sekyung x yiheon au

Song Yiheon mendesah lesu saat melihat Namra dan juga Lomon keluar dari pandangannya, bahkan ia sempat melihat Lomon yang memeletkan lidahnya sebelum menutup pintu tanda meledek karena ia tidak bisa ikut yang langsung membuatnya mendengus kecil, ngeselin anjir.

Keduanya meninggalkan ruang tengah yang tampak lengang untuk Yiheon yang sedang berdiri sendirian di dekat sofa.

Yiheon menghela napas panjang, andai saja bisa ikut bersama kedua seniornya itu mungkin akan seru, setidaknya tidak akan terjebak di sini berdua dengan Choi Sekyung.

Dilirknya pintu kaca geser di samping kiri yang menghubungkan ruangan dengan halaman belakang resort yang kalau kita berjalan sebentar akan mendapati kolam renang yang cukup besar.

Di balik kaca sana Yiheon bisa melihat jelas presensi dari seorang Choi Sekyung yang sedang mengangkat telepon, entah sedang berbicara dengan siapa karena raut wajahnya terlihat lebih serius. Tidak ingin bertanya juga karena Yiheon tahu itu bukan ranahnya. Saat Lomon berpamitan pun, Sekyung hanya mengangkat tangannya sambil mengangguk pelan memberi izin pada kunci mobilnya yang dipegang oleh temannya itu seakan berkata, iya udah pake aja sana.

Yiheon mengedikan bahunya, sudahlah mau bagaimana lagi, berdua dengan Choi Sekyung juga tidak seburuk itu, mungkin malah menyenangkan—minus kalau kelakuannya seperti tadi yang suka tanpa aba-aba membuatnya senam jantung.

Jarum jam di pergelangan tangannya baru menunjukan pukul delapan lewat dua puluh enam menit. Sebetulnya Yiheon belum mengantuk, tapi tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya. Gabut banget. Minta saran pada temannya juga percuma tidak ada yang benar, ngaco semua.

Langkahnya mengarah ke arah kamar, dibukannya pintu berwarna coklat kayu itu dengan pelan. Ia melirik jendela kaca yang berada di sebelah kanan ruangan, berjalan ke sana Yiheon lalu menutup gorden berwarna gading itu dengan satu tarikan saja, lupa belum ditutup saat tadi mereka pergi setelah mandi.

Kamar yang di dominasi warna putih itu terlihat nyaman dengan sentuhan warna coklat yang bisa memberi kesan tenang dan hangat bagi penghuninya setelah seharian beraktivitas atau sekedar menikmati keindahan pantai di hari liburan mereka.

Begitupun bagi Yiheon yang memilih menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk itu. Ia butuh meluruskan tubuhnya. Ternyata ada untungnya juga tidak ikut Namra, toh dirinya merasa sedikit lelah seharian ini apalagi setelah nyebur dan bermain air tadi.

Tempat tidur berukuran cukup besar itu di kuasai Yiheon yang kali ini sedang tengkurap melintang dari sisi kiri ke kanan. Ia mengganjal dadanya menggunakan bantal sambil sibuk berkirim pesan di grup bersama Asa dan Sungchan, sesekali akan tertawa atau mendengus sebal saat membaca chat kedua temannya.

Melupakan Choi Sekyung yang satu detik kemudan menyembulkan kepalanya di balik pintu kamar yang dibuka, “Yiheon, gue keluar sebentar ya. Gapapa sendirian kan?” tanyanya langsung.

“Mau kemana?”

“Ke depan. Beli kopi.”

Yiheon hanya membulatkan mulutnya, pandanganya mengekori Sekyung yang melangkah memasuki kamar mereka dan tampak mencari sesuatu di atas meja yang berada tepat di samping lemari pakaian, menggeserkan topi serta barang-barang yang berada di sana.

Seakan tahu apa yang dicari seniornya itu, Yiheon hanya bisa berdecak pelan, “Nyari ini kan, bang?” katanya menyela kegiatan Sekyung tersebut, pemuda itu lantas berbalik menatap Yiheon yang kali ini sudah duduk dan memeluk bantal. Di tangannya ada dompet hitam yang dia cari-cari.

“Ada di meja nakas tuh.” jelas Yiheon sambil menujuk meja kecil yang terdapat lampu tidur di atasnya.

Sekyung meringis kecil, rupanya tadi dia simpan di situ saat pulang dari luar. “Lupa gue.” katanya sambil mengambil dompet miliknya dari tangan Yiheon, “Thanks, ya!”

Satu yang Yiheon sadari kalau Sekyung itu terkadang sedikit teledor, bukan hanya dompet bahkan dia pernah sampai pusing mencari kunci mobilnya seharian di kampus yang ternyata tertinggal di ruang kelas. Sudah jelas manusia memang tidak ada yang sempurna, kan?

“Mau gue beliin apa?”

“Kopi!”

Kedua mata Sekyung menyipit takala mendengar jawaban semangat dari Yiheon, dilihatnya pemuda yang sedang menarik selimut berwarna putih—yang senada dengan seprai untuk menutupi kakinya itu dengan pandangan heran.

“Jangan nyari penyakit deh, Yiheon. Gak ada kopi-kopian.” tolak Sekyung.

Dia masih berdiri di depan tempat tidur, tubuhnya bersandar pada meja setinggi pinggangnya itu, menatap Yiheon yang memasang wajah malas setelah mendengar ucapanya.

“Apa dong, orang maunya kopi.”

Jangan tanya ada berapa stok sabar yang harus Choi Sekyung keluarkan saat menghadapi Yiheon. Dia hanya bisa menghembuskan napasnya tidak habis pikir, apa gak kapok ya ini anak tiap habis minum kopi selalu ngeluh tidak enak perut, jelas-jelas punya asam lambung. Masih aja bandel.

“Yaudah...” suara Yiheon terdengar mengambang, melihat Sekyung yang sudah jelas tidak bisa dibantah membuatnya menyerah, tidak mau ribut juga udah malem, “Bebas gimana Bang Sekyung.” lanjutnya pelan.

Ingat harus positive vibes! Tidak boleh ngegas. Tidak boleh bicara kasar.

Satu sudut bibir Sekyung ditarik cepat saat mendengarnya, gini kan enak kalau nurut, “Nanti gue beliin jajan deh sekalian, ya.” katanya sedikit merayu agar ia tidak ngambek.

“Jajan mulu, emang love language semua orang gitu kali hari ini.”

Yiheon yang sudah duduk sambil bersandar di kepala ranjang itu lengkap dengan selimut menutupi kaki hingga pinggang menaikan kedua alisnya saat Sekyung justru tertawa kecil, menatapnya dengan sorot jahil.

Sialan salah ngomong nih gue, siap-siap aja jantung amanin, batinnya ketar ketir.

Yang tadi saat melihat sunset aja masih jelas dalam ingatan Yiheon. Bagaimana Sekyung berbicara dengan gampangnya sambil menatap indahnya warna kemerahan dari matahari terbenam di depan mereka.

Lu juga sama gak bisa dijelasin.

Adalah kalimat sialan yang berhasil membuat Yiheon mendaratkan cap lima jari di punggung Sekyung.

Sekarang mau ditambah lagi? yang benar saja.

Apa yang ditakutkannya itu semakin jelas saat Choi Sekyung berjalan ke arah tempat tidur dengan pelan, dengan senyum yang mampus cakep tapi agak serem dikit sih, pikir Yiheon asbun.

“Apa sih gue gebuk lagi mau?”

Sekyung hanya mengangkat bahunya ringan, tampak tidak takut dengan ucapan Yiheon yang justru seperti cicitan anak ayam baginya.

Sudah dibilang kan dari awal kalau emosi Yiheon itu tidak ada harga dirinya di depan Choi Sekyung.

Saat ini ujung kaki Sekyung mentok di tempat tidur bagian sebelah kiri, tempat yang sudah di-tag oleh Yiheon sejak tadi siang mereka masuk kamar, “Gue mau di sini!” katanya yang hanya diiyakan oleh Sekyung tanpa banyak bicara.

Suara ombak jelas masih terdengar hingga ke dalam kamar karena dekatnya jarak resort mereka dengan pantai membuat diamnya kamar tanpa ada yang berbicara itu tidak terlalu hening.

“Padahal love language gue bukan cuma itu, loh.”

Bodoamat jir! Yiheon hanya mau Sekyung cepat keluar dari kamar ini. Beli kopi sana buruan! Hus hus, pikirnya berisik.

Baru seperti ini saja ia sudah tidak bisa berpikir jelas, apalagi kalau beliau itu sudah tidur di sampingnya nanti. Ditambah ucapan Lomon yang jelas-jelas cuma bercanda tapi bikin mikir seribu kali. Beneran gak bakal bisa tidur ini sih bener kata Sungchan tadi.

“Iya oke, udah sana. Beli kopi keburu malem.” usirnya sambil mendorong tubuh Sekyung agar menjauh dari tempat tidur, mencoba memasang senyum seramah mungkin, “Beliin gue apa aja bebas, air doang juga gapapa, bang.” lanjutnya semakin ngawur membuat yang lebih dewasa tampak semakin puas tertawa.

Namun, Sekyung belum beranjak sedikitpun, “Dengerin dulu, gue mau ngasih tau sesuatu.” katanya di sela sisa tawa yang sungguh membuat Yiheon pusing, ia perlu mendongak untuk menatap Sekyung yang berdehem sebentar. Tangan Yiheon masih berada di pinggang yang lebih dewasa itu, berusaha membuatnya menjauh dari sampingnya tanpa benar-benar mengeluarkan seluruh tenaga, bisa kejengkang kali tubuh Sekyung kalau diseriusin.

Enggak mau denger, takut. Takut dibercandain sekaligus takut kalau yang akan diucapkan Sekyung membuat dirinya semakin baper tidak karuan.

“Iya, besok aja dikasih taunya bang! Jangan sekar—”

“Apapun. Kalau itu ngebuat lu seneng bakal gue lakuin, Yiheon.” potong Sekyung.

Dia berkata dengan nada lembut lengkap dengan senyum tipis di kedua sudut bibirnya. Menatap lurus pada Yiheon yang hanya terdiam mendengarnya.

Tuhkan!

Hingga kemudian Song Yiheon mengerjap seakan baru ditarik kembali kesadarannya saat telapak tangan milik Sekyung menyentuh puncak kepalanya, mengusak pelan rambutnya tanpa ragu.

Oke, napas dulu biar gak mati.

Yiheon tahu jelas rasanya di pat-pat oleh Choi Sekyung karena itu sudah sering terjadi, tapi kali ini rasanya ia lemes banget, efek mode klemar klemer era sejak tadi siang yang sudah mendera dirinya.

Tidak tahu secepat apa ia bertindak, yang jelas Yiheon bisa mendengar jelas tawa Sekyung lagi saat ia sudah menutup tubuh dengan selimut sampai ujung kepala.

Bego, nyebur ke laut aja lu sekarang, Song Yiheon.

“Ngapain sih, astaga!” ujar Sekyung menatap Yiheon yang sudah tidak terlihat, full menggulung tubuhnya sendiri dengan selimut putih seperti kepompong. Dia yang masih berdiri di samping tempat tidur mencoba menarik selimut itu, namun tenaga samson milik Yiheon susah dilawan.

“Lepasin jir, udah keluar sana, Bang Sekyung tukang asbun!” katanya dengan suara teredam dari dalam.

GUE MALU ANJIR

Sekyung hanya menggeleng pelan melihat Yiheon yang belum ada niatan keluar dari selimut saat dia melangkah keluar kamar, “Yaudah, gue keluar sekarang. Jangan tidur dulu, nanti bareng aja, ya.” ujarnya sebelum benar-benar menutup pintu.

Dan gerutuan Yiheon langsung terdengar memenuhi kamar bahkan saat dia sudah di ruang tengah, lengkap dengan sumpah serapahnya. Ngamuk beneran yang justru malah membuat Sekyung bersiul senang melirik pintu kamar yang tertutup itu.

Yiheon, Yiheon, lucu begini kok bisa bisanya jadi tukang gelut.


Tepat dua puluh empat menit kemudian Choi Sekyung membuka pintu kamar resort tempat mereka menginap dengan kedua tangan yang tampak penuh membawa makanan, serta tangan kanannya menggengam satu cup es kopi yang sudah dia minum sambil jalan. Agak lama dia pergi karena antrian di cafe sekitar tempat mereka menginap lumayan ramai, maklum saja malam minggu di tempat wisata jelas akan banyak orang yang berlibur seperti halnya dirinya sendiri.

Diletakannya apa yang dia bawa di meja ruang tengah, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang begitu sepi tidak ada tanda-tanda Song Yiheon karena jelas Namra dan juga Lomon belum pulang.

Tungkainya melangkah ke arah kamar di samping meja kayu yang terdapat vas bunga berisi bunga kering untuk mempercantik ruangan yang menurutnya tampak manis.

Pintu kamar itu dibuka dengan perlahan dan dia langsung mendapati punggung Yiheon dibalik kaus putih pendeknya yang sedang tiduran membelakangi pintu menghadap ke arah jendela.

Tidak langsung mengeluarkan suara, Sekyung justru melangkah dengan hati-hati tanpa menutup pintu di belakangnya. Takut Yiheon sudah tidur, soalnya anteng banget dilihat dari belakang.

Semakin Sekyung mendekat ke arah tempat tidur, dia bisa melihat Yiheon yang benar-benar memejamkan matanya.

Tidur beneran jam segini? Ya ampun! Anak bunda ini padahal belum jam sepuluh.

Ponsel Yiheon yang ada di atas kasur masih menyala menampilkan salah satu platform musik serta earphone yang memang masih terpasang di telinganya.

Oh ketiduran kayaknya.

Choi Sekyung mengulas senyum tanpa bisa ditahan saat perlahan dia melepas earphone di telinga Yiheon yang jelas masih mengeluarkan suara musik yang diputar. Tidak lupa dia juga membetulkan selimut yang menutupi tubuh Yiheon hingga sebatas pundak.

Suara deburan ombak yang terdengar samar masuk ke dalam kamar seperti lullaby menenangkan bagi Sekyung yang saat ini sudah duduk di sisi lain tempat tidur. Tubuhnya menyandar di kepala ranjang, menatap Yiheon yang seperti sedang asik bermimpi.

Kalau tadi Yiheon sempat berpikir dia akan susah tidur, rasanya itu tidak akan terjadi, lucu sekali karena justru sebaliknya di sini Choi Sekyung lah yang masih terjaga.

Perlahan Sekyung menurunkan tubuhnya untuk ikut berbaring setelah mematikan lampu utama dan menghidupkan lampu tidur di atas meja sampingnya. Tubuhnya menyamping ke arah kiri, mengganjal kepalanya sendiri menggunakan tangan yang dilipat di atas bantal. Mensejajarkan pandangannya dengan Yiheon yang tampak nyaman tidur memeluk bantal.

“Sayang...” bisiknya terlampau pelan, mengucap tanpa ragu, memanggil dengan paling serius.

Tangan kanannya terangkat pelan, di sentuhnya anak rambut Yiheon yang menutupi kening dengan jari telunjuknya, sangat hati-hati takut Yiheon nya bangun, takut Yiheon nya tidak nyaman.

Senyum itu, senyum lembut dari seorang Choi Sekyung tampak jelas lagi terlihat di paras tampannya walaupun sang lawan bicara tentu saja tidak akan melihatnya namun Sekyung seakan tidak perduli.

Sekyung belum mengantuk, masih cukup jauh jam tidurnya untuk datang. Dia hanya mau menatap setiap inchi wajah Yiheon yang ada di depannya, menyentuh seringan kapas dan sehalus mungkin. Ada alis tebal milik Yiheon, menulusuri tulang hidungnya yang tinggi, garis tegas wajahnya yang akan kontras sekali bila ia tersenyum lebar. Tapi, ada sedikit kecewa saat dia tidak bisa menyetuh pipi kanan Yiheon karena terhalang bantal, tempat lesung pipi paling cantik yang dia tahu.

Di tepuk-tepuk dengan pelan pundak Yiheon dibalik selimut putihnya itu berulang kali tanpa sekalipun kedua netra Sekyung melepaskan tatapannya.

“Buat kamu.. abang harus ngapain ya, Yiheon.. “

Hingga entah di tepukan yang keberapa Yiheon tampak bergerak dari tidurnya, membuka mata sayunya secara perlahan dan menemukan Choi Sekyung yang menatapnya dengan pandangan paling hangat.

Di tengah suasana kamar yang temaram, suara sayup ombak yang masuk ke telinganya, ada Choi Sekyung yang mengambil seluruh atensinya itu berbicara pelan nyaris berbisik padanya dengan suara dalam, “Tidur lagi, Yiheon.” ujarnya seperti perintah tanpa menghentikan tepukan di pundaknya.

Butuh hingga beberapa detik bagi Yiheon untuk sadar saat pandangan mereka hanya terpusat satu sama lain.

Pemuda itu cepat-cepat meluruskan tubuhnya, membuat tangan Sekyung di pundaknya terlepas hingga akhirnya ditarik kembali. Ia menatap lurus pada langit-langit kamar tanpa berucap apapun. Masih mencerna apa yang terjadi.

Yiheon tidak tahu apa yang terjadi saat ini, yang ia ingat dirinya tadi mendengarkan musik saat menunggu Sekyung pergi keluar. Mungkin karena kelelahan akhirnya tertidur tanpa sengaja.

Lalu, Choi Sekyung ada di sampingnya dalam jarak yang deket banget, belum tidur dan menatapnya seperti itu. Menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut agar ia tidur nyenyak.

Mimpi gak sih? Aneh banget rasanya pasti mimpi kan!

Soalnya Yiheon sering linglung kalau bangun tidur, nyawanya masih setengah seperti sekarang ini. Ia menolehkan wajahnya ke arah kanan, menatap Sekyung yang masih mempertahankan posisinya.

“Bang.. lu setan atau Choi Sekyung beneran?” tanyanya bodoh dengan suara serak khas bangun tidur.

Song Yiheon! Sungguh pertanyaan yang sangat merusak suasana.

Tahu apa yang dilakukan Sekyung ketika mendapat pertanyaan seperti itu? Dia sepertinya harus mengeluarkan lagi stok sabarnya.

Hidung mancung Yiheon jadi sasaran empuk, dipencetnya hingga ia mengaduh kencang.

“Sakit abangggg!!!”

Sekyung menggeleng tidak perduli, “Makan dulu deh biar kamu bisa mikir.” ucapnya lalu bangun dari tempat tidur, berjalan keluar setelah menyalakan lampu kamar lagi.

Meninggalkan Yiheon yang sibuk memegang hidungnya, sakit banget anjir.

“Buruan sini kalau gak mau tidur lagi. Gue beli pizza!” beritahu Sekyung lumayan kencang dari ruang tengah.

Yiheon mengusap wajahnya, mengambil napas sebanyak mungkin lalu dikeluarkan secara kasar. Ia bangun dari tidurnya lalu kedua tangannya menyentuh dadanya yang sumpah demi Tuhan cepet banget ini jantungnya. Santai aja bisa nggak.

Diambilnya ponsel di dekat bantalnya dan ia hanya tersenyum pasrah, masih jam sepuluh kurang lima menit.

Yiheon hanya bisa menjatuhkan wajahnya ke atas bantal dan mengerang kesal, menendang-nendang selimut dengan heboh. “Bego banget. Lu ngapain sih Yiheon.”

Baru jam segini dan waktu masih panjang. Terus bagaimana nasibnya menghadapi sisa malam ini bersama Choi Sekyung!

“Song Yiheon...” panggilan Sekyung dari luar membuat Yiheon semakin frustasi, mau kabur juga gak bisa.

“Harusnya gue tadi langsung tidur lagi aja gak usah bangun!”