sekyung x yiheon — local au

It's you, because no one else makes sense

“Kak Ares, kalau dipotongin terus nanti tambah pendek loh buket bunganya.”

Ares meringis saat ia lagi-lagi kena tegur yang ke tiga kali sejak lima belas menit lalu datang ke toko bunga Nanda.

Hari Minggu di akhir bulan Januari, Ares dengan sok idenya meminta untuk diajarkan merangkai bunga. Semalam saat mereka berbicara lewat telepon, Nanda dibuat mengerutkan keningnya sambil bertanya bingung.

“Aku nggak salah denger kan, kakak mau balajar bikin buket?”

Namun, Rajendra Ares itu hanya tertawa mengiyakan.

“Iya, Nanda. Beneran kamu ajarin aku dong sekali-kali. Bikin kelas merangkai bunga tapi muridnya aku aja ya. Aku lagi mumet banget di tempat kerja, butuh kegiatan positif.”

Nanda tidak menolak sama sekali, setelah melihat notes di ponselnya ternyata memang tidak banyak pesanan di hari Minggu besok. Kalau untuk sekedar mengajari Ares merangkai bunga saja dia jelas punya banyak waktu.

Hingga sekarang, Nanda memang masih memegang penuh “The Daisy Den.” walaupun sudah berlalu tiga bulan sejak ia dimintai tolong oleh Teh Maudy, kakaknya itu masih belum bisa membagi fokus dari bayi cantiknya dengan urusan toko.

Bagi Nanda, itu bukan hal besar selagi dia bisa maka dia tidak masalah, lagi pula sudah dibilang kan kalau Nanda selalu menyukai rutinitas barunya sebagai florist.

Juga, dalam rutinitasnya itu ada sedikit hal yang berbeda ketika tiba-tiba dia mengenal sosok Ares.

Pemuda yang dia temui di bulan November lalu, pemuda yang datang saat hujan mengguyur Kota Bandung hampir seharian. Pemuda yang tiba-tiba menggumamkan namanya di saat hening melingkupi mereka berdua.

Dua minggu kemudian setelah hari itu, Ares benar-benar muncul lagi di pagi hari saat dia harus menyusun banyak sekali bunga yang baru datang dikirimkan ke toko.

“Ananda Langit Kaivan...”

Ares bergumam membaca nama yang tertera di kardus-kardus yang berserakan di depan toko tersebut. Dia menunduk di samping Nanda yang terlihat sibuk bahkan tidak menyadari kedatangannya.

Tokonya memang baru saja buka di pukul sembilan pagi dan Nanda sedang fokus mengecek barang sehingga Ares tidak mau menggangu.

Salah dia datang terlalu pagi.

Tapi lagi-lagi bibirnya tidak bisa direm saat ia membaca nama lengkap Nanda yang ada di sana.

Tentu saja hal tersebut membuat kedua iris cokelat gelap Nanda membulat tatkala mendengar suara sedikit familiar yang tiba-tiba berbicara di sampingnya yang sedang berjongkok dan menulis untuk memeriksa beberapa kardus berisi bunga yang masih belum dibuka.

Dia menoleh dengan cepat ke samping dan mendapati Ares yang kini sudah ikut berjongkok di dekatnya, “Ada yang perlu saya bantuin nggak?” tanyanya sambil tersenyum, tangannya mengambil satu kardus di depannya yang berisi bunga krisan apabila dilihat dari tulisannya.

Ada sedikit pancaran jenaka di kedua netranya ketika melihat raut terkejut di wajah Nanda, pemuda itu bahkan mengerjap beberapa kali untuk mamastikan penglihatannya, meyakinkan kalau Ares benar-benar datang lagi seperti ucapannya waktu itu.

“Kak Ares???” tanyanya dengan nada kaget yang sudah bisa ditebak oleh Ares hingga ia tidak bisa manahan senyumnya yang perlahan melebar dibarengi dengan tawa kecil, lucu sekali anak ini.

“Selamat pagi, Ananda.” sapanya, ia bisa melihat Nanda perlahan membalas senyumnya setelah raut terkejutnya itu menghilang dari wajahnya.

Ah, Ares merindukan senyum cantik dan manis Nanda yang ia lihat dua minggu lalu itu.

“Pagi, Kak Ares.” balasnya dengan nada ramah seperti biasa, “Mau pesan bunga lagi? Tapi maaf agak lama saya harus bongkar ini semua dulu, gapapa?”

Nanda perlahan berdiri diikuti Ares yang berada di sampingnya, ia tampak mengangkat bahunya ringan tidak masalah, “Enggak apa-apa kok. Saya mau pesan buket buat ulang tahun Mama saya hari ini, bisa?”

“Bisa, kak! Sebentar ya saya beresin ini secepatnya dulu.”

Nanda ingat, hari itu Ares membantunya memasukan kardus-kardus tersebut ke dalam, Ares membantunya membongkar barang bahkan pemuda itu membantu menyusun bunga yang baru datang untuk disimpan ke vas-vas besar yang ada di sana.

Ares juga menunggu dengan sabar saat buket pesanannya dibuat walaupun ia harus langsung pulang ke Jakarta saat itu.

Menunggu tidak seburuk yang dibayangkan apalagi kalau itu bersama Nanda. Di pertemuan pertama mereka ia banyak memperhatian Nanda dengan diam, sedangkan ketika di pertemuan kedua Ares sudah bisa mencairkan suasana dan mengambil alih keadaan.

Satu obrolan kecil darinya bisa membuat mereka berbicara banyak hal. Hingga Ares akhirnya tahu alasan Nanda bekerja di sana dan itu merupakan toko milik kakak sepupunya.

Sejak pertemuan kedua mereka pula, dalam rutinitas harian Nanda yang baru itu ada Ares yang akan melengkapinya, yang memberikan tambahan cerita manis di hidupnya.

Tentu, begitu pun sebaliknya.

Bagi Ares mengenal Nanda adalah salah satu hal luar biasa yang pernah terjadi padanya.

Ananda.

Ares bahkan tidak bisa melupakan nama dan wajah tersebut hingga beberapa hari setelah pertemuan pertama mereka. Maka tepat dua minggu kemudian Ares tidak ragu untuk kembali menemuinya.

Selanjutnya ada panggilan saya yang perlahan berganti menjadi aku, ada canggung yang perlahan menjadi lebih lugas, ada pesan formal yang berganti ke ranah pribadi setiap harinya, ada candaan kecil yang membuat tawa dengan perasaan menggelitik penuh debar, juga ada banyak obrolan-obrolan ringan hingga malam hari saat melepas lelah setelah beraktivitas.

Terhitung sudah dua bulan intensitas pertemuan mereka juga semakin rapat setiap minggunya. Ares beberapa kali mampir sepulang kantor untuk mengajak Nanda keluar, entah itu makan malam atau sekedar ngopi di cafe yang masih ada di sekitar kampus.

Nanda juga pernah diantarkan pulang oleh Ares bahkan saat dia harus pergi ke rumah Teh Maudy hingga Ares akhirnya bertemu langsung dengan pemilik toko bunga yang kerap didatanginya itu.

Ares seperti terang-terangan sedang mendekati Nanda dan memang iya.

Sejak awal, perasaanya belum berubah.

Degup jantungnya masih tidak bisa dijelaskan jika sedang bersama dengan Nanda, kesimpulan pastinya yang ia sendiri tahu bahwasanya Ares sudah jatuh cinta.

Ares sudah jatuh cinta sejak di pertemuan pertama mereka.

“Kak Ares.”

Nanda lagi-lagi menegur sambil menggelangkan kepalanya tidak habis pikir pada Ares yang kini memotong hampir semua daun pada tangkai yang sedang dipegang oleh tangannya.

“Maaf.” gumam Ares sambil terkekeh, ia melirik Nanda yang duduk di sampingnya. Pemuda itu menggeserkan kursinya agar lebih dekat padanya, tangannya mengambil satu tangkai bunga yang ada di depannya.

Ares hanya memperhatikan saat Nanda memberi contoh langsung padanya dengan sabar, mengajarkan step by step bahkan sejak tadi memilih bunga apa yang akan dibuat latihan oleh mereka.

“Kenapa nyari kegiatannya malah merangkai bunga?”

Nanda bertanya sambil menopang dagunya memperhatikan Ares yang kembali sibuk dengan gunting dan kreativitasnya.

“Karena di sini aku bisa berdua sama kamu.” jawabnya tanpa banyak berpikir, jelas alasan pertamanya adalah Nanda.

Setelah satu minggu ia disibukkan dengan pekerjaan, bertemu dengan Nanda adalah obat yang selalu ia nanti-nanti. Melihat senyumnya, melihat wajahnya, mendengar suaranya seperti sudah cukup membuat bahu Ares terasa lebih ringan.

Ares menyukainya.

Bahkan satu pesan dari Nanda di pagi hari bisa membuat mood Ares terasa jauh lebih baik seharian.

Progress hubungan mereka memang sudah lumayan jauh dalam dua bulan ini walaupun belum ada status pasti. Tapi, Ares tahu Nanda menyambut baik niatnya itu, karena pdkt-pdkt yang dilakukan olehnya selalu diberi lampu hijau oleh pemuda dua puluh dua tahun itu.

Nanda tidak bisa bereaksi apa pun lagi selain menelungkupkan wajahnya yang memerah di atas meja kayu tersebut ketika mendengar jawaban Ares yang berbicara sambil menatapnya dalam.

Tidak ada candaan sama sekali di kedua sorot matanya, dan Nanda tidak bodoh untuk mengerti kemana arah pembicaraan mereka.

Nanda bisa merasakan puncak kepalanya diusap pelan oleh tangan lebar Ares, terasa hangat dan penuh sayang. Beberapa kali Ares memang memperlakukannya seperti itu dan dia menyukainya.

Perhatian-perhatian yang Ares berikan padanya memang terkadang berlebihan apabila mengingat status mereka yang belum ada apa-apa.

“Kak Ares...” gumamnya sambil mengangkat wajahnya yang tadi disembunyikan, dia menopang kepalanya yang kini tiduran di atas lengan memperhatikan Ares yang sudah menyimpan alat tempurnya itu.

Ares melakukan hal yang sama, menaruh kepalanya di atas meja, memandang Nanda yang terkejut karena ia berbuat sama.

“Nanti kalau sudah jago, aku kasih buketnya buat kamu ya.” ucap Ares, lagi-lagi ia mengulum senyum, tangannya terangkat menyentuh anak rambut Nanda yang jatuh di pelipisnya, “Aku mau buat buket bunga yang paling cantik buat kamu, Ananda.” lanjutnya.

Nanda menarik kedua sudut bibirnya ketika mendengar ucapan Ares. Ananda, Ares kerap kali memanggil nama panjangnya dengan begitu lembut membuat wajahnya selalu menghangat dan jantungnya berdebar.

Tetapi, satu gelengan kecil terlihat dari Nanda, “Aku mau yang dibuat sekarang aja...” Nanda menolak, kedua manik matanya memandang iris gelap milik Ares yang menatapnya dengan hangat.

Lagi-lagi di luar mulai terdengar suara hujan yang kembali jatuh dari langit Kota Bandung.

Tentang mereka berdua entah mengapa hujan selalu ikut campur dan memberikan cerita tersendiri.

“Aku mau buket yang pertama Kak Ares buat aja, gapapa enggak terlalu bagus juga...” jelasnya saat dia melihat raut penuh tanya di wajah Ares dengan kening yang sedikit mengerut tidak paham.

“Aku menghargai usaha Kak Ares yang rela belajar buat bikin buket bunga buat aku, terus yang pertama juga artinya paling spesial kan? Aku bisa dibilang orang yang beruntung karena nanti jadi yang pertama dikasih bunga hasil buatan Kak Ares.” katanya sambil mengigit bibir sedikit ragu.

Ares terdiam sebentar, kedua iris matanya menatap lurus pada Nanda mencari maksud dari ucapannya barusan.

Ia kemudian dengan cepat kembali membenarkan duduknya, menarik lengan Nanda agar bangun dan kembali duduk seperti dirinya, dihadapkannya tubuh Nanda itu hingga mereka berhadapan sambil memegang kedua bahunya.

“Ananda, kalau aku minta kamu jadi pacar aku sekarang, nggak terlalu terburu-buru kan?”

Sepasang mata indah yang berhasil menarik perhatian Ares sejak mereka bertemu itu mengedip lambat saat tangan Ares kini berpindah untuk menangkup kedua pipinya, menyalurkan hangat hingga ke relung hatinya.

“Sama kamu, aku mau lebih lama lagi. Sama kamu, aku selalu merasa bahagia. Sama kamu, aku selalu merasa kalau hidup aku menjadi lebih lengkap, Ananda.”

Nanda tidak bisa berpikir hal lain di luar apa yang sedang dia dengar sekarang dari bibir Ares. Rasanya dia ingin menangis saat Ares berkata seperti itu, rasanya dia begitu dicintai hingga hatinya terasa penuh oleh bahagia.

Saat tiba-tiba sudut matanya menghangat dan matanya berkaca-kaca, ada Ares yang mengulas senyum begitu menenangkan di depannya.

“Jangan nangis, aku lagi meminta kamu jadi pacar aku, bukan lagi jahatin kamu, Ananda.” kedua ibu jarinya mengusap lembut pipi Nanda yang sedikit dingin, “I love you.” bisiknya penuh makna, penuh perasaan saat akhirnya Ares bisa mengatakan hal yang sejak lama ia coba pendam.

“I love you, Ananda.”

Dan Ares bisa melihat anggukan kecil yang diberikan Nanda untuknya sebelum pemuda itu berhambur ke dekapannya. Memeluk tubuhnya erat, membiarkan sudut matanya menumpahkan apa yang tidak bisa ditahan.

“I love you too, Kak Ares.”

Dia mau, Nanda tentu saja mau menjadi pacar Ares.

“Makasih sudah datang di hidup aku dan membawa bahagia yang banyak sekali, makasih sudah kembali ke sini untuk bertemu aku, kak.”

Selamanya akan diingat oleh Ares, tentang pernyataan cintanya hari ini, tentang perubahan status mereka berdua, juga tentang cinta yang akhirnya bisa berlabuh pada titik temu yang akhirnya bisa bersatu.

“Kakak yang harusnya bilang makasih sama Nanda. Makasih sudah mau ngasih kesempatan untuk kita menjadi dekat sejak awal.”

Ares berbisik di balik bahu Nanda, mendekapnya sambil menciumi puncak kepalanya penuh sayang.

Kedua matanya terpejam dengan senyum yang begitu lebar di wajahnya, juga dengan hati yang begitu lega saat pemuda yang ada di dekapannya ini sudah resmi menjadi miliknya.

“Terimakasih, Ananda.”

Karena hanya Ananda seorang yang bisa membuat Rajendra Ares jatuh cinta begitu dalam seperti ini, yang bisa membuatnya membuang rasa ragu apa pun yang berhubungan dengan Nanda.

Ares mencintainya, sungguh tanpa pengecualian.

Ananda dan segala tentangnya.

Ananda dan segala kenangannya.

Ananda dan segala hidupnya yang bahkan telah direnggut secara paksa darinya.

Ananda dan segalanya yang kini tertinggal dalam satu ruang ingatan bahagia sekaligus menyakitkan bagi Ares.

Dan Ananda yang tidak akan pernah bisa ia lihat lagi seumur hidupnya.