sekyung x yiheon  — local au

Your eyes stole all my words away

Ares mendengus kecil, bibir tebalnya terlihat mengucap gerutuan yang tiada henti, gerutuan-gerutuan tersebut ia tujukan pada temannya yang baru saja mengirimi pesan dengan banyak sekali buble chat lengkap dengan voice note penuh nada memohon.

“Please, Res. Nggak jauh kok dari kampus kita dulu, cari aja sekitar situ gue tahu ada tokonya sekalian lo lewat. Gue beneran gak keburu kalau beli sendiri ini baru mau masuk tol belum lagi kalau macet.”

Seharusnya Ares bersikap bodoamat saja karena itu artinya ia harus rela putar balik saat kampus mereka sudah terlewati sekitar sepuluh menit lalu, kalau saja pesan masuk tersebut ia dapatkan saat belum berangkat dari apartemennya, pasti Ares juga tidak akan terlalu ribut.

“Jangan sampai temen lo ini jadi bujang lapuk diputusin gara-gara gak bawa bunga buat anniversary, bantuin gue ya, Ares.”

“Yang pacaran siapa, yang riweuh siapa. Bukan sekali dua kali nih gue mulu yang kena gara-gara tuh anak.”

Namun, yang bernama Samudra itu adalah sahabatnya sejak di bangku kuliah, teman yang baik buruknya sudah saling tahu, teman yang lebih sering ribut daripada akur tapi toh bisa betah hingga sekarang usia pertemanan mereka berada di tahun ke tujuh.

Dan tidak bisa dipungkiri juga oleh Ares bahwasanya ia sangat mengetahui bagaimana usaha-usaha Samudra saat kuliah dulu untuk mendapatkan pacarnya sekarang, Anindita si adik tingkat mereka yang dulu ditaksir Samudra sejak anak itu menjadi mahasiswa baru. Mengingat hal tersebut membuat Ares paham bagaimana sahabatnya itu begitu mencintai kekasihnya hingga hubungan mereka sudah berjalan tapat empat tahun.

“Tapi urusan ginian malah nyuruh gue, kalau Anin tahu pasti abis itu si Sam beli bunga sendiri aja gak bisa.”

Ares kembali berbicara, ia juga jelas mengenal baik Anindita sejak di bangku kuliah karena status pertemanannya dengan Samudra serta aksi pdkt-pdkt yang harus melibatkan dirinya hingga temannya itu akhirnya bisa berpacaran saat mereka berada di tingkat akhir.

Hujan turun lagi di langit Kota Bandung, suara guntur serta kilat sesekali terlihat terang menyambar-nyambar di udara. Sudah hampir dua minggu memasuki bulan November, intensitas hujan di kota ini semakin padat saja bahkan dalam satu hari cuaca bisa selang seling begitu drastis. Tadi saat berangkat, Ares hanya bisa melihat tetes-tetes kecil saja yang berjatuhan dan sekarang sudah jauh lebih lebat.

Mobil berwarna hitam milik Ares itu baru saja putar balik, membelah jalan yang terdapat banyak genangan air cukup tinggi membuat gelombang kecil ketika dilewati oleh mobilnya, dimana-mana banjir, keluhnya tanpa bisa ditahan.

Jam di pergelangan tangannya menjukkan pukul dua siang, hari ini adalah weekend, namun karena cuaca yang mendukung untuk tetap di rumah membuat jalanan tidak terlalu ramai, pasti kebanyakan orang memilih tidur siang sambil bergelung di bawah hangatnya selimut.

Tujuan Ares keluar di hari libur yang seharusnya ia habiskan untuk malas-malasan adalah memenuhi ajakan dari salah satu temannya saat kuliah dulu juga tentu saja teman Samudra, namanya Azka pemuda asal Malang yang kekeh mengajak mereka bertemu karena dia sedang berada di Bandung untuk suatu pekerjaan.

“Kapan lagi gue ke Bandung cok! Awas aja kalau gak bisa gue datengin lo berdua satu-satu.”

Begitu isi pesannya sejak kemarin, Azka adalah teman dekatnya selain Samudra. Mereka dulu satu kelas dan juga sama-sama satu tempat kost. Namun, karena pemuda itu kembali ke kotanya setelah kelulusan mereka tiga tahun lalu membuat ketiganya jarang bertemu.

Ares sendiri masih sering bulak-balik ke Jakarta minimal sebulan sekali untuk pulang ke rumah orang tuanya, pekerjaannya di Bandung membuatnya harus menetap di Kota Kembang ini meskipun studynya telah selesai.

Sedangkan Samudra adalah warga asli Bandung yang memang rumahnya cukup jauh dari kampus hingga membuatnya memilih tetap kost saat itu, yang ada gue gede di jalan kalau pulang pergi rumah ke kampus tiap hari, katanya.

Pandangan Ares yang terbatas karena hujan di luar masih belum juga berhenti namun untungnya tidak sederas tadi membuatnya harus fokus lebih ekstra ketika semakin mendekati daerah kampus untuk mencari toko bunga seperti permintaan sahabatnya itu.

Sebetulnya ia tidak literally sekalian lewat juga kalau ke arah sini seperti apa kata Samudra karena jelas-jelas arah apartemennya dengan kampus berbeda jalan walaupun tidak terlalu jauh itungannya.

Di beberapa titik banyak yang tidak familiar baginya, meskipun tempat tinggalnya sekarang masih di Bandung, tapi Ares jarang sekali lewat ke sini lagi. Perubahan selama tiga tahun cukup membuatnya mengerutkan kening sambil berpikir, dulu perasaan enggak gini deh.

Satu toko tidak terlalu besar tepat di samping kedai makanan berhasil Ares temukan, dari tulisan di kacanya sih Ares yakin itu toko bunga yang dimaksud oleh Samudra karena dari luar pun terlihat banyak bunga di balik kaca berwarna bening tersebut. Apalagi warna tokonya yang didominasi pastel tampak cantik juga manis tipikal kesukaan banyak perempuan yang pasti ingin mampir untuk masuk.

Sepatu putih bersih milik Ares itu harus menginjak tanah yang sedikit becek begitu ia turun dari mobil membuatnya merengut dan refleks mengucap sial, juga tidak ada payung di dalam mobilnya sehingga Ares harus rela kebasahan saat berjalan cepat memutari mobil menuju ke depan toko.

“The Daisy Den.”

Begitu tulisannya dari dekat yang bisa ia baca. Dari luar Ares bisa melihat papan di balik kaca yang menunjukan tanda open sehingga membuatnya bernapas lega, awas saja kalau ia sudah jauh-jauh kesini ternyata tokonya tutup, bakal ia pites tuh si Sam kalau nanti bertemu.

Pemuda yang baru genap berusia dua lima pada bulan lalu itu terlihat mengibas rambut serta kemeja lengan pendeknya yang sedikit basah, ia juga menggosokkan sepatunya pada keset tepat di depan pintu kaca yang ditutup sebelum tangannya memegang handle pintu dan mendorongnya untuk melangkah masuk.

Ini adalah pertama kalinya Ares memasuki toko bunga, sudah jelas harum sekali karena banyaknya bermacam bunga yang bisa ia lihat di sini. Tetapi, harumnya tidak terlalu mengganggu karena masih sopan untuk masuk ke hidungnya, suasana di dalam tampak cantik sesuai dengan kesan pertama yang Ares berikan untuk toko bunga ini.

Ngomong-ngomon, Ares sedikit celingukan saat tidak ada satu orang pun di sini. Ia melangkah semakin jauh masuk ke dalam hingga sampai di balik meja penuh bunga berserakan. Di belakang sana ada gorden berwarna krem seperti mengarah ke ruangan lain, mungkin yang menjaganya ada di sana.

Maka, Ares memanggil dengan sedikit keras agar terdengar ke dalam karena suara hujan sedikit membuat bising, namun nihil tidak ada yang menjawab sama sekali membuat keningnya berkerut bingung.

Ini tulisannya buka tapi gak ada orangnya, gimana sih.

Tidak mau dijadikan sasaran kalau ada apa-apa karena ia sendirian di toko orang lain—walaupun ada cctv. Ares memilih keluar lagi untuk menunggu di depan dan begitu ia membuka pintu, seorang pemuda terlihat berlarian ke arahnya tanpa menggunakan payung.

Kedua tangannya berusaha melindungi kepala dari hujan yang masih turun di langit Kota Bandung. Bisa Ares lihat dengan jelas bagian pundaknya sedikit basah dan menimbulkan warna berbeda dari sweater hijau sage yang sedang dikenakannya. Rambutnya dikibas cepat menggunakan tangan hingga tampak sedikit acak-acakan jatuh di dahinya begitu dia sampai di depan toko.

Ares bisa merasakan harumnya bunga entah dari yang mana terasa semakin menggelitik di hidungnya, menguarkan wangi yang menenangkan saat pemuda di depannya mendongak sehingga kedua iris coklat gelap yang terlihat hangat bersitatap dengan miliknya yang berwarna hitam legam.

Senyumnya tampak sungkan, menyapa dengan begitu lembut serta raut wajahnya sangat ramah menjamu kedua mata Ares yang terpaku menatapnya.

“Halo, Kak. Mau beli bunga ya? Maaf ya tadi saya keluar dulu nganterin pesanan jadi nggak ada yang jagain tokonya.”

Ares ingat, dulu ia pernah berkata konyol bahkan mengejek Samudra ketika pemuda itu bercerita kalau dia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Anindita saat mahasiswa baru itu sedang duduk di perpustakaan dan sibuk membaca buku dengan raut wajah serius.

Menurutnya yang seperti itu hanya ada dalam cerita fantasi karangan yang terkesan mengada-ngada karena mana mungkin jatuh cinta bisa semudah dan sesimple itu.

Bukan berarti selama dua puluh lima tahun ia hidup belum pernah merasakan cinta. Ares tentu pernah jatuh cinta dan menjalin hubungan walau hanya bertahan kurang dari satu tahun itu pun sudah lumayan lama berlalu saat ia masih bersatus mahasiswa di kampus yang berada tepat di dekat tempatnya sekarang.

Setelah kelulusannya hingga sekarang, rutinitasnya hanya berputar antara bekerja dan pulang, sesekali mungkin nongkrong dengan temannya tanpa adanya agenda cinta-cintaan, ia seperti sudah kenyang dengan kisah cinta kedua sahabatnya yang kerap kali bercerita dan meminta solusinya walaupun agak salah sasaran, minta solusi kok sama Ares yang gak punya pacar.

“Kak?”

Ares mengerjapkan matanya, kesadarannya kembali diambil alih saat tangan lentik pemuda itu melambai di depan wajahnya, “Kok malah ngelamun? Jadi beli bunga?” tanyanya lagi memastikan karena Ares masih berdiri di depan pintu dan menghalangi jalan.

“Oh.. iya, jadi.” jawabnya pelan.

Kalau Samudra dan Azka tahu pasti ia sudah menjadi bulan-bulanan mereka. Seorang Ares bisa-bisanya kikuk di depan orang yang bahkan baru ia temui belum ada sepuluh menit.

Pikirannya mendadak kosong untuk beberapa saat. Ada sensasi aneh yang ia rasakan ketika pandangan mereka bertemu untuk pertama kali, yang begini disebut jatuh cinta pada pandangan pertama nggak sih? Ares masih enggan untuk berkata iya namun debar di jantungnya yang meningkat tanpa aba-aba karena pemuda di depannya tidak bisa ia jelaskan mengapa.

Menarik, batinnya.

“Oke.. mari silahkan masuk lagi.” Ares hanya mengekor saat si florist membuka pintunya dan berjalan lebih dulu menuju ke balik meja yang tadi Ares lihat.

Jujur saya, ini di luar ekspektasi seorang Rajendra Ares Baskara saat yang akan merangkai bunga di toko bunga semanis ini adalah seorang laki-laki, tidak bermaksud apa-apa hanya saja ia kira penjualnya perempuan karena kebanyakan begitu, mungkin?

“Jadi, gimana kak? Mau bunga yang seperti apa?” Ares menatap pemuda yang jelas berada di bawah umurnya itu sambil tersenyum bingung, yang gimana ya? ia juga tidak tahu.

“Bebas deh, buat anniversary bagusnya gimana terserah kakak nya saja, saya ngikut. Yang paling bagus sama paling cantik.”

Ares hanya mengulang permintaan Samudra di chat, wajib bagus sama cantik, mahal gapapa buat Anin gue jabanin, begitu katanya.

Pemuda tersebut terlihat kembali tersenyum saat mendengar ucapan Ares, “Pacar kakak sukanya bunga apa? biar saya jadikan referensi.” tanyanya kemudian membuat Ares menggeleng dengan cepat.

“Bukan buat saya, cuma titipan teman.” Ares berkata sambil terkekeh kecil, ia juga tidak tahu Anindita suka bunga apa dan Samudra tidak memberi request apa pun yang lebih spesifik.

Satu tangannya menyentuh kening yang tidak gatal sama sekali, “Tolong dibikinin buket yang spesial saja ya. Saya yakin kakak nya pasti lebih paham.” katanya membuat pemuda yang kini sudah memakai appron berwarna coklat itu mengangguk kecil dan kembali mengulas senyum.

“Buat anniversary ya...” gumamnya sedikit berpikir sambil menerawang, dia kembali menatap Ares yang masih berdiri di depan mejanya, “Oke, saya buatkan dulu ya. Itu ada kursi sambil nunggu bisa duduk dulu atau mau diambil nanti, kak?” tanyanya dengan ramah.

“Ditunggu saja.”

Ares berjalan ke arah meja berbentuk persegi cukup besar yang terdapat beberapa kursi, sepertinya memang digunakan untuk workshop merangkai bunga karena ia sempat melihat foto-foto polaroid yang ditempel di dinding.

Dari tempatnya duduk sekarang, Ares bisa melihat dengan jalas bagaimana pemuda tersebut sudah sibuk memilih dari banyaknya vas berukuran besar serta penuh dengan bermacam-macam bunga warna-warni entah apa saja ia tidak tahu dan juga tidak paham, mungkin yang Ares tahu namanya di sana hanyalah bunga mawar.

Sesekali, kening pemuda itu akan sibuk mengeryit ketika wajahnya tampak berpikir, kemudian dia akan tersenyum puas saat melihat kombinasi yang sesuai keinginannya, semua ekspresi itu terekam jelas oleh ingatan Ares yang masih anteng menopang dagu di atas meja untuk memperhatikan.

Hujan di luar sepertinya sudah mulai mereda, suasana sejuk dari pendingin ruangan ditambah cuaca Bandung membuat semuanya semakin menusuk.

Ares sudah terbiasa dengan dinginnya Bandung di musim hujan seperti sekarang karena ia sudah tujuh tahun menetap di sini, dulu sewaktu mahasiswa baru ia sampai tidak tahan untuk mandi di pagi hari dan bibirnya bahkan pecah-pecah hingga berdarah karena perubahan cuaca dari Jakarta ke Bandung cukup signifikan bagi tubuhnya.

Suara dari pintu yang dibuka di belakangnya membuat Ares juga si florist menoleh dengan cepat. Sekilas, Ares bisa melihat senyum pemuda tersebut melebar hingga lesung pipinya yang tadi samar tampak terlihat semakin jelas, cantik.

“Halo Kak Nanda, pesenan aku udah jadi ya?”

Ares memperhatikan anak perempuan dengan tas ransel berwarna hitam itu memasuki toko dan melewatinya untuk berjalan ke depan meja si florist.

Nanda?

“Sudah aku siapin dari tadi, katanya mau diambil jam satu.”

“Iya tadi kan hujan gede banget aku kejebak di kampus. Lupa gak ngabarin Kak Nanda lagi.”

Oh namanya Nanda.

Ares bukan berniat menguping, tapi ia hanya memperhatikan mereka yang sibuk mengobrol berdua dan dari yang ia dengar kalau mahasiswi itu memesan buket untuk temannya yang sedang sidang akhir.

Ares tebak, Nanda bukan mahasiswa di sini. Sepertinya sudah lulus walaupun wajahnya masih cocok jadi maba, pikirnya.

Tapi, sedikit penasaran toko bunga ini miliknya sendiri atau bagaimana? karena saat Ares masih kuliah dulu tentu saja belum ada.

Baru saat mahasiswi tersebut keluar dari toko sambil membawa sebuket bunga berukuran tidak terlalu besar, Ares bisa melihat Nanda yang kembali merangkai bunga pesanannya.

Dia menatapnya sambil tersenyum simpul, “Maaf ya kak, keganggu sebentar.” katanya yang dibalas anggukan kecil oleh Ares, mau lama juga gapapa, ia jadi semakin bisa berlama-lama pula melihat Nanda yang kembali sibuk dengan tangkai-tangkai bunga di tangannya.

“Gapapa, santai saja saya punya banyak waktu kok.”

Halah, padahal Azka sudah riweuh bertanya dimana dan kanapa belum sampai juga di hotel tempatnya menginap untuk menjemput. Dan tentu saja Ares melimpahkan kesalahan tersebut pada Samudra, salahin temen lo tuh.

Walaupun ada nilai plusnya juga karena sepertinya Ares harus berterimakasih pada Samudra yang sudah menyuruhnya untuk datang ke sini sehingga ia bisa tahu ada makhluk bernama Nanda yang sedang merangkai bunga dengan wajah cerahnya.

Atau ada baiknya Nanda diajak kenalan langsung saja sekalian nanti?

Kedua netra Ares itu terlalu fokus pada setiap gerik pemuda tersebut, hingga ia bergumam tanpa sadar memanggil si pemilik nama yang langsung mendongak menatapnya.

“Nanda..”

Nanda menghentikan tangannya yang sedang memotong tangkai mawar berwarna pink pucat saat sebuat suara yang begitu dalam menyebutkan namanya, pelan tapi terdengar jelas karena di ruangan sunyi ini hanya ada dia dan pemuda yang sedang menunggu pesanannya.

“Iya?” dia menjawab dengan nada bingung saat pemuda itu tahu namanya.

Ares merutuk, ingin rasanya menepuk mulutnya sendiri ketika Nanda kini menatapnya penuh tanya, “Maaf... saya tadi dengar kamu dipanggil Nanda sama mahasiswi yang ke sini.” jelasnya cepat, wajahnya kalau bisa ia taruh dulu di saku, begini kalau otak sama mulutnya tidak sinkron padahal hanya memanggil di pikirannya saja bukan untuk diucapkan.

“Maaf ya.” ulangnya sekali lagi.

Pemuda itu bahkan sampai berdehem untuk menghilangkan canggung saat Nanda justru mengeluarkan tawa ringannya sambil berkata tidak apa-apa sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya, kedua sudut bibirnya tampak ditarik tipis ketika melirik Ares yang kali ini sibuk memainkan ponselnya.

Buket bunganya hampir jadi, Nanda sedang membungkusnya lengkap dengan pita berwarna putih, tangan lentik itu dengan cekatan membuat simpul yang terlihat cantik seperti itu adalah hal yang begitu mudah dilakukan. Juga sangat lihai merakit bunga-bunga membentuk perpaduan yang begitu cantik memanjakan mata.

Senyumnya terlihat puas ketika memegang buket bunga berukuran cukup besar hasil karyanya yang ke empat di hari ini, Nanda selalu suka dengan kegiatan sehari-harinya sejak tiga minggu ini.

Bunga, gunting, kertas, pita, bahkan duri yang terkadang melukai jarinya sudah menjadi teman sejak dia suka membantu di toko bunga milik kakak sepupunya bahkan saat dia masih berstatus mahasiswa.

Hampir setiap hari Nanda menghabiskan waktu sepulang kuliahnya di sini, membantu saat ada workshop merangkai bunga atau saat banyak pesanan yang menumpuk terutama ketika wisuda.

Dan sekarang, toko bunga itu dipegang olehnya untuk sementara waktu karena Teh Maudy—kakak sepupunya sedang sibuk dengan persiapan kelahiran anak pertamanya. Dia sudah jarang ke sini dan mengandalkan Nanda sepenuhnya yang memang masih belum bekerja karena sejak wisuda beberapa bulan lalu dia telah resmi menjadi pengangguran.

Nanda pikir daripada hanya di rumah tidak ada kegiatan jadi ia setuju ketika Teh Maudy meminta tolong padanya untuk mengurus toko bunga ini sementara, mungkin hingga dua atau tiga bulan ke depan saat kakak sepupunya itu sudah bisa kembali mengurus tokonya sendiri.

Pandangannya bersitatap dengan Ares yang perlahan berdiri dari kursi dan berjalan ke arahnya. Pemuda yang tadi menggumamkan namanya itu terlihat menyodorkan ponselnya membuat Nanda memasang wajah bingung.

“Kata teman saya bisa ditambahin kartu ucapan? tulisannya begini.” tanyanya membuat Nanda mengangguk pasti, “Bisa, kak.” dia mengambil ponsel Ares yang memperlihatkan ruang obrolannya dengan Samudra.

Diperhatikannya lagi Nanda yang sedang menulis di sebuah kartu ucapan kecil, tulisan tangannya rapi sekali.

Ares tersenyum ketika ponselnya dikembalikan. Ia kemudian menerima buket yang diberikan oleh Nanda yang ternyata lumayan besar juga saat sudah berada di tangannya. Tidak lupa juga sempat difoto untuk laporan pada Samudra yang sudah sibuk bertanya.

Setelah selesai membayar, Ares terlihat mengusap tengkuknya. Pemuda dua puluh lima tahun itu tampak ragu tapi juga seakan enggan untuk melewatkan kesempatan.

“Tokonya baru ya? Saya baru tahu ada toko bunga di dekat kampus.” basa-basi dulu sekaligus memang penasaran, “Tiga tahun lalu soalnya masih belum ada waktu saya masih kuliah di sini.” lanjutnya.

Nanda tampak menyimak saat Ares mengajaknya mengobrol, daritadi padahal mereka hanya diam ketika Nanda sibuk dengan pekerjaannya dan Ares juga tidak ingin terlihat menganggu.

“Enggak baru banget kok soalnya udah dua tahunan. Oh, kakak alumni sini juga?” dia balik bertanya membuat Ares mengangguk kecil, “Iya, sudah jarang lewat ke sini jadi banyak yang berubah.” jelasnya.

Ada senyum ramah yang kembali Nanda perlihatkan pada Ares yang berarti berstatus seniornya dulu karena saat Nanda mahasiswa baru, Ares sudah berada di tingkat akhir, simpulnya.

“Iya kalau dibandingkan sama tiga tahun memang sudah lumayan banyak yang beda, kak.”

Gengisnya kalah, bodoamat ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang tidak akan datang dua kali padanya. Ares mungkin sudah mengetahui namanya, tapi secara resmi mereka belum berkenalan dan Nanda tentu saja tidak mengetahui namanya sama sekali.

Ares ingin mereka saling mengenal. Ia dan juga Nanda. Bukan hanya dirinya saja.

Maka, dengan yakin Ares mengulurkan tangannya yang sedang tidak memegang buket bunga milik Samudra itu ke depan Nanda yang masih berdiri di belakang meja.

“Saya Ares, salam kenal ya.”

Nanda terdiam sebentar dan netranya menatap tangan yang sudah berada di depannya, sedikit tidak menyangka dengan apa yang akan didapatkannya secara tiba-tiba itu.

Diajak berkenalan oleh pemuda yang sedari tadi menatapnya dalam diam saat dia sibuk merangkai bunga.

Tentu saja Nanda jelas menyadarinya karena beberapa kali sudut matanya menangkap figur tersebut yang terlihat anteng sambil memangku dagunya di atas meja.

Dengan perlahan Nanda menyambut uluran tangan Ares, pandangannya terangkat dari tangan mereka yang sudah bertautan ke arah iris hitam Ares yang menatapnya lekat.

Senyum ramahnya kembali terlihat, jauh lebih manis serta lebih tulus hingga kedua sudut matanya menyipit dan lesung pipi dalamnya terlihat jelas.

Cantik, Ares sibuk membantin.

“Ananda, biasa dipanggil Nanda. Salam kenal juga, Kak Ares.”

Ananda.

Bahkan, namanya juga sangat cantik.

Ares bisa merasakan genggaman dari tangan Nanda di kulitnya, sedikit dingin namun terasa halus. Jemari rampingnya yang tadi ia lihat begitu cekatan mengikat pita sekarang melingkupi telapak tangannya.

Netranya seakan tidak mau berpaling, Ares tidak tahu kalau akan ada sepasang mata yang begitu hangat menatapnya bahkan sejak mereka bertemu untuk pertama kali.

Sepasang mata coklat gelap yang berbinar namun terkesan lembut ketika memandangnya, sepasang mata yang bisa menariknya bagai magnet membuat Ares ingin menatapnya langsung selama mungkin.

Satu dering telepon masuk di ponsel Ares membuat mereka melepaskan tangan dengan kikuk. Nanda meringis kecil di balik mejanya sambil menahan senyum saat dia melihat wajah Ares yang merengut kesal lalu mendengus melihat ponselnya yang masih berdering, Azka sialan.

“Nanda, makasih ya. Saya buru-buru sudah ditungguin.” Ares memasukan ponselnya ke dalam saku celana tanpa mengangkatnya sama sekali, bodoamat gak sabaran banget sih temannya itu.

Ia menatap Nanda yang mengangguk kecil sambil melepaskan appronnya, “Sama-sama, kak. Semoga temannya suka ya sama bunganya.”

“Pasti suka kok, orang bagus banget begini.”

Tentu saja Nanda tersenyum penuh terimakasih mendengar pujian Ares untuk hasil karyanya itu.

“Boleh minta kartu nama? siapa tahu saya ada perlu.”

Perlu untuk apa lagi kira-kira? Ares juga tidak tahu, ia hanya mencari alasan dengan cepat.

“Boleh, Kak Ares. Sebentar ya.”

Nanda terlihat berjalan ke arah meja yang lain, dia membuka laci dan mengambil kartu nama yang berada di dalam kotak kecil lalu diberikan pada Ares yang menerimanya dengan senang hati tampak excited.

“Ini nomor kamu?” tanyanya tidak tahu malu sambil melihat dua belas deretan angka yang membentuk sebuah nomor telepon aktif. Ditatapnya Nanda yang memberikan gestur bukan dengan kedua tangannya.

“Itu khusus nomor ponsel untuk customer, kak. Bukan nomor pribadi saya. Tapi, nanti saya yang bales kok karena ponselnya saya yang pegang.” begitu penjelasannya membuat Ares mengangguk-angguk mengerti sambil memasukan kartu nama berwarna putih itu ke dalam saku celananya.

Lalu, apa lagi sekarang.

Azka sudah menunggunya, mereka bertiga akan bertemu sebentar sebelum Samudra menemui Anindita dan dia membutuhkan buket bunga di tangannya ini.

“Ya sudah, sekali lagi makasih ya, Nanda.”

“Iya, sama-sama Kak Ares. Kalau butuh bunga lagi datang saja.”

“Wah kalau ditawarin gini nanti saya sering datang dan kamu bosen.” Nanda kembali tertawa dibuatnya ketika mendengar candaan Ares, “Gapapa, saya senang kalau punya pelanggan tetap.” balasnya membuat Ares besar kepala dan benar-benar berniat untuk datang lagi.

Nanda mengulum senyum dengan lesung pipinya lagi sebelum Ares benar-benar berjalan ke luar dan meninggalkan toko bunga yang menjadi awal pertemuan mereka hari itu.

Pertemuan pertama yang akan membawa banyak cerita abadi bagi Ares hingga bertahun-tahun kemudian.

Pertemuan yang bukan sepenuhnya tentang ketidaksengajaan semata karena semua yang terjadi di dunia ini memang sudah digariskan oleh takdirnya masing-masing.

Tentang Ares, tentang Nanda juga tentang cinta yang tumbuh diantara keduanya, namun dengan pelengkap takdir yang Ares rasa terlalu kejam bekerja untuk mereka.