sekyung x yiheon au
Song Yiheon menutup obrolan di grup bersama kedua temannya, di layar ponselnya yang terkunci itu jelas waktu sudah menunjukan hampir pukul tujuh malam.
Keadaan hening menemani perjalanannya dengan Sekyung yang tidak banyak mengeluarkan suara sejak tadi mereka meninggalkan kosan Asa. Pacarnya itu paling hanya berucap satu dua kata saja, irit banget.
Hampir lima belas menit diamnya mereka membuat Yiheon hanya menatap ke samping jendela kaca, melihat suasana malam yang masih sibuk di luar sana walaupun perlahan rintik gerimis tampak hinggap berjatuhan di kaca, membentuk embun yang terlihat buram dari dalam.
Biasanya mobil Sekyung akan diisi oleh berbagai celotehan mereka, baik cerita life update Yiheon atau pun hanya sekedar candaan Sekyung yang membuat Yiheon merajuk lelah mendengarnya. Juga keseruan-keseruan lain seperti yang terjadi dua hari lalu sedangkan hari ini benar-benar sangat bertolak belakang sekali.
Satu hela napas panjang keluar dari bibirnya, punggungnya bersandar sepenuhnya pada kursi. Pikirannya berisik sekali saat ini, banyak hal yang mampir dan tokoh utamanya adalah Choi Sekyung, orang yang berada di sampingnya.
Yiheon sadar, atmosfer dari Sekyung yang ia rasa berbeda ini tidak lepas karena ulahnya sendiri.
Canggung banget.
Bang Sekyung kayaknya masih kesal dan marah, simpulnya sendiri.
Pandangannya jelas menajam saat ia melewati jalan yang seharusnya mengarah ke rumahnya di persimpangan tadi dan mobil Sekyung justru berjalan lurus membelah jalan menuju rumahnya sendiri.
Sekyung bisa sangat hapal nomor dan jalan menuju ke rumah Yiheon, bahkan pemuda itu dapat mengingat jelas warna rumahnya karena sering sekali dia menjemput dan mengantarkan Yiheon pulang.
Sedangkan Song Yiheon benar-benar buta arah, ia tidak tahu di mana rumah pacarnya itu. Tentu saja karena dari kampus kalau Sekyung mengantarnya pulang mereka tidak akan melewati rumah Sekyung terlebih dahulu dan juga tidak ada alasan untuk ia datang ke rumahnya.
Sekarang mungkin sudah ada.
Rumah Sekyung jelas lebih jauh, tapi Yiheon hitung hanya sampai lima belas menit kemudian mobil putih itu kini memasuki sebuah komplek perumahan yang terlihat sepi.
Dari arah gerbang depan utama tempat satpam yang berjaga, mobil Sekyung hanya perlu berjalan lurus dan berbelok satu kali ke arah kanan menuju blok C yang Yiheon lihat dengan jelas dari papan tanda di depan.
Yiheon melongokan kepalanya saat Sekyung memelankan mobilnya dan memasuki gerbang rumah berwarna hitam yang memang terbuka setengahnya dengan nomor enam terpasang jelas di tembok sampingnya, rumah paling ujung yang berada di deretannya.
Dia memarkirkan mobil putihnya itu di carport yang berada tepat di depan pintu garasi yang tertutup rapat.
Kemudian menatap Yiheon sebentar dan tersenyum tipis setelah mematikan mesinnya, “Sudah sampai, ayo turun. Bisa nggak, perlu dibantuin?”
Akhirnya ngomong panjang juga sejak dari mobil.
“Gapapa, bisa sendiri, bang.” Yiheon melepas seatbeltnya lalu mengambil tas yang ada di kursi belakang sebelum membuka pintu saat Sekyung keluar lebih dulu dan berjalan untuk menutup pagar rumahnya.
Halamannya tidak terlalu luas seperti di rumahnya, hanya ada taman kecil di sebelah pojok kanan yang dihiasi lampu taman berwana hangat kekuningan. Sebagian bawahnya ditanami rumput yang terawat dengan kerikil putih yang melengkapi blok-blok jalan menuju pintu utama, juga ada satu pohon berukuran lumayan tinggi yang akan membuatnya menjadi teduh kalau siang hari.
Dari luar, rumah dua lantai berwarna dominasi cokelat dan putih itu tampak begitu sepi dan suasana perumahan Sekyung membuatnya terlihat semakin sunyi.
“Orang tua abang ada?” pertanyaan yang jelas ada di benaknya sedari tadi akhirnya diutarakan.
Yiheon terkesiap saat tangan Sekyung merangkul pinggangnya tiba-tiba, mengalungkan tangan Yiheon untuk merangkul pundaknya dan membantunya berjalan dengan pelan menuju pintu rumah yang tertutup.
“Gak ada.” jawab Sekyung tak acuh membuat Yiheon sedikit mengerutkan keningnya, seakan mengerti Sekyung kembali membuka suara, “Pergi tadi pagi, paling besok juga pulang.”
Yiheon menggumam tampak mengerti, sepertinya baru minggu lalu mereka pergi dengan Sekyung, sekarang sudah tidak ada lagi. Ia memang pernah dengar dari Lomon yang kadang bercerita katanya orang tua Sekyung ini memang sibuk dan sepertinya dia tidak asal bicara.
Pintunya tidak dikunci, Yiheon mengedarkan pandangannya tanpa bisa dicegah saat ia memasuki rumah Sekyung.
Di ruang tamu yang terlihat minimalis namun secara bersamaan tampak mewah—menurut Yiheon dengan sofa berwarna khaki serta lampu gantung berukuan cukup besar digantung di tengah ruangan.
Di sana terdapat satu lukisan yang cukup besar bisa mencuri perhatian siapa pun ketika masuk, sayangnya Yiheon tidak terlalu paham seni kontemporer tersebut tapi dari padangannya sebagai amatir itu tampak bagus dan mahal, batinnya meringis kecil.
“Loh, Mas Sekyung sudah pulang?”
Sebuah suara terdengar disusul dengan presensi seorang wanita berumur sekitar kepala empat yang keluar dari dalam rumah membuat keduanya menoleh serentak.
“Mbak, boleh tolong siapkan makan malam.”
Yiheon mengulas senyum sopan saat dilihatnya wanita itu mendekat dan memasang raut khawatir sekaligus kaget saat melihat wajahnya yang terluka.
“Iya, mas. Eh ini kenapa? Perlu mbak ambilkan obat?” tanyanya membuat Yiheon meringis sambil tertawa kecil.
“Gapapa, sudah diobatin kok.” jawabnya tidak mau membuat orang lain khawatir, terlebih ia juga tidak mengenalnya.
Sekyung terlihat belum berniat melepaskan tangannya dari pinggang Yiheon saat dia mengajak Yiheon berjalan semakin jauh ke dalam rumahnya.
Diikuti tatapan mbak yang kali ini memasang wajah penasaran dengan siapa tuan mudanya pulang karena Sekyung jarang sekali membawa teman ke rumah, paling hanya dua orang yang dia hapal betul, Mas Lomon sama Mas Bomin.
Sedangkan yang sekarang jelas adalah wajah asing yang pertama dilihatnya, terlebih keadaannya tidak bisa disebut baik-baik saja.
“Ini namanya Yiheon, pacar aku, mbak. Hari ini mau menginap.”
Sekyung seperti mengerti tatapan mbak yang memang sudah bekerja sejak dia remaja itu, dia berkata untuk menjawab rasa penasaran yang pasti ujung-ujungnya nanti sampai ke telinga Mamanya.
“Oh, Mas Yiheon toh...” tentu saja ada rasa kaget saat Sekyung bilang pacar. Tidak ada angin atau hujan badai tiba-tiba sudah bawa pacar saja ke rumah, bukan hanya teman seperti biasanya, “Oke, mas. Nanti mbak siapkan kamar tamu dulu kalau gitu.”
Namun, si mbak langsung melihat ada gelengan tegas dari tuan mudanya itu, tangan kanannya yang memegang lengan Yiheon yang ada di pundaknya ditarik lebih dekat saat mereka sampai di depan anak tangga menuju lantai dua.
“Gak usah. Yiheon tidur di kamar aku.”
Ucapan mutlaknya itu membuat Yiheon secepat kilat menatap Sekyung dengan pandangan sedikit kaget lalu tanpa sengaja bersitatap dengan mbak yang mengangguk-ngangguk paham, sedangkan ia hanya bisa nyengir tidak tahu harus merespon bagaimana.
Nurut aja gak sih. Tahan, jangan protes.
“Ya sudah, mbak siapkan makan malam dulu. Hati-hati loh Mas Yiheon naik tangganya.”
“Siap, makasih mbak!”
Sekyung menggeleng pelan saat melihat punggung yang sudah beranjak ke arah dapur, besok pasti semua penghuni rumah akan langsung tahu apa yang terjadi malam ini.
Sebetulnya tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan juga, lagi pula Sekyung pernah menyinggungnya saat tempo hari dia membawa brownies buatan Bunda Yiheon pulang.
“Aku nggak beli, Ma. Ini dikasih sama calon mertua, baik banget kan.” katanya membuat sang Mama mengerutkan keningnya sambil menatap heran anak tunggalnya itu yang memasang senyum lebar tampak bangga sambil sibuk memakannya, “Memang itu anaknya mau sama kamu? kok sudah ngaku-ngaku saja.” tanyanya yang dibalas tawa kecil, “Mau kok, nanti aku kenalin.”
Sekyung kali ini terdiam sebentar menatap sedikit prihatin keadaan Yiheon, “Kamar abang di lantai dua.” beritahunya.
“Oke, gapapa abang.” balasnya meyakinkan saat Sekyung justru menatapnya sangsi.
“Gendong, mau nggak?” tawarnya.
“Dih, gak usah lah! Bisa kok naik tangga segini doang.”
Segini doang katanya, Yiheon jelas harus meringis saat ia melewati sekitar delapan belas anak tangga dengan keadaan kaki pincang.
Lengkap dengan drama kecil-kecilan diantara keduanya, Sekyung akhirnya berhasil membuka pintu kamarnya yang berada di sebelah kanan tangga.
Wangi familiar adalah satu hal yang bisa Yiheon simpulkan begitu cepat ketika ia melangkah masuk.
Wangi Sekyung yang suka nempel di bajunya. Wangi Sekyung yang ia sukai.
“Duduk sini dulu.”
Sekyung mendudukan Yiheon di atas tempat tidurnya yang berukuran besar berada di tengah ruangan.
Dia kemudian melangkah ke arah lemari pakaiannya yang berada di sebelah kiri tempat tidur, dicarinya baju yang menurutnya pas untuk Yiheon. Ukuran tubuh mereka tidak terlalu jauh berbeda seharusnya baju Sekyung cukup bila dipakai oleh Yiheon, biasanya hanya jaket yang memang pernah dipakainya beberapa kali.
Saat si pemilik kamar sibuk sendiri, Yiheon memindai cepat kamar seorang Choi Sekyung, mimpi apa ya ia bisa ada di sini.
Di kamar pacarnya.
Kamar Sekyung jelas lebih luas daripada miliknya sendiri, juga tentu saja lebih rapi. Tidak usah ditanya bagaimana keadaan kamar Yiheon bila ditinggalkan ke kampus setiap pagi, pokoknya cukup untuk membuat Bunda cerewet.
Ada meja dengan komputer berada di atasnya tepat menghadap jendela kaca yang mengarah ke luar kamar. Serta beberapa buku tebal yang disusun rapi di atas meja lengkap dengan lampu belajar dan jam digital berwarna hitam yang menunjukan pukul delapan kurang dua puluh.
Di sampingnya, ada rak buku walau tidak terlalu besar tapi cukup penuh terisi, pantes dia pinter, bukunya aja banyak, pikirnya.
Satu hal membuatnya berhasil menyipitkan mata saat melihat sebuah foto di ujung meja yang dipajang bersisian dengan jam serta vas bunga yang berisi hanya satu tangkai mawar berwarna putih.
Bunga darinya hari itu, ternyata bukan hanya ia yang merawatnya, Sekyung juga.
Yiheon tersenyum saat ia berhasil melihatnya dari dekat walaupun sedikit susah untuk berjalan.
Tubuhnya membungkuk untuk melihat foto apa di sana tanpa berani memegangnya.
Ada Choi Sekyung kecil yang sedang tertawa dengan gigi ompong memeluk seekor anjing golden retriever yang bahkan hampir sama besar dengan tubuhnya, mungkin Yiheon tebak itu saat dia masih enam atau lima tahun.
Lucu, Bang Sekyung nya kecil banget kemasan sachet.
“Ngapain senyum sendiri kayak gitu.”
Yiheon terlalu asik bahkan untuk menyadari kehadiran Sekyung yang sudah ada di belakangnya, berbisik teramat dekat di samping telinganya membuat ia menegakkan tubuhnya kembali.
Di tangan kanannya ada sebuah piyama berwana biru tua yang akhirnya dia pilih untuk dipakai oleh Yiheon.
Pandangannya melirik fotonya sendiri, Sekyung jelas menyadari apa yang membuat Yiheon tersenyum seperti itu.
“Jangan ngeledek.”
Yiheon mengangkat bahunya, menatap Sekyung dengan gelengan pelan, “Enggak kok. Lucu aja lihatnya, lagian semua pernah ompong pada masanya kok. Gak usah malu.” nasihatnya sambil mengambil baju dari tangan Sekyung.
“Buat aku kan? Kamar mandinya itu?”
Jari telunjuk Yiheon menujuk sebuah pintu berwana putih yang berada di sisi lain kamar tidur, takut salah. Sudah pingin mandi dan mengganti bajunya.
Pertanyaan itu diangguki oleh Sekyung dan dibalas pertanyaan lain yang membuatnya mengerutkan kening dengan dalam.
“Bisa gak sendiri? handuk sama yang lainnya sudah abang siapin di sana kamu pakai saja.”
Apanya yang gak bisa sendiri? Mandi?
“Ya bisa lah, abang.” jawabnya sedikit rusuh, lalu berjalan secepat yang ia bisa walaupun sambil meringis menahan sakit di kakinya.
Gara-gara Jaemin! batinnya malah semakin gondok bila mengingat nama tersebut.
“Pelan-pelan saja, sayang.”
Sekyung menghela napas saat Yiheon mengacungkan jempolnya sebelum hilang di balik pintu kamar mandi.
“Aman!” sahutnya.
Ketika tadi sampai di kosan Asa dan melihat Sekyung ada di sana menatapnya dengan pandangan lurus, jujur saja hal itu membuat Yiheon kicep.
Yang ada di pikiran terburuknya adalah Sekyung bakal ngamuk padanya, memarahinya atau apapun itu yang jelas membuat Yiheon sedikit ketar-ketir.
Apalagi saat kedua temannya itu tidak memilih ikut campur dan kabur ke luar begitu Sekyung akan memasuki kamar Asa.
Yihoen bahkan sampai menahan gugup menatap Sekyung yang membawa kotak p3k di tangannya.
Rupanya Sekyung dan kotak p3k sudah berteman baik sejak dia mengenal Yiheon.
Ditariknya sebuah kursi di depan meja belajar Asa ke dekat tempat tidur di mana Yiheon sedang duduk. Tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun, Sekyung duduk dengan tenang di depannya. Dia menaruh kotak obat di tangannya itu di atas tempat tidur, dibuka dan dikeluarkan isinya.
Yiheon tidak bisa membohongi dirinya sendiri saat ia tadi dengan jelas melihat gurat frustasi di wajah pacarnya itu.
“Lepasin dulu kemejanya.”
Ia hanya menurut, melepas kemeja biru panjangnya itu lalu menyisakan kaos pendek putihnya yang kotor.
Sekyung langsung memeriksa lengannya takut-takut ada luka lagi yang tidak terlihat karena jelas kemejanya tidak kotor berarti Yiheon ribut saat menggunakan baju pendeknya saja.
Ada hela napas lega darinya saat tidak ditemukan luka lain di sekitar siku atau di mana pun lagi di lengannya.
“Kaos kamu kotor, udah gak usah dipakai lagi. Pakai kemejanya saja.”
Yiheon tidak mau banyak protes, ia lagi-lagi hanya menurut melepas kaosnya dan digulung asal kemudian dimasukan ke dalam tas.
Tanpa bisa dicegah kali ini Sekyung juga memindai tubuh polos Yiheon itu, hingga Yiheon harus meyakinkannya kalau tidak ada luka di sekitar sana.
Tapi, mata jeli Sekyung jelas bisa melihat memar di atas perut sebelah kanannya, mungkin ditonjok atau ditendang. Sekyung tidak mau membayangkannya karena itu hanya akan membuat kepalanya semakin panas.
Yiheon memilih memakai kembali kemejanya cepat-cepat saat Sekyung tidak bicara lagi, dengan sedikit kesusahan ia mengatur kancingnya saat tatapan Sekyung terasa semakin menusuknya, menatap setiap geriknya tanpa terlewat satu pun dengan jarak yang sudah jelas sangat dekat.
Tangannya yang sedikit perih itu akhirnya Yiheon taruh di atas pahanya begitu saja saat tangan Sekyung dengan cekatan mengambil alih untuk memasang kancingnya, hingga dia menyisakan dua kancing teratas yang dibiarkan terbuka. Tidak lupa digulungkan juga bagian kedua lengannya dengan rapi.
Setidaknya sekarang penampilan Yiheon terlihat lebih wajar daripada tadi dan Sekyung sudah bisa mulai mengobatinya.
“Perih...” katanya lirih saat Sekyung mengoleskan obat di atas pipinya yang memerah, ia menatap Sekyung yang tidak merespon apa pun, pemuda itu hanya fokus pada tangannya yang masih berada di pipi Yiheon.
Suara jarum jam yang ada di atas meja belajar Asa rasanya menjadi penyelamat untuk suasana yang kelewat hening tersebut.
Sekyung tidak bertanya apa pun dan itu membuat Yiheon terganggu, biasanya dia itu akan berbicara sekedar bertanya sambil bercanda siapa yang menang.
Perihal mengobati seperti ini jelas bukan hal baru bagi Sekyung, namun memang sudah cukup lama karena belakangan Yiheon sudah tidak berulah lagi.
Yiheon kembali memikirkan kata Sungchan tadi, kalau posisinya dibalik. Apa yang akan ia rasakan saat ini kalau tiba-tiba melihat pacarnya yang penuh luka.
“Abang... marah?”
Telunjuk Sekyung yang saat ini memegang kapas untuk mengoles luka di pelipis Yiheon terhenti sejenak, dia hanya berdehem kecil tanpa membalas tatapannya atau pun pertanyaannya.
Ditiupnya dengan lembut luka tersebut berharap Yiheon tidak merasakan perih yang terlalu parah. Yiheon bahkan harus menutup matanya saat Sekyung mempersempit jarak diantara mereka karena perlakuannya itu.
Saat dirasa Sekyung sudah sedikit menjauh dan memasang plester di sana, baru ia berani membuka matanya lagi. Di hadapanya saat ini Sekyung sedang memegang tanganya, mengusap alkohol pada telapak dan buku jarinya yang lecet.
Genggaman tangan Sekyung terasa hangat di kulitnya, lagi-lagi ia meringis perih saat Sekyung mengoleskan obat di lukannya dan menutupnya dengan plester.
Akhirnya kedua netra Choi Sekyung itu menatapnya ketika dia selesai dengan kegiatannya mengurusi Yiheon.
“Jadi yang kamu bilang ada urusan itu, urusan berantem?” tanyanya langsung.
Song Yiheon merapatkan bibirnya serba salah. Sebetulnya ia tidak niat berantem, tapi tidak dipungkiri juga kalau berurusan dengan Jaemin akhirnya pasti seperti ini.
“Maaf...” cicitnya pelan, menatap Sekyung yang memasang wajah tidak habis pikirnya itu dan berhasil membuat Yiheon kembali gusar.
“Apa susahnya ngomong dulu sih.”
Kalau ngomong dulu jelas gak bakal dibolehin.
Yiheon menunduk lesu, melihat tangannya yang sudah dipasangi plester. Aura kesalnya Choi Sekyung membuatnya tidak mau bersitatap lama-lama pada kedua netra yang menatap begitu lekat padanya.
Melihat respon Yiheon yang seperti itu, Sekyung mengambil napas dalam mencoba tenang sebisa mungkin, tahu kalau Yiheon enggan membahasnya semakin jauh sekarang.
Tangannya terangkat untuk menyentuh sudut bibir Yiheon yang terluka, ibu jarinya mengusap dengan pelan di sana, hingga Yiheon mau tidak mau kembali mengangkat wajahnya yang tadi menunduk.
“Sakit banget?” Sekyung bertanya sambil melembutkan tatapannya. Biar bagaimana pun rasa khawatirnya tetap yang utama.
Sudut bibirnya itu terasa sedikit kebal saat tadi ia kompres dengan es batu yang dibawa oleh Asa.
Yiheon menggangguk kecil, namun malah tersenyum tipis, “Tapi gapapa, nanti kan diobatin lagi sama abang.” katanya dengan wajah polos seakan itu bukan hal serius.
Satu decak samar terdengar tanpa bisa disembunyikan oleh Sekyung, selalu begini. Yang luka siapa, yang mikir sampai khawatir siapa.
Kebiasaan banget.
“Terus itu kakinya kenapa gak bisa jalan?”
“Tulang kering aku ditendang.”
Oke, Sekyung terlihat membuang napas dalam lalu menggeleng lelah tidak tahu lagi harus memberi respon seperti apa pada kegiatan Yiheon hari ini.
Benar-benar ya Song Yiheon, boleh gak dia jitak sekali saja pacar kesayangannya ini.
“Besok kita ke rumah sakit.” ucapnya kalem membuat Yiheon lantas membulatkan matanya, bahkan ia berharap kalau Sekyung hanya asal bicara saja.
“Dih apaan, gak segitunya juga bang! Dua hari juga sembuh paling biru doang ini.” responnya cepat yang menolak tidak mau.
Ngapain sih lebay amat Choi Sekyungggggg, kayak abis ngapain aja dibawa ke rumah sakit segala.
“Aku gapapa. Gak perlu kayak gitu oke?”
“Gak ada penolakan dan jangan bikin orang makin khawatir lagi, Yiheon.” suara Sekyung terdengar dalam dan serius, dia menunjuk tas Yiheon yang berada di atas kasur dengan dagunya.
“Berani bilang ke Bunda gak coba. Abang mau lihat gimana kamu dimarahin sekalian, video call biar Bunda tahu keadaan wajah kamu sekarang. Luka di sana-sini bahkan sampai mimisan kayak gitu.”
Sial.
Yiheon meneguk ludahnya kasar. Tatapannya memohon menatap Sekyung tanda tidak mau. Bunda jelas akan mengomel mungkin semalaman kalau ia pulang dengan keadaan seperti ini.
“Aku gak akan pulang sekarang. Besok juga Sabtu libur.. aku mau nginep di sini aja, nanti gampang bilang ke Asa.”
Sepertinya kalau ada juara sabar menghadapi Song Yiheon, Sekyung bisa menyabet juara pertama, pemuda itu menegakkan tubuhnya yang masih duduk di kursi belajar milik Asa.
Peningnya mendadak muncul lagi.
Sekyung tahu kamar kost Asa itu lumayan luas, dengan tempat tidur berukuran sedang cukup untuk menampung dua orang dewasa. Di atas kasur itu terdapat gitar yang disimpan bersandar pada tembok. Teman Yiheon yang satu itu memang terlihat menyukai dunia musik.
Tapi, tidak bisa seenaknya begitu saja dong.
“Kalau gak mau pulang ke rumah. Berarti kamu pulang sama abang.” putusnya sambil berdiri, tangannya kembali sibuk membereskan kotak obat yang tadi dia bongkar.
“Maksudnya?” alis Yiheon bertaut tidak mengerti dengan ucapan Sekyung itu. Ia harus mendongak menatap Sekyung yang tidak meliriknya.
“Kamu ikut pulang sama abang. Jangan di sini, biar besok sekalian abang seret kamu ke rumah sakit.”
“Hah?”
Pulang ke rumah Sekyung maksudnya? sekarang? yang benar saja!
“Gak mau!” sahutnya sambil menjatuhkan tubuhnya di kasur empuk milik Asa. Tangannya mengambil boneka anjing yang ada di atas kasur, boneka couple milik Asa dan pacarnya itu ia peluk sambil merenggut.
Tentu saja, Sekyung tidak akan mengindahkan penolakannya, dia yang sudah menyimpan alat tempurnya di atas meja belajar Asa menatap Yiheon sambil melipat tangan di depan dadanya, pinggangnya menyandar pada meja yang tertata rapi itu.
“Pilihannya cuma pulang ke rumah lalu diomelin Bunda dan abang akan lepas tangan atau kamu ikut ke rumah abang dan biar abang yang izin langsung. Enggak ada nginep-nginep di sini, paham?”
Yiheon sedikit mengerang mendengar nada suara Sekyung yang jelas tidak bisa dibantah itu apalagi tatapannya yang menatap lurus padanya membuat Yiheon harus mengalihkan pandangannya lagi, nggak suka.
Ia berpaling untuk menatap langit-langit kamar Asa yang tinggi dan berwarna putih senada dengan dominasi warna kamarnya.
“Song Yiheon...”
Sekyung menarik satu sudut bibirnya saat Yiheon tidak menjawab, anak itu malah menutup wajah dengan lengannya. Dia kembali melangkah ke sisi tempat tidur dan mengulurukan tangannya untuk menarik tangan Yiheon yang sedang tidur itu untuk kembali duduk.
Membungkuk dari posisinya yang sedang berdiri, Sekyung meluruskan wajahnya sejajar dengan Yiheon yang sudah duduk dan menatapnya sambil berpikir.
“Jadi, kamu pilih yang mana?”
Yiheon tahu, Sekyung tahu jelas ia tidak akan mau pulang saat ini, sebetulnya bukan hanya perkara diomelin Bunda saja, tapi takut Bunda malah khawatir saat tahu keadaannya sekarang.
Tidak ada pilihan lain.
“Pulang ke rumah abang aja.” jawabnya pelan, percuma dibantah juga malah makin panjang nanti urusannya dan Yiheon lebih tidak mau kalau harus menambah masalah dengan Sekyung.
Maka di sini lah ia sekarang, duduk di ruang makan keluarga Choi Sekyung dan sedang menyuap lahap ayam asam manis yang ada di atas piringnya.
Suara denting dari alat makan yang mereka gunakan cukup untuk mengisi hening yang tercipta diantara keduanya.
Di depannya, Sekyung sedang melakukan hal yang sama, dia makan dengan tenang. Meja makan dengan enam kursi ini tampak sepi ketika diisi oleh dua orang saja.
Yiheon melirik Sekyung sambil berpikir, kalau tadi gak ikut mungkin Sekyung akan makan sendirian di rumah sebesar ini.
Meja makan di rumahnya selalu ramai dan hangat, Yiheon dan adiknya kerap kali sibuk berceloteh yang selalu di tanggapi oleh Bunda yang memang cerewet ada pula Ayah yang akan menyimak obrolan mereka dan ikut menimpali dengan jokes bapak-bapak kompleknya yang garing.
Berbeda sekali dengan di sini.
Yiheon bisa menyimpulkan kalau Sekyung adalah anak tunggal dengan—sepertinya kedua orang tua yang sama-sama sibuk.
Sekyung mengangkat wajahnya saat dilihatnya satu buah lauk ditambahkan ke atas piringnya. Dia menatap si pelaku dengah wajah bingung.
“Makan yang banyak, abang.” katanya sambil tersenyum kecil lalu meringis saat meraskan perih di sudut bibirnya yang ditarik itu.
“Makasih, Yiheon. Kamu juga.” balas Sekyung dengan lembut, menatap pada Yiheon yang mengangguk semangat.
“Masakan mbak nya enak, 9/10 deh dari aku, walaupun paling enak tetap bikinan Bunda.” ujarnya lalu kembali menyuap hingga mulutnya penuh dan Sekyung akhirnya tertawa kecil melihatnya, hal itu berhasil membuat Yiheon bernapas lega.
Jangan diem-dieman mulu deh, ia gak suka.
Sekyung tidak salah saat mengatakan kalau Yiheon bisa membawa tenang di hidupnya yang terkadang terlalu ramai atau bahkan saat sepi sekali pun seperti sekarang.
Yiheon bisa memberikanya bahkan ketika ia datang untuk pertama kali ke rumahnya.
Ruang makan keluarganya yang sepi menjadi begitu hangat penuh obrolan seru yang melengkapi makan malam mereka seperti sekarang, walaupun lebih banyak Yiheon yang bicara karena dia hanya akan mendengarkan sambil memangku dagunya, menatap Yiheon yang selalu semangat untuk bercerita.
Song Yiheon seperti memberikan kenangan baru di satu sudut memorinya bahwa ruang makan ternyata bisa seseru itu walaupun mereka hanya duduk dengan piring yang sudah kosong, dengan buah apel yang dipotong kecil olehnya dan diberikan pada Yiheon yang tampak tidak sabar menunggunya, juga dengan puding cokelat yang bisa membuat Yiheon mengacungkan kedua jempolnya dan berkata mau nambah.
“Kenyang banget...”
Yiheon bergumam sambil menepuk-nepuk perutnya saat mereka berjalan dari ruang makan, satu tangannya memegang lengan Sekyung yang membantunya tanpa perlu diminta.
Langkah Yiheon yang pelan itu semakin lambat lalu berhenti di sebuah ruang keluarga yang tergolong luas lengkap dengan televisi berukuran besar. Ia berdiri menatap foto yang terpasang di dinding berwana putih itu. Sebuah foto yang tadi sempat Yiheon lihat selewat saat mereka menuju ruang makan.
Ada foto keluarga inti yang terlihat formal, sang Ayah tampak berwibawa dengan setelah jasnya dan Ibu yang tersenyum lembut tampak begitu cantik duduk di atas kursi di sampingnya dengan rambut digerai indah mengenakan gaun berwarna gading. Di belakang mereka ada putra semata wayang yang berdiri memegang kedua pundak orang tuanya, tersenyum tipis tapi tetap telihat tampan.
Yiheon pikir sepertinya itu bukan foto baru karena Sekyung yang di sampinya sekarang terlihat lebih dewasa berbeda dengan yang ada di dalam potret sana, mungkin diambil dua atau tiga tahun lalu, tebaknya sok tahu.
“Kenapa?”
Suara Sekyung terdengar saat Yiheon belum mengalihkan tatapannya, ia tersenyum lebar lalu menatap Sekyung sambil memiringkan kepalanya berlagak berpikir.
“Pantesan ya, abang ganteng. Papa sama Mamanya aja begini.” komentarnya tanpa segan untuk memuji, hingga kemudian ia berdecak dan menjauhkan kepalanya saat Sekyung mengusak dengan cepat.
“Bagus kan gen abang?” tanyanya bangga yang membuat Yiheon tidak bisa menyangkal selain hanya mengangguk.
Udah pinter, ganteng, soft spoken, baik, sabar, loyal, rasanya kalau harus menyebut kurangnya Choi Sekyung, Yiheon hanya bisa mengangkat tangan, nyerah nggak tau. Karena dia itu green flag banget menurutnya.
Oh, atau ada satu yang terbersit di pikirannya.
Tapi, bukan kurangnya.
Lebihnya Choi Sekyung satu lagi adalah pacarnya.
“Iyalah untung yang begini udah jadi pacar aku.” tangan Yiheon yang tadi memegang lengan Sekyung berubah menjadi memeluk pinggangnya dengan posesif.
Bangga sekali dengan status barunya itu.
Kalau ada yang berani macem-macem sama abang nya ini, siap-siap saja merasakan bogem mentahnya nanti.
“Iya, pacarnya Yiheon yang bandel.” timpal Sekyung membuat Yiheon meringis dan sadar kalau dia kayaknya memang masih kesel tuh.
“Apasih abang gak seru deh.”
“Oh soalnya yang seru buat kamu itu gelut-gelutan kan. Abang lupa.” Sekyung meliriknya sambil menarik paksa kedua sudut bibirnya, “Iyakan, sayang?” tanyanya memastikan.
Yiheon hanya bisa balas menatap Sekyung dengan bibir yang mencebik ke bawah, lalu memutar kedua bola matanya saat mendengar pertanyaan Sekyung.
Oke, akan sampai kapan mau dibahas terus hal ini.
“Mendingan aku pulang aja kalau kayak gini atau aku tidur di sofa sini aja.” katanya lalu melepaskan pelukannya dan duduk di sofa ruang keluarga itu sambil memeluk bantal di pangkuannya.
Pandangannya lurus ke arah layar hitam televisi yang tidak menyala. Tetapi, sudut matanya mencuri-curi pandang melirik ingin tahu pada Sekyung yang masih berdiri di tempatnya tadi.
“Ya sudah. Sebentar abang bawain selimut kalau gitu.” ucap Sekyung membuatnya menoleh dengan cepat, mendongak menatap tidak percaya pada Sekyung yang hanya menaikan satu alisnya, “Apa?” tanyanya pelan.
Serius gue disuruh tidur di sini????!
Bercanda kan?