sekyung x yiheon — local au

Now I have to remember you for longer than I have known you

Bagi Ares, ada banyak hal yang selalu ia ingat dengan jelas kalau itu berbicara tentang Ananda, kekasihnya.

Setelah pertemuan pertama mereka, ia bercerita panjang lebar dengan Azka juga Samudra soal bagaimana Ananda berhasil mencuri perhatiannya dan tentu saja Samudra berkata mampus! dengan refleks guna membalas cerita lama tentang dia yang dulu sering membahas Anindita semasa kuliah di depan kedua sahabatnya tapi malah dianggap candaan oleh Ares.

“Ngarasain juga kan lo jadi gue. Kena karma tuh nanti jadi bucin gak ketolong ke Ananda Ananda itu.”

Saat itu Ares hanya bisa tertawa menanggapi ucapan Samudra tanpa benar-benar menyanggahnya sama sekali karena di sudut hatinya Ares tahu, Ananda berbeda. Ananda memang begitu kuat menciptakan kesan pertama di ingatannya.

Hingga akhirnya dua minggu kemudian Ares memutuskan untuk kembali menemui Ananda yang merupakan sebuah titik awal dari perjalanan cintanya menjadi sangat besar.

Juga yang tidak akan pernah ia bayangkan akan membawanya merasakan duka kehilangan yang begitu menyakitkan saat Ananda pergi.

Di hubungan mereka yang memasuki bulan ke empat, Ares baru saja menjemput Nanda sepulang bekerja sesuai rutinitasnya bila mereka sedang tidak sama-sama sibuk.

Ketakutan Nanda saat itu memang tidak sepenuhnya terbukti, namun tidak salah juga karena kesibukan mereka memang sedikit berdampak pada intensitas pertemuan keduanya.

Tetapi, semua itu masih bisa diatasi, baik Ares maupun Nanda pada akhirnya tidak terlalu mempermasalahkan karena sesibuk apa pun mereka akan selalu ada saat saling membutuhkan.

Hari Jumat sore sudah bisa dihitung memasuki weekend ketika mobil Ares baru saja meninggalkan halaman parkir kantor tempat Nanda bekerja.

Di kursi sampingnya, dia tampak terduduk bersandar dengan bahu terkulai lemas, “Capek banget, Kak Ares.” katanya dengan nada merajuk.

Ares tersenyum kecil sambil mengusak puncak kepalanya, tuh kan kasian banget pacarnya ini.

Ia memberikan satu cup minuman dingin yang tadi sengaja dibelinya sebelum menjemput Nanda, dan tentu saja itu langsung membuat mata Nanda berbinar senang sambil menerimanya.

Tahu sekali apa saja yang bisa menaikan mood Nanda.

Perhatian Ares menang tidak pernah berkurang sedikit pun dari sejak mereka dekat dulu, bahkan rasanya semakin bertambah seiring berjalannya hubungan mereka.

“Makasih, kakak.”

“Sama-sama, sayang.”

Setelah dua bulan bekerja, Nanda memang harus terbiasa mengikuti ritme hidup fase dewasa yang mulai dijalaninya dan Ares tidak pernah absen sebagai supportive boyfriend yang selalu mendengarkan setiap ceritanya bahkan memberikan masukan-masukan yang sekiranya sedikit membantu Nanda dalam menjalani pekerjaannya.

Namun, setelah lelahnya mereka di hari kerja itu akan ada weekends yang selalu dinantikan karena akan dihabiskan dengan penuh perasaan senang saat bisa mempunyai waktu bersama lebih lama.

Seperti sekarang, kini mereka berada di balkon apartemen Ares yang lagi-lagi menjadi tempat paling nyaman untuk menghabiskan waktu berdua.

Baik Ares maupun Nanda yang tidak terlalu suka tempat ramai memang sudah memutuskan kalau di sini lah tempat paling pas untuk mereka quality time.

Ares bisa memasakan makanan untuk mereka berdua dengan Nanda yang akan sibuk merecokinya dengan jahil. Kekasihnya itu selalu bersikeras untuk membantu walau ujung-ujungnya hanya disuruh duduk manis saja oleh Ares.

Kalau seperti itu artinya tugas Nanda hanya menyemangati Ares yang sedang memasak dengan caranya sendiri, yaitu memeluk Ares dari belakang hingga Ares hapal betul tingkah manjanya itu.

“Ananda... kalau gini Kak Ares jadi nggak fokus. Dipeluk-peluk kamu terus.”

Dan Ananda hanya akan tertawa saat Ares membalikan tubuhnya, memandangnya dengan jengkel namun akan meluluh saat Ananda memberikan tatapan seperti anak kucing.

Ares akan menghela napas kecil sambil memeluk Ananda yang masih menyisakan tawa kecil di bibirnya.

“Kalau masakan kakak jadi gak enak gara-gara kamu, kamu tanggung jawab ya.”

“Iya, tetap aku makan kok, Kak Ares sayang.”

Atau selain itu mereka hanya akan malas-malasan di atas sofa sambil menonton film dengan kepala Nanda yang tidur di paha Ares atau pun sebaliknya. Juga dengan kentang goreng hangat satu piring yang bisa dihabiskan oleh Nanda.

Di tempat ini, ada begitu banyak memori yang terekam tentang betapa serunya hubungan Ares dengan Nanda, betapa banyaknya tawa bahagia yang kerap terdengar bila mereka sedang bersama.

Nanda terlihat memegang mug putih berisi susu coklat hangat di tangannya ketika Ares yang berada di sampingnya memegang gelas berisi kopi.

Oh, selain tidak bisa makan pedas, Ananda juga ternyata tidak terlalu suka minum kopi sehingga Ares sengaja menyediakan susu coklat di dapurnya khusus untuk Ananda. Pantas saja dulu saat selalu diajak ke cafe waktu pdkt Ananda pasti memesan selain kopi.

Netra Ares melirik ke samping saat Ananda merapatkan cardigan hitam—milik Ares yang sedang dipakainya.

Lima menit lalu Ares masuk ke dalam kamar untuk mengambil cardigan dan memasangkannya di pundak Nanda yang kemudian menatapnya sambil tersenyum lebar mengucap terimakasih.

Setelah mandi tadi, Nanda memang hanya menggunakan kaos pendek dan tentu Ares tidak mungkin membiarkannya kedinginan saat angin malam menerpa kulit putihnya.

Ananda selalu suka kalau dia berdiri di balkon apartmen Ares yang berada di lantai enam. Dari sini terlihat jelas jalan-jalan di Kota Bandung yang masih sibuk di pukul tujuh malam. Lampu-lampu bangunan di bawah sana terlihat cantik kontras dengan langit malam yang begitu gelap.

Ares menyesap kopinya, merasakan sensasi sedikit pahit yang melewati tenggorokannya. Tidak ada yang memulai bicara membuat mereka hanya menikmati hening dengan angin yang sesekali mengibas rambut membuatnya jatuh acak di atas kening.

Satu langkah kecil Ares bergeser ke arah kiri untuk mendekat pada Nanda, tangannya yang tidak memegang gelas merangkul pundak sang kekasih membuat Nanda menjatuhkan kepalanya untuk bersandar di bahu Ares tanpa ragu.

“Langitnya gak banyak bintang, cuma satu.”

Nanda bergumam pelan sambil menengadah ke atas, pandangannya mengedar menatap langit luas tanpa ujung yang begitu gelap.

“Tapi ada bulan sabit di sampingnya, cantik.” timpal Ares ikut mengangkat wajahnya, tangannya mengusap-mengusap lengan Nanda dengan pelan hingga ia merasakan kepala Nanda mengangguk kecil di bahunya, “Iya, cantik banget.”

“Kayak Ananda.”

Nanda tertawa sedikit malu mendengar gombalan Ares yang tiba-tiba itu. Pipinya sedikit menghangat saat Ares mendaratkan sebuah kecupan cukup lama di pelipisnya.

“Ananda Langit Kaivan.”

Naman lengkap Nanda dirapalkan dengan suara dalam oleh Ares, ia mengeratkan pelukannya pada Nanda yang juga semakin merapatkan tubuhnya.

“Nama kamu cantik sekali, boleh tahu kenapa ada langitnya?” ia bertanya sambil melirik Nanda yang kini menyunggingkan senyum di wajahnya.

“Kata Kak Ares paling bagus langit itu saat kapan?” Nanda justru balik bertanya padanya setelah ia menyesap susu coklatnya yang sudah sedikit dingin.

“Senja.” jawab Ares cepat, “Tapi, waktu fajar juga cantik banget.” tambahnya membuat Nanda menatapnya dengan sorot geli, “Semuanya juga cantik, kak.” balasnya.

“Iya betul.”

“Kata Ayah, dulu aku lahirnya waktu fajar. Aku diceritain Ibu juga. Ayah nunggu di rumah sakit sambil panik meluk Kak Alvin sama Teh Nindya yang masih pada kecil dan nggak bisa ditinggal di rumah berdua.”

Ares melihat ada senyum simpul dengan pandangan menerawang yang telihat di wajah cantik Ananda saat ini.

“Ayah bilang, dia dengar suara tangis aku pertama kali saat warna langitnya cantiikkkkkk banget, perpaduan oren sama biru yang bener-bener kayak lukisan karya Tuhan.”

Ananda menatapnya dengan sorot berbinar, sudut bibirnya ditarik jauh berlawanan membentuk lengkung indah yang selalu Ares sukai.

“Terus akhirnya Ayah jadiin langit buat nama tengah aku.” senyum manis Nanda menular padanya hingga Rajendra Ares itu ikut melebarkan sudut bibirnya.

“Nanda juga karya Tuhan yang begitu cantik.” ucap Ares dengan suara beratnya.

“Nanti kalau Kak Ares kangen aku, bisa liat langit aja.” Nanda kemudian kembali berbicara dengan sedikit terkekeh,

“Semua langit mau senja, mau fajar, mau mendung, mau hujan, mau malam, pokoknya semuanya tetap langit yang ada dalam nama aku.”

Tidak lagi merangkulnya, kini Ares telah memeluk Nanda yang sedikit protes karena mug yang ada ditangannya. Tetapi, Ares tidak perduli, ia hanya tertawa mendengar suara gerutuannya itu.

“Gampang banget ya, tinggal liat ke atas terus Kak Ares bisa langsung ngobatin kangen ke kamu, dong.”

Nanda mengangguk di dalam pelukannya, satu tangannya kini membalas pelukan Ares, “Iya, kakak liat langit aja terus teriak deh nanti sampai ke aku tuh suaranya.”

Diciumnya pipi Nanda itu yang kini tertawa karena ucapannya sendiri, “Emangnya kamu burung bisa dengar suara di langit. Aku teriak dari sini juga gak akan sampai ke rumah kamu.”

Ares lalu mengusak rambutnya dengan gemas,

“Lagian kalau kangen tinggal kakak samperin saja ke rumah biar cepat ketemu.”

Sesungguhnya Ares tidak akan pernah menyangka kalau obrolan mereka saat itu tentang langit akan begitu berarti baginya ketika ia benar-benar merindukan sosok Ananda di setiap harinya yang terasa kosong.

Faktanya Ares tidak bisa seperti apa yang ia katakan kala itu, ia tidak bisa mendatangi rumah Ananda untuk mengobati rindunya saat Ananda itu sendiri tidak ada di sana lagi.

Ananda tidak ada di rumahnya.

Ananda sudah berada di tempat jauh yang tidak bisa dijangkau olehnya lagi.

Ares hanya bisa berlama-lama menatap langit dari balkon kamarnya tanpa sepatah kata pun.

Ia hanya terdiam lalu memejamkan mata saat sudut matanya terasa panas dan mendesak air mata entah yang keberapa kalinya untuk kembali jatuh.

Hatinya selalu seperti diremas begitu kuat bila ia menggumamkan nama Ananda yang begitu dicintainya dengan sangat dalam.

Ia berulang kali menyampaikan rindunya pada langit yang begitu luas di atas sana berharap langit Ananda ada di salah satu titiknya dan mendengar bagaimana ia begitu merindukannya.

Nanda lagi apa, sayang? Kak Ares kangen.


Ares selalu suka melihat senyum Ananda yang terukir di wajahnya karena Ananda akan terlihat manis dan juga cantik.

Dialah Ananda Langit Kaivan yang berstatus kekasihnya.

Dialah Ananda yang saat ini sedang terpaku melihat ikan-ikan besar yang berada di atas kepalanya.

Juga, matanya yang berbinar senang selalu membuat Ares ingin memberikan bahagia yang begitu banyak kepadanya.

Di awal bulan Juni ini, Ares baru saja disuruh pulang saat bulan lalu ia tidak bisa. Selain Ananda, alasannya juga karena pekerjaan yang menumpuk membuatnya mau tidak mau menunda jadwal ke rumah orang tuanya.

“Kak Ares.. fotoin aku.” panggilan Nanda itu membuat Ares mendekat padanya sambil melebarkan senyum, daritadi juga Ares sudah banyak mengambil gambar Ananda walaupun dia tidak tahu karena sibuk sendiri dengan rasa senangnya.

Saat ini mereka sedang ada di Sea World.

Katanya ini adalah tempat yang paling ingin dikunjungi Nanda bila dia main ke Jakarta lagi. Nanda bilang terakhir kesini waktu SMA dulu bersama Teh Nindya. Dan Kak Alvin yang selalu dia recoki bila sedang libur itu kerap kali menolak bila diajak, dasar kakak keduanya itu tidak seru!

Ananda sempat terbengong sesaat ketika Ares tiba-tiba mengajaknya untuk pulang ke Jakarta. Dia bahkan sampai tersedak es teh manisnya hingga terbatuk membuat Ares harus menepuk-nepuk punggungnya dengan khawatir.

“Nanda mau ikut Kak Ares pulang nggak? nanti kakak ajak main ke Sea World sekalian, kan katanya kamu mau kesana.”

Itu adalah ucapan Ares yang tiba-tiba saat mereka sedang makan malam di sebuat tempat makan dekat kantornya sepulang mereka bekerja.

Oke, Sea World di sini bukan topik utama seharusnya, karena Nanda dengan cepat justru meng-highlight kata “pulang” yang diucapkan oleh Ares.

Pulang ke rumah orang tuanya, yang artinya Nanda akan bertemu ketiga keluarga Ares. Ada Papa, Mama, serta Lily sang adik yang sudah Nanda kenal cukup lama.

“Kak Ares serius?” Nanda bertanya tidak yakin sambil menatap Ares yang mengangguk pasti di depannya.

“Serius, sayang. Minggu ini aku disuruh pulang sama Mama.”

Sekarang masih hari Rabu, ada jeda tiga hari untuk Nanda berpikir hingga hari Sabtu saat Ares akan pulang ke Jakarta.

“Kabarin kakak ya kalau kamu mau. Lily bilang mau ketemu sama Kak Nanda katanya.”

Nanda meringis mendegarnya, Lily itu memang berteman dengannya di Instagram, terkadang dia juga membalas statusnya hingga terjadi obrolan singkat beberapa kali.

“Iya kak, nanti aku izin Ibu dulu.”

Maka, di sini lah Nanda sekarang.

Tadi Ares menjemputnya ke rumah pukul tujuh pagi, kata Ares mereka akan menginap dan baru pulang besok Minggu.

Jujur saja Ananda sedikit gugup saat mobil Ares berhenti di dalam gerbang rumah yang terbuka lebar. Dia menatap Ares yang tersenyum lembut padanya sambil menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam rumah.

Suara anak remaja perempuan langsung terdengar begitu Ares memanggil namanya.

“KAK NANDA!”

Panggilnya dengan suara nyaring membuat Ares mendengus kecil, “Berisik, gausah sambil teriak-teriak juga, Lilya.” katanya sedikit mengomel membuat Nanda menahan tawanya.

“Hallo, Lily.”

Ananda menyambut pelukan Lily dengan hangat, selalu seperti itu dengan siapa pun. Ares tahu kekasihnya adalah anak manis, anak ramah dan anak baik sejak mereka bertemu pertama kali.

Bertemu dengan seluruh keluarga Ares tidak semenakutkan itu karena semuanya tampak welcome sekali pada Ananda yang baru pertama kali berkunjung.

Sikap Nanda yang kelewat ramah dan mudah tersenyum membuat dia selalu disukai banyak orang, sejak sekolah dan kuliah dulu Ananda memang dikenal dengan sikap baiknya.

“Kakak Nanda cantik gini kok mau sama Kak Ares ya..?”

Ares lagi-lagi mendengus sambil menyentil kening adiknya hingga dia mengaduh lebay dan menepis tangan sang kakak. Sedangkan Nanda kembali menahan tawanya melihat tingkah kedua saudara itu.

Dia menatap remaja cantik berambut panjang itu dengan lembut, wajahnya jelas mirip Kak Ares tapi tingkahnya sedikit tidak bisa diam berbeda dengan sang kakak yang lebih kalem, simpulnya.

“Karena Kak Nanda sayang sama Kak Ares. Kakak kamu baik banget.”

Jawaban Nanda itu membuat satu senyum simpul terlihat di wajah Ares.

Berbeda dengan Lily yang langsung berkata heboh sambil menunjuk-nunjuk kakaknya, “Wah kakak pelet pakai apa nih Kak Nanda nya??!”

Kurang ajar,

Ares memiting leher adiknya yang asal bicara, bercanda tentu saja. Tapi, Lilya Baskara itu malah mengaduh sampai Mama datang dan bertanya karena keributan yang mereka buat.

Melihat mereka membuat Nanda tidak bisa menahan senyum lebarnya. Teringat kalau dia juga seperti itu dengan Kak Alvin, kakak keduanya itu yang paling sering ribut dengannya walaupun ujung-ujungnya selalu baik dan memanjakannya dengan banyak jajanan.

Ananda mengerjap saat Ares yang sedang berdiri di sampingnya tiba-tiba menggenggam tangannya.

Kebiasaan, tapi Nanda menyukainya.

Kak Ares dan genggaman tangannya adalah hal yang disukai Ananda.

Tangan hangat Ares selalu menuntunnya kemana pun mereka pergi.

Tangan hangat Ares selalu memberikan rasa tenang kepadanya karena Ares selalu bersamanya.

Tangan hangat Ares selalu menyentuhnya dengan begitu lembut, menggenggamnya menyalurkan sayang yang bisa Nanda rasakan.

Di depan kaca besar dan juga tinggi berisi berbagai ikan dengan air berwarna biru, Ares menatapnya dengan begitu dalam.

Ares tersenyum sangat tampan sekali, genggaman tangannya pada Ananda mengerat tatkala Ananda berucap pelan padanya,

“Makasih sudah ajak aku ke sini, Kak Ares.”

Nanda mendekat, mengecup pipinya dengan cepat lalu berbisik lirih di sampingnya, “I love you, kak.”

“I love you too, Ananda.”

Ares bisa mengingat jelas hari itu.

Ia mengingat bagaimana mereka berbagi tawa sambil menebak-nebak nama ikan yang ada di akuarium raksasa tersebut.

Ia mengingat bagaimana Ananda menyuruhnya untuk meminta tolong pada orang lain agar bisa memfoto mereka berdua.

Ia mengingat bagaimana senyum Ananda tampak berkali-kali lebih cantik saat terlihat begitu bahagia hanya karena Ares mengajaknya ke sana.

Ia mengingat boneka hiu yang dibeli Ananda untuknya sebagai oleh-oleh.

Ia mengingat mata Ananda yang menatap kagum pada ubur-ubur yang bergerak cantik di depannya dan tentu saja tidak lepas dari kamera ponselnya untuk diabadikan hingga akhirnya Nanda sadar dan merengek untuk meminta dihapus.

Ares juga mengingat janjinya yang tidak akan pernah bisa ia tepati.

“Kamu suka banget ya, nanti Kak Ares ajak kesini lagi. Nanda tinggal bilang saja.”

Adalah sebuah janji yang hanya akan terkubur dalam tanpa bisa dijalankannya.

Karena tanpa Ananda itu sendiri, janji Ares tidak ada artinya lagi.