Suara lagu anak-anak masih terdengar dari tv walaupun dengan volume yang dipasang hanya di angka dua. Penampilan dari hewan-hewan animasi yang sedang bernyanyi dan berjoget merupakan hal yang sangat tidak familiar bagi Jinhyuk saat ini, bagi pria dewasa berusia tiga puluh dua tahun tepatnya.

Jinhyuk duduk di atas karpet dengan punggung yang bersandar pada sofa, kakinya dibuat berselonjor dengan ujungnya yang hampir menyentuh lantai melewati panjang karpet. Tangan kanannya digunakan untuk menepuk-nepuk pelan punggung sang anak dan tangan kiri mengusap lembut kepalanya. Sesekali dia akan menunduk untuk mengecup puncak kepalanya dan mencium harum rambutnya yang terasa seperti wangi buah-buahan.

Dia tampak tidak terganggu sama sekali saat bagian bahu dari kemeja berwarna hitam yang sedang dikenakannya terlihat lecek dan basah bekas air mata Jinu yang tadi menangis saat digendong olehnya. Bahkan wangi segar kayu putih yang berasal dari Jinu juga menempel lekat pada bagian depan kemejanya.

Jinu memang sudah tidak menangis lagi, anak itu sudah tenang dan sekarang sedang duduk di pangkuan Jinhyuk sambil memakan lollipop rasa cokelat. Tubuh dan kepalanya bersandar di dada Jinhyuk dengan nyaman seperti menikmati setiap tepukan dan usapan dari tangan sang Ayah di punggungnya.

Butuh hampir lima belas menit sejak Jinu memakai baju hingga akhirnya bisa tenang seperti sekarang ini, hingga sesegukannya benar-benar berhenti. Wajah dan bibirnya sudah memerah karena tangisnya yang cukup lama, Jinhyuk merasa kasihan melihatnya, pasti capek.

Sebuah helaan napas kecil keluar dari bibir Jinhyuk saat menatap pintu yang tertutup rapat, beberapa menit lalu Wooseok berdalih akan membereskan kamar mainan Jinu dan dia meninggalkan mereka begitu saja saat dirasa Jinu sudah tenang. Namun, Jinhyuk tidak bisa dibohongi, Jinhyuk tahu Wooseok sedang membutuhkan waktu sendiri.

Jinhyuk hanya membiarkan tanpa bisa berbuat apa-apa, yang bisa dilakukannya hanya menjaga Jinu saat ini.

Perhatian Jinhyuk kembali pada Jinu yang masih anteng memakan lollipop, dikecupnya lagi puncak kepala Jinu, “Jinwoo.. mau buka mainan dari Ayah sekarang?”

Mendengar kata mainan, anak tujuh tahun itu mengangkat kepalanya agar bisa menatap wajah Ayahnya dan dia mengangguk pelan dengan lollipop yang berada di dalam mulut.

Jinhyuk tidak bisa menahan senyumnya saat melihat pipi Jinu yang mengembung lucu. Anaknya tumbuh dengan begitu menggemaskan, Jinhyuk merasa tersentil dengan fakta tersebut. Dia sudah sangat telat bertemu Jinu di usia saat ini, dia melewatkan begitu banyak waktu, melewatkan pertumbuhan Jinu dari bayi hingga menjadi anak yang pintar seperti sekarang.

Menyesal? tentu saja. Jinhyuk memang bodoh, goblok, brengsek dan apapun itu segala makian yang bisa kalian sebut untuk menggambrakan prilakunya.

“Jinwoo suka cokelat, ya? nanti Ayah beliin ya sayang.”

Lagi-lagi Jinu mengangguk mengiyakan pertanyaan Ayahnya.

Sebelum berdiri, Jinhyuk menurunkan Jinu terlebih dahulu dan dia berjalan untuk mengambil paper bag yang tadi dibawanya. Lucu, saat Jinhyuk duduk kembali di atas karpet, Jinu langsung beringsut mendekat membuat Jinhyuk langsung memangkunya lagi sambil mengulas senyum.

“Mobilnya besar.”

Jinu berucap saat melihat kotak kardus yang dikeluarkan oleh Jinhyuk dari dalam paper bag. Senyum Jinhyuk melebar saat Jinu terlihat antusias, “Jinwoo suka?” tanyanya.

“Suka! Sama kayak punya Dodo, om.”

Namun, mendengar Jinu yang memanggilnya om lagi, senyum Jinhyuk berubah menjadi senyum tipis sambil tangannya mengusak rambut Jinu. Padahal tadi saat menangis jelas-jelas Jinhyuk mendengar Jinu yang memanggilnya Ayah, mungkin anak itu tadi berucap tanpa sadar.

“Bisa mainnya? Mau Ayah ajarin?”

Jinu menggangguk semakin antusias saat dia memegang remote control dan kemudian anak itu mendengarkan dengan serius saat Jinhyuk menjelaskan cara menggunakannya. Diam-diam Jinhyuk merasa bersyukur pilihannya tidak salah saat membeli mobil-mobilan ini, tadi dia tentu saja sempat bertanya dulu saat di toko mainan, buat anak cowok usia tujuh tahun.

Lee Jinhyuk memang bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang anak-anak.

Sambil sibuk dengan mainannya, Jinu menyandarkan punggungnya pada Jinhyuk. Mobil yang dikendalikannya beberapa kali menabrak tembok dan dia berseru kecewa. Jinhyuk terkekeh kecil mendengarnya, tangannya kembali mengusap-ngusap kepala Jinu, sesekali membantu menunjuk tombol mana yang harus dipencet.

“Nanti mainnya di luar aja, biar luas dan gak nabrak-nabrak.” beritahunya dengan lembut, “Maksud Ayah sore, jangan sekarang. Di luar panas, nanti Jinwoo pusing. Sekarang mainnya di rumah aja, ya.” tambah Jinhyuk langsung saat Jinu akan beranjak dari pangkuannya.

“Iya, om.” Jinu menurut dan kembali memainkan mainannya.

“Jinwoo punya banyak mainan, ya?”

Jinhyuk bertanya sambil menumpu dagunya di atas kepala Jinu. Setelah memperhatikan, Jinhyuk tahu kalau hanya ada dua kamar di rumah ini, satu untuk kamar tidur dan satu dijadikan kamar mainan. Sebanyak itukah mainan Jinu?

“Banyak! Kata Papa, Papa kerja buat beli mainan buat Jinu. Dari Om Seungwoo juga banyak, Jinu dikasih Spiderman.”

“Oh ya? Jinu suka Spiderman?

“Suka! Mainan dari Om Woo ada di kamar. Om tinggi mau lihat?” Jinu menolehkan kepalanya dan menatap Jinhyuk dengan wajah berseri-seri, lollipopnya masih diemut di dalam mulut.

Sebelum Jinhyuk menjawab, Jinu sudah bangun dari duduknya kemudian menyimpan remote control yang sedang dipegangnya di atas karpet begitu saja. Dia berlari ke dalam kamar, kentara sekali akan pamer khas anak-anak.

Tidak butuh waktu lama Jinu sudah kembali dengan memegang kardus berukuran tidak terlalu besar. Dia berdiri di depan Jinhyuk yang sudah bersila, “Ini dari Om Woo. Dodo gak punya, cuma Jinu yang dikasih pas ulang tahun.” ceritanya penuh semangat sambil menunjukkan action figure yang terlihat dari luar kotak.

Lagi-lagi sebelum Jinhyuk berbicara, anaknya itu pergi. Jinhyuk sempat mengerutkan keningnya saat Jinu berlari ke arah dapur dan kembali lagi dengan lollipop yang sudah tidak ada. Oh, habis buang sampah batin Jinhyuk sedikit lucu dengan tingkah anaknya.

Senyum Jinhyuk tidak bisa disembunyikan saat mendengar Jinu yang bercerita lagi dengan begitu antusias tentang hadiah ulang tahun dari Om nya itu.

“Om tinggi, mainan yang dulu boleh Jinu buka?”

Setelah sibuk mengoceh, tiba-tiba Jinu menatap Jinhyuk dengan mata bulatnya yang penuh harap, Jinhyuk terdiam sebentar untuk memahami maksud anaknya. Kemudian, dia tersenyum miris saat menyadarinya, sedikit tidak percaya.

“Jinu belum buka mainan dari Ayah yang waktu itu? yang Ayah kasih di sekolah?”

“Belum. Mau Jinu balikin, tapi om nya gak ke sekolah lagi.”

Dibalikin? Jinhyuk cukup terkejut mendengar ucapan Jinu dan sedikit merasa tertolak, “Kenapa dibalikin? kan itu Ayah beli buat Jinwoo, sayang. Maaf ya kalau enggak sebagus mainan dari Om Seungwoo. Ayah belum tahu kalau Jinwoo sukanya Spiderman.

Sekali lagi, Jinhyuk bukan hanya tidak tahu apa-apa tentang anak-anak. Lee Jinhyuk tidak tahu apapun tentang anaknya!

Jinhyuk melihat Jinu yang menggelengkan kepalanya dengan bibir yang maju beberapa senti, “Dulu om tinggi bukan Ayah Jinu, jadi gak boleh diterima kalau gak kenal.” cicitnya.

Tangan Jinhyuk memegang kedua bahu Jinu yang berdiri di depannya, dia tersenyum simpul menatap anak semata wayangnya itu dengan perasaan hangat, “Berarti sekarang artinya om itu Ayah Jinu?”

Jinu mengangguk, “Iya kata Papa tadi.”

“Boleh gak Jinu manggilnya Ayah? jangan manggil om lagi?”

Jinhyuk meminta, dia menatap Jinwoo sambil berharap banyak. Walaupun terdengar sangat tidak tahu diri, tapi jauh di dalam hatinya Jinhyuk ingin sekali dipanggil Ayah oleh anaknya sendiri. Pasti akan sangat menyenangkan ada yang memanggilnya Ayah, sesederhana itu inginnya saat ini.

“Om tinggi.”

Lagi, Jinhyuk hanya bisa tersenyum tipis mendengar panggilan Jinu untuknya, dia mencium keningnya sesaat, “Gapapa, Ayah bakal nunggu. Sampai kapan pun, sampai Jinwoo mau manggil Ayah.”

Jinhyuk tersenyum sekilas sambil kemudian mengerutkan keningnya dan memasang wajah penasaran, “Tapi kenapa Jinwoo manggilnya om tinggi? Ayah jadi penasaran.”

Jinu mengangkat tangan mungilnya hingga setinggi yang dia bisa, “Seginiiii, om tinggiiii bangettt, lebih tinggi dari Papa.” serunya bahkan sambil berjinjit untuk menunjukkan betapa tingginya sosok Jinhyuk di mata dia.

Tawa kecil berhasil lolos dari bibir Jinhyuk saat mendengar penjelasan dari anaknya yang sangat bocah sekali, dia berdehem sebentar dan kembali bertanya, “Jinwoo tahu nama Ayah siapa?”

Anak itu mengangguk pasti dengan tatapan yakin saat mendengar pertanyaan Jinhyuk, “...tahu, namanya Lee Jinhyuk.”

Ditariknya kedua sudut bibir Jinhyuk, dia merasa lega saat Jinu tahu siapa nama Ayahnya. Pandangannya kembali melembut, “Sekali saja, panggil Ayah Jinhyuk..” Jinhyuk mengangkat satu jarinya di depan Jinu seakan menyakinkan kalau dia hanya minta satu kali, “Hmm? satu kali aja. Ayah mau dengar.”

Jinu terlihat menimbang seakan permintaan Jinhyuk adalah hal yang teramat sulit baginya, butuh hingga satu menit untuk Jinhyuk dibuat menunggu agar permintaannya pada sang anak dikabulkan, “Satu kali?” tanya Jinu kemudian.

“Iya satu kali.” Jinhyuk mengangguk sambil mencubit pipinya karena merasa gemas dengan tingkah Jinu yang seperti sedang mengerjainya.

“mmhm... Ayah Jinhyuk?”

Semuanya begitu cepat, Jinhyuk tidak sempat merespon karena Jinu yang langsung kabur ke ruang tamu sambil tertawa, sepertinya anak itu malu hingga menghindari Ayahnya.

Satu yang pasti, Jinhyuk teramat bahagia mendengarnya.

Dia berdiri dari duduknya dan langsung menyusul Jinu hingga berhasil memegang lengannya dan langsung berjongkok di depannya.

“Ayah peluk lagi boleh?”

Mendengar permintaan Ayahnya, kali ini Jinu mengangguk dan Jinhyuk kembali membawa Jinu kedalam pelukan seorang Ayah yang menenangkan, tanpa ragu kedua lengan mungil Jinu juga langsung melingkari leher Jinhyuk.

“Jinwoo... Lee Jinwoo anak baik.” gumamnya sambil mengelus belakang kepala Jinu, “Terimakasih sudah jadi anak Ayah dan Papa. Terimakasih sudah tumbuh sehat hingga sebesar ini. Terimakasih sudah mau bertemu dengan Ayah, sayang.”

Jinhyuk mengusap ujung matanya lagi yang kembali basah, sampai kapanpun rasa bersalahnya tidak akan pernah hilang. Jinhyuk berjuta kali merasa bersalah pada Jinu yang belum mengerti apapun, mungkin bila usia Jinu sudah agak besar dan mengerti dia akan marah atau menolaknya.

Namun, Jinu terlalu kecil dan anak itu terlalu polos saat begitu mudah menerimanya.

“Om nangis?” Jinu bertanya saat melihat Jinhyuk yang sudah melepaskan pelukannya, mata bulat itu memperhatikan wajah Ayahnya dengan serius.

Jinhyuk buru-buru tersenyum sambil mengusap ujung matanya yang masih basah, “Enggak, Ayah gak nangis. Ayah lagi seneng soalnya bisa ketemu sama Jinwoo. Jinwoo seneng gak ketemu Ayah?” diusapnya pipi tembam Jinu sambil menunggu jawabannya.

“Om kerjanya lama.” Alih-alih menjawab pertanyaan Ayahnya, Jinu justru menjawab dengan sedikit merajuk.

“Jinwoo nungguin Ayah pulang?”

“Iya, Jinu nungguin. Pas Jinu ulang tahun om juga gak bisa pulang.”

Jinhyuk memejamkan matanya sesaat dan dadanya kembali terasa sesak, tangannya menggenggam erat tangan Jinu yang begitu kecil untuknya, “Ayah minta maaf sama Jinwoo... nanti ya, Ayah kasih kado yang banyak.”

“Jinu gamau kado. Jinu mau kayak Dodo, jalan-jalan sama Papi sama Papanya..”

Permintaannya sungguh sederhana, anak baik itu hanya ingin bersama kedua orangtuanya. Sudah begitu lama dia bertanya-tanya, kenapa Ayah gak pernah pulang? bahkan saat Jinu ulang tahun.. atau setidaknya saat libur sekolah. Dia hanya bisa mendengar Dodo yang bercerita tentang liburan serunya dengan Papi dan Papanya. Bukan berarti dia tidak pernah liburan bersama sang Papa, namun anak itu tetap saja berharap dia akan bertemu Ayahnya dan mereka bisa bermain bersama.

Jinhyuk lagi-lagi mengusap ujung matanya yang kembali basah, merasa teramat bersalah, “Iya, nanti kita jalan-jalan ya, Jinwoo, Papa sama Ayah. Nanti Jinwoo yang pilih tempatnya.”

“Beneran?” mini Wooseok ini benar-benar pandai memasang wajah menelisik, persis seperti Papanya.

“Ayah janji. Sekarang kalau Jinu mau apa-apa bilang sama Ayah juga. Jangan cuma sama Papa.”

Obrolan Ayah dan anak itu terhenti saat suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian keduanya. Terlihat Wooseok yang baru saja keluar dari kamar mainan dengan raut wajah yang dibuat sebiasa mungkin.

“Papa!” Jinu berseru sambil berlari meninggalkan Jinyuk dan langsung memeluk kaki Wooseok dari depan.

“Papa, Jinu punya mobil dari om tinggi.” adunya sambil menunjuk mobil-mobilan yang berada di dekat lemari tv, Wooseok mengangguk dan mengusap puncak kepalanya, ada sedikit senyum saat melihat Jinu yang terlihat senang.

“Sudah bilang makasih?”

Ditanya seperti itu oleh Papanya, Jinu menggelengkan kepala. Dia lupa. Pandangannya langsung menatap Jinhyuk yang masih di ruang tamu, “Makasih mainannya, om.”

“Sama-sama, sayang.”

Jinhyuk tersenyum dan berdiri untuk menghampiri anaknya yang masih bergelayut manja pada Wooseok. Tangannya tidak bisa ditahan untuk kembali mengusap puncak kepala Jinu.

Walaupun melirik sekilas, Jinhyuk melihat jelas hidung dan mata Wooseok yang memerah saat jarak mereka dekat seperti ini, Wooseok pasti habis menangis.

“Papa bikin makan siang dulu, ya? Waktunya Jinu makan siang.”

Jam yang terpasang tepat di atas tv memang sudah menunjukkan hampir pukul dua belas, itu artinya sudah hampir dua jam juga Jinhyuk berada di rumah sederhana ini.

Jinhyuk kembali berjongkok di depan Jinu dan memegang kedua tangannya, “Jinwoo.. Ayah pulang dulu ya?” izinnya pada sang anak.

Wooseok menunduk dan menatap khawatir pada Jinu yang masih bergelayut padanya. Anaknya itu menatap Jinhyuk dengan mulut yang dibuat merapat, tidak mengiyakan tapi juga tidak melarangnya. Wooseok tahu betul apa yang selanjutnya akan terjadi, dia sangat mengenal sifat anaknya.

“Jinu.. sayang. Besok lagi ya main sama Ayahnya. Ayah harus pulang.” sambil mengusap punggung Jinu, Wooseok berbicara dengan lembut berharap anaknya itu akan mengerti.

Jinu terlihat bingung dengan obrolan kedua orangtuanya. Katanya Ayahnya sudah gak kerja jauh dan sudah pulang, tapi kenapa dia berkata akan pulang? bukan kah kalau pulang itu ke rumah? rumah Jinu kan disini.

Dia justru berlari untuk masuk ke dalam kamar, “Jinu gak mau makan kalau om tinggi gak ada!!!” serunya dengan nada kesal sambil naik ke tempat tidur.

Jinhyuk terdiam cukup kaget mendengar ucapan Jinu barusan dan dia bisa mendengar Wooseok yang mendesah frustasi sambil menatapnya.

“Jinu ngambek.. untuk pertama kalinya tolong temani Jinu makan. Aku gak akan minta banyak, kak. Aku cuma minta jangan buat Jinu kecewa. Jangan jatuhin harapannya lagi setelah tadi kamu mengaku sebagai Ayahnya.”

Jinhyuk menghela napas kemudian menggelengkan kepala sambil berdiri di depan Wooseok saat dirasa Wooseok salah paham akan alasannya untuk pulang, “Aku gak bermaksud begitu sama Jinwoo... aku justru takut kamu gak nyaman karena aku disini, Wooseok.”

“Bukan masalah akunya, kamu gak perlu mikirin aku.” Wooseok menatap Jinhyuk dengan serius, “Buat aku kebahagian Jinu yang utama. Aku gak mau kamu ngehancurin harapannya yang bahkan baru aja tumbuh... harapannya buat merasakan kasih sayang dari seorang Ayah yang gak pernah dia dapat bahkan sejak dia hadir. Kasih sayang dari kamu, Ayahnya.”

“Wooseok.. aku sungguh minta maaf.” tangan Jinhyuk memegang lengan Wooseok yang akan beranjak, dia menatap Wooseok yang sekarang justru mencoba mengalihkan tatapannya namun tidak berusaha menyingkirkan tangan Jinhyuk di lengannya dan Jinhyuk bersyukur Wooseok tidak menghindar.

“Aku bakal bayar kesalahan aku yang sangat brengsek selama ini. Aku bakal ganti waktu aku yang hilang dengan Jinwoo. Aku ingin dekat dengan anak aku...” Jinhyuk menjilat bibirnya yang mendadak kering dan dia berucap dengan pelan mengutarakan apa yang tiba-tiba terbersit di pikirannya, “...tolong izinin Jinwoo tinggal denganku.”

Ya Tuhan, apa lagi ini. Wooseok rasanya ingin memaki mendengar permintaan manusia di depannya. Dia menatap tidak percaya pada sosok Jinhyuk dengan mata yang sudah bergetar, walaupun ketakutan itu sempat hadir sejak sebulan lalu, tapi Wooseok tidak menyangka Jinhyuk benar-benar akan mengatakannya.

“Kamu baru dateng, lho. Kamu baru dateng sejak bertahun-tahun, Lee Jinhyuk. Terus sekarang kamu mau bawa Jinu dari aku?” tanyanya tidak habis pikir dengan seorang Lee Jinhyuk, hilang sudah sikap sopannya dalam memanggil Jinhyuk.

Sorot kecewa dan lelah jelas terlihat di kedua bola mata Wooseok untuk Jinhyuk, dia mengambil napas dalam mencoba untuk tenang.

“Aku juga mau kamu tanggung jawab buat ganti waktu kamu yang hilang dengan Jinu, buat ngasih kasih sayang kamu sebagai Ayah untuknya karena itu kewajiban kamu. Tapi bukan dengan cara seperti itu, bukan dengan ngambil Jinu dari aku.” nadanya terdengar melemah karena di dekat mereka ada Jinu yang bisa saja mendengar pembicaraan ini.

“Kamu egois! Mungkin harusnya tadi aku usir kamu sekalian.” bisik Wooseok dengan penuh kekecewaan sambil tubuhnya meluruh hingga merosot dan membuat Jinhyuk kaget langsung menahan lengannya.

“Aku gak punya siapa-siapa lagi, selain Jinu. Kalau Kak Jinhyuk masih punya hati tolong mengerti...” kali ini Wooseok berucap sangat lirih dengan pandangan paling memohon dan mata yang berkaca-kaca menatap Jinhyuk, dia menggigit bibirnya seperti menahan tangis.

Ucapan Wooseok cukup membuat Jinhyuk menahan napas dan merasakan ulu hatinya yang seperti dipalu kembali.

Sejujurnya ada yang ingin ditanyakan sejak pertama kali Jinhyuk mengetahui rumah Wooseok, kedua netranya menatap serius wajah Wooseok yang sangat terlihat putus asa, “Sejak kapan kalian tinggal berdua disini? Dimana orangtua kamu, Seok?” tanyanya pelan.

Kedua bahu Wooseok justru perlahan bergetar saat mendengar pertanyaan dari Jinhyuk dan dia menutupi wajah dengan kedua tangannya memilih untuk bungkam.

“Jawab aku, Kim Wooseok kamu pergi dari rumah?”

Jinhyuk bertanya lagi sambil memegang kedua bahu Wooseok dan meremasnya. Namun, Jinhyuk tidak mendapatkan jawaban selain dari tangisan pilu Wooseok.