sekyung x yiheon — local au
I am trying to remember you and let you go at the same time
Satu tarikan napas panjang terlihat dilakukan oleh Ares saat menghentikan mobilnya di depan toko bunga yang dua tahun lalu untuk pertama kalinya ia datangi ketika hujan turun di langit Kota Bandung.
Butuh hingga lima menit untuk pemuda yang kini berusia dua puluh tujuh itu menyiapkan dirinya sebelum keluar dari mobil. Ia hanya terdiam menatap ke arah sana saat berbagai kelibat kenangan muncul di pikirannya.
Ares pernah membantu Ananda dengan kardus-kardusnya di depan toko, sebuah pertemuan kedua yang begitu sangat manis kalau diingat.
Kepalanya menunduk hingga keningnya menyentuh kemudi dan ada senyum getir yang terlihat samar. Tangannya yang juga sedang memegang kemudi tanpa sadar mengerat membuatnya lagi-lagi harus menghela napas lebih dalam.
Ananda, bisiknya dalam hati.
Langkah lebarnya berjalan pelan untuk sampai ke depan pintu kaca yang tertutup rapat. Tangannya memegang handle pintu sebelum mendorongnya untuk dibuka dan melangkah masuk.
“Teh Maudy.”
Sapanya pertama kali saat ia melihat kakak sepupu Ananda yang sedang sibuk dengan berbagai bunga potong yang berserakan di atas meja. Kepalanya mendongak dan pandangannya sedikit terkejut melihat siapa yang datang ke tokonya saat dia baru saja buka.
“Ares? Sudah lama banget. Apa kabar kamu, Res?”
Ares tersenyum sopan menyambut respon hangat dari kakak perempuan yang dulu selalu menjadi saksi bagaimana ia banyak mengunjungi Ananda di sini.
“Saya baik, semuanya gimana?”
Ares balik bertanya pada Maudy yang sudah menyuruhnya untuk duduk di meja yang juga pernah ia tempati ketika menunggu Nanda merangkai bunga pesanan Samudra dulu di pertemuan pertama mereka.
Satu tahun lalu Ares memang kembali ke Jakarta dan meninggalkan Bandung yang sudah ia tinggali selama delapan tahun terakhir.
Tepatnya enam bulan setelah kepergian Ananda.
Alasannya karena tuntutan pekerjaan dan kemudian tentu saja keputusannya itu disambut baik oleh orang rumah saat akhirnya anak sulung mereka bisa kembali tinggal bersama.
Obrolannya dengan Maudy membawa banyak kenangan yang kembali mengambil alih pikirannya.
Selain apartemennya dulu, setiap sudut toko bunga ini juga mengingatkannya dengan Ananda.
Bunga dan langit, dua hal yang selalu Ares kaitkan dengan kekasihnya itu.
Ares menatap lama sebuah papan yang ada di sisi tembok tempat menempelkan foto-foto dari kelas merangkai bunga. Dan di sana ada cukup banyak foto Ananda juga foto mereka berempat bersama Samudra serta Anindita saat diambil hampir dua tahun lalu.
Kenangan hari itu tercetak dalam sebuah foto polaroid kecil yang sepertinya nanti akan ia minta untuk dibawa pulang.
Netra Ares juga bergulir menatap sebuah cctv yang berada di belakang meja tempat Nanda bisa merangkai bunga dan mengarah ke tempatnya duduk sekarang.
Memorinya kembali mundur pada hari di mana saat ia datang untuk menemui Ananda sebelum pulang ke Jakarta.
Pagi itu Nanda menyuruhnya untuk berdiri di depan cctv sambil melambaikan tanganya yang membuat Ares bertanya bingung, “Buat apa, sayang?”
“Biar aku bisa lihat Kak Ares dari rekaman cctv kalau kangen.”
Jawaban polos Nanda saat itu membuat Ares sekuat tenaga menahan tawanya karena terdengar begitu lucu baginya, “Kalau kangen kan tinggal video call, Ananda.” gumam Ares.
Ia justru menarik Nanda yang sedang duduk untuk ikut berdiri sebelum kemudian merangkulnya “Gini saja ya, biar kamu nanti lihatnya kita berdua. Nah, sudah boleh dadah-dadah sekarang.”
Nanda tertawa dengan ide Ares karena kalau Teh Maudy tahu pasti dia akan malu banget.
Tangannya di pegang oleh Ares dari belakang dan langsung melambai ke atas, membuatnya benar-benar tertawa lepas apalagi saat kemudian Ares melakukan hal yang sama.
Hari itu, Ares ingat Ananda banyak tertawa dengan wajah cerahnya meskipun kemudian ia merajuk seperti biasa saat Ares harus pergi.
Mirisnya, sekarang justru Ares lah yang rasanya ingin melihat semua rekaman cctv di ruangan ini karena akan ada banyak sekali keseharian Ananda yang terekam jelas di sana.
Kesadarannya yang sedikit melamun itu berhasil ditarik kembali untuk menatap Maudy yang kini memberikan sebuah undangan pernikahan padanya.
“Dari Alvin, sudah jauh-jauh hari dia bilang kalau ada kamu datang kesini tolong dikasih. Keluarga Nanda masih suka nanyain kamu, Res.”
Tangan Ares memegang undangan pernikahan berwarna gading dengan hiasan bunga yang terlihat sangat cantik. Dilihat dari tanggal yang tercetak, acaranya masih dua minggu lagi.
Kini di wajahnya terulas sebuah senyum ketika mendengar ucapan Maudy. Ares tahu keluarga Ananda memang begitu baik karena sejak dulu selalu menyambutnya dengan tangan terbuka lebar,
“Saya ikut berbahagia buat Kak Alvin. Nanti saya pasti datang. Tolong sampaikan salam sama semuanya, Teh.”
Sejak kepindahannya kembali ke Jakarta bulan Februari tahun lalu, Ares beberapa kali masih sering berkunjung ke Bandung.
Ia akan menyempatkan waktunya untuk mengunjungi Ananda yang selalu dirindukannya.
Namun memang Ares sudah lama tidak mampir ke toko ini sehingga ia tidak pernah bertemu lagi dengan Maudy maupun keluarga Ananda yang lain.
Paling saja Ares hanya akan bertemu dengan Samudra saat sahabatnya itu diberi tahu kalau ia sedang ada di Bandung.
Karena Ares sudah tidak punya tempat pulang lagi di sini.
Rumahnya sudah tidak ada.
Sejujurnya ada seseorang yang ingin sekali Ares temui, mungkin nanti saat di acara Alvin. Ares ingin bertemu Ibu nya Nanda yang dulu selalu menyambutnya dengan senyum lembut ketika ia akan menemui anak bungsunya.
Bahkan, Ares masih mengingat jelas bagaimana Ibu memeluknya dengan begitu hangat di hari Nanda meninggal.
Tangan lembutnya mengusap dengan sabar punggung Ares yang bergetar. Beliau berbisik padanya yang sedang menangis sambil memegang nisan Nanda dan berkata untuk mengikhlaskan kepergian putranya walaupun Ares tahu betul, hal tersebut juga pasti jauh lebih berat untuk beliau.
“Hari ini mau ke tempat Nanda?”
Ares mengangguk pasti, ia rindu sekali.
“Saya mau bawa bunga, tapi boleh nggak saya yang merangkainya sendiri?”
Permintaan Ares itu membuat Maudy menampilkan senyum simpul sambil mengangguk, “Silahkan, Ares.” dia tentu tahu bagaimana adik sepupunya itu selalu menunggu Ares di sini dengan penuh senyum dan akan sibuk bercerita banyak padanya tentang Ares yang begitu baik.
Kak Ares ini, Kak Ares itu.
Senyumnya, cerita antusiasnya dan binar senang di kedua bola matanya bila Ares datang masih bisa diingat jelas oleh Maudy hingga sekarang.
“Terimakasih, Teh Maudy.”
Dulu, di saat ia menyatakan cintanya di toko bunga ini. Ares pernah bilang kalau ia akan membuatkan buket bunga paling cantik untuk Ananda.
Dan di tangannya saat ini, ada sebuket bunga lily putih kesukaan Ananda yang ia rangkai dengan susah payah agar terlihat cantik sebagaimana janjinya pada Ananda.
Langka kaki Ares seakan sudah hapal di luar kepala kapan ia harus berbelok ke kanan, berjalan lurus, kemudian ke arah kiri agar sampai di sebuah makam yang bertulisan nama Ananda diantara ratusan batu nisan yang ada di sini.
Senyum Ares selalu sama apabila ia akhirnya menurunkan tubuhnya untuk berjongkok di samping pusaran Ananda yang kini sudah berusia lebih dari satu tahun itu.
Sebuah senyum hangat namun dengan sorot penuh luka yang tidak akan bisa berbohong terlihat jelas di wajah tampannya.
Tangan Ares yang dibalut kemeja panjang berwana hitam menaruh bunga yang tadi dibawanya di atas makam Ananda dengan perlahan.
“Ananda...” sapanya dengan pelan, “Maafin Kak Ares baru sempat datang lagi.”
Tangannya terulur untuk mengusap dengan pelan nama cantik Ananda yang terukir di sana, ada bekas air hujan yang menghalanginya karena jelas saja hujan lagi-lagi turun di sini bahkan sejak pagi.
“Maaf juga kalau buket bunganya enggak sebagus buatan kamu ya, sayang. Kak Ares nya masih belum jago.”
Ia juga membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh sembarangan walaupun makam Ananda jelas terawat dengan rapi.
Ares termenung sebentar menatap nisan Ananda yang lagi-lagi diusapnya dengan perlahan, dadanya terasa sesak sesaat ia kembali berbicara,
“Nanda tahu nggak, hari ini harusnya kita anniversary yang ke dua sekarang...” bisiknya dengan begitu pelan.
Di bulan Januari dua tahun lalu mereka akhirnya berpacaran setelah Ares melakukan aksi pdkt nya yang hanya berlangsung dua bulan saja. Setelah Ares yakin bahwa hatinya memang sudah tertuju pada Ananda bahkan sejak di pertemuan pertama mereka.
Dan kali ini Ares bertemu lagi dengan tanggal dan bulan yang sama namun dengan tahun yang berbeda.
Begitu pun dengan keadaan mereka berdua, Ares di sini sendirian tanpa Ananda di sisinya.
Ares bisa menghabiskan waktu cukup lama bila ia sedang berada di sini. Ada banyak cerita yang keluar dari bibirnya seakan Ananda mendengarkan dan ada di sini bersamanya.
Sesekali pandangan Ares menengadah ke atas untuk menatap langit yang kelabu tertutup awan mendung.
Ares selalu berharap bahwa langit Ananda bisa menyampaikan pesan kepadanya, bahwa langit Ananda bisa tahu kalau di sini, Ares akan selalu mengenangnya.
Dari total dua puluh tujuh tahun hidupnya, Ares mungkin hanya menghabiskan waktu bersama Ananda kurang dari satu tahun saja.
Tetapi, kenangannya bersama dengan Ananda akan selalu Ares simpan di satu ruang ingatannya, karena Ananda begitu berarti untuknya.
Karena Ananda begitu ia cintai dengan setulus hatinya.
Setelah kepergian Ananda banyak hal yang terjadi. Namun, terkadang Ares selalu ingin kembali kepada waktu saat ia masih bersama Ananda. Ketika kehadiran Ananda bisa ia lihat di hidupnya.
Tentu saja butuh waktu yang tidak sebentar untuk Ares bisa benar-benar melepaskan kepergian Ananda.
Butuh banyak rasa sakit yang harus dilalui oleh Ares kala setiap hari ia menatap nanar sudut tempat tinggalnya yang selalu mengingatkannya dengan Ananda.
Butuh hati yang begitu lapang saat Ares akhirnya bisa mengucap ikhlas untuk merelakan Ananda pergi selama-lamanya.
Rindunya jelas masih sering mampir karena Ananda menempati satu ruang di hatinya yang tidak akan pernah bisa Ares gantikan.
Ares merindukan suaranya, Ares merindukan tatapan hangatnya, Ares merindukan senyum cantiknya, Ares selalu merindukan Ananda nya.
Namun perlahan, beban kesedihan dan duka yang selalu Ares bawa itu terasa lebih ringan saat ia benar-benar meyakini kalau Ananda pergi ke tempat yang jauh lebih baik.
Tuhan lebih sayang Ananda sehingga Dia mengambilnya lebih cepat.
Ares akan selalu mengingat tentang Ananda yang pernah mengisi hari-harinya.
Ananda yang selalu memberikan bahagia kepadanya.
Ananda yang begitu disayanginya.
Ares mengusap sudut matanya yang menghangat saat tiba-tiba air matanya kembali keluar dari sana, “Nanda di atas sana pasti bosan lihat Kak Ares sering nangisin kamu ya.” gumamnya mencoba untuk mengulas senyum, tetapi nihil.
Duka Ares masih ada di dasar hatinya, ia mungkin bisa terlihat baik-baik saja di depan orang lain. Tetapi saat sendiri, Ares tidak akan bisa berbohong kalau hatinya selalu merasa sakit dan dalam diamnya Ares hanya berharap Ananda di tempatkan di sisi terbaik-Nya.
Ananda sudah di surga, anak baik itu sudah tenang di atas sana.
Tangannya kembali mengusap nama Ananda, kepala Ares tertunduk dalam dengan mata terpejam, membayangkan wajah Ananda yang selalu menatapnya sambil mengulas senyum dengan lesung pipi yang begitu cantik.
“Kak Ares rindu sekali, sayang.” bisiknya.
Pertahannya runtuh, pundak Ares perlahan bergetar pelan. Di depan pusaran Ananda, ia akhirnya menangis bersama langit yang perlahan ikut kembali berduka bersamanya, langit menjatuhkan satu demi satu tetes air yang membasahi pundaknya seakan ikut merasakan kesedihan pemuda di bawah naungannya.
“Ananda...”
Untuk Ananda, sayangnya Kak Ares.
Ananda, kalau nanti kita terlahir kembali... izinin Kak Ares buat jagain kamu lagi ya, sayang.
Nanti kita minta sang waktu agar jangan jahat sama kamu, agar kita bisa sama-sama lebih lama lagi.
Masih banyak sekali yang ingin Kak Ares lakukan untuk kamu, Ananda.
Ananda... Kak Ares berharap bisa bilang langsung kalau kakak sangat berterimakasih untuk semuanya dan untuk kenangan yang telah kita bagi berdua.
Anandaku yang cantik, tidur yang nyenyak ya, sayang.
I love you.
I miss telling you.
I miss hearing it back.