weishin one shoot
• from kang kuas universe • 5,2k words • fluff, 🔞 kissing
“Baru bangun, ya?”
Jinhyuk tersenyum malu dengan muka bantalnya, masih pakai boxer dan kaos gombrang warna hitam. Dia membuka pintu kosannya lebih lebar supaya Wooseok yang sekarang sedang berdiri di depan pintu sambil menatapnya itu bisa masuk.
“Iya. Maaf ya aku gak cek hp. Lupa kamu mau kesini. Semalem baru tidur jam 3an.” jawabnya sambil mengucek mata dan menyandarkan kepalanya di kusen pintu. Seperti nyawanya memang benar-benar belum terkumpul.
“Aku ganggu nggak ini jadinya?” Wooseok memastikan dengan kedua alis yang diangkat, sedikit meringis melihat Jinhyuk yang tampak masih mengantuk.
“Enggak atuh, kan udah bilang kemarin. Untung aku bangun pas kamu ketok-ketok pintunya. Masuk yuk.”
Setelah dipersilahkan, Wooseok baru masuk ke dalam kosan Jinhyuk, ia melepaskan sepatunya terlebih dulu dan ditaruh di rak yang ada di luar, membuat sepatu mereka bersisian dengan rapi.
Lalu ditutupnya lagi pintu tersebut ketika Wooseok sudah di dalam, bahkan Jinhyuk sempat melongokan kepalanya keluar melihat suasana kosan yang sepi di pagi hari seperti ini. Begitupun kamar samping kiri dan kanannya yang tertutup rapat.
Tentu saja, ini masih pukul sembilan, kebanyakan orang sedang di kampus untuk menghadiri kelas. Mungkin hanya ada beberapa kamar yang terisi bila dilihat dari motor juga mobil termasuk punya dirinya yang terparkir di halaman yang gerbangnya ditutup.
Dilihatnya Wooseok yang membawa satu totebag selain ransel, terakhir mereka bertemu beberapa hari lalu saat Jinhyuk mengantarnya pulang dari kampus, “Kamu beneran gak ada kelas?” ada nada ragu karena Wooseok terlihat rapi untuk disebut tidak ada kelas, jelas ia memakai kemeja panjang.
“Enggak, Jinhyuk.” jawab Wooseok sambil mendudukan diri di atas karpet tebal berwarna hitam dengan garis abu-abu yang sengaja dipasang tepat di bawah tempat tidur guna menutupi lantai yang dingin, “Hari ini aku kosong, diganti minggu depan kelasnya. Makanya aku kemarin bilang mau kesini pas inget kamu hari ini free.”
“Oh.., di atas deh. Masa duduk di bawah.” Jinhyuk langsung menarik tangan Wooseok untuk pindah, “Kayak baru pertama kali kesini aja.”
Melihat ke sekeliling, kamar kost Jinhyuk yang berada di lantai satu terbilang cukup luas, di dominasi warna monokrom terlihat simpel tanpa banyak warna. Dua buah lukisan kontemporer berukuran masing-masing 25x35cm dan 40x60cm tergantung menghiasi dinding polos berwarna putih bersih itu, karya dirinya sendiri tentu saja.
Terdapat meja belajar penuh buku-buku, alat tulis, laptop, serta sketch book yang berantakan terbuka sana sini. Di depan meja ada satu kursi yang ditaruh tas serta jaket di atasnya entah bekas dipakai kapan.
Ada lemari baju dua pintu di sisi kanan kamar, disampingnya ada tumpukan kanvas dan rak khusus untuk alat lukis miliknya. Keranjang baju kotor yang sudah lumayan penuh belum sempat dilaundry di taruh di dekat pintu kamar mandi. Ada juga meja kecil berisi alat makan seadanya serta dispenser lengkap dengan gelas bekas kopi semalam.
Yang paling penting tentu saja tempat tidur double size yang belum dibereskan terlihat dari bedcover berwarna abu tua yang tergulung dekat tembok yang tadi disingkap terburu-buru oleh Jinhyuk saat mendengar suara Wooseok dan ketukan di pintu kamarnya.
Satu yang bisa disimpulkan, berantakan. Sepertinya Jinhyuk memang belum ada waktu untuk membereskan kamarnya karena banyak tugas minggu ini.
“Aku bawa makan buat kamu sarapan.”
Jinhyuk tersenyum lebar sambil kembali ke tempat tidur, tubuh jangkungnya itu tengkurap dengan kepala menghadap ke arah Wooseok yang kini duduk di pinggir, tangannya memeluk bantal sebagai ganjal kepalanya sendiri, kakinya sedikit meringkuk merasakan udara dingin dari pendingin ruangan yang entah remotnya terselip di mana, “Makasih Wooseok yang paling pengertian.” katanya dengan suara yang jelas masih serak khas bangun tidur.
Hanya gumaman kecil yang diberikan Wooseok untuk membalas ucapan terimakasih. Tangannya lantas terangkat untuk mengusap rambut Jinhyuk yang masih saja memasang senyum sambil menatapnya. Wooseok merapikannya tanpa ragu, rambut yang diwarnai milik Jinhyuk sejak tiga bulan lalu itu terlihat sedikit kusut karena baru bangun tidur.
Bila mengingat kembali, Wooseok berhasil melongo dibuatnya saat Jinhyuk tiba-tiba muncul di depanya dengan tampilan yang tidak biasa, mereka saat itu tengah sibuk dengan tumpukan tugas hingga tidak sempat bertemu hampir dua minggu.
“Rambut kamu bagus, lucu. Biasanya kan hitam.” puji Wooseok ketika Jinhyuk melepaskan topinya, akibat ucapannya itu ia berhasil mendapatkan usapan dari Jinhyuk di atas kepalanya lengkap dengan tawa renyah dan wajah sumringah, “Makasih Wooseok yang jauh lebih lucu.” balasnya.
Dan sungguh Wooseok sama sekali tidak menyangka kalau Lee Jinhyuk dan rambut pirangnya membuat dia semakin tampan apalagi saat rambut yang sedang disisirnya menggunakan tangan itu sudah sedikit panjang melewati telinga seperti sekarang.
“Beneran baru tidur jam 3? Keliatan masih ngantuk.”
“Hmm, lumayan sih ini.”
Menerima usapan tangan Wooseok di atas kepalanya, Jinhyuk memilih memejamkan mata sesaat karena rasanya mau tidur lagi sampai siang kalau dielus-elus begini. Enak banget, di-nina bobo-in. Ditambah dia hari ini juga tidak ada kelas.
“Mandi dulu, habis itu makan. Nanti tidur lagi, hyuk.”
Jinhyuk tidak langsung menjawab, dia menghela napas panjang lalu membuka mata, “Enggak dulu, deadlinenya nanti siang. Masih belum aku cek lagi dari yang semalam.”
Tubuh jangkung itu langsung bangun walaupun malas-malasan, duduk di tempat tidurnya dan menatap Wooseok yang terlihat manis di pagi hari ini. Ditangkupnya kedua pipi tirus tersebut sambil dicubit tanpa ampun.
“Ganteng, cakep, wangi, gemes, manis banget hari ini sumber inspirasiku.” ujarnya diselipi tawa yang langsung membuat Wooseok menepuk-nepuk tangannya, “Jangan dicubit, kamu mah!” protesnya hanya dianggap angin lalu oleh Jinhyuk yang masih tertawa.
“Aku juga bawa kopi.” tambah Wooseok membuat Jinhyuk semangat dan menurunkan tangannya, “Ok. Tunggu ya, aku mandi gak akan lama.” dia langsung bangun tanpa repot-repot membereskan tempat tidurnya, mengusak sekilas puncak kepala Wooseok lalu mengambil satu setel baju bersih dari lemari dan berjalan ke kamar mandi meninggalkan Wooseok yang menatapnya sambil menggelengkan kepala.
“Jinhyuk, aku pinjam beberapa alat lukis, ya?” izinnya yang dibalas oleh Jinhyuk yang sudah di kamar mandi, “Pake aja semau kamu.”
Setelah tugas Jinhyuk semester lalu yang memerlukan Wooseok sebagai sumber inspirasinya, hubungan keduanya jelas semakin bertambah intens.
Terlihat bagaimana pertemuan mereka di luar kepentingan tugas terus berjalan hingga saat ini.
Jalan berdua, makan siang di fakultas masing-masing walaupun seringnya Wooseok yang diculik ke fakultas seni, saling nemenin nugas di kosan atau di perpusatakaan. Diajak Jinhyuk nongkrong di taman sambil sibuk dengan sketch booknya, main ke studio lukis fakultas dan banyak pameran seni, atau cuma ngadem sambil nyender di bawah pohon yang ada di taman kampus, duduk di atas rumput bercanda haha hihi bak pasangan dimabuk asmara.
Oh, bahkan mereka pernah hingga liburan ke Jogja saat libur semester kemarin untuk mengunjungi kakaknya Wooseok yang tinggal di sana, sengaja pakai kereta.
Jinhyuk yang mau ikut waktu dikasih tahu Wooseok mau liburan, “Daripada kamu pergi sendirian mending aku temenin deh.” katanya waktu itu yang tidak langsung diangguki oleh Wooseok, ia terlihat menimbang.
Wooseok sudah terbiasa naik kereta ke Jogja sendirian dan tidak apa-apa.
“Boleh nggak, aku ikut? Tenang aja nanti aku nginep di hotel deket-deket rumah kakak kamu jadinya.”
Tentu saja bukan masalah itunya, rumah kakaknya cukup kalau untuk menampung Jinhyuk. Hanya saja ini berarti akan menjadi perjalanan jauh pertama mereka, liburan pertama Wooseok dengan Jinhyuk, berdua.
Ia menggigit bibirnya menatap Jinhyuk yang menunggu jawaban penuh harap, “Emang kamu nggak pulang ke Jakarta?” Jinhyuk mengangkat bahunya tampak tidak masalah, “Libur dua bulan nggak akan rugi kalau dipakai ke Jogja cuma beberapa hari... sama kamu lagi.”
Ada senyum lebar di ujung kalimatnya yang berhasil membuat Wooseok terdiam sesaat karena mendapatkan jawaban seperti itu, jujur agak kaget. Tapi, akhirnya ia mengangguk singkat sambil tersenyum tipis, “Boleh, yaudah terserah kamu aja.”
“Ok! aku pesenin tiketnya, ya? Mau pergi kapan?”
Tujuh jam perjalanan kereta Bandung-Jogja dengan Jinhyuk ternyata tidak salah, walaupun dihabiskan dengan tidur karena mereka memilih kereta dengan jadwal malam, Wooseok menikmatinya, tidak membosankan sama sekali.
Ia tidak sendirian, ada Jinhyuk yang sering bertanya sudah sampai stasiun mana kalau kereta mereka berhenti, padahal jelas-jelas terdengar dari pengeras suara, iseng seperti anak kecil saja. Lalu tidak lama dia tertidur pulas sambil menyandarkan kepala di bahu Wooseok yang menepuk-nepuk pahanya.
Dan satu minggu terasa begitu cepat berlalu, dengan kenangan seru, dengan tawa dan moment baru yang diciptakan oleh Jinhyuk. Dengan genggaman tangan dalam beberapa kesempatan, juga pelukan hangat di atas motor dan obrolan sepanjang jalan.
Hiruk pikuknya Malioboro serta titik nol kilometer tempat mereka menghabiskan sore. Ramainya alun-alun kidul di malam hari saat Wooseok dipaksa oleh Jinhyuk untuk menutup matanya melewati pohon beringin kembar dan ditertawakan karena jalannya yang melenceng, namun akhirnya dituntun dengan sabar hingga kemudian berhasil. Ataupun dengan nasi kucing yang mereka makan di angkringan dekat Tugu hingga Jinhyuk nambah berkali-kali karena jauh dari porsinya biasa makan.
Lalu, dengan pemandangan indahnya city light kota Jogja dari puncak bukit bintang yang rela jauh-jauh mereka datangi bermodalkan google maps.
Terakhir, lengkap dengan potret di banyak tempat-tempat yang mereka kunjungi atas usul Jinhyuk si pecinta keindahan dan kekayaan sebuah karya seni.
Semuanya terjadi begitu saja diantara mereka.
Nyaman, nyambung.
Sayangnya hubungan mereka itu kerap kali membuat teman-temannya berdecak sebal ketika bertanya.
“Apaan, yang begini gak pacaran udah pasti dusta! Iya teu guys?“
Yuvin berkata tidak habis pikir ketika mereka kabur dari penatnya setelah ujian tengah semester ke salah satu villa di Lembang atas usul sok ide Seungyoun.
Jelas-jelas di depan mereka semua yang datang, Jinhyuk merangkul Wooseok dengan posesif yang sedang asik makan sosis bakar. Atau sikap serta perhatian-perhatian lainnya diantara mereka yang secara nalar lebih dari apa yang dinamakan teman.
Pertanyaan Yuvin itu mengundang anggukan setuju dari yang lain, yaitu teman-teman Wooseok juga teman-teman kosan Jinhyuk yang memang pergi bersama.
Namun, baik Jinhyuk maupun Wooseok tidak ada yang menanggapinya, mereka seakan tidak ambil pusing tentang pandangan orang lain terhadap hubungan keduanya.
Saat itu, Jinhyuk hanya tertawa kecil sambil mengeratkan rangkulannya dan Wooseok yang malah menyuapi Jinhyuk sosis yang sedang dipegangnya.
“Kan kan begini nih kelakuannya!”
Ada lagi sewaktu Seungyoun berkata ketika mereka nongkrong di kamar Kukun yang ada di lantai dua.
“Pelukan, ciuman, kelon tapi cuma temen emang lagi musim, ya? Gak wajar kalo kata aing sih.”
Jinhyuk yang duduk di depannya langsung melempar kacang yang sedang dia makan hingga mengenai hidung Seungyoun, “Bacot, yon.” katanya.
“Aing gak sebut maneh, anjir. Ngerasa ya berarti!!”
Begitulah beberapa bulan ini, baik teman-teman Wooseok maupun Jinhyuk akhirnya sudah biasa apabila melihat hubungan mereka yang katanya nggak ada apa-apa. Terserah lah, toh hubungan juga hubungan mereka. Bukan urusan yang lain, kalau kata Byungchan, orang yang sangat berjasa di sini.
Wooseok mengeluarkan drawing book dari dalam ranselnya. Sejak kenal dengan Jinhyuk dan sering menemaninya, ia juga perlahan mulai tertarik dengan dunia Jinhyuk. Kata Jinhyuk tidak ada yang namanya jelek di dunia seni, gambar apa aja semau kamu, sesuai imajinasi kamu. Toh semuanya juga tergantung interpretasi masing-masing yang melihat. Kata Jinhyuk ya.
Maka, beginilah Kim Wooseok dan kreasinya. Sering merecoki Jinhyuk yang untungnya dia tidak terganggu sama sekali.
Lumayan buat healing, distraksi dari kepenatan rutinitas perkuliahannya.
Lima belas menit kemudian, Jinhyuk baru keluar kamar mandi dengan rambut yang tampak basah sehabis keramas serta handuk kecil yang digunakan untuk mengusap-ngusap rambutnya. Sweater kotak-kotak merahnya tampak begitu cerah dipadukan dengan training berwarna hitam.
“Gambar apa kali ini?”
Tanyanya mendekati Wooseok yang sudah duduk di karpet lagi dengan alat lukis yang berserakan. Dia ikut duduk dan Wooseok langsung bisa mencium wangi sabun serta sampo yang digunakan oleh Jinhyuk. Segar banget, wangi yang semakin familiar di penciumannya.
Wangi Jinhyuk. Ia suka.
“Sketsanya dibuat waktu aku gabut di kelas, cuma view dari jendela kelas ke luar.” jawabnya, menoleh ke arah Jinhyuk sambil tersenyum hingga ke matanya yang tampak menyipit lucu.
Tangannya yang memegang kuas langsung disimpan di atas palet begitu saja. Beralih mengambil totebag miliknya lalu mengeluarkan Tupperware berwarna ungu dan diberikan pada Jinhyuk.
“Tau gak? Pas aku nyiapin ini Mama udah riweuh. Terus komen ini-itu. Udah tau aku bawa ini teh buat kamu.”
Jinhyuk tidak bisa menahan senyumnya saat mendengar cerita Wooseok, dia sudah duduk sambil bersila, “Terus terus gimana?” tanyanya penasaran sambil membuka tutup Tupperware, ada nasi hangat, ayam serundeng, juga sambal goreng kentang.
Dijamin enak ini sih, masakan Mama Wooseok tidak pernah gagal di lidah Jinhyuk, iya beberapa kali dia pernah diajak makan kalau ke rumah, mulai dari sarapan saat menjemput Wooseok hingga makan malam kalau mengantar Wooseok pulang.
“Itu tambahin nasinya yang banyak. Serundengnya jangan pelit, sekalian ayamnya juga atuh buat makan siang kasian si A Jinhyuk kan anak kost. Sambel goreng juga dek, waktu makan di sini kan dia suka sampai nambah.”
Wooseok berbicara menirukan keriweuhan Mamanya pagi tadi dan Jinhyuk berhasil dibuat tertawa, senang dalam hatinya mendapatkan perhatian sebegitunya. Dia langsung terbayang Mama Wooseok yang baik dan selalu tanpa sungkan menawarinya makan, tahu banget Jinhyuk anak kost.
“Serius? wah bilang nuhun buat Mama mertua. Enak banget deh perut aku bangun tidur dikasih ini.”
Mendengar celetukan Jinhyuk, Wooseok langsung mencubit pinggangnya, “Mertua siapa, enak aja kamu ngaku-ngaku.” katanya yang dibalas ringisan oleh Jinhyuk sambil tertawa meminta ampun dan sibuk berkelit.
“Pedes banget cubitannya, serius.”
“Enggak, cengeng kamu. Udah makan dulu. Nanti nugas lagi.” Wooseok juga mengambil dua cup kopi yang tadi dibelinya. Satu di simpan di depan Jinhyuk, satu lagi memang miliknya.
Selesai dengan agenda makannya, Jinhyuk dibuat sibuk dengan tugasnya lagi yang semalam belum selesai dan Wooseok dengan kreasinya lagi yang sempat terhenti tadi.
“Seok..”
Wooseok yang sedang fokus dengan kuas, palet dan cat akrilik berbagai warna itu hanya menggumam pelan tanpa menoleh pada Jinhyuk yang kini memperhatikannya dari kursi, dia sudah mengalihkan tatapanya dari layar laptop dan malah asik melihat Wooseok yang duduk di karpet.
“Kamu kalau lagi fokus gitu..”
Jinhyuk menggantung kalimatnya, tangannya justru mengambil cup kopi miliknya untuk diminum sebagai jeda guna membasahi tenggorokannya yang terasa kering,
”...indah banget deh, bidadara turun dari mana sih yang begini terus nyasar di kamar aku.”
Tanpa menunggu lama Wooseok terdengar mendengus kecil, ia melirik Jinhyuk lalu mengerucutkan bibirnya, pemuda yang sedang menggunakan kacamata itu terlihat begitu tampan, jarang sekali Wooseok melihatnya. Jinhyuk memakai kacamata hanya saat-saat tertentu kalau dia fokus dengan laptopnya dalam waktu lama.
“Jangan panggil gitu. Kan udah dibilangin kamu mah ngeyel banget. Aku malu kalau di denger yang lain, hyuk.”
“Kan cuma berdua sekarang.”
“Iya sih..” ia terlihat berpikir, tapi langsung menggelengkan kepalanya, “Kebiasaan kamu. Dimana pun juga gitu.” katanya sedikit menggerutu.
Jinhyuk mengangkat bahunya, memamerkan senyum lebarnya pada Wooseok. Beneran dari dulu dia betah banget manggil Wooseok bidadara walaupun anaknya bakal kesel kayak sekarang ini.
Hingga beberapa saat kemudian Jinhyuk bisa meregangkan tubuhnya. Dihabiskannya kopi yang masih ada di meja sebelum beranjak dan menghampiri Wooseok.
“Bagus deh. Kamu emang suka gambar kan, jadi ya boleh juga nih.” komentarnya membuat Wooseok tersenyum bangga dengan kreasinya kali ini.
“Terimakasih. Kamu udah selesai? Mau tidur lagi?”
“Udah dikirim, beres. Aku mau liatin kamu aja.”
Jinhyuk naik ke tempat tidur tapi memilih tengkurap, dia menarik bantal untuk dipeluknya dan memposisikan dirinya tepat di samping kiri Wooseok yang kali ini bersandar di kaki tempat tidur. Deket banget.
“Tidur juga gapapa.”
“Enggak deh, rugi soalnya ada bidadara di sini. Takut kabur ke kayangan kalau ditinggal tidur.”
Kali ini Wooseok terkekeh, ia memiringkan kepalanya untuk menatap Jinhyuk yang tersenyum lebar terlihat menggodanya, matanya dikedip-kedip seperti orang kelilipan! Nyebelin tapi ganteng masih pakai kacamata, gimana ya, ujung-ujungnya juga Wooseok nggak bisa kesel lama-lama.
“Iya deh kumaha kamu.”
“Iya kan kumaha aing.”
“Kebiasaan tuh kalau pake Bahasa Sunda ikut-ikutan yang lain jadinya kasar gitu!”
Jinhyuk tertawa lagi mendengar omelan Wooseok. Emang gitu kalau ngomong Sunda sama teman-temannya, aing-maneh hukumnya wajib deh.
“Kan ini sambil belajar, Wooseok.”
“Tapi, jangan yang kasar juga, Jinhyuk.”
“Muhun siap. Stop gak usah didebat. Panjang nanti.” Jinhyuk mencubit lagi pipi Wooseok hingga ia kembali merenggut minta dilepaskan.
Tapi, beneran deh pagi-pagi ada manusia cakep di sini udah jadi awal yang enak banget buat hari Kamis nya.
Setelah itu, semakin Wooseok fokus pada kreasinya, semakin Jinhyuk tidak bisa mengalihkan tatapanya. Dia menaruh kepalanya di atas bantal dengan nyaman, jadi tiduran pandangannya hanya menatap wajah Wooseok yang serius memulas kuas di atas gambarnya.
Dimanjakan banget mata Jinhyuk kalau saja bisa seperti ini setiap hari. Vitamin A kalah. Adanya vitamin W. Wooseok.
Tapi, saat melihat Wooseok yang sesekali meminum kopinya sambil sibuk dengan kuas dan apalah itu, ada sisa-sisa foam di ujung bibirnya yang berhasil membuat Jinhyuk menelan ludah lalu menggelengkan kepalanya samar. Salah fokus, kacau beneran.
Sadar, Jinhyuk.
Sekali.
Nyebut, Jinhyuk. Inget dosa.
Dua kali.
Cakep pisan. Gak kuat. Gak bisa. Terlalu sayang dilewatkan.
Maka, di tiga kali Wooseok mengulang hal yang sama, Jinhyuk memanggilnya agar ia menoleh dan tanpa tahu malu dia bertanya langsung, “Mau cium kamu boleh nggak?”
Wooseok mengerjap, apa telinganya tidak salah mendengar? keningnya berkerut bingung saat sekarang Jinhyuk justru menunjuk-nunjuk bibirnya, “Ada kopi..” katanya pelan, “Di bibir kamu.”
Muka Wooseok jelas memerah seketika, oh, baru paham. Pipinya semakin merona ketika Jinhyuk mendekatkan wajahnya, “Boleh nggak, hmm?” tanyanya lagi, “Kalau aku cium sekarang?”
Memastikan, Jinhyuk butuh izin walaupun dia udah pengen banget. Greget. Mau ngusap foam di ujung bibirnya Wooseok.
Kemudian ada tawa kecil di kedua sudut bibirnya ketika melihat Wooseok mengangguk samar, sudah jelas artinya apa. Apalagi pas dia makin mendekat Wooseok langsung nutup matanya, rapet banget sambil megangin kuas.
Lucu, lucu banget bidadara yang begini cuma ada satu, di kosan Jinhyuk doang.
“Pasti belinya latte.”
Jinhyuk mengulum senyum lebar, lalu membenarkan posisi tidurnya agar terlentang. Matanya melirik Wooseok yang terlihat memegang bibirnya tampak malu mendapatkan apa yang baru saja dilakukan oleh Jinhyuk, memang bukan yang pertama tapi.. tetap saja.
Efeknya masih sama. Selalu sama.
“Tidur deh, sini.”
Ditepuk-tepuknya bagian kasur yang kosong membuat Wooseok kembali harus mencerna apa yang terjadi. Bibirnya belum sempat protes saat tahu-tahu tangannya ditarik oleh Jinhyuk untuk naik ke atas tempat tidur. Meninggalkan lukisannya begitu saja yang masih belum diwarnai beberapa bagian.
Akhirnya mereka berakhir dengan tidur bersampingan sama-sama menatap langit-langit kamar Jinhyuk. Tidak ada obrolan apa pun yang terjadi hingga lima menit berlalu. Tapi, Wooseok terlihat begitu santai sambil memeluk guling yang ada di sana.
Kosan Jinhyuk memang nyaman, tempat paling sering mereka habiskan berdua sepertinya. Lokasinya lebih jauh dari kosan Byungchan yang kalau dari kampus bisa diakses hanya jalan kaki. Di sini harus membawa kendaraan pribadi kalau tidak ingin terlambat ke kelas. Wooseok juga pernah menginap beberapa kali. Biasanya saat dia ada acara hingga malam Jinhyuk akan menjemputnya ke kampus.
Dulu, kosan Byungchan yang bisa dia andalkan kalau tidak pulang, sekarang ada Jinhyuk.
Wooseok mengangkat tangan yang terkena cat ke udara dan melirik Jinhyuk yang tertidur dengan tangannya sendiri sebagai bantal kepalanya, “Lihat deh bukti kerja kerasku.” ujarnya yang membuat Jinhyuk mengiyakan sambil tersenyum. Kerja keras banget ya, udah sebelas dua belas aja sama Jinhyuk kalau Wooseok lagi fokus ngelukis.
Lalu Jinhyuk memilih memiringkan tubuhnya yang diikuti oleh Wooseok hingga mereka berhadapan dalam jarak yang sangat terbatas.
“Sampai ke pipi segala nih kerja kerasnya.” diusapnya pipi Wooseok yang terdapat noda cat dengan hati-hati, “Untung tetep ganteng, nggak bakal luntur.”
Wooseok kembali mendengus namun dengan hati yang berdebar kencang. Apalagi saat Jinhyuk mempersempit jarak diantara mereka, hanya menggeser sedikit kepalanya tapi berdampak banyak bagi kesehatan jantung Wooseok.
Pemuda jangkung itu terdiam sambil masih mengusap lembut pipi Wooseok walaupun noda cat nya sudah hilang, hanya ada senyum lembut yang dia tampilkan pada Wooseok saat ini, jelas saja yang ditatap semakin berdebar dan memerah.
Lee Jinhyuk, Wooseok tidak menyangka kalau ingat hubungan mereka di awal yang tidak terlalu mulus, membantu tugasnya ternyata bisa membuat mereka hingga sejauh ini.
Selama mengenal Jinhyuk, ada hal yang paling disukai oleh Wooseok.
Satu, bagaimana cara Jinhyuk bercerita tentang hobinya, passionnya di dunia seni, seakan dia benar-benar jatuh cinta dengan hal tersebut. Oh, mungkin memang sangat.
Dua, ketika Jinhyuk sedang menggambar. Wajahnya akan sangat serius dengan alis yang hampir menyatu. Terlihat berkali-kali lebih tampan bonus pensil yang diselipkan di telinganya, atau digigit ketika dia tampak berpikir. Wooseok bersumpah, siapa pun yang melihatnya pasti akan betah, menahan napas dan terpesona secara bersamaan.
Tiga, ketika Jinhyuk memperlakukannya istimewa seakan Wooseok yang paling dia butuhkan, seperti-
“Aku ngantuk.” gumam Jinhyuk yang berhasil dibaca oleh Wooseok yang langsung mengulurkan tangannya.
“Makasih Wooseok yang paling pengertian.”
Jinhyuk langsung masuk ke pelukan Wooseok setelah menyingkirkan guling yang ada di tengah-tengah mereka. Dia lempar ke bawah tempat tidur, pergi sana dasar penghalang, batinnya mencibir.
Jinhyuk menyembunyikan wajahnya di dada Wooseok dan merasakan pundaknya yang dipeluk dengan nyaman, diusap-usap lagi rambutnya, di-nina bobo-in, disayang-sayang.
Satu lagi, Lee Jinhyuk bisa berlaku manja seperti ini. Hal yang benar-benar tidak pernah Wooseok bayangkan sebelumnya!
Belum sampai di alam mimpinya, waktu masih menikmati usapan tangan Wooseok di kepalanya, Jinhyuk dibuat kaget dengan gedoran pintu dari luar disusul suara yang mereka kenal.
“Jinhyuk maneh ada di kosan kan? Aing pinjem mobil lah sebentar.”
Song Yuvin berkata tidak sabar dan terburu-buru terus menggedor pintunya seperti tidak ada hari esok lagi. Jinhyuk mendengus, dia menatap Wooseok yang akan mengeluarkan suara.
“Stt... diem.” bisiknya sambil menaruh jari telunjuknya tepat di atas bibir Wooseok, “Pura-pura gak ada orang aja.” lanjutnya yang diangguki tanpa banyak protes.
Yuvin juga tidak akan bisa buka pintunya, tadi Jinhyuk langsung mengunci pintu saat Wooseok masuk, bukan ada niat apa-apa, cuma memang para penghuni kosannya terbiasa tertutup dan masing-masing. Gitu, sih, mungkin.
“Jinhyuk masih molor maneh jam segini?”
Wooseok menahan senyumnya mendengar Yuvin yang masih mengetuk pintu dan mengoceh, “Jinhyuk.. kasian..” bisiknya pada Jinhyuk yang dibalas gelengan kepala acuh, “Biarin ah, ganggu kita soalnya. Aku baru mau tidur, Seok.”
“Eh, si anjir ini ada sepatu Wooseok??? Aing tau ini lebih kecil sepatunya. Anjir jangan bilang di dalam situ ada Wooseok?!!!”
Jinhyuk masih bungkam dan membiarkan Yuvin mengoceh begitu saja di depan kamarnya. Biarkan saja lah, untung kosan mereka sedang sepi. Kalau tidak sudah jelas Yuvin akan diprotes sana sini.
“Woy kelon kok siang-siang gini? Aing aduin ke pak rt digerebek baru tau rasa. Sumpah!”
“Bodo amat.” gumam Jinhyuk.
Wooseok terkikik geli saat mendengar Yuvin yang sibuk menggerutu di luar sana dan mengetuk pintu, tidak lama dia pergi begitu saja terlihat dari bayangan di balik jendela yang gordennya memang masih tertutup. Yuvin pergi tentu saja setelah mengutuk Jinhyuk karena tidak membukakan pintunya sama sekali.
“Udah pergi. Tidur lagi.”
Bukannya menurut, Lee Jinhyuk malah menatap Wooseok sambil kembali mengulum senyum lembut, lengkap dengan tatapan teduhnya, menatap Wooseok seakan yang paling istimewa, yang paling berharga, yang hanya ada ia di dunia.
Bahaya, jelas ini adalah salah satu hal berbahaya bagi Wooseok. Karena setiap kali Jinhyuk menatapnya dalam. Wooseok akan kalah, semua kata yang ada di otaknya seakan ditarik hilang begitu saja. Menguap, pergi.
“Kenapa..? jangan senyum-senyum gini.”
Wooseok sedikit merajuk karena Jinhyuk tidak bicara apapun, ia nggak bisa lama-lama dalam situasi seperti ini. Jujur. Jinhyuk selalu membuatnya tidak karuan, selalu membuatnya salah tingkah hanya dengan hal-hal sederhana yang pria itu lakukan.
“Jinhyuk, aku pulang nih.”
Jinhyuk akhirnya tertawa mendengar ancaman Wooseok yang menurutnya bohong banget, ia nggak akan pulang kalau Jinhyuk belum balikin. Beneran deh. Pasti begitu. Pengalaman.
“Makasih Wooseok.” bisik Jinhyuk.
Gantian dia yang membawa Wooseok ke dalam pelukannya, menyembunyikan wajah Wooseok di dadanya, memeluk bahunya dengar erat. Dicium sekilas wangi rambut Wooseok yang manis, yang lembut.
“Buat apa?”
“Semuanya.”
“Nggak ngerti.” balas Wooseok sambil menengadah, butuh jawaban pasti dari Jinhyuk. Namun, yang ia lihat hanya dagu pemuda tersebut.
“Jinhyuk apa, aku nggak ngerti.” ulangnya lagi sambil mengangkat tangannya dan menangkup pipi kiri Jinhyuk, “Jawab dulu.” katanya memaksa agar Jinhyuk melihatnya.
“Buat semuanya, Wooseok. Udah dijawab tuh.”
Mengalah, Jinhyuk menunduk, manatap mata bulat Wooseok yang indah, yang ingin dia puji-puji karena mata itu kerap kali berbinar, tampak bahagia walau Jinhyuk hanya menatapnya.
“Buat semuanya, yang udah kamu lakukan. Yang udah bikin aku ngerasa disayang. Kamu yang paling pengertian dan baik banget. Makasih, ya.”
Entah mulai darimana saat pertanyaan kamu ada waktu nggak hari ini berganti menjadi aku jemput ya nanti, atau panggilan saya milik Jinhyuk berubah menjadi aku, atau saat pesan-pesan di chat berubah menjadi panggilan masuk hampir setiap malam sebelum tidur, atau saat pegangan tangan berubah menjadi pelukan hangat yang mendebarkan sekaligus menenangkan dengan bahu yang selalu terbuka untuk saling bersandar nyaman, atau saat tawa sungkan berubah menjadi tawa yang begitu lepas saat mereka bercanda tanpa ragu, berdua.
Pelukan, ciuman, kelon tapi cuma temen.
Selanjutnya Wooseok mengerjap bingung saat Jinhyuk menciumi wajahnya, kedua pipinya, sudut bibirnya, puncak hidungnya, kedua kelopak matanya, juga pelipisnya tidak ketinggalan.
“Aku sayang sama kamu, Wooseok.” ucap Jinhyuk sungguh-sungguh.
Sejujurnya, memang tidak pernah ada kata jadian di antara mereka, namun secara jelas baik Wooseok maupun Jinhyuk seperti sudah memaknai kalau hubungan mereka itu lebih. Wooseok maupun Jinhyuk tidak pernah dekat dengan orang lain lagi, hanya mereka berdua seperti layaknya sebuah pasangan.
Wooseok terpaku, mendengar secara langsung dari Jinhyuk yang diucapkan dalam situasi seperti ini, ia tetap merasa kaget. Lagi gini banget, lagi tidur dan pelukan.
“Aku juga.” balas Wooseok pelan pada akhirnya, menatap Jinhyuk tepat di kedua netranya yang hitam, tampak yakin.
“Apa?”
“Sayang sama kamu.. udah jelas kan..” bisiknya.
Udah jelas, tentu saja.
Jinhyuk mengangguk, dia tahu dan bersyukur banyak, lega. Senyumnya melebar tanpa bisa ditahan, mengusap lembut pipi Wooseok yang kembali memerah menggunakan punggung tangannya, “Suka banget liat pipi kamu ini. Serius. Tambah gemes kalau merah.”
“Hmm.” Wooseok memeluk pinggang Jinhyuk dengan erat, ia tersenyum malu, “Mau ikut tidur di sini.” cicitnya.
“Sampe besok juga boleh, aku sih malah keenakan ada guling hidup begini.”
Wooseok tergelak saat Jinhyuk mengeratkan pelukannya, mengusakan hidung di wajahnya dan kembali meninggalkan beberapa kecupan manis. Menimbulkan tawa yang bercampur, yang terasa hangat hanya dengan mendengarnya. Tawa senang, tawa malu, tawa lepas.
“Makasih sudah jadi sumber inspirasiku, Wooseok.”
“Emangnya masih? kan tugasnya udah beres?”
“Masih.”
Jinhyuk kembali mengulum senyum, kali ini tatapanya melembut, menatap Wooseok yang menunggu jawabannya dengan raut penasaran, ada sisa tawa di wajahnya saat Jinhyuk barusan kembali meninggalkan kecupan dia dagu dan pucuk hidung mancungnya.
“Ada kamu disekitar aku aja udah bikin aku beda, Wooseok. Ada hal di kamu yang selalu narik aku buat nggak jauh.”
“Apa?”
Tangan Jinhyuk mengusap lembut rambut Wooseok yang kali ini tidur di atas tangannya, mata bulat nan indah itu terlihat semakin panasaran, “Apa ih, Jinhyuk?” tanyanya tidak sabar sambil sedikit merajuk, ia mencubiti pinggang Jinhyuk yang sedang dipeluknya hingga Jinhyuk tertawa geli dan membalas dengan mencubit hidungnya.
“Semuanya. Kim Wooseok nya. Kamu nya.”
Wooseok terdiam, kata-kata di pikirannya seperti kembali ditarik hilang begitu saja saat Jinhyuk menatapnya serius, saat Jinhyuk menunduk dan berbisik tepat di depan bibirnya yang hanya menyisakan jarak tipis, sangat tipis hingga Wooseok harus menahan napas dibuatnya, “Mulai hari ini, aku jadi pacar kamu, ya?”
Pacar. Jadian. Ditembak.
Tidak ada yang Wooseok lakukan lagi selain mengangguk diantara terkejutnya mendengar permintaan Jinhyuk, hanya butuh lima detik otak (hampir) kosongnya memproses cepat.
“Boleh..” senyumnya berkali-kali lebih membahagiakan saat mengingat kalau pemuda yang sedang memeluknya ini sekarang bisa disebut miliknya, Jinhyuk nya, pacarnya Wooseok. Utuh. Jelas.
“Terimakasih, Wooseok. Sumber inspirasiku yang paling berharga.”
Selalu, Lee Jinhyuk dan mulut manisnya yang paling bisa membuat luluh, dia berkata lalu mencium pipi Wooseok yang demi Tuhan, sudah semerah tomat. Sengaja ditahannya, dilama-lamain dibikin Wooseok malu, dibikin Wooseok merengek lagi, dibikin Wooseok nggak berkutik di bawah dominasinya.
“Cium lagi boleh nggak?”
“Nggak. Mesum.”
Wooseok nunduk, masuk lagi ke pelukannya, sembunyi, nutupin pipinya yang merah, yang panas habis digodain pacarnya. Manja, bisa gini juga.
“Kok gitu? dikatain mesum. Atuh lah, Wooseok sayang bidadara hatiku. Sekali aja, beneran deh.”
“Sekali? bohong banget kamu mah.”
“Iya sekali, tapi lama.”
Itu ciuman namanya, bukan cium kayak tadi yang cuma ngusap foam di ujung bibirnya doang. Catat.
Habis itu Jinhyuk dicubit lagi, tapi dia malah ketawa, malah meluk Wooseok nya tambah erat, dijadiin guling sama kakinya, dibilang sayang terus, dibilang makasih terus sama sumber inspirasinya itu. Sama kesayangannya yang udah resmi mulai sekarang.
“Sekali, ya?”
Tentu saja, akhirnya Wooseok luluh lebih cepat, ia dan mata bulatnya menatap Jinhyuk yang mengangguk meyakinkannya dengan pasti, “Sekali.” katanya.
Tapi lama. Tetep.
Sepasang mata indah di depan Jinhyuk itu ditutup kembali, bulu mata lentiknya yang tampak panjang terlihat lebih jelas, hebat betapa Jinhyuk tidak akan pernah bosan memuji, saat seperti ini pun Kim Wooseok begitu menarik. Dia tidak akan bisa berpaling. Seribu persen.
Jinhyuk memang tidak tahu rupa sang bidadara yang selalu dia lisankan, tapi untuk Wooseok dia sematkan tanpa ragu, bukan pujian berlebihan karena di mata Jinhyuk, Wooseok lah paling indah.
Jinhyuk bisa merasakan sweater di pinggangnya diremas erat oleh Wooseok bahkan saat dia baru mengusap lembut bibir mungil Wooseok yang berwarna merah muda dengan ibu jarinya, ada seringai geli yang terlihat di wajah Jinhyuk, dasar Kim Wooseok.
Selalu seperti ini.
Sekali, tapi lama. Sesuai janji Jinhyuk.
Wooseok dibuat pening, Wooseok kembali dibuat kehilangan kata-kata di otaknya yang ditarik paksa, Wooseok dibuat merasakan jutaan kupu-kupu yang berterbangan liar diperutnya, Wooseok dilimpahkan afeksi, dan Wooseok dibuat meluluh di bawah dominasi seorang Lee Jinhyuk.
“Wooseok.. breath..”
Tidak, otak Wooseok tidak sempat merespon segala ucapan Jinhyuk, yang ia bisa lakukan hanya mengeratkan pelukannya, menerima semua yang diberikan Jinhyuk dengan penuh kelembutan. Di seluruh wajahnya yang bisa dicium, kembali lagi ke bibirnya, lalu mengecup ringan sekali turun ke bawah, nyobain ke ceruk lehernya dan tulang selangkanya yang putih dan terlihat karena kancing atas kemejanya yang memang terbuka, pelan tapi pasti, Jinhyuk sudah meluluhkannya hingga ke dasar.
Jinhyuk yang paling bisa.
“Jinhyuk..”
Jinhyuk menjauhkan wajahnya, memberi jarak tipis diantara mereka, menatap Wooseok yang entah sejak kapan sudah ada di bawahnya, dalam kungkungan tubuhnya, dengan pipi masih merona, dengan bibirnya yang terbuka sibuk mengambil napas, dengan pandangan yang menatapnya lemah namun berbinar nyata.
Apa-apaan, Lee Jinhyuk jelas lebih pening dihadapkan dengan Wooseok yang begini.
“Ya?” suaranya terdengar dalam dan serak saat menjawab, tangannya menyingkap rambut yang sedikit berantakan di kening Wooseok dengan ringan.
Dengan pandangan yang memuja, kilat netranya menatap keseluruhan Wooseok yang indah, yang cantik di bawahnya.
Cukup. Sekali. Harusnya sudah.
Tapi, Jinhyuk tahu, Wooseok memberikan izin lagi, lewat tatapannya, lewat gestur tangannya yang sekarang berpindah dari pinggangnya terulur ke balik bahunya dan membuat Jinhyuk kembali menunduk.
“Jadi inget yang di Jogja.” bisik Jinhyuk tepat di samping telinga Wooseok membuat ia meremang, mengingat dengan cepat, ciuman pertama mereka, yang manis, yang dalam, yang membuat Wooseok terjaga semalaman sambil memegang bibirnya dan tersenyum tidak percaya, ia dan Jinhyuk melewati batas, tapi ia tidak menyesalinya sama sekali.
Jinhyuk mengunci tatapan Wooseok dengan mudah yang akan berpaling menghindar malu saat dia membawa kenangan lama, satu tangannya menangkup pipi Wooseok, mengusap lembut dengan ibu jarinya, saat tangan yang lain mencoba menahan tubuhnya sendiri yang masih berada di atas dan belum beranjak, atau mungkin tidak berniat dalam waktu dekat, masih mau begini.
“My source of inspiration and happiness, Kim Wooseok.” bisiknya lirih.
Tentu saja, Wooseok berperan penting dalam tugasnya, kala itu. Jinhyuk seperti menemukan apa yang hilang dalam dirinya, dengan Wooseok semua ceritanya berubah, dengan Wooseok, dia selalu tersenyum, selalu merasa penuh. Wooseok yang membuatnya bahagia, membuatnya dicintai, membuatnya ingin terus terikat. Menjalin sebuah hubungan yang benar.
Kalimatnya diucap sungguh-sungguh dengan pandangan lurus menatap Wooseok yang kemudian berkedip lama dan mengangguk kecil dengan muka memanas, “Okay.. i love you, Lee Jinhyuk.” katanya pelan.
Lalu ia perlahan kembali menutup mata sambil tersenyum tipis dan mengeratkan pelukan di pundak Jinhyuk. Memeluk lehernya.
“Oh, dua kali ya.” simpul Jinhyuk.
”...terserah.”
Oke.
Pemuda jangkung itu benar-benar menggelengkan kepalanya dengan tawa kecil, dan tidak percaya, beneran terserah katanya. Serius?
Maka, dikabulkan tentu saja permintaan pacarnya yang manis itu, memang apa lagi yang bisa Jinhyuk lakukan sekarang.
Dia menunduk lagi, menciumnya lagi penuh perasaan, membuat Wooseok kembali kehabisan kata entah yang ke sekian berapa, otaknya kosong cuma diisi sama Jinhyuk, Jinhyuk, Jinhyuk.
Seperti ini saja, sampai Wooseok yang meminta berhenti nanti atau mungkin.. saat Jinhyuk sendiri yang lebih dulu menyerah.
Demi menghindari hal yang mungkin lebih jauh bisa terjadi.
Namun, sialan, sialan, sialan. Hanya ingin mengumpat.
Jinhyuk mau gila rasanya pas Wooseok meremas belakang rambutnya yang sedikit panjang itu, nyuruh nunduk, ngomongnya putus-putus nggak jelas kepotong ciuman mereka yang masih ke dua, tapi lama, lebih lama dari yang pertama.
Kalau begini, mana bisa udahan sampai sini.
terimakasih yang udah baca💗 izin menyisipkan ini yaa aku baru buat hehehe bila berkenan nraktir https://trakteer.id/xxxweishin