sayangku.” ucap Sekyung yang hanya dibalas gumaman dari Yiheon yang kali ini sudah menutup matanya sambil tersenyum.
Pasti tidurnya akan nyenyak sekali kalau seperti ini.
Boleh tidak malam ini lebih panjang saja karena Yiheon tidak ingin ini semua berlalu terlalu cepat.
Tepatnya, bila saat bersama Sekyung Yiheon ingin sang waktu berjalan dengan lambat, membiarkan mereka untuk bersama lebih lama lagi.
“Good night, abang...” bisik Yiheon yang membuat Sekyung mengeratkan pelukannya, mengantarkan Yiheon kepada kantuk yang menelannya dengan iringan kata penuh sayang yang terakhir ia dengar.