sekyung x yiheon au
Choi Sekyung merapikan sweater rajut berwarna cream dengan motif garis-garis hitam yang dipakainya itu untuk memastikan kembali penampilannya. Walaupun batinnya sibuk menyindir lebay akan tingkahnya ini tetapi hal itu tidak menghentikan tangan Sekyung untuk kembali mengibas rambut hitamnya entah sudah yang keberapa kali dalam lima menit terakhir. Dia tampak sibuk sendiri berkaca pada jendela mobil miliknya yang sedang diparkir di pinggir jalan.
Oke, sudah rapi dan juga ganteng kan?
Sekyung melakukan itu semua sebelum berjalan dan memasuki gerbang rumah berwarna putih nomor empat belas di depannya. Tungkai yang dibalut celana hitam panjang itu seperti sudah terbiasa menginjak halaman luas rumah ini, langkahnya bergerak ringan menapaki teras hingga akhirnya sampai di depan pintu kayu yang tidak tertutup sempurna.
Tadi, dia sudah bilang pada Yiheon kalau sudah sampai, tapi anak itu tidak membaca pesannya sama sekali.
Diketuknya tiga kali pintu utama kediaman Yiheon, sekarang sudah pukul setengah tujuh malam, sepertinya semua orang ada di rumah apalagi saat Sekyung bisa melihat mobil hitam Ayah Yiheon yang terparkir di halaman.
Tidak sampai dua menit, pintu di depannya itu ditarik dari dalam sehingga terbuka semakin lebar dan menampilkan sosok Yiheon yang mengenakan kemeja kotak-kotak navy lengan panjang dengan kedua kancing teratasnya yang dibiarkan terbuka begitu saja. Ia terlihat tampan sekaligus manis saat tersenyum menyapanya.
“Malam, Yiheon.”
“Malam juga, abang...”
Si tuan rumah itu tidak perlu berpikir dua kali saat ia melihat Sekyung di depannya, satu yang sangat ingin dilakukannya.
Mau peluk, boleh yah?
Sekyung tertawa kecil saat tau-tau Song Yiheon menerjangnya dengan sebuah pelukan erat.
Ia bergumam pelan di balik bahu Sekyung, senyumnya bahkan melebar tampak senang sekali. Dieratkan kedua tangan di bahunya yang masih mengeluarkan tawa yang terdengar semakin dalam sambil membalas pelukannya. Satu tangan Sekyung merengkuh pinggangnya saat tangan yang lain mengusap lembut punggungnya.
Yiheon memejamkan matanya, menghirup dalam wangi khas familiar Sekyung yang entah sejak kapan sangat disukainya.
Bukan tiga hari seperti kata Sungchan, Yiheon terakhir bertemu Sekyung sejak Jumat malam lalu ketika dia datang ke rumahnya saat membawa makanan tepat sebelum pergi ke luar kota. Kemudian minggu ini keduanya sama-sama sibuk karena jadwal yang bentrok terus, hingga baru di hari Rabu malam inilah ia akhirnya melihat Sekyung lagi.
Pantas Yiheon mood nya jelek terus karena selama itu ia belum bertemu Bang Sekyung nya.
Kangen.
Gak lebay kan? kalau pun lebay ya sudah terserah Yiheon saja, suka-suka ia karena Choi Sekyung tidak akan protes sama sekali, apapun asal Yiheon senang pasti gapapa kok, pikirnya.
Diantara kemungkinan yang terjadi hari ini, Sekyung mungkin tidak akan menyangka kalau Yiheon akan tiba-tiba memeluknya bahkan ia masih belum ada tanda-tanda mau melepaskan setelah Sekyung tebak hampir satu menit berlalu, “Ini kamu kangen beneran ya?” tanyanya pelan sambil mengusap-ngusap belakang kepala Yiheon yang mengangguk kecil.
“Udah numpuk tau!” suaranya sedikit merajuk dan teredam karena pelukannya sendiri.
Sekyung kembali meloloskan tawa kecil saat mendengarnya, gemas sekali, “Senangnya dikangenin sama kamu.”
Mana ini Yiheon nya wangi banget lagi, sepertinya beneran baru mandi. Bukan wangi minyak telon, tapi wangi manis lembut yang sopan sekali masuk ke hidungnya serta wangi dari sabun yang sedikit segar bisa tercium jelas saat Sekyung menaruh dagu—dan mencium di bahunya.
Sejujurnya mau mereka pelukan selama apapun Sekyung tidak masalah karena dia sama kangennya, walaupun setiap hari ada chat masuk tapi tetap terasa kurang kalau tidak melihatnya secara langsung. Hanya saja ini di depan pintu rumahnya yang terbuka lebar, siapa saja bisa melihatnya kalau ada yang keluar, lebih parah mungkin orang tuanya Yiheon.
“Yiheon...” Sekyung memanggilnya dengan lembut, perlahan memberi jarak diantara mereka. Dia tahu Yiheon mungkin sedang dalam versi manja dan dia tidak bisa asal bicara atau bertingkah bisa-bisa anak ini galak lagi seperti tadi di chat, atau mungkin bakal bad mood dan menjadikannya samsak tinju secara cuma-cuma.
Di memegang kedua bahu pemuda itu, menatap penuh hangat pada Yiheon, “Sudah siap kan? Mau dianterin pergi kemana hari ini?”
Namun, bukannya menjawab, Yiheon justru balas menatap Sekyung dengan mata berbinar, “Sekarang aku udah inget lagi deh muka Bang Sekyung.” ujarnya tidak nyambung membuat Sekyung harus menahan erangan gemas sambil mengunyel-unyel pipinya.
“Enggak ketemu berapa hari kok tingkahnya malah jadi gini ya? Ini abang gak salah rumah kan?”
Dipegangnya tangan Sekyung yang berada di pipinya itu sambil mendengus kecil dan mengangkat kedua bahunya tidak mau ambil pusing. Jangankan Sekyung, ia sendiri pun tidak tahu kenapa tingkah anehnya ini tiba-tiba muncul.
Aneh banget kan? Maunya sama Bang Sekyung terusssss
“Jadi mau pergi kemana, hmm?”
“Temenin aku nyari kado buat adek.”
“Oh, adek mau ulang tahun?” Sekyung bertanya yang diangguki oleh Yiheon, “Minggu depan, tapi gapapa beli sekarang aja mumpung bisa. Sekalian minta anter abang ya.” jawabnya sambil bisik-bisik, mungkin takut terdengar ke dalam walaupun sepertinya tidak akan. Ada-ada saja tingkahnya itu.
“Oke, ya sudah pergi sekarang saja keburu malam. Sebentar tapi ini calon mertuaku mana ya, aku mau izin bawa anaknya pergi.”
Sekyung kemudian harus merelakan punggungnya terkena cap lima jari saat selesai bicara dan mendapati Yiheon yang menatapnya—sok galak, “Jangan asal ngomong terus bisa gak sih.” katanya.
Dia tertawa, walaupun tingkahnya begitu tapi sebaliknya Yiheon justru langsung manarik tangannya menyuruh masuk ke dalam rumah dan membawanya bertemu dengan keluarganya yang sedang berada di ruang tv.
“Bunda... ada Bang Sekyung.”
Ucapannya itu seperti memberi pengumuman membuat Sekyung lantas meringis, bukan karena perih di punggungnya, tapi karena malu saat semua penghuni rumah itu kini memusatkan perhatian padanya yang berdiri di samping Yiheon yang justru melebarkan senyum tanpa dosa.
“Halo Bang Sekyung, pasti mau ngapelin kakak.”
Oh mulut asal ceplos milik Woojin yang sedang duduk di atas karpet sambil memegang remote tv itu membuat Yiheon harus menyumpalnya menggunakan kukis buatan Bunda yang ada di atas meja hingga dia merengek minta tolong pada sang Ayah yang hanya menggeleng pelan, hal biasa yang kerap terjadi di rumah mereka.
Rame dan selalu hangat, simpul Sekyung saat melihat keributan kakak adik tersebut sambil dia berjalan mendekat ke arah sofa untuk menyapa.
“Tumben ini Nak Sekyung baru kelihatan.” adalah ucapan pertama Bunda saat Sekyung mencium tangan kedua orang tua Yiheon yang sedang menikmati waktu santai mereka.
Sekyung tersenyum kecil mendengarnya. Membuktikan bahwa sesering itu kah dia datang ke rumah ini, oh yang terakhir kan hanya bertemu Yiheon saja saat Jumat tempo hari, jadi pantas dibilang seperti itu.
“Iya minggu ini aku lagi hectic di kampus, Bunda. Jadinya kemarin-kemarin nggak ada yang bisa aku jemput sama anterin pulang. Untungnya sekarang sudah bisa ketemu sama Yiheon nya lagi.”
Dia menjawab sambil melirik anak sulung mereka yang kini juga ikut memperhatikan dan malah malu-malu tapi kesenengan hingga kembali diledek oleh sang adik, “Pantesan bete mulu dari kemarin.”
Setelah ngobrol sebentar sekalian minta izin untuk pergi, Sekyung akhirnya bisa membawa Yiheon keluar. Jujur saja hal itu tidak terlalu susah bagi Sekyung, seperti yang sudah dia bilang kalau ada list calon mantu idaman Bunda, jelas Sekyung yang akan menang.
Patut diacungi jempol memang tingkat percaya diri dari seorang Choi Sekyung bila menyangkut hal tersebut. Tapi, sombongnya itu memang bukan tanpa alasan, dia tahu kalau dia—sepertinya sudah mengantongi lampu hijau dari keluarga Yiheon.
“Dih abang kenapa senyum-senyum gitu?”
Sekyung menoleh pada Yiheon yang menatapnya dengan alis berkerut, pasalnya sejak keluar dari rumah dan bahkan sejak mobil mereka ini jalan, Yiheon tidak elat memperhatikan ekspresi senang Sekyung itu.
“Gapapa, senang aja bisa jalan sama kamu setelah beberapa hari sibuk.”
“Oh...”
“Kok oh doang?” sahut Sekyung membuat Yiheon terkekeh, “Terus aku harus kayang?”
Ia langsung menggerutu saat tangan Sekyung mengusak puncak kepalanya secara tiba-tiba, sudah capek-capek ditata cukup lama biar terlihat cakep malah dirusakin.
“Rambut aku berantakan jadinya, nih!” protesnya sambil sibuk dibenarkan lagi sebisanya.
Sekyung menahan tawanya dan meminta maaf saat mereka terjebak di lampu merah, “Habisnya kamu lucu sih. Sini sama abang aja.”
Dengan telaten dia merapikan kembali rambut Yiheon saat anak itu sengaja duduk miring ke arahnya, “Ganteng dan wangi banget Yiheon hari ini.” puji Sekyung tanpa bisa ditahan, sengaja juga biar Yiheon nya tahu.
Pokoknya Yiheon deserve all the compliments.
“Oh..”
“Oh oh mulu deh.”
Yiheon hanya terlalu bingung menanggapi pujian tiba-tiba dari Choi Sekyung itu, dia tidak tahu saja kalau hatinya sudah meleleh.
“Iya apalagi coba, apa aku harus nangis terharu atau aku harus ketawa kenceng banget? atau bener aku harus kay—”
Bibir yang sedang mengoceh itu tiba-tiba membentuk garis lurus, Yiheon menelan kembali kata-kata yang bahkan belum selesai ia ucapkan saat Sekyung tiba-tiba mendekat dan mensejajarkan wajah dengannya. Ia bahkan tanpa sadar harus menahan napas karena terlalu kaget dengan tingkah Sekyung itu.
Kedua netra mereka saling bersitatap, yang satu membulat kaget dan satunya jelas tampak tenang menatap dengan penuh kagum seluruh bagian wajah di depannya.
“Abang juga kangen banget deh sama kamu.” bisiknya di depan Yiheon sambil mengulas senyum yang membingkai wajah tampannya, “Sebentar ya...” lanjutnya ketika kemudian jarinya berpindah dari rambut Yiheon ke wajahnya, dengan pelan dan hati-hati dia mencoba mengambil satu helai bulu mata yang jatuh tepat di atas pipi Yiheon.
“Bulu mata kamu jatuh nih.”
Jangan tanya keadaan Song Yiheon sekarang, pokoknya jangan apalagi saat deru napas Sekyung bisa ia rasakan menerpa wajahnya saking dekatnya mereka.
Ini maksudnya apa ya Choi Sekyung? Emang boleh sedeket ini? ini kalau orang lain lihat sudah jelas akan salah paham mengingat posisi mereka yang sangat tidak bisa dianggap biasa saja.
Maksudnya... kan bisa tinggal ngasih tau... nggak usah diambilin... apalagi... pake effort yang berlebihan...
Suara klakson dari mobil belakang menandakan bahwa lampu sudah kembali hijau. Sekyung menjauhkan wajahnya lagi dan sedikit menarik satu sudut bibirnya ketika menatap Yiheon sebelum dia kembali memegang kemudi lalu menjalankan mobilnya saat Yiheon justru masih mengerjap linglung dan menyandarkan punggungnya pada kursi secara perlahan.
Diam-diam Yiheon melirik pada Sekyung, meremas seatbeltnya dengan jantung yang sibuk konser akbar di dalam sana. Wajahnya panas sekali padahal ac mobil Sekyung cukup dingin.
Kalau saja tadi ia bergerak sedikit, Yiheon yakin mereka bisa tidak sengaja ciu—
Halah. Mikir apasih otak error nya ini.
Yiheon buru-buru menggelengkan kepalanya. Memang sialan saja Choi Sekyung ini, hobi sekali tingkahnya itu berbuat yang mengundang pikiran kotor.
Yiheon dengan cepat menaikan volume dari radio yang daritadi diputar berharap bisa mengurangi canggung yang dirasakannya.
Tidak ada yang mengeluarkan suara lagi, mobil Sekyung itu kini diisi oleh lagu-lagu acak serta suara penyiar yang sibuk bercuap-cuap.
Melihat Yiheon yang kini menatap ke luar jendela tampak anteng, Sekyung memanggilnya dengan pelan hingga si pemilik nama itu menatapnya.
Beruntung Yiheon terlihat sudah bisa kembali mengatur detak jantung dan raut wajahnya seperti semula.
“Maaf ya kalau abang beberapa hari ini sibuk, banyak banget yang harus dikerjain. Jadi nggak bisa ketemu kamu dulu. Bukannya abang sengaja mau buat kamu bete atau apa.”
“Hah? oh iya gapapa...”
Kan, tiba-tiba begini lagi.
“Aku ngerti kok.” lanjut Yiheon, menatap Sekyung dengan senyum tipis tanda tidak apa-apa, lagipula mau bagaimana pun Yiheon juga tidak akan berani menuntut ini itu padanya kalau nyatanya memang Sekyung sedang sibuk.
“Makasih abang udah mau diajak ketemu hari ini dan bahkan mau anter aku pergi.”
Ada senyum lega yang terlihat di wajah Sekyung saat dia melihat Yiheon sudah kembali sibuk bicara panjang lebar sepanjang jalan dan bercerita serunya camping dadakan kemarin.
Beneran, mendengar cerita Yiheon yang selalu banyak stok itu adalah salah satu hal yang membuat Sekyung rindu pada ocehannya.
“Oh jadi ajakan kamu beneran nih? Kita camping berdua?”
“Iya beneran, kan aku udah janji gimana sih.” bibir Yiheon mencucu gemas saat daritadi Sekyung meragukannya.
Dari hari itu juga ia sudah janji, sejak Sekyung bilang kalau dia hanya pergi karena urusan pekerjaan orang tuanya dan mungkin tidak benar-benar menghabiskan family time seperti dirinya.
Bukan berarti mau ikut campur urusan keluarga orang, Yiheon hanya mau Sekyung juga merasakan serunya apa yang ia bisa lakukan, banyak kegiatan seru yang nanti bisa mereka habiskan bersama untuk menghabiskan weekend.
“Nanti ya, kita cari waktunya dulu. Kalau habis UTS saja gimana, kamu mau?” usul Sekyung itu dibalas anggukan semangat oleh Yiheon yang seperti tidak sabar menantikan agenda healing mereka berdua, sama Bang Sekyung seru banget pasti terus malamnya nyalain api unggun sambil makan jagung bakar.
“Mau!!”
“Abang...”
Sekyung menoleh saat Yiheon memanggilnya dan melirik stand photo box setelah mereka muter-muter sports station mencari sepatu untuk hadiah ulang tahu Woojin, si kakak itu bahkan sampai bolak balik minta saran dari Sekyung bertanya mana yang lebih bagus dari beberapa pilihan yang sudah ia ambil. Hingga akhirnya pilihannya jatuh pada sneakers berwana putih karena katanya milik adek kebanyakan warna gelap, biar beda dan spesial katanya.
“Kenapa, kamu mau photo box?”
“Enggak, cuma bilang aja. Kok rame banget ya antriannya.”
Sekyung memang melihat banyak anak muda di sana, kebanyakan seperti pasangan tapi ada juga yang bergerombol mungkin teman satu circle, tebaknya sok tahu, “Kalau kamu mau antri juga boleh, ayo.”
“Hah? enggak deh. Kapan-kapan aja kalau gak rame.”
Ia menolak cepat saat Sekyung mengajaknya, malas sekali apalagi dirinya sudah lapar mau makan, perutnya sudah minta diisi sejak tadi. Mereka sengaja mencari kado dulu sebelum pergi makan kata Yiheon biar tenang kalau sudah dapat.
“Oke jadi kapan-kapan ya Yiheon, kita photo box?” tanya Sekyung sambil tersenyum lebar dengan alis yang terangkat jahil. Yiheon memutar kedua bola matanya, salah ngomong deh.
“Enggak gitu maksudnya! udah ah males aku udah laper. Ayo buruan.”
Tangan Sekyung yang sedang memegang tas belanjaan itu diseret oleh Yiheon yang berjalan di depannya, iya tasnya dibawain sama Sekyung, baik banget kan si abang ini.
“Nggak apa-apa kalau kamu mau, abang mau juga kok. Lagian lucu tuh kayak anak muda.”
“Emang kamu bukan anak muda? kamu udah tua, Bang Sekyung?”
Yiheon melirik Sekyung yang tertawa di belakangnya, dia tidak protes sama sekali saat tangannya ditarik, perlahan Yiheon justru melepaskannya karena tidak enak sudah berlaku seperti itu.
Maaf ya selalu kelepasan tingkah grasak-grusuknya ini walaupun di depan Sekyung, ia tidak bisa kalau harus jaga image terus-terusan.
Keduanya kembali berjalan bersisian menuju food court yang berada di lantai atas, tandanya harus naik eskalator yang berada di sebelah utara tempat mereka sekarang.
“Abang mau makan apa?”
Bukannya menjawab, Sekyung malah balik bertanya, “Kamu nya lagi mau apa?” menatap Yiheon yang berjalan di sisi kanannya.
Ditanya seperti itu membuat Yiheon sedikit berpikir, lalu dengan cepat melihat Sekyung lagi yang masih sabar menunggu sambil memperlihatkan tatapan memohon seperti bocah minta jajan, “Mau ramen aja, boleh nggak?” tanyanya, takut Bang Sekyung nya lagi nggak mau makan itu.
“Iya boleh, Yiheon.” jawab Sekyung hingga ia tersenyum lebar, “Okedeh!”
“Habis itu mau beli gelato boleh?”
“Boleh.”
“Nanti pulangnya kalau sempat jajan lagi ke taman boleh?”
“Boleh.”
“Nanti peluk lagi boleh?”
“Boleh, Yiheon.”
Untuk yang terakhir, Yiheon hanya asal bicara karena ia tahu sepertinya apapun yang diucapkan dirinya jawaban Sekyung akan tetap sama. Ditatapnya lagi Choi Sekyung yang ada di sampingnya itu, mau coba buktikan sekali lagi.
“Abang, panggil aku sayang boleh?” tanyanya pelan, antara memang iseng atau pingin banget dengar itu hari ini.
“Boleh, Yiheon sayang.”
Sialan ini buaya lepas dari mana sih. Bahaya banget. Coba siapa pun tolong kandangin dulu nih, gerutunya dalam hati sambil sibuk menahan senyum lebarnya.
Sekyung terkekeh setelah menjawab pertanyaan terkahir seperti tahu apa keisengan yang sedang dilakukan Yiheon padanya, lantas dia lalu merangkul Yiheon dengan santai sambil melajutkan jalannya.
“Sudah ya, sekarang makan dulu nanti lagi ngobrolnya, kamu nggak boleh telat makan. Ramennya gak usah pedes-pedes banget, oke?”
Di dalam rangkulannya Yiheon hanya mengangguk patuh membuat Sekyung kembali mendaratkan tangannya di puncak kepalanya, terus dipukpuk. Nurut banget sih.
Kangen dipukpuk kayak gini.
Kalau misal ditanya kenapa pingin banget ketemu dan memangnya mau ngapain sih? Yiheon kayaknya akan jawab nggak tahu, liat nanti aja.
Karena kegiatannya gak penting, yang penting ia bisa lihat Choi Sekyung. Pokoknya ketemu dulu, mau lihat langsung di depan matanya.
Oh apa yang begini sudah di tahap bucin kah?
“Abang... cobain nih.”
Yiheon menyodorkan gelato di tangannya pada Sekyung yang baru saja duduk di balik kemudi. Keduanya baru keluar dari kedai gelato tidak jauh dari mall tempat mereka tadi membeli hadiah.
Terlihat hanya Yiheon yang memegang cone gelato dan sibuk makan sejak mereka jalan ke parkiran, Sekyung hanya menjadi supir pribadi kemana saja maunya Yiheon hari ini. Lagipula dia kenyang kalau harus makan gelato satu cone seperti itu. Giung juga.
Sekyung menatap sebentar cone yang terlulur di depan wajahnya, warna hijau dari rasa green tea serta entah rasa apalagi berwarna coklat muda seperti ada potongan buah tampak terlihat begitu segar.
Tawaran Yiheon juga seperti tidak menerima penolakan, tatapannya seakan bilang, makan gak buruan atau aku ngambek.
Maka, digenggamnya tangan Yiheon yang sedang memegang cone itu untuk didekatkan pada bibirnya agar dia bisa memakannya.
Bro? kagak usah sambil dipegang juga tangan gue nya???? batin seseorang di mobil itu tampak berisik.
Yiheon sedikit blushing saat ini, harusnya gak usah ditawarin aja gak sih? kok malah begini... tapi kasian kan yang beli cuma dia, Sekyung nya enggak mau.
Satu gigitan kecil Sekyung pada gelato miliknya membuat Yiheon menatap penasaran menunggu reaksi Sekyung yang sedang mengecap-ngecap rasa yang tadi dipesannya.
“Enak nggak?”
Seniornya itu mengangguk cepat sambil melepaskan tangannya lagi. Ada sebuah senyum puas terlihat di paras Yiheon saat melihat respon Sekyung, “Pilihan aku gak salah kan? Walaupun asal sih tadi ini yang dipesan.” katanya bangga.
“Iya, enak kok.”
Yiheon kembali makan, lalu sibuk mengoceh lagi, “Nanti kalau aku beli lagi mau cobain rasa yang lain deh. Terus misalnya aku nggak suka, abang ya yang habisin.” putusnya secara sepihak dan Sekyung menyahut pelan, “Iya bebas gimana kamu saja.” pokoknya asal Yiheon senang, dia oke.
Tangannya justru tanpa bisa dicegah terangkat untuk mengusap sekilas bibir Yiheon yang terdapat sedikit noda dari gelato yang dimakannya itu menggunakan ibu jarinya dengan gerakan pelan.
Tiba-tiba banget!
Kedua bola mata Yiheon kembali membulat sambil menatap Sekyung yang terlihat tidak ragu-ragu sedikit pun melakukannya. Pemuda itu bahkan memasang raut heran melihat Yiheon yang terkaget.
“Kenapa?” tanyanya bingung.
“Harusnya aku yang tanya, abang ngapain?” ucap Yiheon dengan nada tertahan, tiba-tiba banget tuh jari mampir di bibirnya tanpa aba-aba dulu, ya jelas kaget lah.
“Kamu makannya belepotan kayak anak kecil, abang cuma bantu bersihin.” jawabnya kalem membuat Yiheon mendengus kecil.
Tahu gak sih efeknya apa, jantungnya malah jadi konser lagi di dalam sana kan!
Semua gara-gara Choi Sekyung, ngeselin banget mana kayak jadi banyak kupu-kupunya, geli.
“Kayak gak ada tisu aja sih.” sindirnya itu membuat Sekyung menghela napas pendek serba salah, “Iya memang nggak ada, Yiheon sayang. Kalau ada ya sudah abang kasih ke kamu dari tadi.” jelasnya sedikit geregetan sambil menangkup kedua pipi Yiheon menggunakan tangannya, ini sudah dibaikin kok malah dia kena omel.
Oh? tapi sepertinya Sekyung paham, marah-marah gini tuh karena Yiheon nya salting aja gak sih? Masa gitu dong sampai ngambek.
Apalagi ini bibirnya sambil mencucu kesal karena pipinya diunyel-unyel.
Full gemes banget Yiheon nya hari ini.
Sekyung lantas kembali memajukan tubuhnya ke arah Yiheon dan mendekatkan wajahnya, belum berniat melepaskan tangannya dari pipi Yiheon, dia tersenyum hingga sudut matanya menyipit, menatap dengan sorot jahil yang sedikit membuat Yiheon kewalahan, lu ganteng banget stress.
“Kamu salting yah? atau kamu maunya abang bantu bersihin pake cara lain aja, hmm?” tanyanya dengan satu alis yang naik, suaranya pelan hampir berbisik karena jarak mereka yang terlalu dekat.
Cara lain apaan?
Yiheon tanpa sadar meneguk ludahnya saat membalas tatapan Sekyung yang seperti menguncinya, apalagi hidung mancung Sekyung yang tampak begitu dekat seperti mengikis jarak diantara mereka, belum lagi netranya sedikit kurang ajar melirik ke arah bibir Yiheon yang tadi terasa lembut saat diusapnya.
Sumpah! Song Yiheon saat ini sedang mati-matian mempertahankan ekspresinya di depan Sekyung.
Baru paham “cara lain” yang dimaksud Sekyung.
Pake bibir gitu maksudnya? ciuman? mereka berdua? sekarang? bercanda banget lu.
Jangan mleyot.
Jangan klemar klemer.
Ia terlihat mengambil napas panjang lalu menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum manis banget di depan Sekyung yang justru terpaku menatapnya. Yiheon nya ganteng banget tapi lesung pipinya cantik, apalagi sedang dipegang sama dia, diusap sebentar pakai jarinya itu.
Sedang dimanfaatkan asetnya sebisa mungkin untuk target pasarnya itu, yaitu Choi Sekyung.
Cone gelato di tangan kanannya ia dekatkan lagi pada bibir Sekyung, lalu sengaja dikenakan hingga Sekyung bisa merasakan dinginnya lagi di bibirnya dan meninggalkan bekas di sana.
Song Yiheon tertawa senang menatap noda gelato di bibir Sekyung akibat ulahnya itu, tawa kecil yang menular pada Sekyung yang sempat kaget dan menatapnya penuh tanya, ngapain kamu, iseng banget.
“Sekarang, bibir abang yang kotor tuh, mau aku bersihin juga nggak?” tanyanya pelan, “Pakai tangan atau pakai cara lain maunya?” lanjutnya seperti berbisik menatap langsung pada Sekyung dengan degup yang terasa menggila, pura-pura berani saja dulu.
Namun, kemudian sebelum Sekyung bertindak bahkan menjawab, didorongnya dada Sekyung itu menggunakan tangannya agar menjauh dengan cepat-cepat.
Yiheon nggak kuat sendiri, karena semakin Sekyung nya diam maka semakin ketar-ketir dirinya ditatap seperti itu.
Kalau beneran ia dicium gimana? Kalau ternyata Sekyung gak bercanda gimana?
Astaga Song Yiheon, tetap saja ciut bila dihadapan Choi Sekyung. Jiwa maung dalam dirinya itu sudah berubah jadi anak kucing.
Sekyung tertawa dibuatnya sambil menggeleng pelan, sedikit tidak menyangka dengan apa yang dilakukan Yiheon padanya hingga dia sedikit ngeblank, jujur.
Manis, batinnya.
Entah tentang rasa gelato yang ada di bibirnya atau tentang Yiheon yang kini memeletkan lidah padanya sambil tersenyum merasa bangga karena sudah bisa balik mengerjainya, hargai saja usahanya yang tidak seberapa itu.
“Yah.. yaudah kapan-kapan aja ya berarti. Nanti mungkin kalau kamu jajan gelato lagi.”
”... terserah?”
Setelah diusaknya kembali puncak kepala Yiheon yang kali ini tidak menggerutu kesal seperti tadi, Sekyung baru menyalakan mobilnya dan keluar dari parkiran.
Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukan hampir setengah sepuluh malam. Kok cepat banget sudah jam segini saja, kalau sama Yiheon rasanya waktu cepat berlalu, enggak kerasa.
Sedangkan Yiheon sudah kembali menghabiskan makanannya walaupun sambil diam-diam kepikiran juga, gimana kalau tadi dia mengiyakan.
“Mau minum?” tawar Sekyung saat dilihatnya Yiheon sudah selesai makan, dia menyodorkan tumbler minumnya yang memang selalu ada di dalam mobil.
Ini orang act of servicenya memang nggak usah diraguin lagi deh, gimana Yiheon bisa tahan kalau ditreat seperti ini terus-terusan.
Diambilnya tumbler dari tangan Sekyung yang isinya tinggal setengah itu, “Aku habisin boleh?”
satu
dua
tiga
“Boleh, Yiheon.”
Nah kan Yiheon sudah bisa menebak jawaban Sekyung yang seperti tadi, ia sempat terkeheh sebelum menenggak air minum milik Sekyung itu, aslinya enggak dihabiskan kok ia cuma minum sedikit saja.
“Kenapa ketawa?”
Sekyung meliriknya ingin tahu sambil membagi fokus pada jalan di depannya yang lumayan lengang di jam segini mungkin karena weekday, tentu saja akan beda ceritanya kalau mereka keluar di saat weekend yang pasti akan macet.
“Gapapa... lucu aja dari tadi denger abang yang bilang ke aku apa-apa dibolehin.”
“Oh.. coba kamu tanya yang jawabannya bakal gak boleh.”
Kedua alis tebal Yiheon tampak menyatu mendegar perkataan Sekyung itu, kepalanya sedikit dimiringkan menatap ke arah Sekyung, berpikir apa ya kiranya yang bakal dilarang oleh orang di sampingnya ini.
“Pegang tangan aku?” tanyanya.
“Lah itu mah boleh banget, dong.”
Namun, Yiheon menggeleng tidak setuju, “Enggak boleh lah, kan abang lagi nyetir masa pegangan tangan, kalau lagi jalan biasa atau nyebrang baru jawab boleh harusnya.” katanya sambil menjelaskan.
Sekyung menoleh cepat padanya, ayolah yang benar saja, Yiheon? gitu doang. Dengan santai dia mengambil tangan kanan Yiheon yang ada di atas pahanya itu.
“Gini kan? gampang kata siapa gak boleh.” pamernya sambil mengangkat tangan mereka yang sudah bertautan itu sejajar dengan wajah.
Mampus! Kok malah kayak senjata makan tuan gini sih, batinnya.
“Kalau sudah begini gak bisa lepas loh. Kamu sendiri ya yang mancing.” lanjutnya saat melihat Yiheon yang kelabakan dengan wajah memerah.
2-1 untuk skor sementara mereka.
Sekarang mobil Sekyung kembali diisi lagi oleh suara musik yang volumenya tadi dikencangkan oleh Yiheon, kali ini suara merdu dari vokalis band Dewa19 itu terdengar mengalun memenuhi pendengaran mereka membawakan lagu yang dirilis tahun 90an.
Yiheon yang sedang memainkan ponselnya menoleh pada Sekyung saat pemuda di sampingnya itu terdengar bergumam pelan mengikuti lagu tersebut dengan suara beratnya, jarinya bahkan terlihat asik mengetuk kemudi mengikuti beat bertempo cepat itu sambil sibuk melihat jalan di depannya.
Merasa diperhatikan, Sekyung balas menatapnya, bertanya ada apa lewat pandangannya. Dia hanya mendapati Yiheon kembali menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkung yang menciptakan senyum lebar dengan lagi-lagi lesung pipi yang dipamerkan seperti sudah menunggu momen ini daritadi.
Tangannya mengepal terulur pada Sekyung pura-pura menjadi mic.
Mulai. Selalu deh.
Tapi, toh Choi Sekyung terlihat meladeninya juga walaupun sambil tertawa.
Tahu apa yang bakal selanjutnya terjadi.
Bagai vokalis band kawakan, keduanya sedang sibuk mengikuti lagu hits pada zamannya yang masih eksis bahkan di tahun sekarang itu. Walaupun suaranya sedikit ngalor ngidul tapi tidak ada yang perduli, namun kata Yiheon sih suara Sekyung bagus banget, ia suka.
Dan atau semuanya ia suka kalau itu tentang Sekyung.
Yiheon dengan kacamata hitam yang ia ambil asal dari dalam dashboard mobil Sekyung itu tampak sibuk bernyanyi dengan semangat hingga selesai, menjadikan ponselnya bagai mic yang ia pegang dan berasa tampil di atas panggung.
Kalau sama Yiheon, mobil Sekyung itu tidak pernah sepi. Kalau sama Yiheon, dia bisa melakukan banyak hal seru yang mungkin sebelumnya tidak pernah terpikirkan.
“Udah ah capek...” keluh Yiheon sambil kembali bersandar pada kursi, menaikan kacamata hitamnya ke atas kepala saat lagu yang terdengar sudah berganti, “Besok lagi konsernya, vokalis lelah.” lanjutnya berhasil membuat Choi Sekyung melepaskan tawa yang terdengar dalam sambil menatapnya, “Oh batrenya sudah habis?”
“Udah, nanti perlu diisi dulu deh.” balas Yiheon, kadang asbunnya itu memang selalu ditanggapi oleh Sekyung.
“Gimana tuh ngisinya?”
“Dipeluk sama Choi Sekyung.” jawab Yiheon dengan tawanya yang terdengar ringan.
“Oke.”
Karena saat bersama Sekyung, Yiheon bisa ketawa lepas, Yiheon bisa salting, Yiheon bisa pamer lesung pipi sepuasnya karena Sekyung berdampak senyata itu bagi dirinya.
Perkataannya, semua tindak tanduknya yang selalu seperti menomor satukan Yiheon tidak luput dari hal yang harus disyukuri karena Yiheon bisa mengenalnya.
Seperti tidak ada habisnya kalau ia harus disuruh membahas Choi Sekyung, karena akan ada banyak sekali cerita yang keluar dari bibirnya lengkap dengan senyum lebar yang akan tergambar jelas di wajahnya.
“Abang...”
“Hmm?” Sekyung menoleh padanya dengan senyum lembut, “Kenapa? capek sudah ngantuk? mau tidur? diatur dulu kursinya.”
“Enggak.”
“Terus kenapa?”
Aku sayang banget sama kamu.
“Kenapa, Yiheon? malah diem ditanya tuh.”
Yiheon menampilkan senyum tipisnya, “Hati-hati nyetirnya. Maaf kamu harus pulang telat gara-gara nganterin aku dulu.”
“Gapapa. Hari ini, abang bisa ketemu kamu rasanya kayak obat banget buat hari-hari kemarin yang kerasa selalu hectic dan capek.”
Tangan kiri Sekyung lagi-lagi dilepas dari kemudi, tapi bukan untuk menggengam tangan Yiheon seperti tadi. Tangan itu terangkat untuk ke puncak kepalanya lagi yang sedang bersandar pada kursi dan menoleh pada Sekyung, diusap lembut banget sambil disayang-sayang sampai Yiheon rasanya mau tidur aja saat ini saking nyamannya.
“Abang... “
“Iya..”
“Bang Sekyung...”
“Apa, sayang...”
Sekyung mencubit gemas pipinya saat Yiheon hanya terkekeh alih-alih bicara, cuma manggil-manggil doang nih dari tadi.
Rupanya mereka harus kembali terjebak di lampu merah terakhir menuju ke rumah Yiheon. Choi Sekyung meregangkan tangannya yang dilepas dari kemudi lalu membuka kaca di sampingnya saat dia melihat bapak-bapak yang membawa keranjang bunga dan menjajakan dagangan di pinggir jalan hingga jam segini.
Yiheon hanya memperhatikan dalam diam saat Sekyung memanggilnya dan membeli sekitar lima tangkai mawar merah dan putih yang dipilihnya sendiri.
“Kasihan bapaknya, abang lihat dari tadi gak ada yang beli sudah malam dan belum pulang.” jelas Sekyung seperti tahu apa yang tergambar di wajah Yiheon hingga anak itu mengangguk paham, di matanya sudah penuh banget sama kagum yang menumpuk, kenapa sih Sekyung tuh baik banget jadi orang.
Sepertinya setiap hari makin ada alasan buat Yiheon jatuh cinta sama dia.
Lalu diberikannya bunga di tangannya tersebut pada Yiheon yang masih sibuk ngebucin dengan pikirannya itu.
“Hah? buat aku?” tanyanya kaget.
“Iya, atau kamu nggak suka?”
“Bukan gitu...” Yiheon menggigit bibirnya sekilas, menatap tangan Sekyung yang terulur padanya.
Kenapa banyak banget kejadian malam ini, mau sampai kapan ia dibuat berhenti deg-degan gini, capek banget jantungnya kalau lagi sama Sekyung tahu gak.
“Kalau nggak mau gapa—”
“Mau lah! Yaudah... sini.. suka kok kalau dikasih...” potong Yiheon cepat sambil mengambilnya dari tangan Sekyung dengan malu-malu, “Makasih, abang..” cicitnya kemudian.
Bunga mawarnya cantik, masih terlihat segar walaupun sudah malam, mana banyak lagi ada lima, terus wangi juga. Tukang ribut tukang ribut begini juga kalau dikasih bunga ya tetep aja baper.
Sekyung bisa melihat Yiheon yang menyunggingkan senyum di wajahnya ketika ia sibuk menatap bunga di tangannya itu, dipegan-pegang kelopaknya, dilihatin terus-terusan, soft banget anaknya kalau lagi begini, “Nanti abang kasih yang lebih proper ya.” katanya sambil mengusap puncak kepala Yiheon.
Dalam rangka apa dah?
Tapi, Yiheon memilih tidak menjawab, ia hanya diam-diam melirik Sekyung yang sudah kembali menjalankan mobilnya.
Apa harusnya gue tanya sekarang aja soal kita, waktunya pas nggak ya, batinnya penuh ragu.
Takut terlalu mendadak dan jujur ia juga tidak bisa menebak apa yang sekiranya ada di pikiran Sekyung saat ini. Kalau ekspektasinya ketinggian, ia juga yang bakal sakit.
Apalagi dilihatnya pesan masuk di ponselnya dari Bunda yang bertanya kapan pulang membuat Yiheon menghela napas panjang sambil menggigit kuku tangannya dan sibuk menatap ke kaca jendela di sampingnya, galau banget.
“Kenapa, Yiheon?” tanya Sekyung sambil meliriknya.
“Gapapa, Bunda udah nanyain masih dimana, Bang.”
“Oh, jawab saja sudah sampai.” karena mobil Sekyung memang sudah memasuki komplek perumahannya, hanya perlu satu belokan di depan maka mereka akan sampai di rumah bernomor empat belas tersebut.
“Yiheon...”
“Iya?”
Choi Sekyung terlihat sedikit menghela napas sebelum kembali membuka mulutnya, menatap Yiheon yang menunggunya berbicara, “Kamu ada waktu lagi kapan? nanti abang ada yang mau diomongin sama kamu, tapi enggak sekarang. Kalau kita ketemu lagi aja.”
Yiheon sedikit mengerut saat mendengar suara Sekyung yang mendadak serius tidak seperti biasanya, pikirannya malah jadi kemana-kemana.
“Ngomong apa? Kok aku jadi takut? Aku ada salah sama abang?” tanyanya cepat sambil mengingat-nginat, hari ini adakah dia kelepasan bersikap kasar sama Sekyung?
Namun, satu tawa ringan justru terdengar dari bibir Sekyung saat Yiheon selesai bertanya banyak, seaneh itu kah nada seriusnya bagi Yiheon.
“Nggak ada salah apa-apa, Yiheon. Bukan begitu maksud abang.” dia langsung melembutkan nadanya lagi seperti biasa, apalagi melihat Yiheon yang masih memasang wajah tidak percaya padanya, takut malah jadi salah paham nanti.
“Abang cuma mau ngomong saja berdua sama kamu.”
“Ngomong tentang kita?” tebak Yiheon sok tahu dengan keberanian yang entah datang dari mana. Ia beneran sedang kepikiran daritadi dan itu sangat mengganggunya.
Urusan malu karena salah menebak, biar belakangan dipikirkan.
Hingga dihentikannya mobil Sekyung itu tepat di depan gerbang rumahnya. Yiheon tanpa sadar akhirnya betul-betul meringis malu, sepertinya dia beneran sok tahu dan kepedean karena Sekyung tidak menjawabnya.
Pertanyaan tentang status mereka seperti kata Sungchan itu tiba-tiba ingin ia kubur dalam-dalam, gak usah ditanyain sekarang atau gak usah ditanyain sama sekali.
“Yiheon..” panggilan Sekyung itu kembali menarik atensi Yiheon yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri, “Kok ngelamun sih?” tanyanya.
“Gapapa, bang. Yaudah aku tur—”
“Iya, tentang kita.” potong Sekyung langsung, menghentikan tangan Yiheon yang akan mengambil tas belanjaannya di kursi belakang. Ia menatap tidak mengerti pada Sekyung yang sekarang sudah tersenyum begitu lembut padanya.
“Tentang abang sama kamu, tentang kita, Yiheon. Nanti kita omongin ya semuanya.”
Ternyata beneran mau ngomong tentang kita.
Ternyata beneran tebakan sok tahu nya itu.
Tiba-tiba hatinya menghangat dan terasa penuh saat ini, pikirannya salah tadi, nanti pasti akan ia tanyakan, tidak jadi dikubur dalam-dalam tapi mau dibawa ke permukaan, tentang hubungan mereka.
Yang ada di wajah Yiheon sekarang hanya binar senang, galaunya sudah hilang. Ia sedikit ragu namun secara perlahan mendekat pada Sekyung, mencium pipi kanan seniornya itu secepat kilat lalu mengambil tas belanjaannya dan kabur keluar dari mobil.
Meninggalkan Choi Sekyung yang seperti orang bodoh sambil memegang pipinya sendiri.
“Makasih abang, hati-hati bawa mobilnya.”
Sialan.
2-2 untuk skor akhir hari ini.
Sekyung menurunkan kaca mobilnya, menatap Yiheon yang sudah berdiri di tengah gerbang rumahnya yang sudah dibuka, dengan tangan yang tampak penuh, di kanan ada tas belanjaan dan di kiri ada bunga yang ia peluk.
“Muka kamu merah tuh, yang nyium siapa yang malu siapa.”
Sekyung berkata sambil menujuk ke wajah Yiheon dimana ia langsung tertawa sendiri, bodoamat deh buat kali ini Yiheon mengakui soalnya lagi beneran seneng banget.
Mending pacaran sekarang aja gak sih, nanti mah kelamaaaannn, Choi Sekyung!
Yiheon berjalan mendekat lagi pada Sekyung, sedikit menunduk lalu memberikan satu tangkai bunga di tangan kirinya itu pada Sekyung yang berada di dalam mobil.
“Kok dibalikin?”
“Bukan dibalikin, tapi itu aku yang kasih spesial buat abang.. kamu simpan aja deh dari aku tuh awas ilang! Nanti kapan-kapan aku tanyain kalau gak disimpan aku gebuk.”
Choi Sekyung dibuat ketawa lagi, apalagi nada galak Yihoen yang maksa tapi mukanya bertolak belakang malah kesenengan saat Sekyung menerima bunga darinya itu.
Akhirnya malah keluar mobil juga. Padahal niatannya mau buru-buru pergi karena sudah malam. Namun, nyatanya Sekyung kalah kalau harus berhadapan sama Yiheon nya ini.
“Makasih, Yiheon. Nanti abang simpan dan jaga baik-baik, ya.” gumamnya pelan, membawa kembali Yiheon ke dalam pelukannya, direngkuh dan diusap, diberi sayang yang banyak, dicium lembut di pelipisnya, dikasih senyum tulus sambil dibisikin yang bisa membuat Yiheon bucin total gak pakai rem lagi.
“Sayangku, hari ini baiknya kita langsung pacaran saja gak sih. Soalnya abang tahu kamu nggak sabaran.”