sekyung x yiheon — local au
But who am I? without you?
Ares tersenyum begitu lebar saat tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang. Ananda, kekasihnya itu tiba-tiba menerjangnya dengan sebuah pelukan erat begitu ia membuka pintu apartemennya, bahkan saat Ares belum mengeluarkan sepatah kata apa pun.
“Kak Ares, aku keterima kerja!” pekiknya dengan nada senang. Tubuhnya meloncat-loncat kecil sambil memeluk bahu Ares yang masih berdiri di balik pintu yang masih terbuka.
Tingkahnya itu membuat Ares tidak kuasa untuk mendekapnya semakin erat sambil tertawa dengan suara dalamnya, tangannya mengusap lembut belakang kepala Nanda yang masih kegirangan enggan melepaskan pelukannya, dia tidak perduli bila ada yang mungkin melihat tingkah mereka di lorong lantai enam ini.
“Selamat ya, sayang.” bisik Ares lalu mengecup sekilas pelipisnya.
Akhirnya, Nanda bukan lagi pengangguran!
Setelah perjuangannya melamar ke banyak perusahaan hingga minggu lalu dia melakukan interview, hari ini satu pesan masuk di email nya benar-benar membuat Nanda tidak bisa menghilangkan senyumnya.
Ares memang belum tahu karena Nanda sengaja ingin memberikan kabar bahagianya ini secara langsung. Maka dari itu dia meminta untuk bertemu sepulang Ares bekerja hari ini.
Dan di sini lah Ananda berada sekarang, di apartemen Ares yang memang sudah pernah dia datangi.
“Aku bakal jadi anak kantoran kayak Kak Ares. Masih enggak percaya.”
Senyum Nanda tampak lebar sekali sambil sibuk membayangkan bagaimana minggu depan ketika dia akan memulai hidup baru sebagai orang dewasa yang punya pekerjaan.
Tangannya digandeng oleh Ares untuk masuk setelah ia menutup lagi pintu apartemennya.
“Nanti kakak gak bisa main ke toko bunga lagi, jemput kamunya jadi di kantor. Gaya banget.”
Ares berkata sambil menatap Nanda yang terkikik geli, pemuda dua puluh dua tahun itu kembali masuk ke dalam pelukannya saat ia membuka tangan.
“Sekali lagi selamat ya, Ananda. Kamu keren banget, semoga semuanya lancar dan kamu betah kerja di sana.” Ares secara tulus berbicara dengan tangannya yang kini mengusap-ngusap punggung Nanda yang semakin bergelung di pelukannya.
“Makasih banyak, Kak Ares.” Nanda terlihat betah berlama-lama sebelum kembali memberi jarak, di matanya yang indah itu ada binar senang yang tidak bisa dilewatkan oleh Ares.
Tangan Ares menangukup pipi yang meninggi karena senyumnya kelewat lebar, bahkan lesung pipinya terlihat begitu dalam membuat Ares mengerang kecil, cantik dan manis sekali Anandaku.
Dua hari kemarin ia benar-benar direpotkan oleh pekerjaan dan sibuk pulang malam hingga akhirnya bisa melihat Ananda di depannya sekarang bagai obat yang membuatnya merasa jauh lebih baik.
Kedua iris coklat gelap Nanda dibuat membulat tatkala Ares mengecup bibirnya dibarengi dengan senyum, diselingi kata-kata sayang juga rindu yang membuat Nanda tertawa penuh malu dengan wajah memerah seperti tomat.
Apalagi saat Ares mengubah kecupan-kecupan ringan itu menjadi sebuh ciuman lembut yang bisa membuat sebagian otak Ananda jatuh ke dengkulnya.
Sungguh, Kak Ares ini memang paling bisa membuatnya tidak bisa berkutik bahkan saat hubungan mereka sudah berjalan hampir dua bulan.
Karena semuanya masih terasa sama, debar jantungnya, gugupnya, perasaan membuncahnya yang masih Nanda ingat jelas saat Ares menciumnya untuk pertama kali di suatu sore saat senja berwarna oren kemerahan akhirnya muncul di langit Kota Bandung yang terbiasa hujan.
Sejak akhir Februari lalu, Nanda tidak lagi memegang penuh “The Daisy Den” karena Teh Maudy sudah kembali mengurus tokonya walaupun memang tidak sepenuhnya sendiri.
Beberapa kali dia masih membutuhkan bantuan Nanda yang selalu ada di rumah, seperti hal nya hari ini saat Nanda tiba-tiba dimintai tolong untuk datang ke tokonya.
Namun, mulai minggu depan Nanda tidak bisa banyak membantu lagi, setidaknya di weekdays karena dia sudah mulai bekerja.
“Mau keluar buat merayakan hari bahagia kamu ini nggak?”
Ares bertanya pada Nanda yang kini sedang tiduran di sofa dengan kepala yang berada di atas pahanya.
Matanya terlihat terpejam sambil memeluk bantal, dia menikmati usapan lembut tangan Ares yang memainkan rambutnya. Sekekali ibu jarinya itu mengusap mengikuti garis alis tebal Nanda, menghilangkan kerutan di keningnya hingga Nanda rasanya bisa tertidur dengan nyenyak di pangkuan Ares.
Ditambah, suasana di luar mulai kembali terdengar suara samar hujan yang lagi-lagi tumpah di langit petang Kota Bandung membuat Nanda semakin tidak mau beranjak apalagi pergi keluar.
“Enggak mau. Mau di sini aja.” jawabnya pelan tanpa membuka mata, tubuhnya bergerak ke samping dan menghadapkan wajahnya tepat di depan perut rata Ares yang mengulas senyum simpul melihat tingkahnya.
Kali ini tangan Rajendra Ares itu mengusap pipi Nanda yang terasa halus di telapaknya, juga ia sempat menunduk untuk memberi kecupan di puncak kepalanya hingga Nanda tanpa ragu menarik kedua sudut bibirnya.
Ananda.
Semakin Ares mengenalnya maka ia seakan semakin dibuat untuk terus-menerus jatuh cinta.
Di hubungan mereka yang memasuki minggu ke tujuh itu Ares mulai terbiasa menghadapi sikap manja Nanda yang sesekali dia tampilkan, dialah si anak bungsu dari tiga bersaudara.
Ares pernah bertemu dengan kedua kakaknya saat menjemput Nanda pada suatu malam ketika mereka akan keluar. Ada Teh Nindya serta Kak Alvin, begitu yang akhirnya dikenalnya selain kedua orang tua Nanda yang lebih dulu Ares temui.
Keduanya memang sudah tidak tinggal bersama Nanda dan orang tuanya. Dari cerita Nanda, Ares tahu kalau kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal dengan suaminya walaupun masih di Kota Bandung.
Sedangkan kakak keduanya, Alvin yang ternyata terpaut tiga tahun di atas Ares saat ini bekerja dan tinggal di Bogor meski masih sering bolak balik ke Bandung, sama saja seperti dirinya kalau harus pulang ke Jakarta.
Rupanya, memang ada jarak cukup jauh dari kakak-kakaknya kepada Nanda, yaitu hampir enam tahun sehingga menjadikan keduanya memanjakan adik kecil mereka.
Sebetulnya ada sedikit kemiripan dengan cerita Ares yang merupakan anak sulung, ia juga mempunyai satu adik perempuan yang usianya terpaut cukup jauh karena adiknya itu masih duduk di bangku SMA, namanya Lily.
Nanda memang belum pernah bertemu langsung dengannya tapi mereka pernah tersambung dalam sebuah video call ketika Ares mengenalkan Nanda saat mereka baru berpacaran satu minggu.
“Ya sudah nanti makan di sini saja ya, kakak masakin buat kamu.”
Ucapan Ares kali ini berhasil membuat Nanda membuka matanya yang kembali berbinar senang, “Mau!” serunya dengan nada penuh semangat membuat Ares tidak tahan untuk mencubit kedua pipinya saat dia malah melebarkan senyumnya.
“Dimasakin pacar aku. Senangnya.”
“Emang masakan aku enak?”
Ares bertanya penasaran, ia menunduk sambil memainkan jemari Nanda yang masih memeluk bantal di dadanya.
Satu kebiasaan yang disadari Nanda sejak mereka berpacaran kalau Kak Ares nya itu suka sekali memegang tangannya di banyak kesempatan. Lalu ia akan bertanya sedikit heboh bila melihat tangannya yang dibalut plester saat terluka ketika harus berurusan dengan gunting dan duri.
Ditanya seperti itu tentu membuat Nanda mengangguk-angguk seperti anak kecil di pangkuannya, yang begini nanti disuruh kerja kantoran kasian banget kalau stress, batin Ares.
“Enak. Waktu pertama kesini kan Kak Ares masakin buat aku juga.” jawabnya dengan sungguh-sungguh, Nanda tidak bisa memasak, jadi dia menatap Ares dengan penuh kagum.
Waktu itu, agenda ngedate mereka memang sangat dadakan sekali. Ares menjemput Nanda yang baru menutup toko saat ia selesai belanja untuk mengisi kulkas yang sudah kosong. Nanda yang terlihat kelelahan karena pesanan yang menumpuk itu malas kemana-kemana hingga akhirnya Ares mengajaknya untuk makan malam di tempatnya saja.
“Nanti Nanda bantuin Kak Ares nggak?”
“Iya, kan kakak yang masak terus aku bantuin buat ngabisin makanannya.”
Baru saja selesai bicara, Nanda berhasil mendapatkan sentilan di keningnya dari Ares yang kemudian memutar kedua bola matanya.
Suara tawa Nanda terdengar begitu renyah memenuhi ruangan yang sepi ini saat melihat wajah masam Ares hingga dia kemudian meminta maaf sambil ndusel di perut kekasihnya itu.
Tangannya sudah melingkar di pinggang Ares sambil menyembunyikan wajahnya yang masih mencoba menghentikan tawa geli.
Ares si anak sulung yang terlihat dewasa itu ternyata bisa merajuk seperti anak kecil juga bila di depan Ananda.
“Bercanda Kak Ares sayang. Nanti Nanda bantuin ngupas bawang deh.”
Apartmen yang di tempati Ares memang tidak terlalu besar, hanya ada satu kamar tidur, satu ruang tengah berisi sofa panjang dan meja tv, kamar mandi di sisi lainnya, juga kitchen set minimalis dan meja makan dengan dua kursi.
Barang Ares pun tidak terlalu banyak kalau dilihat-lihat, memang sengaja disetting untuknya tinggal sendirian saja.
Saat kedatangan Nanda yang kedua kali ke tempatnya, pemuda itu membawa dua buah vas lengkap dengan bunga mawar segar yang tampak cantik.
“Aku bawain ini biar kamar Kak Ares ada hiasannya dan nggak polos-polos banget.”
Begitu katanya dan Ares hanya membiarkan kekasihnya itu berbuat sesukanya. Setelah dia bingung sendiri, Nanda akhirnya menaruh satu vas di meja samping tempat tidur serta satu lagi di meja dekat sofa yang mereka duduki.
Baru beberapa hari lalu Nanda juga memberinya bunga lily putih untuk mengganti isi vasnya setelah Ares bilang bunga mawar yang dibawa Nanda pertama kali sudah layu.
“Ananda...”
Ares bergumam kecil ketika Nanda tiba-tiba memeluknya dari belakang saat ia sibuk dengan spatula dan fry pan berisi nasi goreng seafood yang sedang dimasaknya.
Skill memasak Ares memang tidak terlalu pas-pasan karena ia terbiasa hidup mandiri beberapa tahun ini. Dan saat Nanda justru minta dimasakan nasi goreng yang sangat mudah baginya, Ares tentu mengiyakan dengan penuh percaya diri.
Ananda juga tidak betul-betul membantunya memasak saat Ares justru menyuruhnya menunggu saja. Dia malah disuruh mengupas buah untuk nanti dimakan setelah mereka makan malam alih-alih mengupas bawang seperti katanya tadi.
“Aku udah selesai ngupas mangga nya.” beritahunya dengan suara pelan bergumam di balik punggungnya.
“Iya, makasih ya, sayang.”
Ares melirik tangan kekasihnya itu yang kini sudah kembali melingkari perutnya, gerakannya jadi terbatas saat Nanda menempelkan wajah di punggunya dan mengikuti setiap gerak Ares kemana pun ia melangkah.
“Nanda ngapain?”
“Nyemangatin Kak Ares masak.” jawabnya sambil terkikik, dia malah semakin menempelkan tubuhnya pada punggung Ares.
Oh Tuhanku.
Dihadapkan dengan Ananda yang seperti ini membuat Ares bergeleng pelan sambil menahan senyumnya. Tangan kirinya menyentuh punggung tangan Nanda yang sedang memeluknya untuk diusap dengan lembut saat satu tangan lainnya sibuk dengan masakannya, jangan sampai nanti malah gosong dan tidak bisa dimakan.
“Kakak Ares...”
Ares berdehem menjawab panggilan Nanda, keningnya sedikit mengerut saat dia tidak melanjutkan kalimatnya setelah beberapa menit kemudian.
Dimatikannya kompor tersebut saat Ares selesai mencicipi masakannya sendiri, perfect, tidak terlalu pedas karena Nanda tidak suka.
Nanda memang benar-benar tidak kuat makan pedas, Ares pernah melihatnya menangis hanya karena dia salah memesan level pedas saat makan ramen berbulan-bulan lalu ketika mereka masih pdkt, kasihan sekaligus lucu sekali kalau diingat.
Tubuh Ares berbalik tanpa membuat pelukan Nanda padanya terlepas, pinggangnya bersandar pada kitchen set yang ada di belakangnya.
Kedua iris hitam legamnya itu menatap sorot hangat dari iris Ananda yang ada di depannya.
“Kenapa, hmm?” ditanyanya Nanda dengan benar kali ini sambil kembali menangkup kedua pipinya yang kini mengembung lucu dan bibir yang mencucu, gemas sekali.
Pusing juga kalau dalam sehari Ares harus dihadapkan terus-terusan dengan Ananda yang seperti ini, ia hanya berdoa semoga imannya kuat menghadapi sisi manja Ananda yang justru membuatnya semakin jatuh cinta.
“Nanti kalau aku udah kerja terus kita malah jadi jarang ketemu gimana?”
Nanda balik bertanya dengan nada lesu, tangannya yang berada di pinggang Ares itu meremas kaosnya, “Tiba-tiba malah kepikiran kayak gitu...” lanjutnya semakin pelan.
Sebuah senyuman tipis dihadirkan oleh Ares saat melihat kekhawatiran di wajah Nanda sekarang. Ia mengusap pipi yang mengembung itu dengan ibu jarinya sebelum mengecupnya di sana dengan gerakan lambat.
“Aku nya harus apa kalau Kak Ares makin sibuk?”
Nanda bertanya lagi namun, matanya sempat berkedip lucu ketika kaget mendapatkan serangan dadakan dari Ares dan rona kemerahan kembali terlihat samar di pipinya yang barusan dikecup.
“Nanda biasanya ngapain kalau Kak Ares lagi gak bisa ketemu?”
“Nunggu. Aku selalu nungguin sampai Kak Ares akhirnya datang.”
Ares terdiam sebentar menatap Nanda yang berkata serius, sorot matanya tidak ada keraguan sama sekali saat menjawab karena memang begitu adanya, Nanda selalu menunggu Ares untuk datang kepadanya.
Karena sejauh apa pun pergi, sesibuk apa pun Ares, ia butuh tempat pulang.
Adalah Ananda, tempat yang disebut rumah baginya sejak mereka berpacaran, tempat paling nyaman bagi Ares untuk menghabiskan waktunya.
Bersama Ananda, Ares selalu merasa paling bahagia.
Perlahan ia membawa tubuh kekasihnya itu untuk kembali dipeluk, hatinya terasa hangat sekali ketika mendengar jawaban Nanda.
Ananda, sayangku.
“Nanda jangan khawatir ya, Kak Ares pasti bakal selalu luangin waktu buat kamu. Kalau kita sama-sama sibuk kan bisa atur waktu lagi, sayang. Kita juga masih sama-sama di Bandung. Kak Ares bisa kapan pun datang ke rumah kamu atau kamu bisa ke tempat kakak seperti sekarang.”
Ares mengusap lembut punggung Nanda untuk menyalurkan tenang, dekapan penuh nyaman yang diberikannya itu berharap bisa mengurangi resah yang dirasakan oleh kekasihnya saat ini.
Bibir Nanda terdengar bergumam pelan sambil menganggukan kepalanya saat dia selanjutnya kembali mendengar Ares yang mengucap kata menenangkan berkali-kali tanpa melepaskan pelukannya lengkap dengan ciuman lembut yang dia dapatkan di puncak kepalanya.
Kalau Ares sibuk seperti kemarin, artinya akan ada hari yang mereka habiskan selanjutnya untuk melepas rindu, seperti hari ini.
Quality time berdua.
Tetapi, Nanda tidak akan menyangkal kalau dia pernah membayangkan Ares yang mungkin harus kembali ke Jakarta entah untuk pulang lama atau mungkin pindah tempat kerja dan itu membuatnya merengut sedih.
“Kalau nggak ada kamu, aku harus gimana, Kak Ares?”
Ares melonggarkan pelukannya, menatap Nanda yang kali ini memasang wajah sedih, ia memegang kedua lengan atas kekasihnya itu sambil sedikit meremasnya.
“Kakak gak akan kemana-mana, sayang.” sorot mata Ares itu menatap lurus pada Nanda, meyakinkannya dengan serius bahwa ketakutan Nanda itu tidak akan terjadi.
“Kak Ares akan selalu di sini sama kamu dan hubungan kita bakal baik-baik saja, Ananda.”
Karena justru pada akhirnya pertanyaan itu harus dibalik oleh Ares yang bertanya kepada Nanda.
Ares bertanya dengan suara parau.
Ares bertanya dengan hati yang hancur.
Ares bertanya dengan tatapan kosong namun air matanya tidak mau berhenti.
Ares juga bertanya dengan pikiran yang berkecamuk penuh rasa tidak percaya saat menatap pusaran di depannya yang bertuliskan nama lengkap sang kekasih.
Ares terus bertanya dengan pundak bergetar ketika perlahan ia menyentuh tempat peristirahatan terakhir Ananda dengan perasaan yang tidak akan pernah bisa ia gambarkan seumur hidupnya.
Ares sudah menepati janjinya kepada Ananda untuk tidak akan kemana-mana, namun kenapa justru Ananda lah yang pergi meninggalkannya.
“Kalau nggak ada kamu, sekarang Kak Ares harus gimana, Ananda?”