sekyung x yiheon au
Katanya, Choi Sekyung itu tidak pernah marah terhadap Song Yiheon.
Benar, itu adalah sebuah fakta yang bisa diperkuat oleh kesaksian Asakara yang memang mengenal keduanya sejauh ini.
Yiheon adalah salah satu temannya sejak dia menjadi mahasiswa baru di kampus, bersama dengan Sungchan yang merupakan teman Yiheon sejak SMA, ketiganya entah bagaimana menjadi semakin dekat dalam urusan pertemanan walaupun berada di fakultas yang berbeda.
Sedangkan Choi Sekyung adalah senior mereka. Mahasiswa tingkat tiga itu awalnya merupakan kenalan Yiheon yang kemudian membuat mereka ikut mengenalnya saat kerap bertemu beberapa kali.
Namun, hari ini sepertinya pemuda itu meragukan kesaksiannya sendiri.
Asa dengan jelas menyadari ada perubahan dari raut pemuda yang kerap mereka panggil Bang Sekyung itu sejak menuruni mobil berwana putihnya yang terparkir tepat di depan gerbang kost, tempat mereka sedang menunggu Yiheon yang sedang dijemput oleh Sungchan.
Tidak ada senyum seramah biasa yang selalu dia tampilkan. Wajah tampan itu terlihat lebih serius dengan bibir yang membentuk garis lurus.
Langkahnya dengan tenang namun tegas perlahan memasuki gerbang dan melawati parkiran dengan beberapa motor serta mobil penghuni yang terparkir rapi, dia menghampiri Asa yang duduk di bangku depan kamar yang berjajar.
“Belum datang?” tanyanya langsung yang membuat Asa menjawab pelan, “Belum, bang.”
Sungchan belum mengabari Asa lagi. Mungkin masih di jalan walaupun terasa lama sekali karena jarak kampus dan kosannya terbilang tidak terlalu jauh.
Cepat-cepat dia menanyakannya lagi guna melaporkan apa yang dilihat sekarang. Perasaannya tidak enak saat melihat Sekyung yang tidak seperti biasanya.
Ngamuk beneran kayanya nih orang, pikirnya sambil melirik Sekyung yang memilih berdiri bersandar pada tembok, pemuda itu bahkan menolak tawaran Asa yang menyuruhnya menunggu sambil duduk.
Kedua tangan di balik hoodie abu muda itu terlipat di depan dada sambil ujung sepatunya mengetuk-ngetuk lantai tidak sabar. Pandangannya bahkan lurus ke arah gerbang yang terbuka setengah.
Bisa dibilang Asa memang tidak terlalu akrab dengan seniornya itu, selain karena berbeda fakultas, mereka juga biasa mengobrol sebatas saat Sekyung menjemput Yiheon bila sedang di kosannya. Atau pernah nongkrong bareng sambil makan sepulang kuliah sesekali kali.
Namun, saat ini tanpa perlu mengenal dalam sosok tersebut, seratus persen Asa yakin Choi Sekyung yang berada di depannya ini khawatir terhadap Yiheon, sahabat keras kepalanya yang sedikit berulah hari ini.
Tetapi, seharusnya memang begitu kan? karena jelas Song Yiheon adalah pacarnya.
Apa yang dikatakan Sungchan tentang keadaan Yiheon tidak serta merta ia sampaikan pada Sekyung, biar lihat sendiri saja karena sejujurnya dia pun tidak tahu tolak ukur luka seperti apa yang ada pada standar aman seorang Yiheon.
Sebelumnya tidak akan ada yang pernah menduga bahwa suara motor yang memasuki parkiran sebuah kost dua lantai berwarna kuning pucat itu bisa membuat tiga orang sekaligus menghembusakan napas lega mereka masing-masing.
Sungchan si pengemudi, Asakara si penghuni kost, dan tentu saja Sekyung yang pikirannya terasa paling penuh saat ini.
Sedangkan satu orang lagi tidak tahu apa-apa, yang merupakan si tokoh utama kejadian ini justru terlihat santai sekali di belakang tubuh jangkung Sungchan yang memboncengnya.
Sekyung menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada tembok, memasukan kedua tangan ke dalam saku celana jeansnya. Dia menatap motor yang baru saja terparkir di depannya dan nertanya langsung tertuju pada Yiheon yang baru saja turun dari atas motor.
Dalam sepersekian waktu tersebut, Asa berjalan mendekat lebih dulu. Mengecek kondisi temannya itu yang terlihat tidak terlalu baik.
Oke, kalau boleh jujur, jelas sedikit berantakan.
Dihadapkannya tubuh Yiheon ke kanan dan kiri bahkan ke bekalang hingga diputar, praktis pemuda yang katanya masih ada keturunan Jepang itu menggerutu pelan membuat Yiheon meringis karena Sungchan sudah melakukan hal yang sama padanya tadi.
“Gue gapapa, Asa.”
Pandangan Yiheon kali ini baru beralih pada Sekyung yang belum beranjak dari tempatnya. Masih berdiri di depan tembok depan salah satu kamar.
Ia langsung menuntut penjelasan menatap pada kedua temannya seakan bertanya,
Kok ada pacar gue di sini?!!
Baik Sungchan maupun Asa hanya mengangkat bahu, “Gak tahu.” ujar mereka berhasil membuat Yiheon memutar kedua bola matanya.
Sudah jelas-jelas ini ulah mereka berdua yang pasti mengadu. Dari siapa lagi Sekyung tahu kalau ia akan ke sini.
Sekyung masih diam saat dia melihat Yiheon mencopot tisu yang sedari tadi tersumpal di hidung kanannya akibat mimisan, lalu dilempar kecil ke tempat sampah yang ada di pinggir parkiran.
Di sini jelas yang paling tahu keadaan Yiheon selain dirinya sendiri adalah Sungchan yang tadi datang menjemputnya. Maka pemuda jangkung itu langsung merangkul lengannya dan membantunya jalan.
“Gapapa apanya kayak begitu, Yiheon!” seruan Asa terdengar jelas saat melihat hal tersebut.
Harus diakui rupaya kali ini ulah Yiheon memang agak serius karena sebelum-sebelumnya dia tidak pernah melihat Yiheon sampai dipapah seperti ini.
Satu orang yang sedari tadi masih belum beranjak bahkan belum mengeluarkan satu kata pun terlihat menyimak saja apa yang dilakukan mereka walaupun sudah jelas fokusnya hanya pada satu orang.
Presensinya tersebut ternyata berdampak nyata pada ketiga pemuda di sana. Atmosfernya bahkan terasa sangat tidak bersahabat.
Mampus ngamuk, batin ketiganya kompak berucap hal yang sama.
Kesimpulan yang sangat mudah dibuat apabila melihat raut wajah sang senior.
Begitu sampai tepat di depan Sekyung, Sungchan yang sedang memapah Yiheon berhenti. Begitupun Asa yang mengekori mereka di belakang sambil menggendong ransel milik Yiheon.
Sungchan, pemuda itu pernah sekali berucap kalau Sekyung pasti bakal ngamuk juga suatu saat nanti jika Yiheon ribut parah. Dan dia tidak menyangka hari ini sepertinya bakal kejadian. Walaupun dia mempunyai tubuh lebih tinggi dari mereka semua, Sungchan tidak akan menyangkal aura Choi Sekyung yang sekarang cukup membuat anak basket itu merasa ciut.
Serem banget anjir! Gue gak mau ikutan. Kalau boleh milih, dia mau mengajak Asa kabur dari sana. Namun, nyatanya dia tidak mungkin meninggalan Yiheon sendirian untuk saat ini, setidaknya sampai Yiheon bisa masuk dulu dan setelah itu biar urusan mereka berdua saja.
Meledak seharusnya, baik itu rasa khawatir atau pun marah dan kesal seorang Choi Sekyung saat dihadapkan dengan Song Yiheon yang demi Tuhan hampir seluruh wajahnya tidak baik-baik saja.
Tepat di tulang pipinya sangat merah bekas kena pukulan begitu pun di sudut bibir kirinya, di ujung pelipisnya ada luka yang sedikit terbuka, di hidung kanannya terdapat tanda mimisan yang bahkan belum kering.
Kaos putih yang dibalut kemeja biru panjang itu juga tampak kusut dan kotor di sana sini. Dilihat semakin ke bawah ada telapak tangan baret dan buku tangan memerah bekas adu jotos.
Jangan lupa kaki yang harus dipapah saat berjalan, entah apa yang terjadi di bagian sana karena dibalut dengan celana panjang sehingga tidak terlihat satu luka pun dari luar.
Ingin rasanya Sekyung berteriak, kenapa kamu bisa sampai begini sih, Yiheon?
Namun, nyatanya yang keluar dari kedua bilah bibir tebalnya hanya hembusan napas berat sedikit frustasi sambil mengangkat kepalanya menatap sembarangan ke atas.
Tangan kanannya terangkat mengurut keningnya yang entah kenapa mendadak pening benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah anak di depannya ini.
Tingkah pacarnya.
“Bang Sekyung...”
Yiheon yang pertama berujar pelan memutus hening diantara mereka. Tenggorokannya terasa kering melihat Sekyung yang seperti itu sehingga suaranya nyaris seperti bisikan.
Asakara berhasil mengerjap melihat apa yang dia lihat dengan kening berkerut dalam. Dia yang lebih dulu bersama Sekyung sedari tadi tahu jelas bagaimana sikap yang ditampilkan seniornya tersebut.
Raut penuh tegang itu jelas berubah cukup cepat tak kala Yiheon memanggil namanya.
Tatapan lurus dan tajam tadi mulai memudar walau tidak sepenuhnya hilang seiring dengan garis lurus di kedua sudut bibirnya yang perlahan ditarik berlawanan, tipis tetapi Asa tahu itu adalah sebuah tanda menenangkan dari seorang Choi Sekyung untuk Yiheon.
“Masuk dulu gih, abang ngambil obat di mobil.”
Kalimat panjang pertama diucapkan oleh Sekyung sambil menepuk sekilas pundak Yiheon sesaat sebelum dia beranjak dari hadapan ketiganya.
Tidak ada nada tinggi apalagi suara membentak darinya membuat mereka semua saling berpandangan bingung.
Tidak marah?
“Oh iya..” suaranya terdengar lagi membuat mereka semua tanpa sadar menahan napas menatapnya.
“Asa ada es batu? Boleh tolong ambilkan.” lanjut Sekyung bertanya yang langsung diangguki si tuan rumah, dia bergegas berjalan ke arah kulkas yang ada di dapur kosannya.
Yiheon terdiam sebentar, ia melihat Sekyung lewat bahunya sesaat sebelum kembali dipapah oleh Sungchan ke dalam kamar Asa yang ada di lantai satu.
Menatap gusar punggung yang berjalan ke luar kosan itu dengan perasaan campur aduk.
Apa betul abang nggak marah sama aku?
“Kenapa?” Sungchan bertanya pelan saat Yiheon terdengar menghela napas panjang.
“Menurut lu dia marah gak sih?”
Si anak basket itu mendengus kecil mendengar pertanyaan Yiheon, “Ya menurut lo aja deh. Kalau dibalik lo liat pacar lo dateng-dateng kayak begini masih bisa biasa aja nggak? Makanya jangan berulah, udah dibilangin juga masih aja ngeyel disamperin.”