sekyung x yiheon — local au
If I had one wish, you'd stay forever
Akan ada dua hal yang bisa membayangi ingatan Ares mungkin hingga bertahun-tahun kedepan bila mengingat tentang Ananda; bagaimana Ananda melihatnya untuk yang pertama kali dan bagaimana Ananda menatapnya untuk yang terakhir kali.
“Emangnya kakak harus banget pergi ya besok lusa?”
Ares menatap Ananda yang bertanya tidak rela sambil memeluk pinggangnya yang sedang berdiri di samping tempat tidur. Satu sisi wajahnya menempel pada perut rata Ares dengan tangan yang semakin mengerat melingkar padanya.
Kekasihnya itu dengan muka bantalnya yang baru bangun tidur terlihat lucu karena rambutnya mencuat kesana sini hingga Ares dengan penuh perhatian menyisir menggunakan jari-jarinya.
Di hari Minggu pagi pukul setengah tujuh ini, Ananda terbangun saat dia mencium wangi masakan yang masuk ke hidungnya yang sedang tidur.
Semalam, Nanda memang menginap di tempat Ares. Saat dia terlalu malam untuk pulang setelah mereka menghabiskan waktu bersama, Nanda memang beberapa kali akan tidur di sini ketika Ares tentu saja mengizinkannya.
Alasannya juga karena minggu kemarin Ares harus pulang ke Jakarta, jadi mereka tidak bertemu di hari libur.
Kangen, akhirnya kemarin bisa quality time seperti biasa di tempat Ares.
Tetapi semalam tiba-tiba Ares memberi tahu kalau minggu depan ia harus pergi lagi.
Ares mengerang gemas saat melihat bibir Nanda yang kini mencebik di bawahnya, ia menangkup kedua pipi yang masih memeluk pinggangnya dan membuat wajah bangun tidur itu menengadah menatapnya.
“Sebentar saja, nanti Sabtu pagi juga pulang, sayang. Ada kerjaan cuma tiga hari.”
“Enggak tiga hari. Kan dua hari buat di jalan, totalnya jadi lima hari dan itu lama tau, Kak Ares....” sanggah Nanda dengan nada sedikit merajuk sambil meremas kaos bagian belakang Ares, “Pingin ikut ke Jogja. Mau liburan, pusing kerja terus.” lanjutnya membuat Ares justru tertawa kecil.
“Kakak ke sana juga buat kerja loh, Ananda. Bukan liburan.” diusapnya pipi yang lebih muda itu dengan ibu jarinya, Ares tersenyum lembut menatap Nanda yang belum merelakannya untuk pergi, “Nanti ya liburannya kalau ada long weekend, terus kita ke sana berdua.”
Sorot di kedua netra Ananda itu kemudian perlahan berbinar antusias menatap iris hitam Ares yang menunduk padanya,
“Mau! Janji ya awas kalau Kak Ares bohongin Nanda.”
Janji Ares yang tidak akan bisa ditepati itu rupanya kembali bertambah.
Ares mengangguk sembari mendekatkan wajahnya, ia mengecup cepat sudut bibir Ananda yang kali ini mengulas senyum lebar.
“Iya, sekarang ayo bangun dulu, kakak sudah masakin sarapan buat kamu.”
“Gendong.”
Oh, Ananda ayolah ini masih pagi tapi dia sudah bersikap manja sekali.
Nanda tertawa saat Ares mencubit pipinya, selalu begini kalau ia gemas dengan Nanda, geregetan banget.
“Pacarku yang baik, pacarku yang paling tampan sebandung raya. Kak Rajendra, gendong.”
Pintanya lagi dan sengaja menggunakan nada lebih manis lengkap dengan lesung pipi dalamnya sambil mengulurkan kedua tangan pada Ares.
Rajendra. Tentu saja jarang sekali Nanda memanggil namanya seperti itu karena Ares sendiri pun jarang menggunakan nama depannya yang menurut sebagian orang terdengar cukup asing, bahkan dia lebih sering menyingkat satu huruf R saja si depan namanya.
Ditatapnya dengan hangat Ananda dan sikap manjanya yang tidak berubah sedikit pun setelah hubungan mereka memasuki bulan ke tujuh, justru dia malah semakin sering menujukannya pada Ares yang tidak akan pernah menolak.
“Manja banget sih Ananda ini.”
“Gak boleh?” Nanda menatap Ares dengan raut sedih namun saat Ares menyambut uluran tangannya, sebuah senyum senang menjadi satu-satunya yang bisa dilihat oleh Ares.
“Kak Ares si dewa perang memang kuat banget.” katanya lalu terkekeh geli membuat Ares merespon dengan bergumam sambil membawa tubuhnya keluar dari kamar dengan mudah.
Ananda memang suka meledeknya seperti itu, tetapi dia jelas tahu kalau Kak Ares nya jauh dari kata kejam seperti apa yang tersemat untuk dewa perang dalam mitologi Yunani.
Ares begitu baik padanya, Ares begitu perhatian dan menghargai Ananda setulus hatinya.
Juga, Ares begitu mencintainya.
Seperti anak koala, Nanda mengaitkan kedua kakinya di belakang pinggang Ares saat ia memeluknya dari depan. Tangannya memeluk erat bahu Ares dengan dagu yang ditaruh di atas pundaknya.
Senyumnya terlihat semakin melebar saat Ares mendekapnya erat untuk menjaga tubuhnya agar tidak jatuh.
“Kakak Ares sayangnya Ananda...” bisiknya pelan di samping telinga sang kekasih sambil mencium pipi kanannya, tingkahnya itu praktis langsung membuat Ares melepaskan sebuah tawa yang terdengar dalam penuh senang memenuhi ruangan apartemennya.
Benar kata Samudra, dia jadi bucin nggak ketolong ke Ananda Ananda ini.
Ares mendudukan Nanda di meja makan yang masih kosong, ia memang belum menyiapkan piring atau menuang makanan apa pun yang masih hangat di atas kompor.
Tubuh Ares itu seperti mengurung Nanda saat kedua tangannya ditaruh di sisi kana kiri tepat di samping pahanya yang hanya menggunakan celana pendek di atas lutut milik Ares, begitu pun dengan kaos putih yang dikenakannya saat ini jelas milik si pemilik tempatnya menginap.
Iris legam Ares lagi-lagi bersitatap dengan netra Ananda yang sedikit terang karena tertimpa cahaya matahari yang menerobos masuk melalui pintu kaca ke arah balkon.
Cantik, Ananda nya begitu cantik sekali pagi ini.
“Kenapa?” Ananda bertanya nyaris berbisik saat Ares hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dia sedikit salah tingkah apalagi posisinya sekarang yang tidak bisa kabur kemana pun.
“Gak apa-apa, kamu cantik.” jawab Ares sambil menyentuh anak rambut Ananda yang jatuh acak di pelipisnya.
Ananda tersipu dan Ares menyukainya.
Ia kembali mendekatkan wajahnya dan mencium lagi-lagi sudut bibir Ananda hingga kekasihnya itu tertawa malu.
Suara tawa Ananda sepenuhnya memenuhi pendengaran Ares saat ini, juga mengisi tempat tinggalnya yang dulu terbiasa sepi.
“Kak Ares...” juga suara Ananda yang menyebut namanya di sela tawa selalu membuat Ares melebarkan sudut bibirnya.
Karena mengetahui dialah alasan Ananda tersenyum dan Ananda tertawa bahagia membuat Ares semakin tidak ingin kehilangan Ananda.
Satu tangan Ares menangkup pipi Nanda saat kening mereka bersentuhan, mau sekuat apa pun ditahan, Nanda tidak bisa menyembunyikan rona kemerahan yang muncul di wajahnya saat ini.
“Ananda...” Ares berguman pelan, kedua sorot mata mereka yang bertemu pandang tampak berbinar satu sama lain, “Ananda...” panggilnya lagi hingga Nanda semakin memerah dan Ares tertawa kecil dibuatnya.
“Kak Ares.” Nanda akhirnya menggerutu padanya.
Lucu sekali.
Nanda mungkin tidak akan pernah mengira kalau pertemuan pertamanya dengan Ares di suatu siang saat turun hujan itu akan membawanya begitu jauh hingga sekarang.
“Kakak....” kali ini tangannya yang memang masih berada di pundak Ares perlahan terangkat untuk menyentuh kedua pipi Ares dan menangkupnya, dia melakukan hal yang sama seperti Ares yang selalu memperlakukannya sepert ini, bahkan beberapa menit lalu karena sekarang tangan Ares sudah berada di pinggangnya.
Tangan lembut Ananda yang berada di pipinya itu membuat satu senyum simpul hadir kembali di wajah tampan Ares yang sedikit bingung, “Kamu ngapain, hmm?”
Kepala Nanda menggeleng pelan, yang bisa Ares lihat hanya sorot penuh bahagia tergambar jelas di kedua mata jernihnya.
“Aku sayang banget sama Kak Ares.” katanya sambil tersenyum, dia menatap setiap detail dari wajah Ares yang sudah menjadi kebiasaan diam-diamnya kalau sedang memperhatikan Ares.
Dikecupnya dengan lembut puncak hidung Ares yang mancung karena Ananda suka sekali melihatnya. Terkadang kalau Ares tidur di atas pahanya, telunjuk Ananda sering menyentuhnya di sepanjang tulang hidungnya hingga Ares terheran namun tetap dibiarkan karena Ananda akan berkata kalau dia menyukainya.
“Aku selalu berterimakasih karena Kak Ares selalu bikin aku bahagia. Karena aku mungkin enggak pernah sebahagia ini sejak aku kenal sama orang sebaik kakak.” lanjutnya tanpa ragu.
Ananda tiba-tiba merasakan sudut matanya menghangat yang jelas tidak terlewat sedikit pun dari netra Ares yang berada tepat di depannya.
“Rasanya...” Nanda menjeda saat suaranya sedikit tercekat, tangannya menarik bahu Ares untuk mendekat lalu dia kembali memeluknya, menyembunyikan wajahnya yang siap menangis di balik bahu Ares,
“Aku mau sama Kak Ares terus, sampai lama.”
Ares mengangguk kecil mendengar suara Nanda yang sedikit parau, tangannya mengusap bergantian di sepanjang pinggang hingga puncak kepalanya sambil bergumam membalas semua ucapan Ananda dan mengecup pundak polosnya saat kaos yang dia kenakan memperlihatkan kulit putihnya.
Ares memeluk Ananda dengan begitu dalam, menenggelamkan tubuh Ananda di bawah rengkuhannya. Menghirup wangi Ananda yang tercampur dengannya sambil memejamkan mata.
“Enggak cuma Nanda, Kak Ares juga sama. Mau sama kamu terus.” bisiknya sungguh-sungguh.
Di hari itu ia mengantarkan Nanda pulang di pukul tiga sore setelah mereka menonton sebuah film animasi yang membuat Nanda menangis di pelukannya.
Ah, Ares tahu Ananda memang begitu lembut, hatinya gampang tersentuh dan beberapa kali dia mudah menangis membuat Ares harus memeluknya atau merangkulnya sambil mengusap-ngusap bahunya.
Dan saat Ananda kembali meminta sebuah pelukan panjang darinya di dalam mobil tepat di depan rumahnya, Ares tentu saja mengabulkan tanpa banyak bertanya.
Yang bisa dilakukannya hanya kembali mendekap Ananda, memeluknya dengan tangan yang melingkar di tubuhnya membuat Ananda merasa aman saat memiliki Ares yang selalu ada untuknya.
“Gapapa ya, Kak Ares pergi ke Jogja dulu?” tanyanya sekali lagi dengan satu tangan yang lagi-lagi menangkup pipi kanan Ananda, ibu jarinya mengusap lembut wajah sang kekasih di sana.
Satu tangan hangat Ares yang lain menggenggam tangan Ananda dengan sedikit erat.
“Ananda...” ucapnya lagi saat Nanda masih belum menjawab, dia justru terlihat begitu sedih dengan mata yang berkaca-kaca, “Gak lama beneran, nanti kaka—”
“Iya.” potong Ananda saat Ares belum selesai bicara. Dia menghela napas kecil, lalu mengangguk, “Gapapa, Kak Ares...” jawabnya dengan suara tertahan, perlahan senyumnya terlihat walaupun tipis dan sorot matanya masih memancar tidak rela saat akan ditinggalkan oleh Ares.
Ares menarik kedua sudut bibirnya, ia mencium kening Ananda cukup lama membuat Ananda memejamkan matanya. Ares juga menggenggam erat kedua tangannya lagi, sebelum dibawa ke depan bibirnya sambil dicium berkali-kali.
“Makasih, sayangnya Kak Ares.”
Siapa pun pasti akan berpikir bahwa pelukan di sore hari itu hanya untuk perpisahan yang akan dilewati beberapa hari ke depan saja.
Baik Ares maupun Ananda.
Tanpa tahu, bahwa garis takdir kejam ternyata berkata lain.
Mereka dengan tega justru menjadikannya sebuah pelukan perpisahan yang tidak akan pernah bisa Ares dan Ananda ulangi lagi. Selamanya.
Kemudian Ares bisa melihat Ananda yang kembali tersenyum padanya sambil melambaikan tangan di depan rumah saat Ares memasuki mobil.
“Hati-hati, Kak Ares. Ketemu lagi Sabtu ya!”
Bahkan kalimat terakhir dari Ananda yang Ares dengar secara langsung dengan telinganya sendiri akan selalu terngiang olehnya dengan jelas.
Tatapan Ananda dengan mata coklat gelapnya yang tidak berbinar seperti biasa menjadi tatapan yang Ares lihat untuk terakhir kali di hari tersebut.
Juga yang bisa ia lihat secara langsung untuk terakhir kali dalam hidupnya di pertemuan terakhir mereka.
Talapak tangan Ares terasa dingin, begitu pun dengan bahunya yang tiba-tiba menegang. Pikirannya sudah jauh pergi dari kereta yang masih melaju kencang di jalannya.
Ares baru selesai mengurus pekerjaan yang mengharuskannya untuk mengunjungi Yogyakarta dalam beberapa hari ini.
Dan di hari Sabtu siang awal bulan Agustus, ia harus mendengar kabar yang membuatnya bingung, kabar yang membuatnya kalut saat sebuah telepon dari nomor yang ia namai “Toko Bunga Ananda” menghubunginya.
Adalah suara serak serta tangis perempuan yang pertama kali menyapanya.
Ares mengenal Maudy sejalan dengan hubungannya bersama Ananda yang telah terjalin beberapa bulan ini, karena kalau dibandingkan dengan kedua kakak Ananda, Ares memang lebih sering bertemu dengan Maudy saat ia sering bolak-balik ke toko untuk bertemu dengan kekasihnya.
“Ares, Nanda kecelakaan.”
“Sekarang sedang dibawa ke rumah sakit.”
Ares tidak bisa mencerna kata-kata lain yang diucap Maudy saat itu, yang ada di pikirannya hanya Nanda dan kecelakaan.
Hal mengerikan apa maksudnya ini, Ya Tuhan.
Enggak mungkin, bahkan tadi pagi pun Ananda masih mengiriminya pesan.
Ares tentu saja tidak mau percaya.
Ares tidak mau Ananda nya kenapa-napa.
Ia kemudian mencoba menghubungi nomor Ananda bepuluh-puluh kali namun hasilnya nihil. Perasaannya semakin tidak jelas saat Ananda tidak bisa dihubungi dan seolah membuktikan ucapan Maudy adalah benar, semua ini bukan sebuah lelucon yang ia harapkan.
Di saat seperti ini Ares punya Samudra yang bisa ia mintai tolong dan sesuai dugaan, sahabatnya itu langsung pergi menuju rumah Ananda untuk memastikan kekhawatiran yang ia rasakan begitu besar saat ini.
Dengan tidak sabar Ares melirik arloji yang ada di tangan kanannya. Sial! ia mengumpat berkali-kali sambil mengepalkan tangannya di atas paha ketika jadwal kereta yang ia tumpangi saat ini masih lebih dari satu jam lagi untuk sampai di Kota Bandung.
“Ares, lo kenapa?”
Ares menoleh ke belakang saat Abian, teman satu kantornya bertanya dengan raut bingung melihat Ares yang tampak begitu gelisah, juga dia sempat mendengar Ares berbica di telepon hingga rekannya itu berkata tidak mungkin berkali-kali dengan nada penuh tidak percaya.
“Mas Bian, gue harus gimana?” tanyanya dengan suara gamang, pandangannya terlihat begitu kalut, perasaannya semakin tidak menentu saat suara Maudy yang menangis kembali terngiang di telinganya.
“Keadaannya parah, Ares.”
Selama sisa perjalanannya Ares harus menunggu dengan perasaan penuh gelisah sambil merapal doa tidak henti dalam hatinya untuk Ananda.
Nanda, kamu pasti nggak apa-apa, sayang.
Nanda, Kak Ares mohon.
Kita sudah janji hari ini mau ketemu.
Ananda jangan kemana-kemana.
Sebentar lagi Kak Ares pulang.
Ananda, Ananda, dan Ananda.
Pikiran Ares saat ini begitu penuh, gelisahnya membuat berbagai pikiran negatif berkeliaran di kepalanya dengan kurang ajar.
Ares menggeleng kuat sambil tertawa sumbang.
“Goblok. Mikir apa sih lo, Res.”
“Jelas, Ananda pasti baik-baik saja. Pasti.”
Namun, nada getar penuh takut yang keluar dari suaranya tidak bisa Ares bohongi.
Ananda gak akan kemana-mana, Rajendra. Stop mikir hal yang gak perlu, batinnya sibuk merutuk dirinya sendiri.
“Ananda pasti lagi nungguin gue.”