one-shot

“Aku menyukaimu...”

Bisingnya sorak sorai yang terdengar dari lapangan sekolah hampir saja menelan sebuah suara yang diucap dengan sedikit keraguan, juga dengan debar jantung yang terasa sangat menggila, jelas kentara sekali alasannya, ia merasa gugup detik ini. Lebih dari apapun.

Di sebuah atap sekolah, dua orang remaja yang mengenakan pakaian putih biru terlihat berdiri berhadapan. Ditemani terik matahari pukul dua siang yang beruntungnya terhalang tembok membuat salah satunya terlindungi, sedangkan yang lainnya harus merelakan punggung di balik kemeja putih yang telah dikeluarkan itu merasakan panas.

“Tentu saja, aku juga menyukaimu, Wooseok. Kalau aku nggak suka kita akan bermusuhan bukannya berteman, kan?”

Ada tawa kecil yang terdengar seakan pernyataan barusan adalah hal yang sangat lucu.

Namun, bukan begitu. Bukan seperti itu, Jinhyuk.

Wooseok menggelengkan kepalanya dengan cepat, matanya menatap pada Jinhyuk yang berdiri di hadapannya. Sambil menggigit bibir bawahnya, Wooseok menundukan kepala lagi tidak berani menatap lama-lama sosok yang merupakan temannya sejak ia menjadi murid baru di sekolah ini satu tahun lalu.

“Aku menyukaimu bukan sebagai teman...” bisiknya lirih, “Lebih dari itu.”

Semuanya mendadak sunyi, diantara mereka hanya ada angin yang berembus pelan menyibak anak rambut Jinhyuk yang hanya bisa terdiam mendengarnya. Remaja lima belas tahun itu mencerna dengan cepat apa yang baru saja diucapkan oleh teman di depannya.

Suka, lebih dari itu.

Maksudnya?

“Hah?”

Adalah respon yang sudah diduga oleh Wooseok atas pengakuannya di hari pelulusan sekolah menengah pertamanya ini.

Tangannya mencengkram erat kedua sisi celan biru yang sedang ia kenakan, “Maaf..” bisiknya sekali lagi masih tanpa berani menatap Jinhyuk.

“Kenapa minta maaf?”

Entah, hanya kata itu yang terlintas di benaknya saat ini.

Jinhyuk bertanya pelan sambil melangkah maju, dia tidak bisa melihat jelas wajah Wooseok yang sedang menunduk. Tangannya terulur untuk mengusak puncak kepala anak itu, hal yang kerap kali dia lakukan, sebuah kebiasaan kecil yang sudah berlangsung cukup lama.

“Harusnya aku yang minta maaf.”

Wooseok mengangkat kepalanya menatap bingung pada Jinhyuk. Mengerjap tidak mengerti akan ucapan barusan dan menunggu bagaimana sesungguhnya respon Jinhyuk atas keberaniannya berbicara saat ini.

Mengakui perasaan yang tersemat sejak ia mengenal sosok tersebut, teman pertamanya.

“Maaf.. tapi aku nggak bisa... aku nggak mungkin bisa menyukaimu, Wooseok.”

Karena dia seorang laki-laki?

Atau karena mereka cuma teman? dan tidak lebih?

Dipatahkan. Perasaannya.

Begitu saja.

Hari itu, Wooseok pulang ke rumah sambil menangis di sepanjang jalan. Kedua orangtuanya hanya mengira anak kesayangan mereka menangis bahagia karena dinyatakan lulus.

Namun, nyatanya Kim Wooseok mempunyai alasan yang lain, ia menangis karena Lee Jinhyuk menolak perasaannya.

Cinta pertamanya.


“Gue ketemu Wooseok.”

Jinhyuk tersedak minumnya saat Seungyoun berucap tanpa ragu secara tiba-tiba. Dia menepuk-nepuk dadanya sambil terbatuk, “Bangsat lo, bikin gue keselek.” ujarnya dengan nada kesal.

Seungyoun hanya menatap bingung sambil menaikan alisnya, “Kok responnya gitu amat sih? Emang lo tahu Wooseok siapa?” pandangannya menatap serius pada Jinhyuk dengan menelisik.

“Emang ada berapa Wooseok yang kita kenal?” balas Jinhyuk sambil memutar kedua bola matanya.

“Iya bener sih. Wooseok kan cuma satu, teman SMP kita dulu. Terus habis itu ngilang lagi, emang nggak jelas itu anak baru yang cuma datang di kelas sembilan, pas lulus langsung pindah, nggak tahu tuh SMA di mana. Balik ke Bandung, kali ya?”

Seungyoun mengangkat bahu dan kembali menyandarkan punggung di sandaran kursi, lalu sambil mengangguk kecil tangannya menggeserkan piring bekas makan ke samping meja, begitu pun Jinhyuk yang melakukan hal yang sama.

“Ketemu di mana? ngobrol sama dia?”

Jinhyuk tidak bisa menahan rasa penasarannya, lama sekali dia tidak mendengar nama itu.

“Di mall, gue cuma nggak sengaja lihat doang, gak ngobrol. Takut nggak kenal sama gue dianya, asli deh nanti malah gue yang malu. Kalau nggak salah itu juga, tapi mukanya nggak banyak berubah sih masih gitu-gitu aja. Beneran itu Kim Wooseok, masih pake kacamata bulet juga, hyuk. Gue yakin!”

Seungyoun bercerita heboh mengingat kembali kejadian beberapa hari lalu.

“Gila berapa tahun ya nggak ketemu? hampir sebelas tahun nggak sih? gue juga heran kok masih ngenalin walaupun agak ragu awalnya.” tambahnya sambil tertawa kecil dan menggelengkan kepala.

Diam-diam Jinhyuk menghela napas dalam sambil ikut menyandarkan punggungnya, pikirannya sedikit menerawang.

Hampir sebelas tahun, ya? ternyata waktu berlalu begitu cepat.

Dan Kim Wooseok yang sekarang, seperti apa kiranya?

Kalau boleh jujur, Jinhyuk masih mengingat jelas hari saat Wooseok pertama kali menjadi anak baru di kelasnya.

Wooseok yang pendiam sebagai anak baru membuat anak-anak kelas segan untuk berkenalan, apalagi mengajaknya berteman.

Kala itu Jinhyuk dengan nekat—dan sok asik mengajaknya satu kelompok dalam sebuah tugas karena dia merasa kasihan pada Wooseok yang duduk sendirian di bangku belakang.

Tentu hal itu tidak berjalan mulus begitu saja karena seorang Kim Wooseok benar-benar pendiam, ia hanya bicara kalau ditanya, membuat Jinhyuk frustasi berkali-kali. Beruntunglah mulut tidak bisa diamnya yang selalu berhasil menciptakan obrolan.

Hingga kemudian mereka perlahan menjadi dekat, sering mengobrol—jelas Jinhyuk yang mengoceh dan Wooseok hanya mengiyakan saja, mengerjakan tugas di perpustakaan, makan bersama di kantin, atau pun pergi sepulang sekolah untuk membeli buku, bahkan Jinhyuk tahu rumahnya karena beberapa kali dia pernah berkunjung untuk meminjam koleksi soal-soal persiapan ujian nasional milik Wooseok yang sangat lengkap.

Begitu pun dengan Seungyoun yang notabennya teman sebangku Jinhyuk, oknum yang selalu diseret oleh Jinhyuk agar ikut berteman dengan Wooseok.

“Aslinya baik, lo baik-baikin aja anaknya.” begitu ucapan Jinhyuk yang sangat dihapal oleh Seungyoun kalau dia akan menolak.

Lalu, ingatan Jinhyuk juga tidak luput tentang kejadian di hari kelulusan mereka.

Hari itu.

Wooseok mengajaknya ke atap sekolah setelah mereka sibuk berbagi tawa senang di lapangan setelah menerima surat kelulusan. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya hari itu bagi siswa kelas sembilan.

Jinhyuk kira, Wooseok hanya akan berbicara perpisahan karena mereka akan melanjutkan sekolah masing-masing. Mengakhiri masa putih biru yang mereka lalui bersama satu tahun terakhir ini.

Nyatanya, Jinhyuk justru dibuat kaget oleh pengakuan Wooseok kepadanya.

Kim Wooseok menyukainya.

Fakta yang tidak pernah Jinhyuk beritahu pada siapapun hingga detik ini, bahkan pada Seungyoun sekali pun.

“Hyuk? malah ngelamun!”

Seungyoun menendang kaki Jinhyuk di bawah meja, tingkahnya itu berhasil membuat Jinhyuk kembali dari lamunannya tentang Wooseok.

Tentang rasa bersalahnya saat melihat sorot kecewa dari kedua mata jernih Wooseok yang memandang dirinya, juga tentang satu titik air mata yang jatuh di sudut matanya.

Mereka tidak sempat mengucapkan kata perpisahan, Wooseok langsung mundur dan meninggalkan Jinhyuk sambil mengusap pipinya yang basah.

Anak itu menangis dan Jinhyuk terlalu bingung hingga dia hanya bisa terdiam di tempatnya dengan persaan yang tidak pernah dia mengerti.

Hingga sekarang, Jinhyuk tidak pernah tahu kabarnya lagi. Dia benar-benar tidak tahu apa pun tentang Wooseok setelah hari itu.

“Lo kan dulu pernah deket sama dia, sumpah kalau lo ketemu pasti lo seneng banget deh. Kalau pun dia lupa sama gue, gue rasa dia nggak bakal lupa sama lo.”

Nggak bakal lupa, ya?

Ucapan Seungyoun tanpa sadar membuat Jinhyuk membatin, ngapain ingat gue, nggak penting banget, batinnya berdecak kecil.

Dia hanya orang yang membuat Wooseok menangis di pertemuan terakhir mereka.

Justru sejujurnya Jinhyuk akan merasa malu kalaupun nanti bila dia bertemu dengan Wooseok, karena rasa bersalahnya masih ada.

Pertemanan mereka tidak seharusnya berakhir tidak mengenakan seperti itu.

Karena jauh di dalam hatinya, Jinhyuk masih merasa janggal, itu semua salah, pikirnya berkali-kali.

Dan, tidak bisa dipungkiri nama Wooseok masih kerap kali mampir di pikirannya.

Bersama kenangan masa lalu.

Bersama waktu yang terkadang ingin dia ulang.


Lee Jinhyuk sibuk berbicara dengan ponsel yang dia tempelkan di telinga kanannya, berjalan memasuki sebuah mall sambil sibuk menghindari ramainya suasana malam di hari Jum'at ini.

“Iya, sabar. Aku baru mau pesan, bu. Baru sempat, ini pulang kerja habis lembur. Yang penting lusa nanti kue nya ada, kan.”

Masih menggunakan setelan kerja, penampilannya jelas cukup kontras dengan orang-orang di sekitar yang terlihat lebih santai, bagamana pun ini awal dari weekend, waktunya libur harusnya begitu kan. Bukannya sibuk lembur dan lalu berkeliaran sendiri seperti ini, mencari-cari toko kue yang dikatakan oleh Ibunya.

Terdengar tawa kecil saat dia menaiki eskalator, ponselnya masih menempel di telingan kanan dengan suara Ibunya yang masih tersambung di ujung sana, sedangkan tangan kirinya mengetuk-ngetuk pegangan, “Bilang Jinu, kalau kuenya nggak keburu. Ulang tahunnya diundur saja.”

Tidak bisa ditahan Jinhyuk sedikit tergelak saat mendengar suara Jinu yang terdengar protes padanya, dia jamin pasti ponsel Ibu direbut langsung dan benar saja, setelahnya Jinhyuk hanya mendengar suara rengekan sang adik.

Panggilan itu berakhir tidak lama setelah dia berkata sudah sampai di lantai tiga, dengan arahan dari sang Ibu, Jinhyuk berjalan sambil memperhatikan di mana toko yang dimaksud.

“Agak kecil tempatnya, tapi memang worth it, Ibu pernah coba pas arisan di rumah teman.” begitu katanya saat Jinhyuk bertanya kenapa harus banget pesan kue ulang tahun Jinu ke sini, padahal toko kue kan banyak, dekat kantornya pun ada.

Kening Jinhyuk sedikit berkerut saat dia melihat sebuah toko kue dengan pintu kaca yang tertutup dan sepi, untuk memastikan dia melihat jam tangan di lengan kirinya, sudah pukul delapan malam.

Masih buka, kan? batinnya ragu, jangan sampai nanti kena ceramah kalau dia lusa tidak bisa membawa pesanan kue ulang tahun sang adik ke rumah!

Aroma manis yang khas langsung bisa tercium kala Jinhyuk membuka pintu kaca tersebut dengan perlahan, memang sepi setelah dia masuk dan mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan.

Benar kata Ibu, tempatnya tidak terlalu besar. Namun, bisa Jinhyuk katakan kalau suasananya cukup nyaman, tatanan yang terlihat pas dilengkapi dengan tiga meja di dalamnya, salah satunya ternyata diisi oleh sepasang anak muda, jelas sedang pacaran, tebak Jinhyuk sok tahu.

Netra dan langkah Jinhyuk tanpa berlama-lama langsung berjalan ke bagian etalase, sempat mengangguk sekilas pada seseorang di balik meja kasir yang menyambutnya dengan senyum sopan lengkap dengan lesung pipi dalam.

Coklat, pokoknya harus coklat! ada tulisan happy birthday yang besar dan banyak lilinnya.

Begitu yang dimau Jinu untuk kue ulang tahunnya kali ini. Jinhyuk tidak usah pusing memilih jadinya, cukup turuti saja permintaan sang adik.

“Untuk lusa bisa kan?”

Harus bisa sih, balas Jinhyuk sendiri dalam hatinya setelah bertanya dan dia cukup mengangguk lega setelah mendapatkan jawaban.

“Nanti saya ambil siang, ya?” tanyanya lagi.

“Bisa, setelah toko buka juga sudah bisa diambil. Pukul sepuluh pagi, Mas.”

Oke, ternyata urusan kue Jinu selesai lebih mudah dari yang diperkirakannya.

Sambil menunggu proses pembayaran, netra Jinhyuk kembali melihat ke sekitar lebih seksama, memperhatikan setiap detail yang ada di toko tersebut hingga kemudian satu kue yang tadi tidak terlihat berhasil menarik perhatiannya.

Jinhyuk menarik tipis sudut bibirnya sebelum berujar tanpa ragu, “Mas, saya mau tambah raspberry almond cake nya satu ya. Diambil sekarang aja.”

Ada sekelabat ingatan yang lewat begitu dia melihat kue tersebut, jelas itu tentang Kim Wooseok.

“Kue kesukaanku, buat kamu bawa pulang dan cobain. Pasti suka.”

Jinhyuk ingat saat dia pulang dengan Wooseok membeli buku, anak itu mengajaknya mampir ke sebuah toko kue dan membeli kue tersebut yang kemudian saat sampai rumah dibagi dua, setengahnya diberikan pada Jinhyuk sebagai tanda terimakasih sudah mengantarnya pulang.

“Ini salah satu best seller di toko kami, Mas. Selain kue yang tadi Mas pesan.” beritahu si pegawai sambil menyiapkan pesanan Jinhyuk dan Jinhyuk hanya mengangguk, info yang lumayan.

Artinya kue tersebut enak, kan?

“Bos saya sendiri yang membuatnya.”

TMI sekali ya, namun Jinhyuk tetap menanggapi dengan senyum tipis. Orangnya ini terlihat ramah sekali untuk ukuran pegawai dan tentu terlihat lebih muda dari dia, mungkin anak kuliahan, batin Jinhyuk berasumsi.

“Tutup jam berapa kalau saya boleh tahu?” karena memang sedang sepi dan pesanan Jinhyuk masih disiapkan akhirnya dia bertanya dan sempat melirik name tag yang ada di dada kiri pemuda tersebut, Byungchan.

“Kalau weekday begini pukul setengah sembilan dan weekend sampai pukul sembilan, Mas. Tapi kadang tergantung bos saya juga, soalnya saya gak setiap hari kerja. Biasanya dia yang pegang langsung. Siapa tahu mas nya mau pesan lagi kan.”

“Adik saya nggak ulang tahun tiap minggu.” balas Jinhyuk yang berhasil mengundang tawa cekikian Byungchan. “Iya juga, ya.”

Suara Byungchan yang mengucap terimakasih sudah berkunjung bisa Jinhyuk dengar saat dia membuka pintu kaca untuk keluar dari toko, berjalan sambil menenteng karton kardus berisi kue yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Dan langkah lebarnya berhasil mematung hingga beberapa detik kemudian saat sosok yang baru saja hadir di ingatannya terlihat nyata, berjalan menuju ke arahnya sambil sibuk menatap ponsel.

Apa yang dikatakan Seungyoun benar, walaupun sudah berlalu beberapa tahun, walapaun pertemuan mereka sudah begitu lama, mereka masih bisa mengenali Wooseok dalam sekali lihat.

Ini jelas Kim Wooseok yang sekarang. Kim Wooseok yang bukan lagi teman semasa putih birunya, bukan lagi teman yang sama-sama berusia lima belas tahu.

Kaki Jinhyuk seperti dipatok di tempatnya, persis sama saat dulu dia melihat Wooseok pergi dari atap begitu saja.

Meninggalkannya.

Tidak, jangan lagi.

Ada dorongan kuat kali ini yang dirasakan oleh Jinhyuk, tidak ingin seperti dulu yang hanya bisa melihat punggung itu menjauh dan kemudian hilang, tanpa kabar, tanpa salam perpisahan.

Maka, suaranya terdengar serak, “Kim Wooseok.” saat sosok tersebut berjalan melewatinya dengan kepala yang masih menunduk menatap ponsel.

Harus diakui ada debar yang menggila di dalam dada Jinhyuk saat yang dipanggil menganggkat kepalanya dan menghentikan langkah.

Jinhyuk pernah perpikir, harusnya dia bakal malu kalau nanti bertemu Wooseok karena sikapnya dulu, namun rupanya pikiran itu kalah dengan spontanitas yang dia lakukan barusan.

Kapan lagi dia bisa melihat Wooseok setelah bertahun-tahun.

Kapan lagi dia bertemu teman lamanya ini.

Dan kapan lagi kesempatan itu akan datang.

Lebih jelas, kemudian paras Wooseok bisa terlihat sempurna sekarang di pandangan Jinhyuk ketika ia berbalik. Seluruhnya. Setiap inchi wajahnya, pahatan yang terlihat semakin tegas seiring bertambahnya usia mereka.

Kim Wooseok yang berusia dua puluh lima.

Butuh hingga sepuluh detik sebelum bola mata Wooseok melebar setelah menatap orang yang baru saja menyebut nama lengkapnya.

Mengingat cepat, mencoba menebak dengan pasti sosok tinggi yang terlihat sedikit familiar.

“Jinhyuk..?” bisiknya tidak percaya dengan nada terkejut.

“Iya, Lee Jinhyuk.” jelas Jinhyuk tanpa ragu, satu langkah dia mendekat hingga berdiri tapat di depan Wooseok yang kali ini menutup mulut karena tebakannya benar.

Lee Jinhyuk, temannya dulu.

Lee Jinhyuk, cinta pertamanya.

Juga Lee Jinhyuk yang pernah dia tangisi berhari-hari semasa remaja dulu.

“Lama nggak ketemu, Wooseok.”

Sudut mata Wooseok berkedut samar dan jelas Jinhyuk bisa melihat Wooseok yang balas menatapnya cukup lama, “Maaf aku terlalu kaget lihat kamu di sini.” ucapnya pelan.

Senyum tipisnya itu masih sama dengan sejelas-jelasnya apa yang ada di ingatan Jinhyuk.

Masih khas Wooseok sekali yang dulu selalu membuatnya tidak tahan untuk mengulurkan tangan dan mengusak puncak kepalanya dengan lembut.

“Iya, lama nggak ketemu ya, Jinhyuk.”

Suara Wooseok yang dalam dan berat membuat Jinhyuk ikut menarik sudut bibirnya, menegaskan kalau memang mereka bukan anak remaja berseragam putih biru lagi.

Jinhyuk mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Wooseok yang menatapnya sambil mengerutkan kening sebelum tertawa kecil dan menyambutnya, membalas genggangan tangan Jinhyuk yang kali ini sedikit mengerat.

“Senang ketemu kamu lagi, Seok.”

Wooseok mengangguk.

Tentang Jinhyuk selalu ada yang ia ingat, baik tawa senang maupun tangis sedihnya diantara semua kenangan dalam satu tahun yang mereka habiskan bersama.

Sebuah kisah semasa remaja yang menjadi kenangan manis dalam perjalanan hidup Kim Wooseok, sekalipun itu patah hati dari cinta pertamanya yang tidak berhasil.

“Aku juga, makasih udah masih ingat aku, Jinhyuk.”

“Aku nggak pernah lupa kamu.” balas Jinhyuk cepat dengan tangan yang masih belum dilepaskan, dia kembali berbicara, “Bahkan banyak waktu yang rasanya ingin aku ulang sama kamu.”

Lupakan dulu rasa malunya, yang dia mau kalau Kim Wooseok harus tahu bahwasanya pertemanan mereka tidak seharusnya berakhir seperti itu dan mungkin akan memiliki cerita yang sedikit berbeda nantinya.


terimakasih sudah baca^^

boleh kalau ada chat ke https://curiouscat.live/xxxxweishin dan ini kalau jajanin sender https://trakteer.id/xxxweishin