Suara pembicara di depan dengan segala topik tentang entrepreneurnya sama sekali tidak membuat Wooseok fokus untuk menyimak. Entah itu tanya jawab dengan para peserta, ataupun segala macam kiat-kiat yang dibeberkan oleh salah seorang owner dari brand makanan kenamaan.

Fokus Wooseok sudah hilang sejak sepuluh menit Lee Jinhyuk duduk di samping kirinya. Kehadiran Jinhyuk saja sudah benar-benar diluar dugaan, apalagi saat Wooseok tahu anak itu akan kesini dan entah apa yang terjadi Jinhyuk mengirimi dia pesan!

Langka, jelas. Kapan lagi hal seperti ini akan terjadi.

Suasana auditorium cukup dingin karena Wooseok memilih row kedua dari atas dan kursi di paling pinggir mepet dengan tembok yang jelas-jelas terpasang pendingin ruangan di atasnya. Beruntung hari ini ia melapisi kaos putihnya dengan kemeja berwarna mint yang membuatnya tidak telalu kedinginan walaupun berlama-lama duduk di situ, agak sedikit menyesal juga tidak membawa cardigan yang biasanya selalu ada di dalam tas. Wooseok memang tidak bisa terlalu lama di tempat dingin, AC kamarnya saja sering digunakan hanya sebagai pajangan.

Ini bukan tempat yang startegis sebenarnya karena jelas-jelas matanya harus bekerja ekstra untuk bisa melihat layar di depan. Namun, saat tadi ia masuk kesini, hampir sebagian kursi telah terisi penuh karena ini adalah seminar gratis dengan modal hanya mengisi form di depan, bisa dapat ilmu, snack, e-setifikat, juga notes lengkap dengan bolpoinnya.

Mata kucing Wooseok dibalik kacamata bulatnya melirik Jinhyuk yang tampak fokus menyimak ke depan. Bisa-bisanya dia tidak terganggu dengan beberapa pasang mata yang bahkan dari row depan rela menoleh hanya untuk menatapnya.

Wooseok menyandarkan punggungnya pada kursi (yang untungnya empuk) dengan cukup keras. Dia sudah merasa tidak nyaman dengan tatapan orang-orang yang melihat Jinhyuk, namun juga ikut-ikutan menatapnya penuh ingin tahu.

Oh mungkin mereka sedang bertanya-tanya siapa gerangan orang beruntung itu yang bisa duduk di samping seorang Lee Jinhyuk?

Tiba-tiba rasa ingin sombong Wooseok meningkat sedikit kalau seperti ini.

Walaupun suasananya begini, Wooseok rasa keluar di tengah-tengah acara bukan pilihan yang tepat. Seperti yang tadi ia bilang pada Seungwoo, tidak mungkin juga ia mengajak Jinhyuk.

Mahasiswa semester dua yang sejak masa ospek sudah menarik perhatian orang-orang itu akhirnya menoleh dengan satu alisnya yang terangkat, “Kenapa kamu?” tanyanya pelan saat mendengar dengusan dari samping kanannya.

Wooseok menggelengkan kepalanya, memasang senyum lembut lalu membatin betapa dalamnya suara Jinhyuk. Kesalnya langsung berkurang banyak hanya dengan mendengar suaranya saja.

Kim Wooseok benar-benar sudah tersihir oleh apapun tentang Lee Jinhyuk.

Sedikit bergeser mendekat pada Jinhyuk, Wooseok lalu menutup mulutnya agar bisa berbicara lebih leluasa walaupun harus bisik-bisik, “Kamu gak risih, dek? diliatin orang?” tanyanya.

“Udah biasa.”

Harusnya Wooseok bisa menebak ini dengan jelas, lahir dari pasangan selebritis yang perannya wara-wiri di layar bioskop juga dirinya sendiri yang terjun di dunia modeling sejak kecil, maka mendapatkan perhatian orang bukan hal baru bagi seorang Lee Jinhyuk. Itu adalah dia dan dunianya.

Wooseok seperti ditampar kenyaatan lagi kalau mengingat tentang siapa orang di sampingnya ini.

Unreachable, memang.

Ia mengenal Jinhyuk sejak setahun lalu, yang dengan heroiknya membantu ketika dirinya hampir pingsan saat harus menjadi salah satu pendamping kelompok untuk mahasiswa baru yang mengikuti ospek universitas di tengah panasnya stadion kampus.

Jinhyuk yang sejak datang sudah mendapatkan kasak-kusuk baik dari sesama mahasiswa baru maupun kakak tingkat (mereka berbicara tentang anaknya Lee Dong Wook yang masuk sini) itu tanpa ragu keluar dari barisan dan langsung merangkul Wooseok yang berdiri di sisi kanan dengan wajah pucat dan juga limbung.

Dia dibantu oleh petugas medik langsung membawa Wooseok ke tenda kesehatan yang berada di belakang barisan, “Panitianya gimana sih! Orang sakit ngapain ikut panas-panasan segala.” katanya pada beberapa orang yang ada di sana.

Lantas aksinya saat itu membuat Jinhyuk semakin menarik perhatian banyak orang.

Selang beberapa lama, setelah segala macam ospek dan tek-tek bengeknya sampai tingkat jurusan selesai, Wooseok baru sempat menemui Jinhyuk lagi.

Pemuda tinggi itu hanya menatapnya lalu membulatkan mulut saat Wooseok berkata ia lah orang yang ditolong Jinhyuk waktu itu, “Oh, yaudah.” respon Jinhyuk begitu singkat sambil berlalu. Hampir saja Wooseok memaki kalau tidak ada Seungwoo yang segera menariknya dari depan kelas tempat mereka menemukan Jinhyuk.

Rupanya, karma berjalan sebagaimana mestinya, rasa kesal Wooseok karena sikap Jinhyuk justru membuatnya semakin ingin tahu tentang anak pasangan selebritis itu. Maka, semakin dalam menggali, ia justru mendapati dirinya yang malah menyukai sosok tersebut. Mengetahui beberapa hal tentang dirinya yang tertuang dalam berbagai wawancara majalah membuat Wooseok berpikir kalau Jinhyuk tidak seburuk itu.

Cerita sedikit, memang benar adanya kalau ia tidak pernah dilirik oleh Jinhyuk. Anak itu terlanjur melabelinya aneh karena selalu bertingkah tanpa ragu.

Bagaimana, ya? Wooseok seperti ini saja Jinhyuk masih bersikap dingin, apalagi kalau Wooseok diam saja? selesai sudah semuanya. Namun, ada rasa sedikit beruntung bagi Wooseok karena Jinhyuk masih suka meresponnya ketika di Twitter.

“Dek..” Wooseok kembali mendekatnya dirinya saat memanggil Jinhyuk, “Mau di sini sampai kelar?”

“Kenapa? kamu udah nggak betah?” Jinhyuk justru balik bertanya, sejak dulu dia memang tidak pernah menambahkan embel-embel Kakak saat memanggil Wooseok.

“Bukan gitu.. eh masih lama gak sih ini?”

“Masih.”

Mendengar jawaban Jinhyuk, Wooseok hanya mengangguk lesu dan kembali memberi jarak diantara mereka, ia menyandarkan punggungnya lagi lalu mencorat-coret asal notes yang ada di tangannya. Kebanyakan tulisannya yang bisa dibaca jelas cuma Lee Jinhyuk ganteng.

“Yaudah.. aku di sini sampai selesai.” gumamnya, “Gapapa lama kalau ada kamu mah.” kali ini berhasil membuat Jinhyuk mendengus kecil sambil meliriknya, “Tambah aneh, ngapain ngikutin saya?”

“Gapapa, mau aja. Kapan lagi aku duduk di samping kamu.”

Satu hal lain yang membuat Wooseok sedikit bersyukur juga heran sejak lama. Jinhyuk selalu berbicara saya dan kamu kepadanya, dengan orang lain juga sih walaupun tidak banyak yang ia tahu karena Wooseok juga cukup sering mendengar Jinhyuk berbicara lugas dengan teman-temannya.

“Dek, tangan kamu beneran ganteng deh. Serius, ngerti gak sih. Tuhan gak adil banget ya, masa kalau tentang kamu bagus-bagus semua.”

Celetukan Wooseok kali ini benar-benar membuat Jinhyuk menghala napas kecil sebelum dia memiringkan tubuhnya untuk menatap Wooseok. Kedua manik mata hitam itu menatap tepat ke arah Wooseok dengan begitu tenang, “Mau keluar?” tanyanya pelan.

“Hah?”

Si kaka tingkat yang selalu merecokinya itu justru memasang wajah blank mambuat Jinhyuk langsung mendekatkan wajahnya, memposisikan bibirnya tepat di samping telinga Wooseok, “Saya mau pulang, kalau kamu mau pulang ayo.” bisiknya.

Blushing.

Jelas Jinhyuk bisa melihat pipi Wooseok yang memerah secara perlahan saat dia menjauhkan wajahnya.

“Ayo.” ucapnya lagi sambil memasukan notes miliknya yang ada di atas paha ke dalam tas lalu kembali menatap Wooseok yang masih linglung, “Wooseok, mau pulang nggak kamu?”

“M-Mau. Bentar, dek.”

Mahasiswa semester empat itu sedikit tergagap lalu secepat mungkin membereskan tasnya. Ia terlalu syok mendapatkan perlakuan seperti itu dari seorang Lee Jinhyuk.

Gila aja, mimpi apa semalam?

Terus kemana suasana dingin yang sejak tadi dirasakannya? Kenapa jadi panas sampai ke muka segala.

Dan kagetnya semakin menjadi saat tangan Jinhyuk menariknya begitu mereka berdiri lalu berjalan sambil berucap permisi pada orang-orang yang duduk satu row dengan mereka agar bisa keluar dari sana.

Mengabaikan tatapan penasaran dari setiap pasang mata yang menatap ingin tahu pada tangan yang kali ini saling bertautan.

Wooseok rasanya ingin memekik kegirangan. Jelas tangan ganteng milik Jinhyuk yang ingin sekali ia pegang itu saat ini justru menggenggamnya dengan lembut, melingkupi jarinya. Hangat.

Beneran mimpi kali ya ini???!

Setelah keluar auditorium, Jinhyuk berjalan di depannya saat mereka menuruni tangga, dan pandangan Wooseok masih terpaku menatap tangan dia yang menggenggam tangannya.

“Dek-”

“Dek, dek, dek. Saya bukan adik kamu.” Jinhyuk dengan cepat menyela ucapan Wooseok tanpa menoleh sedikit pun.

“Tapi kamu adik tingkat..” cicitnya, “Udah kebiasaan.”

“Berarti jangan dibiasain.”