sekyung x yiheon au

Choi Sekyung tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat akhirnya Yiheon setuju untuk dijemput. Kekasihnya itu sudah mulai melunak. Sudah cukup dua hari ia bersikap dingin karena sibuk ngambek padanya, ujung dari rasa khawatir berlebihan hingga malah memunculkan rasa marah dan juga kesal.

Mobil putih itu terlihat berhenti di parkiran, Sekyung mematikan mesinnya lalu memilih menunggu di luar. Dia terlalu excited untuk melihat kekasihnya lagi. Satu hari kemarin dia mencoba mengerti, tidak memaksa untuk bertemu saat Yiheon nya tidak mau, mungkin ia butuh waktu dan Sekyung setuju untuk memberinya ruang.

Pandangannya mengedar, pemuda tingkat tiga itu sangat familiar dengan suasana parkiran di sini sejak semester lalu, tempat yang sering kali didatangi selain fakultasnya sendiri. Dia melihat ponselnya sambil bersandar pada kap mobil, masih ada sepuluh menit sebelum kelas Yiheon selesai, sebentar lagi. Sabar.

Seekor kucing yang sedang tiduran di tangga parkiran menarik perhatiannya, ah ini kucing yang kata Yiheon memang penunggu parkiran yang sudah menjadi rahasia umum bagi mahasiswa fakultasnya. Juga kucing yang pernah mencakar Yiheon hingga jarinya terluka waktu itu.

Sekyung mendekat, tanpa perduli celana jeans nya kotor dia duduk di anak tangga ke tiga tepat di samping si kucing yang kemudian mengeong pelan saat tangan Sekyung mengelus kepalanya.

Tidak dipungkiri, Sekyung jadi menyukai kucing sejak dia mengenal si ayang—kucing berwana abu tua milik Yiheon. Sebelumnya jujur saja dia tidak terlalu menaruh perhatian banyak pada hewan berbulu halus dan menggemaskan itu.

Sekyung juga tidak pernah punya hewan peliharaan, hanya dulu waktu kecil saja saat seekor anjing menjadi teman bermainnya ketika dia banyak menghabiskan waktu di rumah Oma, langganan dititipkan kedua orang tuanya yang sering sibuk tidak ada di rumah.

Ngomong-ngomong, sudah hampir tiga bulan dia belum berkunjung lagi ke sana, butuh waktu sekitar tiga jam untuknya ke luar kota dan sampai ke rumah Oma yang kini tinggal dengan anak bungsunya, yaitu adik sang Mama.

Saat Sekyung nanti ada waktu luang pasti akan berkunjung karena dia juga merindukannya. Oma yang cerewet namun sangat menyayangi cucunya. Oma yang dulu bahkan beberapa kali selalu menggantikan peran orang tuanya saat harus hadir di acara sekolah. Oma juga yang kerap bertanya tentang bagaimana kehidupan kuliahnya dan Sekyung akan tersenyum lembut sembari membahas seseorang yang kini terlihat berjalan ke arahnya.

Mungkin juga yang sudah bisa dia kenalkan dengan bangga, pacar Sekyung.

“Abang....”

Dia langsung berdiri dari duduknya, mengulas senyum hangat pada Yiheon yang terlihat canggung menatapnya sambil memainkan tali ransel yang tersampir di kedua pundaknya. Tampak lucu sekali saat raut wajahnya sumringah namun juga mencoba dikontrol sekuat tenaga. Jaim banget sih.

Diam-diam Yiheon menghela napas kecil saat ia menatap wajah Sekyung, sudut bibirnya masih memerah tampak lebam. Sedangkan luka miliknya sendiri sudah perlahan menghilang hanya tinggal satu plester di pelipis yang masih terlihat di wajahnya.

“Sudah selesai?” tanya Sekyung pelan yang diangguki kecil oleh Yiheon yang mengekorinya berjalan ke arah pintu mobil yang sudah dibukakan oleh Sekyung.

Sekyung masih memasang senyumnya tidak lelah bahkan terlihat begitu senang saat dia sudah duduk di bangku kemudi. Tidak langsung menyalakan mobilnya, pemuda itu memilih duduk menyamping untuk menatap lekat pada Yiheon yang baru saja menyimpan tasnya ke bangku belakang.

“Kamu sudah baikan? obatnya pasti sudah habis ya?”

Satu dengusan kecil keluar dari bibir Yiheon, harusnya ia yang bertanya tentang luka Sekyung.

Kenapa masih merah, itu diobatin gak sih!

“Udah.” jawab Yiheon singkat.

Tangannya mengambil sesuatu di saku celananya dan mengeluarkan sebuah salep kecil. Lalu dibukanya dan dioleskan pada jari telunjuk di tangan kanannya sendiri. Sekyung hanya memperhatikan dengan diam apa yang sedang dilakukan pacarnya itu hingga kemudian tangan Yiheon terulur padanya dan mengobati sudut bibirnya. Dan dia berkedip lambat, tidak menyangka akan apa yang dilakukan Yiheon saat ini.

“Aku gak percaya aku yang bakal ngobatin kayak gini. Biasanya kan abang ke aku. Lagian ngapain ikut-ikutan jadi tukang ribut gini sih!”

Sejak kemarin Yiheon sudah membeli obat untuk Sekyung dan ada di dalam tasnya, tapi kemarin ia masih merasa kesal dan takut malah semakin merutuk kalau melihat wajah terluka Sekyung di pandangannya.

“Muka abang jadi jelek kan karena terluka gini.”

Sekarang Yiheon tahu bagaimana rasanya selama ini jadi Sekyung yang harus melihat wajah dan tubuhnya kalau sehabis ribut. Rasanya kesal dan marah, tapi Choi Sekyung itu tahan sekali untuk tidak mengomel panjang lebar padanya.

Di sudut bibirnya terasa dingin alih-alih perih ketika tangan Yiheon dengan lembut dan telaten mengobatinya di sana hingga Sekyung tidak meringis sama sekali.

“Gak apa-apa abang jelek sehari. Tiap hari kan sudah genteng.”

Mendengar balasan Sekyung itu membuat Yiheon langsung memutar bola matanya ke atas, kesel banget antara fakta sama jengkel sendiri. Ia mengobati dengan wajah ditekuk serta alis menyatu membuat Sekyung justru malah mengulas senyum lebih lebar, gak ada ramah-ramahnya sama sekali tapi dia sangat bersyukur karena Yiheon sudah perduli walaupun sambil ngambek.

Tangan Sekyung memegang pergelangan tangan Yiheon yang sedang mengobatinya, jarak mereka cukup dekat karena Yiheon sempat memajukan tubuh padanya untuk mempermudah merawat lukanya.

Pandangan Yiheon dari wajah Sekyung bergulir sebentar melirik tangannya yang dipegang dan ditahan, “Maaf..” bisik Sekyung menatap pada Yiheon yang sudah balas menatapnya, kedua iris hitam Sekyung itu begitu teduh berhasil membuat Yiheon mengubah raut wajahnya lebih bersahabat.

Entah sudah berapa kali ia mendengar kata maaf dari Sekyung sejak kejadian kemarin.

Belum mendapatkan jawaban apa pun, Sekyung perlahan membawa tangan Yiheon tersebut ke depan bibirnya kemudian mengecup lembut di telapak tangannya.

“Maafin abang ya, Yiheon.”

Hati Yiheon berdesir merasakannya, ia hanya bisa terpaku saat diperlakukan seperti itu. Momennya terlalu tiba-tiba saat atmosfer di sekitar mereka masih sedikit canggung baginya.

Dan seakan tidak menunggu respon lainnya, Sekyung kemudian menariknya lebih dekat hingga kini ia sudah berada di dalam sebuah pelukan yang terasa erat.

“Abang gak bisa kalau kamu marahnya lama-lama. Abang gak suka harus jauh-jauh dari kamu, sayang.” bisiknya terdengar lirih.

Yiheon masih belum berkata apa-apa, namun tangannya perlahan bergerak untuk membalas, melingkar di tubuh Sekyung dan sedikit meremas bagian belakang hoodie berwarna hitam itu.

“Iya, maafin aku juga...” gumamnya pelan pada akhirnya setelah beberapa saat ada hening diantara mereka yang mengambil alih, “Maaf aku udah marah sampai bentak abang kamarin..”

Choi Sekyung mengangguk kecil berkata tidak apa-apa, memberi jarak lagi membuat dia kembali bisa menatap wajah Yiheon.

Di sana tidak ada lagi raut ditekuk apalagi alis tebalnya yang tampak menyatu, ia menatap Sekyung dengan rasa bersalah karena justru sudah bersikap dingin padanya.

Sekyung mengulum senyum menenangkan ketika melihat tatapan Yiheon padanya. Diusapnya dengan lembut pipi tegas Yiheon itu sebelum dia mendaratkan sebuah kecupan di keningnya dan ditahan cukup lama.

“Sudah tidak ngambek dan marah lagi kan?” tanyanya memastikan hingga Yiheon tentu saja menjawab dan kembali minta masuk ke pelukannya dengan manja.

“Enggak. Sekarang mau peluk lagi...” katanya sambil ndusel, ia memejamkan matanya saat Sekyung memberi banyak afeksi baik dengan ucapan juga usapan penuh sayang yang begitu banyak.

Kangen.

Akhirnya bisa peluk dan dipukpuk juga.

“Berarti kita baikan ya sekarang.” Sekyung kembali menegaskan yang artinya masalah mereka sudah selesai detik ini dan Yiheon mengangguk setuju dengan cepat saat mendengarnya sambil bercicit pelan mengiyakan.

“Bagus, Yiheon nya abang berarti jangan galak lagi, jangan kayak es batu dingin banget tuh kalau di chat.” tetapi celetukan Sekyung itu berhasil membuat Yiheon mencebikkan bibirnya lalu menepuk pelan punggung Sekyung dengan kepalan tangan, “Salah siapa bikin aku kesel sih.” balasnya membuat Sekyung meringis kecil di balik bahu Yiheon.

“Iya abang salah.”

Mereka sama-sama belajar, bahwa kejadian kemarin cukup memberi banyak pengertian tentang hubungan yang bahkan baru berjalan beberapa hari itu.

Setelah status mereka jelas, ada banyak hal yang memang tidak bisa dianggap remeh begitu saja. Pun karena hubungan ini dilakukan oleh dua orang yang sama-sama bergantung satu sama lain, yang sama-sama punya porsi yang setara dalam hal saling menyayangi dan menyalurkan rasa.

Sekyung jelas sangat mengkhawatirkan Yiheon hingga dia bisa bertindak jauh seperti kemarin, tidak terima saat orang yang disayanginya diperlakukan seperti itu. Namun, sayang Yiheon juga sama besar. Untuk Sekyung, ia tidak akan pernah mau membuatnya terlibat dalam hal yang membahayakan dirinya sendiri walaupun itu menyangkut dirinya.

“Abang...” panggil Yiheon, suaranya sedikit teredam karena wajahnya bersembunyi di bahu Sekyung. Menghirup wangi familiar yang selalu menenangkan baginya. Betag banget.

“Kenapa?”

Ia menggeleng tidak mau saat Sekyung bertanya dan akan melepaskan pelukan mereka, “Lima menit lagi....” pintanya sedikit merajuk sambil mengeratkan pelukannya, “...soalnya aku masih mau disayang.”

Dipukpuk, diusap-usap, dipeluk erat tapi tidak sesak justru terasa begitu nyaman dan membawa tenang.

Dengan Sekyung seperti ini, Yiheon menyukainya.

“Kamu setiap waktu juga disayang sama abang, Yiheon.”

Sekyung hanya menurut, senang banget Yiheon nya sudah kembali manja daripada dingin seperti kemarin. Ada kekehan ringan yang terdengar darinya sambil menepuk-nepuk pelan punggung tegap Yiheon, “Kayaknya yang lebih kangen itu kamu.”

“Enggak. Abang lah, lebay juga kemarin katanya galau sampai lemes kaya orang tipes! Apasih segitunya segala aku jadi kepikiran kan.”

Nada Yiheon terdengar menyindir, saat Sungchan berkata seperti itu ia tentu tidak percaya namun saat melihat cuitan kedua teman Sekyung di twitter ia malah mendengus, pantes saja disebut bulol sama Bomin.

“Iya abang kan sedih, sikap kamu kayak gitu gak biasanya. Abang juga baru tahu kalau kamu lagi beneran marah bisa parah banget cuek nya.”

Sekyung tidak membantah, dia malah dengan jujur mengakuinya tanpa gengsi sedikit pun dan membuat Yiheon tertegun sebentar saat mendengarnya.

Ternyata ada ya orang yang begitu perduli karena sikapnya, begitu dipengarhui oleh dirinya karena mungkin arti Yiheon yang begitu besar untuk Sekyung?

Berpikir seperti itu membuat Yiheon gusar dan kembali merasa keterlaluan, “Iya maaf, abang...” balasnya pelan semakin ndusel dan membuat Sekyung kembali dilanda kegemasan sambil mengecup bahunya berkali-kali.

Lalu tidak lama tubuh Yiheon berjengit saat Sekyung berusaha mencairkan suasana diantara mereka, dia sadar Yiheon yang tampak kembali diam. Dengan seluruh keisengannya dia mencolek pinggang Yiheon dan semakin terasa geli ketika tangan jahil itu bergerak acak di sekitar pinggang dan punggungnya.

“Diem abang atau aku tabok.”

Tentu saja Choi Sekyung tidak mendengarkan, dia tertawa dengan suara dalam saat Yiheon sudah berkata ampun dan menjauhkan tubuhnya. Pelukannya sudah terlepas karena ia beringsut duduk mendekat ke pintu.

Yiheon akhirnya ikut tertawa, suaranya lepas terdengar tanpa beban hingga sudut matanya menyipit, tangan bergerak sibuk berkali-kali menepis tangan Sekyung yang akan memegang pinggangnya dengan kilat jahil di kedua matanya.

Mereka masih di parkiran fakultas Yiheon, dengan mesin mobil yang belum dinyalakan. Tidak perduli saat untungnya dari luar tidak akan terlihat apa-apa karena kaca mobil Sekyung yang gelap.

Terlihat kontras dengan tempo hari saat sama-sama berada di sebuah parkiran. Satu hari itu penuh dengan tangis emosi yang mengambil alih saat di hari lainnya penuh tawa yang terdengar begitu menyenangkan.

“Udahan, capek! Apasih geli tahu.” Yiheon merenggut dengan bibir yang mencebik ke bawah, gemes banget minta dicium ya?

Matanya menatap Sekyung sambil melotot memberi peringatan lalu tangannya bersiap-siap untuk menepis tangan pacarnya itu yang sudah terangkat. Pasti mau menggelitikinya lagi. Jujur saja Sekyung baru tahu kalau toleransi geli Yiheon itu cetek banget.

Padahal bibirnya sudah siap mengomel pada Sekyung kalau dia melakukan hal seperti tadi lagi, tapi Yiheon harus merapatkannya kembali saat tahu-tahu Sekyung sudah menangkup wajahnya.

Maka ketika tebakannya salah, Yiheon hanya terdiam, tidak ada keinginan untuk protes kali ini. Kedua netranya justru sibuk membalas tatapan Sekyung yang tidak berkata lewat ucapan.

Cuma ditatap, tapi Yiheon menyerah karena perlahan senyumnya terlihat begitu manis dengan lesung pipi yang kembali dipamerkan untuk yang paling menyukainya, siapa lagi kalau bukan si abang kesayangannya.

Malu sekaligus salah tingkah.

Lalu ia terkekeh kecil saat Sekyung mendekat dan mengusakan hidung mancungnya itu padanya. Mencium kedua pipinya, mengecup cepat bibirnya, mencium sewajah-wajah dengan gemas karena ia kini tidak berhenti tertawa.

Tawa senang yang sudah menggantikan tangis menyesakannya kemarin.

Sekyung memang yang telah membuatnya menangis, tapi Sekyung juga yang bisa mengobatinya. Sekyung yang bisa kembali membuatnya merasakan debar dari rasa yang dinamakan dicintai dan disayangi begitu dalam.

“Yiheon sayangku yang paling indah dan gemas...” katanya membuat perlahan semburat merah hadir di kedua pipi Yiheon, netra Sekyung itu terlihat berbinar dari dekat, dari jarak yang jelas cukup untuk melihat setiap inchi wajah sang kekasih tanpa terlewat sedikit pun, “...juga paling cantik.” lanjutnya sambil mengusap lembut lesung pipi dalam kesukaannya itu yang akan selalu dia kagumi dan puji setiap saat.

“Abang...” bisik Yiheon sebelum Sekyung kembali menarik jauh wajahnya. Ia kemudian mengecup pipi kiri Sekyung tanpa ragu, “Makasih ya buat semuanya...” dan berkata pelan sambil melepaskannya.

Kemudian lagi-lagi Sekyung disuguhi sebuah senyum yang mampu membuatnya hatinya meleleh, menyerah tidak mampu kalau senyum itu harus ditarik darinya.

Senyum Yiheon yang paling indah.

Senyum Yiheon yang paling manis.

Senyum Yiheon yang paling cantik.

“Sama-sama, sayangku kekasihku, Song Yiheon.”

Dan Yiheon akan selalu merasakan sensasi yang sama ketika ia mendengar kalimat tersebut, hatinya penuh dan menghangat.

Berjuta kali merasa beruntung saat seorang Choi Sekyung mencintainya begitu besar.

“Jadi, mau kemana nggak mungkin langsung pulang kan?”

Sekyung bertanya saat kini mulai membenarkan posisi duduknya di balik kemudi dan menyalakan mobilnya. Dia menunggu respon Yiheon yang sedang memasang seatbeltnya dan terlihat mengetik sesuatu di layar ponsel.

Pacarnya itu kemudian menatapnya dengan wajah cerah sambil menujukan ponselnya pada Sekyung, sebuah rute jalan di dalam maps.

“Mau ke sini dulu, aku dikasih tahu Kak Namra kalau makanannya enak terus banyak pilihan dessert nya. Beda arah sama ke rumah sih, tapi enggak terlalu jauh kok. Boleh nggak, bang?”

“Boleh, sayang. Kemana pun boleh.” jawab Sekyung membuat Yiheon mengangguk senang saat mobil Sekyung mulai berjalan meninggalkan parkiran.

“Pacaran dulu abis itu baru pulang ya!” katanya lagi mulai bawel mengisi hening di mobil Sekyung.

Berbeda sekali dengan saat terakhir kali ia ada di sini, ketika Sekyung mengantarkannya pulang saat menangis. Sepanjang jalan itu terasa penuh sesak baginya karena Yiheon mendiamkannya dengan tidak berkata apa pun bahkan sampai Sekyung hanya bisa melihat punggungnya yang menghilang di balik pintu gerbang rumahnya.

“Iya, cintaku. Aku culik kamu sekalian kalau bisa.”

Sembarangan kalau ngomong, ia mendengus sambil menepuk paha Sekyung saat mobil mereka baru saja melewati gerbang kampus dan Sekyung hanya tertawa kecil membiarkan pahanya menjadi korban.

Bertepatan dengan jam pulang kantor tentu saja membuat jalanan sedikit macet bahkan sejak mobil mereka tidak jauh baru keluar dari kampus membuat Sekyung menjalankan lajunya dengan pelan.

Dia melirik Yiheon yang sedang menatap ke luar jendela, tampak anteng melihat kesibukan di luar sana sambil mendengarkan lagu dari radio yang diputar olehnya sendiri tadi.

Tangannya dilepas dari kemudi, lalu diusapnya pelan puncak kepala Yiheon hingga anaknya menoleh tersenyum padanya.

Satu alis Yiheon itu naik tanpa bisa dicegah saat tangan Sekyung langsung menggenggamnya dengan erat, menautkan jari mereka berdua untuk saling mengisi ruang kosong di setiap selanya tanpa berkata apa pun.

“Apanih mau nyebrang sampai pegangan gini?” Yiheon bertanya sambil nyengir menampilkan dereta giginya yang rapi, tapi toh ia tidak berusaha melepaskannya. Sekyung bahkan bisa meraskan kalau Yiheon membalas genggamannya dengan nyaman.

Ditanggapinya candaan Yiheon tersebut dengan tawa kecil sambil mengangkat bahu, Sekyung menjawab kemudian menciumi punggung tangannya, “Enggak, mau pegangan aja sama kesayangan aku.”

Tobat Choi Sekyung! jantung Yiheon sudah jumpalitan saat ini, ia hanya bisa pasrah saat tangannya tidak dilepas dan malah ditaruh di atas paha Sekyung.

Seakan dipegangin takut hilang dan takut menjauh lagi.

“Oh iya, nanti sekalian kita beli kado dulu ya buat adek. Abang masih belum beli.” ajakannya itu membuat kening Yiheon berkerut lalu bertanya tidak yakin, “Abang mau kasih kado?”

“Iya dong, sayang.”

Dia menjawab sambil meliriknya, ada senyum simpul di wajah tampannya yang tampak percaya diri.

Sebetulnya Sekyung memang sudah berniat membeli kado untuk Woonjin sejak tahu kalau adik pacaranya itu akan berulang tahun, namun memang masih bingung dan belum sempat. Apalagi sejak kejadian kemarin bagaimana Woonjin banyak membantunya bicara dengan Yiheon membuat Sekyung tidak segan untuk menyenangkan anak remaja itu dengan hadiah kesukaannya.

“Aku kan kakak ipar yang baik buat adek.”

Dan Yiheon berhasil tersedak ludahnya sendiri mendengar ucapan Sekyung, sialan! asbun banget sih.

“Apasih jauh banget bahasannya.”

“Loh, kamu juga sudah manggil orang tua abang camer tuh. Masa abang nggak boleh manggil adek ipar.”

Sanggah Sekyung cepat dan alis naik turunnya itu yang memasang wajah jahil menggodanya membuat Yiheon mau kabur saat ini juga. Iya bener sih, ia dengan terang-terangan saat itu bilang di akunnya sendiri. Walaupun Sekyung juga yang sebetulnya lebih dulu asbun waktu bilang mau daftar jadi calon mantu Bunda.

“Hari Jumat kan kalau enggak salah? Nanti kamu bawa pulang aja langsung, jadi abang titip ke kamu buat kasihkan ke adek.”

Namun, Yiheon menggeleng pelan, dia mengeratakan pegangan tangan mereka membuat Sekyung menatapnya tidak mengerti, tidak mau dititipin kado?

“Abang kasih aja langsung. Biasanya Bunda bikin acara kecil-kecilan. Bahkan tahun lalu juga Sungchan ikut ngeramein di rumah tuh.”

Ada senyum kecil saat ia mengingat bagaimana Sungchan yang sedang mengantarkan sepatu futsal ke rumah malah berujung ikut makan dengan keluarga Yiheon dan merayakan ulang tahun adiknya karena dilarang pulang sama Bunda.

“Abang takut ganggu deh, gak enak, sayang. Itu kan acara keluarga kamu.”

Sekyung menatap Yiheon, bukan berarti dia menolak karena tidak mau. Sekyung hanya sadar diri saja karena moment seperti itu tidak setiap hari dan dia jelas bukan bagian dari keluarga Yiheon walaupun status mereka sudah jelas berpacaran.

“Ih kayaknya kalau aku yang ngomong abang gak percaya gitu. Nanti aku suruh Bunda yang ngomong langsung deh. Awas kalau Bunda yang bilang kamu gak bisa nolak loh harus datang.”

Dia hanya bisa tertawa mendengar suara Yiheon yang merajuk padanya dengan sedikit mengancam. Hingga akhirnya memutuskan untuk mengiyakan ucapan pacar bawelnya ini dan membuat satu senyum cerah Yiheon terlihat begitu jelas hingga ke matanya yang menyipit.

“Yiheon, kalau nanti kita jodoh kayaknya abang bakal seneng banget deh.”

Yiheon yang sedang mengecek arah jalan di ponselnya terdiam sebentar untuk mencerna apa yang diucapkan Sekyung secara tiba-tiba itu. Dia tidak terlihat bercanda, pandangannya sedikit menerawang seperti mungkin sedang membayangkan hubungan mereka beberapa tahun ke depan.

Tiba-tiba banget kenapa sih.

Ia yang duduk di sampingnya hanya mengulas senyum tipis, tentang masa depan yang jauh itu memang belum ada yang tahu pasti, tapi Yiheon juga tentu saja berharap sama karena ia pun tidak tahu akan bagaimana dirinya tanpa Choi Sekyung.

Yiheon memilih menyimpan ponselnya kembali di saku celana. Lalu tangan yang memang sudah bebas tidak digenggam oleh Sekyung itu kembali menyentuhnya, membawa tangan kiri Sekyung untuk digenggam dan ditaruh di atas pahanya. Dilingkupi dengan hangat oleh kedua telapak tangannya dan ditepuk-tepuk pelan sambil terlihat berpikir.

“Abang, kalau kita gak jodoh izinin aku gebuk jodoh kamu terus nanti aku rebut kamu lagi sampai dapat, ya?” tanyanya berhasil membuat Sekyung tergelak, barbar banget pikirannya.

Dia berhasil mencuri kecupan di pipinya dengan cepat sebelum kembali fokus dengan jalan di depannya, “Mendingan kita kawin lari mau gak?” tanyanya dengan sisa tawa yang masih ada.

“Ogah deh capek!” tolak Yiheon dengan pandangan bergidik membuat Sekyung mendengus, “Iya gak literally sambil lari-larian juga maksudnya, Yiheonku sayang.”

Tidak bisa menahannya Yiheon langsung tertawa mendengar nada jengkel yang keluar dari Sekyung itu, lama-lama dia bisa ketularan dan kesabarannya menjadi setipis tisu dibagi tujuh seperti Yiheon kalau begini terus.

“Abang... kalau kawin kontrak aja, mau gak kamu?”

“Kalau kontraknya seumur hidup sih gapapa.”

Sepertinya keasbunan ini akan berlajut karena Yiheon kali ini mengangguk-ngangguk serius, tangannya menopang dagunya lalu menatap lekat pada Sekyung yang masih sibuk menyetir.

“Kalau abang nanti udah jadi kakek-kakek dan masih ganteng kayak gini sih aku juga mau deh.”

“Iya masih lah, Yiheon. Kamu liat aja Papaku masih ganteng kan.”

“Tapi itu om-om, bukan kakek-kakek!!”

Sekyung menyukainya, tentang Yiheon dan segala ocehannya yang Sekyung rindukan, yang kemudian akan membuatnya tertawa lepas sekaligus gemas karena tingkahnya.

Maka, saat Yiheon bersikap dingin padanya seperti kemarin, dia jelas merasa sedih, tawanya seperti ditarik paksa dan merasa kosong.

Marahnya Yiheon jelas membuat dia merutukin dirinya lebih banyak, apalagi saat melihat tangis kencang Yiheon dan itu justru karena dirinya.

Jangan lagi, kesalahannya hari itu yang membuat Yiheon menangis adalah hal yang sangat disesalinya sampai sekarang. Cukup satu kali dan Sekyung tidak mau dihantui sesal semakin banyak.

Choi Sekyung menarik kembali kedua sudut bibirnya membentuk lengkung indah. Dia menatap punggung yang kini berjalan di depannya dengan semangat menuju pintu cafe yang berada di samping tempat parkir, hingga punggung tegap di balik sweater berwana khaki itu perlahan berbalik dan kedua iris mata mereka bertemu.

Senyumnya terlihat mengembang begitu manis dengan lesung pipinya yang demi Tuhan membuat Sekyung sudah jatuh cinta berkali-kali pada Yiheon.

Kemudian tangannya terulur tidak sabar padanya, “Abang jalannya cepetan dong!” katanya dengan geregetan.

Sekyung hanya mengangguk sambil melebarkan langkahnya kemudian merangkul pundaknya serta menyempatkan untuk mengusak lembut puncak kepalanya, “Iya Yiheon bawel, gak sabar lapar banget ya kamu?”

“Laperrrrr banget belum makan dari SD.” Yiheon menjawab asal-asalan sambil mendelik tajam saat rambutnya jadi berantakan karena ulah tangan jahil pacarnya itu, “Tanggung jawab! benerin.”

“Iya, stop lucu atau abang culik kamu.”

Dan dia bisa langsung meraskan perutnya yang disikut oleh Yiheon sambil anak itu memeletkan lidah padanya, masih aja kdrt.

“Nanti abang yang rugi, aku jajan terus! Kan harus dikasih makan kalau nyulik anak orang.” ia berkata seakan itu adalah hal paling serius yang harus dipikirkan matang-matang oleh Sekyung.

Yang begini nih mana bisa Sekyung dibikin jauh-jauh, maunya dikekepin seharian kalau bisa, “Gapapa, uang abang ada banyak kalau buat kamu.”

“Yaudah boleh deh kalau gitu, culik aja aku bang, culikkkk yang jauh.”

Baru saja selesai bicara, Yiheon langsung melotot saat Sekyung kembali mencuri kecupan di pipinya karena terlalu gemas mendengar balasannya.

“Ya Tuhan, kenapa lucu banget sih pacar aku.”

Sebentar! Kalau masih di dalam mobil sih oke gapapa. Tapi, ini kan lagi di luar dan untungnya cafe terlihat masih kosong hingga tidak akan ada yang melihat mereka dari dalam.

“Bang Sekyung anjir minimal tahu tempat!” serunya kesal sekaligus malu menatap galak pada Sekyung yang terlihat santai sekali sambil tertawa-tawa melihat reaksi hebohnya, bahkan tangan Yiheon itu sudah menepuk-nepuk keras lengannya hingga ia mengaduh, “Kalau ada yang liat gimana coba, abang. Kamu tuh ya!” lanjutnya sambil mendengus dan sibuk melirik ke sekitar mereka.

“Iya gapapa, mau aku pamerin sekalian karena punya pacar semanis Yiheon. Bisa aku cium pipinya sepuasnya.”

Tolong! kalau begini Yiheon mending kabur atau meleleh di tempat saja? Karena pacar gantengnya itu berkata sambil menatapnya sungguh-sungguh dan Yiheon tahu Sekyung bisa melakukannya dengan mudah.

“Tahu deh, ngeselin lu.”

“Iya, love you too.”

“Dih, gak nyambung!”

Sekyung tertawa melihat punggung Yiheon yang sudah ngibrit masuk ke dalam cafe, membuka terburu-buru pintu kaca sehingga menimbulkan bunyi dari lonceng kecil yang ada di atasnya.

Lalu dengan jelas dia bisa melihat Yiheon yang menangkup pipinya sendiri, sedikit merah dan terasa hangat di cuaca yang kembali mendung.

Semuanya karena ulah Sekyung, juga karena mereka hari ini bertemu dan sudah berbaikan.