Weishin One Shot

Disclaimer: • ditulis untuk (#)SejutaHarsaUntukWeishin • 5,7k words • angst • ⚠️ // mentioning of blood and syringe! • Segala sesuatu yang ditulis di sini baik yang dilebihkan atau dikurangi murni untuk kebutuhan cerita.


Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang terlihat ceria walaupun ia merasa sakit di sekujur tubuhnya.

Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang selalu meninggalkannya saat mereka bermain waktu kecil karena harus pergi ke rumah sakit, meninggalkannya seorang diri di depan ayunan dan bak pasir yang ada di taman komplek dekat rumah mereka.

Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang selalu memaksa menunggunya bermain futsal sepulang sekolah walaupun Jinhyuk tahu ia sudah lelah dan ingin tidur.

Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang bersikeras ikut persami ketika mereka kelas sepuluh dan berakhir dengan membuat gempar satu sekolah karena pingsan di tengah-tengah kegiatan dan harus dilarikan ke rumah sakit.

Jinhyuk tidak menyukai Wooseok saat ia tidak hadir di hari kelulusannya setelah menempuh perguruan tinggi hanya dalam waktu tiga setengah tahun dengan predikat lulusan terbaik, prestasinya yang ingin dia banggakan. Namun, Wooseok tidak hadir karena ia justru terbaring lemah di rumah sakit.

Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang merengek ingin pergi malam-malam hanya untuk menghabiskan malam minggu walaupun kakinya sedang bengkak dan susah berjalan.

Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang tidak menjaga tubuhnya sendiri dan berakhir ke rumah sakit entah yang ke berapa kali dalam sebulan.

Lee Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang saat ini sedang meminum berbagai obat dengan santai seolah itu adalah hal yang biasa, memang teramat biasa untuknya, Jinhyuk tidak bisa menampik sebuah kenyataan pahit. Miris.

“Kamu nggak kerja?”

Wooseok meletakan gelasnya di atas meja samping tempat tidur, tepat di sebelah vas bunga berisi lily putih yang tampak cantik berpadu dengan hijau daunnya. Ia membenarkan bantal yang mengganjal punggungnya agar lebih nyaman lagi saat bersandar. Lalu menatap Jinhyuk yang duduk di kursi tepat di samping tempat tidurnya dengan pandangan penuh tanya.

Pagi ini, seperti biasa pemuda dua puluh lima tahun itu tampak rapi dengan setelan jas kerjanya yang berwarna abu tua. Ada sebuah senyum tipis di wajah pucat Wooseok saat melihat dasi yang dikenakan oleh Jinhyuk, itu hadiah ulang tahun darinya bulan lalu.

“Bolos.” jawab Jinhyuk singkat.

Wooseok kembali tersenyum, ia mengambil bantal yang ada di sisi tempat tidur lalu memeluknya, dijadikan alas agar ia bisa menumpu siku dan memanggku dagunya, “Nanti kamu dipecat sama Papaku, loh.” katanya dengan nada geli hingga matanya berkerut samar karena menyipit, masih bisa bercanda rupanya.

“Biarin, bisa nyari kerja lagi di tempat lain.”

“Iya deh Jinhyuk yang pinter.”

Sejujurnya ada banyak kalimat yang terputar di kepala Jinhyuk saat ini, tentang Wooseok yang kemarin terlihat sehat dan hari ini justru terbaring di tempat tidur.

Lee Jinhyuk yang baru saja akan pergi bekerja memang menyempatkan untuk mampir, rutinitas yang dilakukannya sejak lama. Namun, saat apa yang dilihatnya sekarang, jelas dia hanya ingin memilih tinggal bersama Wooseok di sini. Menemaninya.

Biar nanti urusan lainnya dia pikirkan belakangan, setumpuk laporan dan jadwal meeting di kantor masih bisa dia tunda untuk sehari. Bukan sekali dua kali Jinhyuk mangkir dari tugasnya, namun, bagaimana lagi. Entah dia juga secara tidak langsung seperti sudah diberi kartu bebas oleh atasannya yang merupakan Papa Wooseok.

Karena apabila itu tentang Wooseok, Jinhyuk tidak bisa mengabaikannya.

Tidak akan pernah bisa.

Sudut mata Jinhyuk menangkap beberapa memar di dekat siku karena Wooseok masih menggunakan piyama lengan pendek berwarna hitam yang terlihat begitu kontras di kulit putih pucatnya. Adalah hal yang membuat Jinhyuk langsung menghela napas dalam. Di kakinya juga ada, dia berani bertaruh apapun bila menyingkap selimut berwarna gading yang sedang digunakan oleh Wooseok. Mungkin memar, mungkin juga bengkak. Tapi, Jinhyuk memilih diam karena melihatnya hanya akan membuat dia ikut menderita.

Selalu seperti ini, Kim Wooseok yang seperti ini yang Jinhyuk tidak sukai.

Kim Wooseok yang merasa kesakitan dan dia yang tidak bisa berbuat apa-apa untuknya.

“Istirahat lagi.”

Kedua sudut bibir Wooseok ditarik berlawanan, rasanya ia begitu bersyukur Jinhyuk ada di sini, tangan kanannya terulur yang langsung disambut oleh Jinhyuk, “Habis minum obat sedikit ngantuk.”

“Nggak apa-apa, tidur aja aku tungguin.”

Jinhyuk berujar pelan, menggeserkan kursinya agak semakin dekat ke tempat tidur, mengusap lembut punggung tangan Wooseok yang sedang digenggamnya.

“Nggak pulang dulu buat ganti baju kalau nggak jadi kerja?”

“Iya nanti.”

Kepala Wooseok mengangguk kecil, namun, bukannya merebahkan tubuh, ia justru menepuk-nepuk tepi tempat tidur agar Jinhyuk pindah. Tanpa perlu berpikir panjang, pemuda dua puluh lima tahun itu menurut, dan tanpa mengeluarkan kata lagi, Kim Wooseok masuk ke pelukannya.

“Capek tidur terus. Temenin aku ngobrol aja.” bisik Wooseok yang membuat Jinhyuk terkekeh kecil sambil mengusap belakang kepala Wooseok dengan sangat lembut.

“Bahas kerjaanku, mau?”

“Enggak, makasih. Aku nggak ngerti, nanti tambah pusing.”

Dagu Jinhyuk di tumpu di atas kepala Wooseok, kedua tangannya yang memeluk bahu Wooseok sedikit mengerat, dia memejamkan mata dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di dadanya, “Perlu ke rumah sakit?” gumamnya yang dijawab gelengan kepala, “Aku nggak apa-apa, Jinhyuk.”

Selalu, nggak apa-apa nya Wooseok adalah kata yang dibenci oleh Jinhyuk.


Ingatan Jinhyuk memutar kembali berbagai kejadian masa lalu. Dia yang selalu berada di samping Wooseok ketika mereka di luar, harus dalam pandangannya, sebisa mungkin.

Wooseok yang dengan keadaanya seperti itu tetap keras kepala untuk bersekolah karena ingin mempunyai teman, katanya ia bosan dengan homeschooling yang dilakukannya selama ini.

Tidak ada yang bisa menghentikannya, baik Jinhyuk maupun Papanya. Bahkan sekalipun itu Dokter Seungwoo, dokter yang merawatnya sedari kecil. Dokter yang paling tahu bagaimana keadaannya.

Kim Wooseok tidak boleh terluka, sedikit pun. Jangan sampai.

Wooseok tidak mengikuti pelajaran olaharaga yang akan menimbulkan benturan fisik di sekolahnya, ia mempunyai jadwal olahraga sendiri. Ia tidak bisa kecapekan karena nanti akan timbul lebam di tubuhnya, lebih parah akan bengkak di persendiannya.

Wooseok tidak bisa makan sembarangan.

Wooseok tidak bisa lepas dari jarum suntik yang menusuk tubuh kurusnya selama hampir dua puluh lima tahun ia hidup.

Intinya, Kim Wooseok tidak bisa bebas beraktivitas dan menjalani hidup layaknya orang normal.

Selama enam tahun bersekolah, Lee Jinhyuk ada di sampingnya. Pergi dan pulang bersama, harus mendapatkan kelas yang sama dan duduk satu meja, selalu mengotrol apapun yang ia lakukan. Melarang ini itu yang sekiranya berbahaya bagi Wooseok.

Melelahkan, terkadang.

Satu sekolah tahu, baik saat mereka SMP atau SMA, Kim Wooseok punya Jinhyuk. Hanya mereka berdua, tanpa terpisahkan.

Semuanya yang terlihat di luar hanyalah Kim Wooseok anak seorang pengusahan kaya raya yang diberikan hak istimewa oleh sekolah karena statusnya, diistimewakan dalam segala hal, dibebaskan dalam berbagai kegiatan. Juga mempunyai Jinhyuk yang tampan, yang pintar, yang selalu ada di sampingnya kemanapun mereka pergi, yang menaruh Wooseok di prioritas teratasnya.

Hidup Wooseok sempurna, kata mereka.

Namun, mereka semua tidak tahu entah sudah berapa puluh kali Jinhyuk berlari pada Wooseok dalam segala situasi saat pemuda itu jauh dari pandangannya. Berlari dengan perasaan gelisah, takut, khawatir yang selalu menghantuinya.

Di saat dia sedang di lapang basket waktu sekolah, di saat dia baru akan tidur di malam hari, di saat dia menghadiri kelas sewaktu kuliah, di saat dia akan mengikuti meeting penting di kantor, dan masih banyak saat-saat lainnya.

Semuanya diabaikan kalau itu menyangkut Wooseok.

Lee Jinhyuk tidak pernah meninggalkan ponselnya, sudah berapa banyak nomor asing yang masuk ke panggilannya untuk mengabari segala sesuatu tentang Wooseok.

Penjaga sekolah yang menemukan Wooseok terduduk lemas di tangga menuju atap, petugas perpusatakaan tempat Wooseok menghabiskan waktu istirahatnya, seorang spg di supermarket saat Wooseok sedang berbelanja untuk kebutuhan mereka yang akan pergi berlibur ke villa milik keluarganya, supir pribadinya yang sangat Jinhyuk kenal baik, yang selalu mengantar Wooseok kemanapun, dan masih banyak lagi nomor-nomor asing yang selalu membuat Jinhyuk gusar bila harus mengangkatnya. Yang paling dan selalu membuatnya mencelos tentu saja panggilan dari rumah sakit yang akan memberitahunya kalau Wooseok di sana.

Ada sebuah kalung yang digunakan oleh Wooseok sejak mereka sekolah dulu, sebuah kalung bertuliskan nama Jinhyuk lengkap dengan nomor pribadinya.

Sebuah kalung yang tidak pernah dilepaskan oleh Wooseok sampai saat ini karena saat ada apapun, Jinhyuk sudah memutuskan sejak mereka kecil, sejak dia paham keadaan Wooseok kalau dia akan menjadi pelindungnya, kalau dia orang pertama yang bisa diandalkan untuk menjaga Wooseok, kalau dia yang meminta percaya dari Papa Wooseok untuk menjaga anak semata wayangnya yang paling berharga.

Bukan hanya Wooseok yang familiar dengan jarum suntik, Lee Jinhyuk sudah belajar lebih dulu, pertolongan pertama yang perlu dia lakukan bila terjadi sesuatu dengan Wooseok. Diajarkan langsung oleh Dokter Seungwoo sewaktu Wooseok masuk ke rumah sakit saat mereka baru saja masuk sekolah selama satu minggu.

Wooseok terjatuh, terdorong oleh segerombolan anak kelas delapan yang berlarian dari kantin. Saat itu Jinhyuk yang baru keluar dari kamar mandi berlari sekuat tenaga ketika melihat kerumunan di dekat perpustakaan, jantungnya berdetak cepat mencoba menjauhkan pikiran buruknya, jangan sampai Wooseok.

Jangan sampai.

Namun, kaki Jinhyuk langsung lemas saat melihat Wooseok yang terduduk di lantai dengan tangan yang bergetar mencoba menutupi lututnya yang berdarah. Dia mendorong beberapa anak yang menghalanginya dengan panik, “Minggir lo semua!”

“Wooseok..” Jinhyuk berlutut, menyobek baju seragamnya untuk menutupi luka tanpa ragu, menyingkirkan tangan Wooseok yang sudah terkena darah.

“Jangan panik.. ya..”

Padahal jelas-jelas di sini Jinhyuk yang terlihat panik, jujur saja. Namun, sebisa mungkin dia mencoba membuat Wooseok agar tetap tenang.

Melihat tingkah Jinhyuk yang seperti itu membuat anak-anak mengerutkan keningnya. Itu hanya luka kecil, dibawa ke UKS dan diperban saja sudah cukup, pikir mereka.

“Kita ke rumah sakit.”

Jinhyuk membungkuk, menggendong Wooseok yang mulai menangis di punggungnya, berlari dengan cepat tanpa mendengarkan guru yang baru datang dan bertanya ada apa. Dia berlari menuju parkiran, menuju mobil Wooseok dan supir yang selalu stand by di sana atas perintah Papanya.

Ada kotak es batu khusus di dalam mobil, Jinhyuk mencoba masih tenang, mengompres luka Wooseok yang masih saja mengeluarkan darah tanpa mau berhenti. Detik itu, Jinhyuk rasanya ingin mengutuk pada siapapun yang membuat jalan karena menuju rumah sakit terasa begitu lama.

“Wooseok.. tahan ya, nggak apa-apa.. ada aku..” bisiknya terus-menerus, menenangkan Wooseok yang mencengkram erat pundaknya, “Jangan digigit bibirnya.” satu tangan Jinhyuk menangkup pipi Wooseok saat tangan yang lain menekan es batu yang dibalut kain ke lututnya.

“Wooseok, jangan gigit bibirnya, lepasin. Nangis aja nggak apa-apa.” perintahnya lagi, menatap Wooseok dengan serius.

Jangan sampai ada luka lain.

“Sakit.. hiks.. Jinhyuk..”

“Iya, sebentar lagi.”

Hemofilia berat tipe B.

Penyakit genetik yang diderita oleh Wooseok sejak kecil. Dimana keadaan darah yang sukar membeku akibat mutasi genetik sehingga menyebabkan perdarahan sulit berhenti atau berlangsung lebih lama.

Sebuah penyakit langka yang hanya menyerang 1 : 50.000 orang. Angka yang begitu mengerikan bagi Jinhyuk saat dia mencari tahu, dan kenapa harus Wooseok, batinnya berkali-kali berteriak.

Di suatu waktu saat mereka kecil, dengan rumah yang bersampingan mereka kerap kali bermain bersama, Wooseok selalu ditemani babysitter walaupun usianya sudah cukup untuk masuk sekolah.

Jinhyuk pernah bertanya, kenapa Wooseok tidak sekolah di tempatnya, di sebuah taman kanak-kanak yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.

Wooseok hanya menjawab tidak boleh sama Papa, aku sekolah di rumah. Dan mbak yang menemani mereka akan menjelaskan dengan senyum penuh pengertian padanya kalau Wooseok itu spesial.

Jinhyuk juga pernah mengajaknya main ayunan, dan mbak akan cerewet melarangnya. Saat itu Jinhyuk mendengus kesal berpikir si mbak pengasuh ini lebay sekali. Tapi, Wooseok hanya tersenyum tipis dan berkata, kita main pasir aja.

Di saat-saat tertentu Jinhyuk juga bisa melihat tangan dan kaki Wooseok yang lebam, dulu anak enam tahun itu hanya berpikir mungkin Wooseok habis jatuh atau kepentok pintu di rumahnya.

Pernah Jinhyuk membawa jajanan dari sekolah untuk dibagi dengan Wooseok yang sedang jalan-jalan di sore hari bersama mbak ke taman. Namun, dia kembali kecewa saat si mbak pengasuh itu menggelengkan kepalanya, Wooseok nggak boleh makan itu, katanya tegas.

Saat Jinhyuk kelas tiga, dia bermain di rumah Wooseok, dengan nekat pergi ke rumah yang gerbangnya selalu tertutup rapat itu dan memanggil-manggil nama Wooseok kepada Pak Satpam yang asik meminum kopi di posnya.

Di saku celanan Jinhyuk ada mainan yang sengaja dibeli di abang-abang depan sekolah, berbagai gambar tepuk yang berhasil membuat Wooseok tersenyum senang ketika melihatnya dan diajarkan bagaimana cara bermainnya.

Jinhyuk adalah teman satu-satunya yang Wooseok punya. Teman yang selalu membuatnya tertawa dengan segala cerita serunya di sekolah.

Namun, Jinhyuk harus terpaku setelahnya karena beberapa saat kemudian ketika mereka bermain di kamar Wooseok, ada darah yang keluar dari kedua hidungnya, banyak sekali.

Wooseok mimisan.

Yang Jinhyuk ingat, dia ingin menangis saat melihat darah Wooseok, tangannya bergetar saat mencari-cari kotak tisu, dia berteriak memanggil mbak agar cepat-cepat ke kamar. Semua orang kemudian sibuk, katanya Wooseok akan dibawa ke rumah sakit dan selama dua minggu Jinhyuk tidak melihatnya.

Saat itulah, titik awal Lee Jinhyuk yang berusia sembilan tahun menyadari kalau Wooseok berbeda, apa yang selama ini diceritakan oleh mbak pengasuh kalau Wooseok spesial itu memang benar.


Wooseok suka melihat Jinhyuk makan keripik kentang, terdengar renyah ketika digigit dan terlihat enak dengan berbagai rasa yang tercetak di bungkusnya. Ia ingin mencobanya, makanan sederhana seperti itu, sekali saja.

Selama ini, sejak sekolah pun Wooseok selalu membawa bekal, Jinhyuk akan ikut makan dengannya walaupun beberapa teman kelas mereka mengajaknya makan di kantin. Jinhyuk akan menolak, dia memilih menemani Wooseok makan bekal di kelas atau di atap sekolah tanpa banyak bicara.

Lee Jinhyuk memang pendiam, cenderung singkat kalau berbicara sejak mereka beranjak dewasa. Berbeda sekali dengan Jinhyuk kecil yang dulu selalu melucu dan membuatnya tertawa.

“Dihabisin makannya.” Jinhyuk mengingatkan, dia sudah tidak asing dengan makanan Wooseok yang sangat sehat.

Dulu, bahkan dia pernah bertanya, kenapa sudah besar tapi masih makan bubur bayi dan Wooseok hanya menjawab kalau itu enak.

Di ulang tahunnya yang ke tujuh belas, Wooseok pernah meminta kalau ia ingin bebas melakukan apapun satu hari saja.

Saat itu Jinhyuk ke kamarnya membawa sepotong red velvet kesukaannya dan sebuket bunga mawar putih yang diberikannya dengan ragu-ragu.

Wooseok tersenyum senang menerimanya, ia yang duduk di atas tempat tidur menyuruh Jinhyuk untuk duduk di sampingnya.

“Mau makan keripik yang kamu suka makan. Mau ke pantai liat sunset. Mau main ayunan terus kamu dorong sampai tinggi, bocengin aku juga pakai sepeda.”

Jinhyuk berpikir panjang, menatap Wooseok yang memasang tatapan memohon padanya, “Oke.” putusnya kemudian yang membuat Wooseok memekik senang dan langsung memeluk lehernya dengan erat, “Makasih, Jinhyuk.” bisiknya.

“Iya. Selamat ulang tahun.” Jinhyuk membalas pelukannya, berdoa dalam hati semoga Wooseok diberi sehat, dilimpahkan bahagia.

Mereka sudah ada di taman komplek perumahan setelah Wooseok menyelesaikan jadwal makan siangnya. Taman yang dulu saat kecil menjadi tempat main mereka berdua, main pasir ditungguin sama mbak yang masih mengurus Wooseok hingga sekarang.

Jinhyuk mendorong ayunannya dengan pelan, sewaktu kecil dia ingin sekali melakukan hal seperti ini karena tahu pasti Wooseok akan tertawa senang, namun itu tidak pernah terjadi.

Takut Wooseok jatuh, takut Wooseok terluka.

“Kurang kencang.”

Wooseok menoleh ke belakang pada Jinhyuk, merajuk sambil mengeratkan tangannya pada pegangan tali di samping kanan kirinya.

Jinhyuk menurut, mendorong ayunannya lebih kencang lalu dia bisa mendengar tawa bahagia Wooseok, sudut hatinya menghangat. Sederhana, tawa Wooseok tercipta dari hal sederhana yang tidak pernah ia lakukan.

“Main sepedanya besok aja, ya?”

Wooseok tidak bisa mengendarai sepeda, dari kecil ia dilarang oleh Papa karena itu berbahaya baginya.

“Yaudah, besok kamu ke rumah pagi-pagi. Bawa sepeda terus bonceng aku di belakang, kita keliling komplek aja. Habis ini berarti langsung ke pantai, ya?”

Jinhyuk hanya bergumam, dia yang lebih dulu berumur tujuh belas sudah memiliki SIM, sudah jago membawa mobilnya. Setiap ke sekolah pun dia sudah membawa mobil tentu saja dengan Wooseok yang selalu bersamanya.

“Jangan dilepas sepatunya.” perintah Jinhyuk saat Wooseok baru akan melepaskan sepatu karena ingin menginjak pasir putih dengan kaki telanjangnya, “Nanti ada batu karang atau apapun itu yang tajam.” jelas Jinhyuk kemudian saat Wooseok akan merajuk.

Dia hanya ingin melindungi Wooseok dari apapun yang akan membuatnya terluka. Lee Jinhyuk sebisa mungkin tidak ingin melihat Wooseok menangis dan berdarah lagi.

Semua benda tajam pun sangat-sangat dibatasi di rumah Wooseok, tidak ada sudut tajam yang bisa membuatnya terluka, segala sesuatunya sang Papa yang mengurus, memastikan anak semata wayangnya untuk tetap aman, Papa bahkan akan mengomel kalau Wooseok bermain di dapur, apalagi memegang pisau.

Terkadang berlebihan, namun Wooseok tahu, itu lah kasih sayang yang bisa diberikan Papa untuknya yang begitu besar.

Air laut terasa dingin saat Wooseok mengulurkan tangannya, dia bergidik. Lalu memilih menghampiri Jinhyuk yang duduk di pasir pantai menunggunya bermain.

“Mana keripiknya?”

Ada gurat ragu di wajah Jinhyuk saat ini, dia mengambil keripik kentang yang tadi dibelinya di minimarket sebelum mereka kesini. Membuka bungkusnya dengan mudah dan menghela napas panjang menatap Wooseok.

“Jangan, ya?”

Jelas Wooseok langsung menggelengkan kepalanya, ikut mendudukan diri di atas pasir tepat di samping kiri Jinhyuk, ia menangkupkan kedua tangannya memohon, “Satu aja, janji...” katanya pelan, “Aku pingin ngerasain makan ini banget, soalnya kamu suka. Pasti enak.” mengambil bungkus keripik kentang dari tangan Jinhyuk dan terlihat amat senang seperti itu adalah makanan mahal yang baru ditemuinya.

“Pelan-pelan, dikunyah sampai lembut.”

Jinhyuk berkata serius, hatinya sedikit gelisah hanya karena Wooseok memakan sebuah keripik. Dia terkadang bingung dengan tingkahnya sendiri yang selalu berlebihan, seperti Papaku saja, begitu Wooseok selalu menggerutu.

“Ini enak banget, aku-”

“Habisin dulu. Jangan ngomong.”

Wooseok mengangguk, masih mengunyah dengan hati-hati, hari ini dia senang sekali. Ulang tahunnya dihabiskan dengan Jinhyuk seperti tahun-tahun lalu, juga melihat sunset yang begitu indah di depan mereka.

Raut wajah Jinhyuk berubah cepat saat Wooseok terdiam kemudian meminta air padanya, ia berkumur dan Jinhyuk mengusap wajahnya merasa menyesal.

Ada darah dari mulut Wooseok.

“Lihat, sini.”

Tangan Jinhyuk menangkup kedua pipi Wooseok dan Wooseok langsung membuka mulutnya, inilah alasannya kenapa ia tidak bisa makan sembarangan. Kenapa ia masih suka makan bubur bayi kalau malas makan hingga sekarang. Karena tidak semua makanan aman untuknya. Seperti sekarang, makanan itu tajam, keripik yang baru saja ia makan melukai gusinya dan akhirnya mengeluarkan darah.

Jinhyuk dengan cepat merangkul Wooseok dan membawanya ke dalam mobil dengan perasaan gusar.

Wooseok langsung mengambil tisu yang ada di dashboard dan menyumpal gusinya yang terus mengeluarkan darah segar.

Tangan Jinhyuk mengeluarkan kotak yang ada di belakang mobil, ada es batu yang langsung dia berikan pada Wooseok yang sudah berkaca-kaca, “Aku nggak apa-apa..” katanya yang membuat Jinhyuk ingin marah.

Jelas ini karenanya yang membiarkan Wooseok makan sembarangan.

“Maaf.” bisik Jinhyuk yang membuat Wooseok yang sedang mengompres pipinya menggelengkan kepala, “Enggak, aku nggak apa-apa. Jinhyuk. Beneran.” katanya susah payah masih mencoba menghentikan perdarannya, mengganti tisu yang baru.

Bohong, Jinhyuk tahu Wooseok sakit, untuk berbicara pun susah.

Jinhyuk memastikan pertolongan pertama bagi Wooseok, pertolongan dasar yang sudah sangat dia hapal di luar kepala sejak bertahun-tahun lalu, yaitu RICE (Rest, Ice, Compression, and Elevator). Kursinya dia turunkan agar Wooseok bisa istirahat, dia memejamkan matanya sejenak dengan napas berat, sampai kapan Jinhyuk harus melihat Wooseok yang seperti ini.

Ada satu kotak lagi yang berisi P3K serta jarum suntik dan obat Wooseok, kotak yang selalu digunakan oleh Jinhyuk disaat-saat genting.

Kotak yang tidak pernah dikeluarkan dari dalam mobilnya hingga sekarang. Kotak yang selalu Jinhyuk bawa kemanapun.

Luka Wooseok harus disuntik, diinjeksi dengan obat khusus untuk menghentikan perdarahannya, untuk mencegahnya bengkak dengan cepat. Maksimal dua jam setelah terjadinya luka, apabila telat, maka pengobatan intensif harus segera dilakukan.

Sebuah alasan sangat jelas tentang bagaimana Jinhyuk akan sesegera mungkin dalam saat apapun dia berlari pada Wooseok bila terjadi sesuatu. Karena akibatnya akan sangat fatal bagi Wooseok, Jinhyuk bahkan tidak akan pernah sanggup membayangkannya.

Inilah yang sudah diajarkan oleh Dokter Seungwoo sejak Jinhyuk kelas satu SMP, sebuah pengobatan segera atau dikenal on-demand untuk penderita Hemofilia.

“Lakukan ini kalau Wooseok terluka, tenang dan pastikan kamu menyuntiknya dengan tepat.”

Kim Wooseok, selama hidupnya tidak akan bisa jauh dari tajamnya jarum yang menusuk kulitnya, entah di bagian mana lagi bekas jarum yang harus terlihat.

“Kita ke rumah sakit, ya?”

Jinhyuk mengusap pipi Wooseok setelah dia berhasil menyuntik tepat di lukanya. Beruntung belum ada bengkak yang terlihat. Namun, Wooseok menolak, ia hanya berbisik pelan sambil memejamkan matanya dan berkata ingin pulang.

Ada jeda lima detik bagi Jinhyuk untuk berpikir sebelum mengangguk, dia mengusap puncak kepala Wooseok lalu bergegas menuju kursinya, menyalakan mobilnya untuk segera pergi dari sana.

Sejujurnya, Jinhyuk tidak berani menghitung sudah berapa kali dia menusukkan jarum tajam tersebut di tubuh Wooseok hingga saat ini.

Bahkan, di pengalaman pertamanya ketika mereka kelas delapan saat Wooseok terluka di dahinya, diam-diam Jinhyuk menangis sambil menunggu Wooseok yang tertidur di bangku UKS sekolah.


Di sebelah kanan jalan sebelum masuk ke perumahan mereka ada sebuah toko bunga dengan tembok berwarna biru pucat, pemiliknya seorang ibu muda yang memiliki anak berusia tujuh tahun.

Wooseok selalu mampir kesana dua kali dalam seminggu setiap pulang sekolah. Dan Jinhyuk akan memarkir mobilnya mepet ke toko karena sempitnya jalan di depan mereka.

Senyum hangat si pemilik toko sudah menyambut Wooseok dengan Jinhyuk ketika mereka membuka pintu kaca, dua anak SMA itu pasti akan membeli lily putih lagi. Tidak pernah berganti sejak awal.

Jinhyuk pernah bertanya, kenapa lily putih yang selalu dibeli Wooseok untuk mengisi vas bunga di kamarnya.

Dan dengan senyum tipisnya Wooseok menjawab kalau itu adalah bunga kesukaan Mamanya, menurut cerita Papa tentu saja.

Wooseok jelas tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenalnya karena sang Mama meninggal di hari yang sama tepat ia lahir ke dunia ini.

Beliau meninggal karena penyakit yang sama yang sekarang dideritanya. Penyakit yang kemudian diturunkan kepada Wooseok.

Saat itu kata Papa terjadi perdarahan hebat pasca operasi setelah Mama melahirkannya dan beliau hanya mampu bertahan kurang dari satu hari. Bahkan kesempatan untuk menggendong Wooseok kecil pun begitu terbatas.

Wooseok tidak tahu bagaimana rasanya mempunyai Mama, hanya Papa yang ia punya, yang sebisa mungkin selalu berusaha berperan sebagai sosok Ayah dan Ibu sekaligus.

Jinhyuk tahu dua puluh tujuh Oktober adalah hari yang sangat penting bagi Wooseok, hari yang selalu dibagi dengan rasa syukur dan juga rasa sedih.

Suatu malam dia pernah menemani Wooseok yang menangis hebat di hari ulang tahunnya ke lima belas, menangis hingga capek tertidur sambil memeluk foto Mamanya.

Jinhyuk yang saat itu menginap hanya merangkulnya, memeluknya dalam diam, hatinya merasa perih hanya dengan mendengar tangis lirih Wooseok.

Maka dari itu, Wooseok menyukai bunga lily putih. Wooseok juga menyukai musim semi setiap tahunnya. Wooseok menyukai bagaiman taman bunga di halaman rumahnya mulai berbunga.

Atau mungkin taman di rumah sakit bila ia dirawat, yang bisa ia lihat lewat jendela kamarnya. Yang bisa ia kunjungi di sore hari dengan kursi roda yang didorong oleh Jinhyuk.


Jinhyuk banyak membaca semasa sekolahnya dulu, dia juga kerap mendapatkan ranking yang selalu berada di tiga besar. Waktunya di sekolah dia habiskan dengan Wooseok, bermain basket, bermain futsal, dan perpustakaan.

Kata Wooseok, ia suka suasana perpustakaan sekolah mereka, yang tenang, yang bau buku, yang teduh karena dari jendela yang dibuka langsung menghadap ke taman sekolah yang banyak di tanami pepohonan hijau, Wooseok menyukai udara dingin dan angin sejuk yang menerpa wajahnya.

Ketika Jinhyuk ada kegiatan lain, Wooseok akan tinggal di perpusatakaan. Biasanya sendiri atau dengan teman kelas mereka yang hanya satu atau dua orang. Teman yang akrab karena duduk di depan mereka.

Ketika Jinhyuk ikut ke perpustakaan, ada sebuah topik yang selalu dicari tahu olehnya, dari buku ataupun dari internet. Puluhan jurnal telah dibacanya tentang sakit Wooseok. Tenang sebuah kelainan darah bernama Hemofilia.

Dari itu semua, Jinhyuk hanya akan mengutuk ketika lagi-lagi membaca kalau Hemofilia tidak bisa disembuhkan, kalau penderita Hemofilia harus bergantung pada injeksi obat seumur hidupnya seperti yang sudah dilakukan oleh Wooseok selama ini.

Bahkan sampai sekarang, sampai usia mereka bukan tujuh belas lagi, jurnal terbaru yang sudah dibaca oleh Jinhyuk pun masih berkata hal yang sama. Kalau pengobatan yang dilakukan umumnya hanya dapat mengurangi gejala-gejala, serta mengontrol atau mencegah perdarahan berlebih.

Beberapa hari lalu, Wooseok kembali masuk ke rumah sakit dan kemarin akhirnya baru bisa pulang. Jinhyuk belum sempat bertemu lagi, kemarin dia pulang larut sekali dari kantor dan tidak mungkin langsung mengunjungi Wooseok walaupun ingin, dia tidak mau mengganggu waktu istirahatnya.

Jinhyuk mengusap wajahnya sebelum membuka pintu kamar Wooseok, sangat tidak ingin kalau yang dia lihat nanti adalah wajah pucat yang tersenyum lemah menatapnya.

Sudah dibilang kan, Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang kesakitan. Dia tidak menyukai Wooseok yang selalu berkata aku nggak apa-apa, Jinhyuk.

Namun, saat tiba di dalam, Jinhyuk langsung disambut oleh baju yang berserakan di atas tempat tidur, sedangkan si pemilik kamar terlihat sibuk dengan lemarinya.

“Ngapain?”

Wooseok terlonjak kaget saat mendengar suara Jinhyuk yang begitu dekat tepat di belakangnya, ia berbalik dan langsung mendengus keras, “Kamu tuh ngagetin banget sih!” serunya yang hanya dibalas permintaan maaf oleh Jinhyuk.

Tidak lama ia langsung menerjang Jinhyuk dengan sebuah pelukan erat, “Kamu sibuk, ya?” tanyanya pelan, karena kemarin Jinhyuk tidak ke rumah.

Wooseok mengeratkan pelukannya, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Jinhyuk, menghirup wangi Jinhyuk yang ia rindukan. Beberapa hari ini ia sudah cukup mencium bau rumah sakit yang membuatnya mual. Bosan.

“Selamat ulang tahun, Wooseok.”

Jinhyuk tidak menjawab pertanyaannya, dia justru berbicara hal lain. Hatinya mengucap lega melihat Wooseok yang baik-baik saja, Wooseok yang tidak pucat, Wooseok yang tidak berbaring lemah di atas tempat tidur karena tidak bisa berjalan.

“Terimakasih.”

Wooseok tersenyum lebar, semakin mengeratkan pelukannya pada Jinhyuk saat pemuda itu merengkuh pinggangnya dan menciumi puncak kepalanya.

Kalau boleh memilih, Wooseok tidak mau melepaskan Jinhyuk. Wooseok ingin seperti ini terus. Wooseok ingin Jinhyuk yang selalu ada untuknya.

Hari ini, mereka kembali bertemu dengan dua puluh tujuh Oktober di musim gugur.

“Nggak ada yang aneh, ya? ternyata 25 tahun gini-gini aja.” Wooseok berkata sambil melepaskan pelukannya walaupun tidak rela, ia menatap Jinhyuk yang mengangkat bahunya lalu tersenyum tipis, “Iya, tetap gini. Memang mau jadi Wooseok yang gimana?”

Wooseok tertawa kecil mendengar pertanyaan Jinhyuk, “Ya gimana ya, aku juga gatau.” katanya sambil berjalan ke tempat tidur, menyingkirkan beberapa baju dan dilempar ke arah sofa yang ada di pojok kamar lalu duduk sambil memeluk bantal.

“Hari ini kamu mau ngapain?”

Jinhyuk ikut duduk di atas tempat tidur, bertanya penasaran tentang dua puluh tujuh Oktober kali ini.

Tahun lalu mereka pergi ke makam Mama Wooseok lalu hanya menghabiskan waktu di rumah seharian dengan kue ulang tahun yang Jinhyuk beli saat mereka pulang dan juga film kesukaan Wooseok yang entah sudah berapa kali mereka tonton. Ujung-ujungnya Wooseok tertidur sambil memeluk lengan Jinhyuk yang duduk di sampingnya dan Jinhyuk yang harus menggendongnya dari ruang keluarga ke kamar.

Ada kerutan dalam di kening Wooseok saat ini, ia terlihat berpikir lalu tersenyum lebar, kedua mata indahnya dibalik kacamata bulat itu berbinar menatap Jinhyuk yang terpaku, Kim Wooseok indah.

Kim Wooseok yang hari ini berusia dua puluh lima, Kim Wooseok yang tertawa kecil sambil menjentikan jarinya, Kim Wooseok yang kemudian menangkup kedua pipinya, dan berkata, “Ayo ke pantai!”

“Lagi?”

“Lagi kapan sih, Jinhyuk. Tahun lalu kan enggak.”

“Oh, oke.”

“Aku mau lepas sepatu, aku mau nginjek pasir, aku mau main air sama kamu!”

Jinhyuk mengangkat tangannya untuk mengusap lembut puncak kepala Wooseok, “Semau kamu, hari ini.”

Setelah mereka beranjak dewasa, yang Wooseok tahu kalau ia hanya butuh Jinhyuk di hidupnya, yang bisa mendampinginya bersama sang Papa, satu-satunya orang terkasih yang ia punya.

Wooseok mungkin tidak pernah banyak mengeluh sakit pada Jinhyuk walaupun ia tahu Jinhyuk yang paling banyak melihatnya dalam kondisi terburuk sejak mereka kecil.

Jinhyuk yang menjadi orang pertama untuk dihubungi ketika ada apa-apa dengannya. Jinhyuk yang selalu memberikan pertolongan pertama padanya. Jinhyuk yang tahu banyak bekas luka di tubuhnya, yang tahu dimana saja ia pernah terluka. Jinhyuk yang berkali-kali menggendongnya kalau ia tidak bisa berjalan karena pergelangan kakinya bengkak, Jinhyuk yang akan menenangkannya dan selalu berkata, nggak apa-apa Wooseok, ada aku.

Wooseok menyayanginya begitu besar.

Wooseok menyukainya bagaimana Jinhyuk selalu menjaganya, bagaimana Jinhyuk selalu memperhatikannya dan selalu ada, bagaimana Jinhyuk memastikan yang terbaik untuknya.

Lee Jinhyuk memang pendiam sejak mereka beranjak dewasa, dia hanya akan berbicara seperlunya namun, tatapanya, semua perlakukannya dengan tingkah kecilnya sekalipun selalu bisa menarik perhatian Wooseok.

Musim gugur di bulan Oktober kali ini bersuhu delapan belas derajat di siang hari. Tidak terlalu dingin untuk berjalan di pinggir pantai dengan kaki telanjang.

Jinhyuk menatap tangannya yang digandeng oleh Wooseok yang berjalan di depannya, dia tersenyum tipis melihat bagaimana Wooseok sedikit bergidik saat air laut mengenai kakinya, membasahi celananya yang tidak digulung sempurna.

“Udahan?” tanyanya memastikan.

“Belum.” jawab Wooseok, ia berbalik lalu sedikit membungkuk untuk menyipratkan air padanya dan berhasil mengenai sedikit kemejanya di bagian dada, “Main air yuk, tapi jangan berenang.” tentu saja, siapa pula yang akan mengijinkan Wooseok berenang di sini saat di rumahnya ada fasilitas yang lebih dari cukup.

Wooseok jarang sekali melihat Jinhyuk tertawa saat mereka dewasa, Jinhyuk paling hanya terkekeh kecil atau tersenyum padanya.

Namun, hari ini pengecualian. Jinhyuk tertawa saat Wooseok yang di peluknya berjerit merengek ketika ditarik ke air olehnya.

Jinhyuk tertawa saat Wooseok gantian mendorongnya agar terkena ombak dan berhasil membuat celananya basah hingga betis, sedangkan Wooseok berhasil menghindar berlari menjauh darinya.

Jinhyuk tertawa saat dia berhasil memeluk Wooseok dari belakang dan memangkunya dengan mudah, membuat Wooseok langsung mengalungkan tangannya di pundak Jinhyuk dengan erat, memohon sambil tertawa agar tidak dijatuhkan ke air.

Jinhyuk tertawa saat ombak mengejar Wooseok yang sedang berjongkok untuk melihat seekor kepiting yang memasuki sebuah lubang di dalam pasir.

Dan Jinhyuk tertawa saat Wooseok berjalan ke arahnya lalu memeluknya, diputarnya tubuh kecil Wooseok oleh Jinhyuk hingga ia tertawa senang, bahagia di ulang tahunnya ke dua puluh lima.

“Capek?” Jinhyuk bertanya pelan saat ia menurunkan Wooseok, yang ditanya menggelengkan kepalanya dengan senyum manis tertimpa cahaya matahari kemerahan, “Senang, makasih, Jinhyuk.” katanya.

Tangan Jinhyuk menangkup kedua pipi tirusnya, mengusapnya dengan lembut tulang pipi yang rasanya semakin terlihat. Wooseok kurusan dan lingkar matanya terlihat menghitam.

“Selamat ulang tahun, Kim Wooseok. Semoga Tuhan selalu memberimu bahagia dan sehat.”

Kedua mata Wooseok sudah berkaca-kaca saat Jinhyuk mendekatkan wajahnya dan mengecup keningnya cukup lama, banyak sekali doa yang dipinta oleh Jinhyuk pada Tuhan setiap harinya. Namun, kali ini, dia meminta dengan kesungguhan luar biasa, dia meminta agar Wooseok yang sangat disayanginya ini selalu bersamanya, di sampingnya.

Wooseok kemudian benar-benar menjatuhkan air matanya saat Jinhyuk menurunkan kecupan di keningnya ke kedua pipinya, ke pucuk hidungnya, lalu ke bibirnya.

Ia dicium dengan lembut, di hari ulang tahunnya ke dua puluh lima, di atas pasir yang diinjaknya dengan kaki telanjang, di bawah sinar matahari senja yang terasa hangat dan diiringi suara dari debur ombak yang memenuhi pendengarannya.

Tangan Jinhyuk melingkar sempurna di pinggang kecil Wooseok, dan sepasang kaki tanpa alas itu berjinjit secara perlahan, dengan tangan yang terulur ke belakang pundak Jinhyuk, dengan mata yang masih terpejam, dengan detak jantung yang berkali-kali lebih cepat dan berisik.

“Terimakasih sudah lahir dan bertahan sejauh ini, Wooseok.” bisik Jinhyuk tepat setelah dia menjauhkan wajahnya, menatap dengan pandangan dalam dan kemudian membawa Wooseok ke dalam pelukan hangat.

Wooseok hanya mampu memejamkan matanya, menyadarkan kepalanya di dada bidang Jinhyuk dengan senyum haru yang tergambar di wajah manisnya.

Sebuket mawar putih terlihat tergeletak di atas pasir tepat di samping sandal mereka. Bunga yang tadi saat Wooseok masuk ke mobil Jinhyuk sudah ada di sana, bunga yang sudah dibeli oleh Jinhyuk sebelum dia tadi pagi datang ke rumah.

Selain lily kesukaan Mamanya, Jinhyuk juga tahu Wooseok menyukai mawar putih, sungguh itu cocok dengan Wooseok, sama-sama cantik.

Mereka masih belum pulang, Wooseok yang meminta, ia ingin melihat matahari benar-benar terbenam ke dalam laut, katanya. Maka, Jinhyuk mengizinkan setelah sebelumnya dia pergi ke mobil dulu untuk mengambil jaket miliknya, digunakan agar membalut sweater berwarna baby blue yang dipakai Wooseok saat suhu di sekitar mereka perlahan mulai terasa turun.

Tangan Wooseok melingkar di pinggang Jinhyuk, menyandarkan kepalanya di bahu pemuda tersebut dengan senyum yang belum hilang dari sudut bibirnya.

“Maaf ya, kemarin aku nggak bisa jemput kamu dari rumah sakit.”

Jinhyuk memulai obrolan diantara mereka, tangan kanannya yang merangkul pundak Wooseok sedikit mengerat, dia mendaratkan sebuah kecupan singkat di puncak kepalanya.

“Nggak apa-apa, aku pulang sama Papa.” tentu saja, Jinhyuk mengangguk, jelas dia tahu karena kemarin saat di kantor dia melihat Papa Wooseok yang menunda meeting penting demi menjemput anaknya.

“Jinhyuk... makasih ya. Aku tau kamu suka mampir ke rumah kalau pulang malam sejak dulu kamu sibuk kuliah.”

Tangan Jinhyuk yang kali ini sedang mengelus kepala Wooseok terhenti, di masa kuliahnya dulu banyak sekali waktu mereka yang terbuang, Jinhyuk sibuk dan Wooseok kesepian, “Kamu tau?”

Wooseok terkekeh dan mengangguk, “Tau, Jinhyuk bakal ke kamar, terus mastiin aku nggak apa-apa, ya? paling sering diem deh soalnya aku kan udah tidur.”

Lee Jinhyuk mengeratkan rangkulannya, menumpu dagunya di atas kepala Wooseok, hati kecilnya ingin berteriak.

Tidak, lebih dari itu yang dilakukannya.

Dia kerap kali termenung di tamaramnya suasana kamar Wooseok, memperhatikan si pemilik kamar yang tertidur dengan tenang, memastikannya tidak kesakitan.

Jinhyuk menatap sendu pada tangannya, pada bekas jarum suntik yang entah harus di mana lagi Wooseok dapatkan. Juga pada tangannya yang membiru. Pada bekas botol obat dan jarum suntik yang terkadang belum dibereskan di atas meja, tergeletak begitu saja bila Wooseok selesai melakukan terapinya.

Adalah terapi profilaksis yang dilakukannya sejak kecil mengharuskan ia disuntik minimal satu minggu sekali, tergantung kondisinya, lebih parah bisa satu minggu dua kali secara berturut-turut dalam satu bulan. Sebuah terapi untuk mengurangi risiko terjadinya perdarahan mendadak atau spontan pada pengidap Hemofilia tingkat berat.

Terapi seumur hidup, dua puluh lima tahunnya.

Wooseok sudah terbiasa sejak di bangku sekolah dulu, menanggungnya sendiri, diajarkan menyuntikkan jarum tajam tersebut menembus kulitnya.

Berbeda dengan pengobatan on-demand yang selalu dilakukan orang lain, baik Jinhyuk maupun Papanya bahkan mbak yang sudah merawat Wooseok sejak kecil. Wooseok selalu takut, tangannya akan tremor lebih dulu bila ia harus menyuntik di titik lukannya.

Hal tersebut menyakitkan, Jinhyuk tidak pernah bisa membayangkannya, kenyataan yang membuat hatinya seperti diremas karena lagi-lagi, Jinhyuk tidak bisa melakukan apa-apa untuk Wooseok.

Jinhyuk tahu, tak jarang Wooseok selalu memakai lengan panjang untuk menutupi luka-lukanya, merasa malu, tidak percaya diri di depannya apalagi di depan orang lain. Berulang kali dia berkata tidak apa-apa, maka berulang kali juga Wooseok akan semakin mundur.

Kamu sempurna Wooseok, dengan kamu yang apa adanya sekarang.

Jinhyuk selalu mengatakannya dengan sungguh-sungguh.

Beban psikologi yang diterima Wooseok membuatnya merasa kecil karena berbeda dengan orang di luar sana.

Sang Papa selalu menjadi tempat paling nyaman pertama bagi Wooseok untuk mengeluh dengan bebas, bahkan kerap kali saat ia dulu belum mengerti keadaanya tubuhnya sendiri ia akan menangis, bertanya kenapa hanya bermain seperti biasa saja ia akan mimisan, lengannya membiru, lututnya sakit bahkan kakinya membengkak dan tidak bisa berjalan.

Dengan perlahan dan sabar sang Papa akan menjelaskan kalau ia punya Hemofili, kalau ia terlahir spesial sebagai putranya.

Bagai mutiara yang dijaga agar tidak pecah, begitulah seorang Kim Wooseok.

“Jinhyuk...”

Kesadaran Jinhyuk seperti ditarik kembali, pantulan cahaya kemerahan di ufuk barat tersebut memantul di atas air, berkilauan indah di penglihantannya, dia menunduk menatap Wooseok yang masih di rangkulannya, “Kenapa? Mau pulang?”

Wooseok menggelengkan kepalanya, ia hanya mengeratkan pelukannya di pinggang Jinhyuk. Semakin mengubur tubuhnya dalam pelukan pemuda yang sangat disayanginya itu.

“Terimakasih...” bisik Wooseok, “Untuk selalu ada buatku.” nadanya terdengar lemah dan lirih.

Jinhyuk mencoba tersenyum walaupun itu sangat tipis, kedua sudut bibirnya terasa kaku saat akan membalas ucapan Wooseok, dia terganggu dengan suara Wooseok yang semakin pelan.

Sambil mengeratkan pelukannya dan memejamkan matanya, dia mendaratkan sebuah kecupan ringan di pelipis Wooseok.

Hati kecilnya berbisik kepada Tuhan, tolong kuatkan Wooseok di segala situasi, tolong jangan izinkan ia untuk menyerah.