sekyung x yiheon — local au
Having to learn how to live without you is a lesson I never wanted to learn
Samudra duduk termenung tidak tenang di tembok halaman rumah duka Ananda, kedua kakinya terus bergerak tidak sabar juga dengan tangan yang bertautan sedikit berkeringat.
Pemuda dua puluh lima tahun itu kemudian berjalan mendekat ke jalan tatkala ia melihat Anindita yang baru turun dari sebuah motor ojek online yang ditumpanginya.
“Kak Sam...” panggil Anin dengan sorot tidak percaya menatap kekasihnya yang memasang wajah tegang.
Saat diberitahu oleh Samudra, seperti hal nya semua orang, Anindita juga berkata tidak percaya.
Kedua matanya melihat nanar sambil menutup mulut dengan tangan ketika tertuju pada rangkaian bunga berukuran besar yang bisa dia baca dengan jalas dan ada sebuah nama yang dia kenal tercetak di sana, nama Ananda.
Bagaimana mungkin Ananda meninggalkan mereka begitu tiba-tiba seperti ini.
“Kak Ares gimana?” tanyanya langsung, memegang lengan Samudra yang menggeleng pelan, “Mungkin baru sampai stasiun, kita tunggu di dalam ya.”
Dia mengangguk kecil, tangannya kali ini digenggam erat oleh Samudra, mereka jelas mengenal dan pernah bertemu dengan Ananda beberapa kali sejak keduanya berpacaran.
Baik Samudra maupun Anindita tahu bagaimana Ares begitu mencintai Ananda, bahkan Azka sekalipun akan tahu bila dia melihat sorot penuh bahagia Ares bila sedang membicarakan Ananda.
Suara tangis dari duka kehilangan terdengar jelas dari dalam rumah membuat Anin mengangkat wajahnya untuk menghalau air matanya yang lagi-lagi turun dan rangkulan Samudra di pundaknya terasa mengerat.
Ananda adalah anak yang baik dan juga manis, di suatu hari Anin pernah membawa Samudra untuk datang ke toko bunga dan mengajaknya untuk ikut kelas merangkai saat mengisi weekend, tentu saja Samudra yang bucin mampus itu mengiyakan tanpa banyak protes.
Hari itu, Samudra pamer pada Ares dengan mengirim foto mereka bertiga hingga sahabatnya itu langsung merutuk padanya karena tidak diajak.
Tentu saja sudah bisa Samudra tebak, lima belas menit kemudian dia bisa melihat seorang Rajendra Ares yang tiba di depannya sambil membawa banyak makanan untuk mereka berempat.
“Lo berdua ngapain pacar gue di sini? Ananda, kakak-kakak ini gak jahatin kamu kan?”
Tanyanya membuat Samudra langsung melempar satu tangkai mawar bekas guntingan pada tubuh Ares yang baru saja duduk.
“Bacot lo sembarangan banget, taik!” balas Samudra membuat Ananda tertawa melihatnya, kedua sahabat itu memang kerap kali tidak akur kalau diperhatikan.
“Apasih Kak Ares orang kita lagi lucu-lucuan bikin buket sama Nanda, iyakan Nan?” dan itu adalah suara Anin yang menimpali ucapan Samudra.
“Iya, Kak Anin sama Kak Sam cuma lagi belajar merangkai bunga. Tapi, aku jadi obat nyamuk karena gak ada Kakak Ares.” Ananda berkata sedikit merajuk membuat Ares mengusap lembut puncak kepalanya.
Anin yang duduk di depan mereka bisa melihat bagaimana Ares, seniornya sejak kuliah serta yang berstatus sahabat dari pacarnya begitu memperlakukan Ananda dengan penuh perhatian.
Sejak di bangku kuliah, Samudra adalah orang yang paling mengenal Ares, bersama Azka tentunya.
Samudra tahu bagaimana Ares yang kerap tidak percaya pada hal-hal di luar pikiran realistis yang selalu dipegangnya. Pun perihal jatuh cinta, Samudra hanya pernah melihat Ares berpacaran dua kali semasa pertemanan mereka yang sudah memasuki usia tujuh tahun ini, pertama saat mereka semester tiga, kedua saat usia dewasa mereka sekarang.
Namun saat dengan Ananda sekarang, Samudra tahu Ares jauh begitu serius dengan perasaannya. Samudra tahu bagaimana Ares yang perlahan membuka diri pada sebuah hubungan yang kerap kali tidak menarik minatnya.
Tatapan Samudra berkali-kali bertemu pandang dengan wajah-wajah asing yang dia lihat keluar masuk ke dalam rumah, satu kesamaan di wajah mereka adalah raut kehilangan yang begitu dalam.
Beberapa gerombolan anak muda yang pasti teman Ananda silih berganti datang dan pergi dengan mata yang memerah, hal tersebut membuktikan betapa Ananda dicintai oleh teman-temannya, oleh kerabat, juga oleh saudara-saudaranya.
Karena Ananda adalah anak yang begitu baik.
“Kak Ares.”
Samudra mengangkat wajahnya saat tangan Anin memegang lengannya memberitahu dengan suara tertahan.
Tubuh jangkung Samudra bangun dari kursi-kursi yang di taruh di halaman rumah untuk para tamu yang datang.
Langkah lebarnya diikuti dengan Anindita mendekat pada Ares yang baru turun dari taksi tepat di depan rumah Ananda.
Di tangannya ada koper berwarna hitam yang ia genggam dengan erat saat melihat rumah yang biasa ia datangi untuk bertemu Ananda sudah banyak orang yang sedang berduka.
“Res...”
Samudra memanggil pelan Ares yang menatapnya dengan pandangan kalut bercampur bingung tidak mengerti, ia jelas bisa membaca karangan bunga di sana dan nama Ananda tercetak dengan jelas.
Nama kekasihnya yang begitu cantik kenapa ada di sana?
Samudra sejak tadi memang tidak memberitahu secara eksplisit karena dia ingat perkataan Azka, kalau tiba-tiba dikasih tau pacar lo meninggal apa lo gak bakal mati berdiri.
Samudra juga tidak mau Ares kenapa-napa saat ia masih dalam perjalanan. Jadi dia mengambil keputusan yang juga begitu sulit baginya.
“Res, nanti langsung ke rumah Nanda ya. Gue di sini sama Anin. Lo harus kuat.”
Hanya baris kalimat seperti itu yang dikatakan Samudra dan Ares yang denial tentu tidak betul-betul berpikir kalau kuat yang dimaksud oleh Samudra adalah sebuah kabar duka.
Kalau Ananda yang dicintainya sudah tidak ada.
Kalau kekasihnya ternyata sudah meninggal.
“Sam.. ini bohong kan?”
Anin kembali menumpahkan air matanya saat mendengar pertanyaan Ares pada kekasihnya itu dengan suara penuh ragu.
“Jawab gue, Samudra!”
Ares meninggikan suaranya membuat beberapa pasang mata menatap mereka bertiga, tangannya menarik kerah kemeja biru dongker Samudra, tatapannya menajam namun jelas penuh ketakutan dan gelengan pelan dari Samudra membuat lutut Ares lemas.
“Ananda udah nggak ada, Res.”
Tubuh Ares sedikit limbung hingga Samudra langsung menahan lengannya, namun ia dengan cepat menepisnya sambil berkata tidak mungkin.
Langkahnya terasa tidak menapak saat ia berjalan memasuki halaman luas rumah Ananda, penampilannya benar-benar berantakan dengan rambut yang diacak frustasi sejak di kereta tadi.
Samudra mengusap pelan pundak Anin yang terlihat kembali berusaha menghapus air matanya lagi sebelum dia menyusul Ares untuk masuk ke dalam rumah, “Tolong simpan koper Ares ke mobil ya. Aku nyusul dia ke dalam dulu.” ucapnya.
Pikiran Ares jelas sedang tidak waras saat ini, bagaimana mungkin saat tadi pagi Ananda masih mengiriminya pesan, tetapi tiba-tiba sekarang tubuh kekasihnya itu sudah terbujur kaku di dalam sebuah peti mati berwarna coklat tua yang berada di dalam rumahnya.
Diedarkannya pandangannya ke seisi rumah yang terdapat beberapa orang dan semuanya sedang menangis.
Pandangan Ares bersitatap dengan Nindya yang seperti telah menangis sejak tadi karena matanya sangat memerah, dia terduduk sambil memeluk sang Ibu yang sedang menangis begitu pilu di bahunya, tangisan seorang Ibu untuk anak kesayangannya yang pergi lebih dulu.
Juga ada Alvin yang bersandar pada tembok sibuk menutup matanya dengan tangan mencoba menahan tangis yang sejak tadi tidak bisa berhenti saat melihat adik bungsu kesayangan mereka yang telat pergi untuk selama-lamanya.
Netra Ares juga bisa menangkap sosok Ayah Ananda yang sedang berbicara di sudut ruangan dengan kerabatnya. Sang kepala keluarga itu terlihat tegar namun ada duka mendalam di sorot matanya yang meredup, siapa pun yang melihatnya akan tahu sedalam apa beliau kehilangan saat ini.
Ares mundur satu langkah, terlalu takut menerima apa yang ada di depannya ini, semuanya terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi.
Rasa sakitnya, air matanya yang entah sejak kapan turun membuat bahu Ares perlahan bergetar saat menggumamkan nama Ananda dengan begitu lirih.
Nanda, kamu gak mungkin beneran ninggalin kita kan, sayang?
“Ares..” suara Maudy dari sampingnya membuat Ares menoleh, di hadapannya wanita berusia awal tiga puluhan itu terlihat begitu sembab.
Tangannya menyentuh lengan Ares sambil meremasnya sedikit kencang, “Temui Nanda untuk terakhir kalinya ya.” katanya dengan suara yang serak.
Untuk terakhir kalinya.
Langkah Ares begitu berat kali ini, kakinya seperti dipatok ke dalam lantai yang ia pijak agar tidak bisa melangkah ke sana, agar ia tidak mendekat ke arah peti yang belum ditutup itu.
Karena kalau Ares melihat, semuanya akan menjadi mimpi paling buruk di hidupnya.
Seharusnya saat Ares datang, Ananda sedang sibuk dengan bunga-bunga di depan mejanya.
Ananda sedang sibuk dengan banyak buket yang harus dia buat.
Ananda sedang menggunakan appron coklat yang selalu dikenakannya.
Ananda akan menyambutnya dengan sebuah senyum manis juga cantik seperti biasa.
Ananda akan dipeluknya dengan erat sesuai dengan permintaannya tadi pagi.
Tetapi, yang terjadi sekarang begitu betolak belakang. Jauh sekali, bahkan tidak pernah ada dalam pikiran paling liar dari Ares sedikit pun.
Tubuh Ares bersimpuh di depan peti yang baru saja ia lihat. Pundaknya bergetar lebih hebat dan tangisnya terdengar begitu menyayat hati bagi siapa pun yang mendengarnya.
Seorang Rajendra Ares Baskara menangis begitu tersedu-sedu sendirian saat merasakan duka kehilangan yang terasa sangat menyakitkan baginya.
Samudra mengusap kasar sudut matanya saat melihat punggung sahabatnya dari belakang.
Ares yang dikenalnya sejak tujuh tahun lalu itu untuk pertama kalinya menangis, memangil nama Ananda dengan begitu parau.
“Nanda kenapa tidur di sini, sayang.”
“Nanda harusnya kan sedang nunggu kakak.”
Ares mengepalkan tangannya dengan kepala yang tertunduk dalam saat melihat wajah damai Ananda terpejam di depannya.
“Ananda...” panggilnya tanpa suara yang terdengar jelas disela isakannya.
“Ananda sayang...” bisiknya terbawa angin karena begitu lirih namun sangat menyakitkan.
“Nanda, Kak Ares sudah pulang buat ketemu sama kamu.”
Di sela pandangannya yang memburam karena air matanya, Ares menatap begitu dalam wajah Ananda yang tertidur damai, “Nanda katanya kangen.. kenapa malah pergi saat Kak Ares pulang.”
“Kita bahkan belum ketemu satu menit pun, sayang.”
Rindu yang menumpuk diantara mereka satu minggu ini justru harus dibayar dengan pertemuan yang begitu kejam.
Sekarang, Ares tidak bisa memeluknya lagi.
Ares tidak bisa melihat senyumnya yang begitu cantik dan manis lagi.
Ares tidak bisa melihat binar bahagia di kedua iris coklat gelap Ananda yang di sukainya lagi.
Ares tidak bisa mendengar suaranya yang begitu lembut lagi.
Ares tidak bisa mendengar suara tawanya yang bahagia lagi.
Ares tidak bisa menghadapi tingkah manja Ananda kepadanya lagi.
Dan Ares sudah benar-benar kehilangan Ananda untuk selama-lamanya.
Mereka memang bertemu lagi di hari Sabtu sesuai ucapan Ananda saat Ares mengantarnya pulang minggu lalu, namun Ares menggeleng pelan dengan hati yang hancur bila mengingatnya.
“Bukan yang seperti ini, sayang.”
Bukan pertemuan yang seperti ini yang mereka maksud, ya Tuhan.
Tangan Ares meremas kuat memegang sisi peti hingga buku jarinya memutih, perasaannya jelas berkecamuk kacau kala harus menerima sebuah fakta menyakitkan seperti ini.
“Kenapa kita harus ketemu saat kamu sudah pergi ninggalin kakak, Ananda.”
Ares merasakan pundaknya yang diremas dari samping, tubuhnya kemudian dibawa ke dalam sebuah pelukan oleh Samudra yang sejak tadi memperhatikannya dalam diam.
Aku mau sama Kak Ares terus, sampai lama.
Perkataan Ananda saat itu kembali terngiang di telinganya membuat Ares memejamkan mata, dadanya penuh sesak seperti dipukul dengan begitu kencang tanpa ampun.
“Kenapa Nanda ninggalin gue begitu cepat, Sam? kenapa?”
Pertanyaan Ares kepadanya hanya mampu Samudra jawab dengan tepukan pelan di pundaknya, sungguh Ares yang begitu rapuh saat ini adalah Ares yang tidak pernah Samudra lihat sebelumnya.
“Kenapa Ananda harus pergi ninggalin kita?”
Ada banyak hal yang kemungkinan terjadi bila menyangkut tentang kehilangan serta kematian di mana itu adalah sebuah rahasia mutlak yang hanya Tuhan dan takdir yang tahu tanpa bisa diikutcampuri oleh tangan manusia yang tidak berdaya.
Pun bagi seseorang yang ditinggalkannya, akan ada banyak sekali yang direbut darinya di sisa waktu saat harus menjalani hari setelah melalui kehilangan abadi dari orang yang lebih dulu pergi ke pangkuan Tuhan.
Kematian telah merebut banyak hal yang dimilik oleh Ares bersama Ananda.
Dia telah merebut banyak percakapan yang seharusnya terjadi setiap hari, dia telah merebut tawa bahagia yang akan selalu terdengar dari bibir Ananda juga dirinya.
Dia telah merebut banyak momen yang akan bisa dilalui Ares juga Ananda hingga bertahun-tahun kedepan, dia telah merebut banyak janji yang telah Ares buat untuk Ananda, dia bahkan merebut hening yang terkadang tercipta diantara mereka saat hanya ada pandangan yang akan berbicara lewat mata penuh binar paling terang.
Kematian, telah merebut waktu yang seharusnya Ares habiskan dengan Ananda selama mungkin.
Ares menaruh begitu saja koper miliknya di balik pintu apartemen, penampilannya jelas jauh lebih kacau dari sejak tadi ia sampai di rumah Ananda.
Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukan pukul enam sore, ia berjalan dengan linglung memasuki tempat tinggalnya.
Sebelumnya Ares diantarkan oleh Samudra juga Anindita hingga ke depan bangunan apartemennya di bawah sana.
Bahkan, sahabatnya itu berbaik hati akan mengantarnya sampai depan kamar saat Ares menolak sambil tersenyum tipis.
Tungkainya melangkah masuk ke dalam kamar mandi dan Ares bisa melihat pantulan dirinya di depan cermin.
Matanya sangat sembab juga memerah sejak dari tadi ia sibuk menangisi Ananda hingga tubuh kekasihnya itu sudah berada di tempat peristirahatan terakhirnya.
Iris hitam Ares menatap mug kecil yang berada di atas wastafel, senyumnya terlihat begitu pilu saat di sana ia bisa melihat dua buah sikat gigi yang berbeda warna, satu miliknya dan satu lagi milik Ananda yang memang beberapa kali menginap di tempatnya.
Tangan Ares langsung menyalakan keran air dan membasuh mukanya dengan cepat, menyembunyikan sudut matanya yang kembali menghangat.
Ia perlahan melepas kancing kemejanya yang sedikit kotor terkena tanah saat di makam Ananda tadi. Digenggamnya dengan erat kemeja tersebut dengan tatapan penuh luka.
Ananda nya sudah benar-benar pergi.
Semakin Ares menatap setiap sudut tempat tinggalnya, maka bermacam kenangan dengan Ananda seperti diputar dalam sebuah cuplikan film dalam ingatannya.
Karena ada begitu banyak memori yang Ananda ciptakan di sini, di tempatnya bersama dirinya.
Ananda akan tidur di sofa dengan kepala berada di atas pahanya, Ananda akan menontom film dengan kentang goreng kesukaannya.
Ananda akan memaksa untuk membantunya memasak, Ananda akan makan masakannya dengan senyum senang begitu lebar.
Ananda akan berlama-lama berdiri di balkon hanya untuk melihat sibuknya jalan Kota Bandung dari atas sini, atau dia akan menatap langit yang tersemat di namanya.
Juga, Ananda akan memeluknya dengan erat sambil tertawa dan menyebut namanya, suaranya mengisi ruang kosong di hati serta di apartemennya yang terbiasa sunyi.
Semua tentang Ananda begitu melekat di setiap sudut tempat tinggal Ares dan hal tersebut membuat Ares semakin terpuruk dalam duka kehilangan yang begitu dalam.
Tanpa Ananda, semua itu tidak akan terulang lagi.
Semuanya hanyalah tinggal kenangan abadi yang ada di memori ingatanya.
Ares terduduk di atas tempat tidur, ia termenung menatap nanar bunga lily putih di dalam vas yang berada di atas meja tepat di samping tempat tidur.
Ingatan Ares kembali terbang saat pertama kali ia akan memperkenalkan Ananda dengan adiknya.
Saat itu, Nanda menatap tidak percaya dengan senyumnya saat Ares bilang kalau nama adiknya adalah Lily.
“Kayak nama bunga yang aku sukai, bagus banget, kak!”
Kedua kaki Ares diangkat ke atas tempat tidur, pemuda dua puluh lima tahun yang sedang berduka itu menenggelamkan wajahnya di atas lututnya yang ia peluk.
Sendirian.
Bahunya perlahan kembali bergetar, di sunyinya malam dengan langit gelap tertutup awan, air mata Ares kembali turun dari sudut matanya yang memanas.
Bibirnya menggumamkan sebuah nama dengan pelan, berbisik untuk dirinya sendiri.
Kenapa Nanda ninggalin Kak Ares tanpa pamit seperti ini?
Tubuhnya yang berbalut piyama berwarna hitam kini meringkuk seperti bayi yang bergelung di atas tempat tidur.
Kehadiran Ananda tentu saja berdampak begitu besar bagi kehidupan seorang Rajendra.
Ananda memberinya dunia yang penuh dengan kata bahagia bahkan saat Ares hanya bisa melihatnya.
Ananda mengenalkannya pada cinta yang yang begitu tulus diantara mereka, sebelum dia sempat mengajarkan arti sebuah kehilangan.
Kak Ares nggak sekuat itu, Ananda.
Kak Ares nggak sekuat itu untuk melihat kamu pergi.
Semuanya terlalu tiba-tiba untuk dicerna oleh otak Ares.
Hari ini, ia seperti berjalan di sebuah lorong yang begitu panjang tanpa ujung.
Tubuh serta pikirannya begitu lelah.
Hatinya terasa begitu sakit serta kosong secara bersamaan.
Ares terlihat menyedihkan, Ares yang rapuh terlihat seperti anak kecil sebagaimana ia kerap kali bersikap di depan Ananda.
Kedua matanya terpejam, ia ingin tertidur walaupun begitu susah saat pikiran lelahnya terasa menumpuk dengan banyak sekali beban yang dirasakannya.
Ares ingin tidur, karena mungkin nanti Ananda akan datang menemuinya dalam mimpi untuk sekedar mengucapkan salam perpisahan.
Ares ingin tidur, sehingga ia akan bisa melihatnya lagi walaupun ketika bangun nanti Ares tidak akan mengingatnya dengan jelas, tetapi tidak apa.
Asal Ares bisa melihat Ananda.
Ares tertawa miris kala ia semakin kalut dan justru terbersit di pikiran paling gilanya, saat ia terbangun nanti semua ini adalah mimpi yang luar biasa begitu terasa nyata.
Dan akan ada Ananda yang menepuk-nepuk pipinya dengan lembut sambil memanggil namanya dengan sedikit merajuk seperti biasa yang beberapa kali dia lakukan ketika menginap di tempatnya.
“Kakak Ares bangun... udah siang nih.”
Ares tersenyum tipis mengingat hal tersebut, kedua matanya masih terpejam dengan air mata yang terasa hangat membasahi pipinya.
Ares hanya berharap kantuknya segera datang dan menjemputnya ke dalam mimpi agar ia bisa bertemu lagi dengan Ananda nya.
Sayang, Kak Ares rindu dan ingin pulang.
Karena kematian, tidak akan mungkin mengambil Ananda juga di dalam mimpinya, dan hanya di sanalah Ares akan menemukannya.
I sleep so that we can meet, Ananda.