[XV]
Berbagai obrolan yang terdengar memenuhi ruangan seakan membawa kesan hangat yang begitu kental semakin terasa. Di sini, tepatnya di ruangan cukup besar ini terdapat dua keluarga yang saling berbincang setelah sesi makan malam mereka.
Ini usul Ibu, dari lama beliau sudah mewanti-wanti agar diadakan makan malam apabila ada waktu sebelum hari pernikahan, ya seperti ini, katanya supaya saling mengenal terlebih dahulu. Jinhyuk paham maksud Ibunya, ini pertama kali keluarga besar mereka bertemu keluarga Wooseok.
Wooseok sedikit meringis merasa bersalah saat tadi ia datang terlambat, namun apa daya, mood-nya benar-benar tidak bisa terkontrol. Ia butuh waktu sendiri daripada membuat suasana disini menjadi canggung.
Terlihat beberapa anak kecil yang sibuk berlarian seakan sudah saling mengenal lama satu sama lain, mereka berbaur tampak akrab untuk bermain bersama. Tenang saja, anak-anak itu tidak menganggu tamu hotel lainnya karena satu ruangan ini hanya diisi oleh mereka.
Satu meja bulat diisi oleh dua keluarga inti yang duduk saling berhadapan, kedua kepala keluarga itu tampak sibuk mengobrol saling menimpali seakan membahas topik yang benar-benar penting, namun akan ada senyum di ujung kalimatnya serta kekehan kecil.
Di meja lainnya beberapa orang tampak bicara dengan sedikit canggung karena hari ini merupakan pertemuan pertama mereka, namun tidak mengurangi rasa hangat yang terasa.
Juga terlihat teman dekat Wooseok saat kuliah, Yein dan Sakura, serta ada Sejin yang tadi sore dijemput oleh sepupunya ke stasiun, dia cukup cepat dalam mengakrabkan diri dengan teman dan para sepupu Wooseok karena usia yang memang tidak terlalu jauh. Sedangkan teman-teman Jinhyuk sendiri belum terlihat batang hidungnya satupun.
Semuanya tampak berbahagia untuk menyambut hari besar esok. Memang benar adanya kalau sebuah pernikahan menyatukan bukan hanya dua kepala, namun juga dua keluarga.
Wooseok yang baru pertama kali bertemu dengan keluarga besar Jinhyuk terlihat sedikit kikuk diawal, sebisa mungkin ia sejak tadi siang sudah mencoba mengakrabkan diri, mengobrol dengan beberapa sepupu Jinhyuk serta om dan tantenya, juga bermain dengan anak-anak mereka yang masih kecil.
Entah sudah berapa kali Wooseok tersenyum malu saat mereka berkata tentang dirinya, seperti “Pinter nih Jinhyuk nyari calonnya.” atau “Pantesan bang Jinhyuk ngebet nikah, calonnya begini.” dan masih banyak lagi, Wooseok cukup berterimakasih dengan kesan pertama yang begitu baik ini.
Besok mereka bukan lagi orang asing baginya, mereka juga akan menjadi keluarganya, begitu bisik Jinhyuk saat tadi dia tiba-tiba merangkulnya dari belakang dan ikut dalam obrolan untuk menyairkan suasana agar Wooseok tidak terlalu awkward dengan keluarga besarnya.
Kalau dilihat dari kuantitas, keluarga dari pihak Jinhyuk yang paling banyak disini karena tentu saja alasan jarak yang mengharuskan datang terlebih dahulu. Walaupun beberapa masih ada yang berangkat besok.
Keluarga Wooseok sendiri bisa dihitung jari, hanya keluarga terdekat saja. Toh rumah mereka lebih dekat asal pintar mencari waktu saja karena besok adalah weekend, dipastikan macet apalagi venue yang dipilih memang berada di lingkungan tempat wisata.
Wooseok pamit sebentar kemudian ia berdiri dari kursinya, melangkah ke arah Jinhyuk yang sedikit menjauh karena harus menerima telepon, dia berdiri di dekat jendela yang menghadap ke luar.
“Gimana? mereka udah mau sampai, mas?”
Jinhyuk memasukkan kembali ponselnya ke saku celana sesaat setelah menutup telepon, “Masih di tol, katanya. Sudah gapapa, gak bakal nyasar ini. Sudah mas kasih tau jalannya, ada Maps juga kan.” jelas Jinhyuk.
Barusan dia menerima telepon dari Byungchan yang masih dalam perjalanan.
Wooseok melihat jam yang ada di ponselnya, “Oh yaudah, paling jam 10an sampainya. Itu juga kalau gak macet sih pas keluar tol.”
Jinhyuk mengangguk setuju, belum lagi dari kota harus ke hotel yang memang agak jauh karena faktanya hotel tempat mereka menikah bukan di tengah kota, Wooseok memilih di Lembang menyesuaikan konsep outdoor yang mereka pilih.
Begitu diberi beberapa pilihan saat memilih venue oleh vendor, Wooseok langsung memilih outdoor disini dan Jinhyuk yang mengangguk setuju. Sejak awal mereka sudah mencoret ballroom dari daftar venue.
Bahkan awalnya mereka hanya akan mengundang tidak lebih dari seratus orang demi mewujudkan konsep intimate wedding, namun tentu saja para orangtua yang langsung menolak karena satu dan lain hal, akhirnya dengan dewasa mereka mempertimbangkannya kembali.
Sebuah tangan kecil yang melingkari kaki Jinhyuk dari belakang secara tiba-tiba membuat Jinhyuk langsung menunduk dan tidak lama mengulas senyum sambil mengusak rambutnya.
“Apa, sayang?”
Selanjutnya yang terdengar hanya rengekan manja disertai kedua tangan yang diangkat minta digendong, tingkahnya membuat baik Jinhyuk maupun Wooseok mengerang gemas.
Tanpa diminta dua kali, tangan Jinhyuk terulur untuk menggendongnya, membuat si anak tertawa senang dan langsung melingkarkan tangannya di leher Jinhyuk.
Wooseok tidak bisa mengalihkan tatapannya begitu saja saat melihat pemandangan di depannya, sejak tadi siang Wooseok bisa melihat bagaimana cara Jinhyuk memperlakukan anak-anak dari kakak sepupunya itu.. dan hal itu terlihat sangat manis di mata Wooseok.
“Kamu habis makan coklat ya, belepotan gini.” gumam Jinhyuk sambil mengusap ujung bibir mungil si anak dengan jempol tanganya, dia juga mengusap sedikit peluh yang terlihat di dahinya pasti karena berlarian hingga poni tipisnya tampak lepek.
“Daeun, ini siapa? kenal gak?” lanjutnya sambil menunjuk Wooseok yang berdiri di depan mereka, sibuk memperhatikan interaksi Jinhyuk dan keponakan kesayangannya.
Lee Daeun, anak perempuan berusia tiga tahun itu menatap Wooseok sambil mengerjapkan matanya, bingung. Lalu dia kembali menatap Jinhyuk lagi sambil menggelengkan kepalanya. Wajah polosnya membuat Jinhyuk meloloskan kekehan ringan dan mengecup pipinya gemas, “Kakak Ushin.” katanya memberi tahu dengan berbisik, hingga akhirnya Daeun mengangguk kecil dan bercicit pelan menggumamkan apa yang sudah diberitahu oleh om nya sambil kembali menatap Wooseok.
Wooseok menghembuskan napas pendek dengan bibir yang mencebik pelan.
“Padahal tadi siang kita udah kenalan lho. Cepet banget aku dilupainnya.” katanya sambil mencubit gemas pipi Daeun membuat si anak merengek menolak dan langsung menjauhkan wajahnya dari jangkauan Wooseok, dia bersembunyi di ceruk leher Jinhyuk sambil mengeratkan pelukannya.
Bukan lagi kekehan, saat melihat Wooseok merajuk karena dilupakan dan ditolak oleh anak kecil malah membuat Jinhyuk tertawa pelan, “Daeun gak suka diuwel-uwel, sayang.” ujarnya disela tawa.
Ada-ada saja.
“Sebentar, mas anterin Daeun ke mamanya dulu, ya.”
Tanpa menunggu persetujuan Wooseok, Jinhyuk melangkahkan kakinya ke meja yang diisi oleh keluarganya. Menurunkan Daeun ke pangkuan Mbak Jieun, kakak sepupunya. Namun, belum ada satu menit anaknya langsung turun lagi untuk bermain dengan yang lain, termasuk dengan Ahlyn, sepupu Wooseok yang tadi siang tingkahnya membuat sakit kepala saat disuruh menjadi flower girl.
Jinhyuk terlihat mengobrol sebentar pada yang disana lalu bicara pada orangtua mereka sebelum kembali menghampiri Wooseok yang masih berdiri di tempat yang tadi.
“Kenapa, mas?”
“Gapapa. Keluar sebentar yuk, kak.”
Walaupun sedikit bingung, Wooseok mengangguk mengiyakan dan ia secara refleks mengulas senyum saat Jinhyuk langsung menautkan tangannya, menggenggam lembut jemari Wooseok dan menuntunnya untuk keluar ruangan.
Kalau diingat lagi, sejak tadi siang Jinhyuk datang ke hotel memang mereka belum menghabiskan waktu berdua (minus tadi saat mereka menyingkir untuk meluruskan kesalahpahaman dan itu pun hanya temannya saja yang tahu, yang lain beranggapan mereka hanya mengobrol biasa).
Tadi Jinhyuk istirahat sebentar sebelum rehearsal. Sebelumnya juga mereka meeting dulu dengan pihak wedding organizer dan yang lainnya untuk membahas final arrangements.
Rehearsal pun berjalan lancar dilakukan dengan senyum yang tampak berkali-kali lipat bahagia di wajah keduanya. Fakta yang tidak bisa disembunyikan, bahkan oleh orang awam pun pasti tahu yang mana yang akan melangsungkan pernikahan.
Mereka juga menghabiskan waktu untuk melihat venue yang tadi masih dalam penyempurnaan untuk besok, sekarang sudah rampung, tentu saja. Tempatnya berada di bagian lain sisi hotel, beberapa ratus meter dari bangunan utamanya, tepatnya ke arah barat.
Konsep yang mereka pilih yaitu Rustic Outdoor Wedding. Memang Jinhyuk akui sangat cocok dilakukan disini, suasananya yang-agak-jauh dari kota dan udaranya yang sejuk membuat pernikahan mereka yang simple (dengan dihiasi warna-warna seperti soft blush white, peach, floral, green dan warna-warna natural lainnya serta memasang dekorasi yang minimalis dan dihiasi unsur-unsur alam juga fairy lights yang tampak cantik di sore hari) terkesan sederhana dan hangat.
Sungguh seperti apa yang selama ini dibayangkan, tentang hari bahagia mereka.
Wooseok merapatkan jaketnya saat turun dari mobil, udara dingin khas Lembang langsung menerpa kulitnya hingga ia bergidik.
Jinhyuk yang juga baru turun dari mobil langsung menghampirinya kemudian merangkul bahu Wooseok agar berjalan bersisian memasuki sebuah kafe di kawasan Punclut.
“Mas tahu tempat ini dari mana?”
Wooseok bertanya setelah ia terkagum-kagum beberapa saat lalu, memandangi city lights yang tampak indah dilihat dari atas sini. Kota Bandung malam hari.
Kepalanya lalu menoleh ke arah Jinhyuk yang duduk di sampingnya sambil menyesap kopi.
“Dari sepupu kamu, Seobin.”
Mendengar jawaban Jinhyuk, Wooseok hanya membulatkan mulutnya. Sebenarnya sudah tidak asing pemandangan seperti ini, dulu semasa kuliah ia beberapa kali pernah ke daerah ini, namun untuk bersama Jinhyuk baru kali ini.
“Udah lama gak kesini.”
“Tempat kamu pacaran, ya?” tanya Jinhyuk yang langsung membuat Wooseok nyengir, tidak membantah. Jinhyuk hanya mengusak puncak kepalanya sambil terkekeh tanpa berucap apa-apa. Toh dia bukan bermaksud mengungkit, hanya iseng menebak saja.
Selanjutnya, Wooseok sibuk makan kue balok yang dia pesan sambil asik melihat pemandangan lampu-lampu kota yang tampak cantik terhampar di bawah sana, juga menikmati suasana malam yang tidak terlalu bising karena kafenya cukup sepi.
Wooseok tetap makan walaupun beberapa kali ia berdalih sudah kenyang, kue balok yang masih hangat itu terlalu enak untuk disia-siakan, sedangkan Jinhyuk hanya menyicip sedikit karena menurutnya terlalu manis apalagi melihat lelehan coklat diatasnya, giung.
“Kenapa ngajak kesini, mas?”
Wooseok bertanya setelah meminum Thai tea nya. Kedua tanganya menggenggam gelas yang terasa hangat, lalu menempelkan tangannya sendiri ke pipinya.
“Mau pindah ke dalam?” Jinhyuk malah bertanya khawatir melihat Wooseok, takut anaknya kedingingan walaupun sudah memakai jaket, padahal Jinhyuk sendiri cuma memakai kemeja saja.
Wooseok langsung menggelengkan kepalanya tanda menolak, “Gapapa, enakan di luar. Bisa duduk santai kayak gini, mas.” ia tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk kursi bean bag yang sedang didudukinya.
Jinhyuk ikut tersenyum dibuatnya, dia lalu menyesap lagi kopinya.
Sebelum membuka suara kembali, tangan Jinhyuk bergerak untuk menggenggam lembut jemari Wooseok yang berada di atas meja, menyalurkan hangat membuat Wooseok tanpa ragu untuk membalasnya sambil tersenyum simpul.
“Maaf untuk yang tadi, mas gak bermaksud bikin kamu salah paham, sayang.”
Wooseok langsung mengangguk sambil menggumam pelan. Ia hanya kesal saja, beruntung Jinhyuk langsung paham saat tadi Wooseok turun ke ruang makan dan langsung menjelaskannya. Wooseok juga kesal pada dirinya sendiri, ia terlalu banyak memikirkan hal-hal tidak penting, hal-hal negatif yang bisa saja malah menjadi boomerang untuknya sendiri.
“Makasih juga ya, kak.” tambah Jinhyuk.
“Buat?”
Wooseok bisa merasakan genggaman tangan Jinhyuk yang perlahan mulai mengerat dengan sedikit meremas, dia kembali melanjutkan kata sambil tersenyum tulus, memandang Wooseok dengan pandangan yang demi Tuhan, Wooseok yakin kakinya sudah lemas sekarang.
”...buat semuanya.”
Jinhyuk menjeda yang entah kenapa justru membuat Wooseok menahan napas dengan debar yang tak beraturan, menunggu kata selanjutnya.
“Besok.. datang juga harinya. Hari yang gak pernah terpikir bakal datang secepat ini, tapi hari yang juga sudah mas nantikan sejak terpikir buat serius sama kamu.”
Usapan pelan di punggung tangannya dari ibu jari Jinhyuk berjuta kali terasa hangat, terasa hingga relung hatinya. Wooseok menarik kedua sudut bibirnya sebagai respon, ia menggeser posisi duduknya agar bisa menghadap sepenuhnya ke arah Jinhyuk.
Meninggalkan begitu saja makanannya, Mas Jinhyuk nya jauh lebih penting.
“Hari yang bakal mengubah hidup kita, bakal membawa kita buat memasuki fase baru. Kalau boleh jujur hari yang dulunya cuma jadi angan-angan sambil mikir, siapa yang bakal jadi pendamping mas...”
Pandangan Jinhyuk sedikit menerawang dengan senyum kecil disudut bibirnya sebelum kembali menatap lurus pada Wooseok.
“Sampai akhirnya mas ketemu kamu. Ketemu Kak Ushin. Baru kenal sebentar, tapi entah kenapa mas sudah yakin banget buat serius, yakin kalau titiknya di kamu.”
“Sudah tahu kapan waktunya harus berhenti mencari. Hati mas kayak bilang “Ini lho hyuk yang lo cari akhirnya ketemu. Gila aja kalau lo lepasin.” Kalau mas yang ngerasain sendirian mungkin masih bisa disangkal pake kepala batu. “Masa sih? kenal juga belum setahun udah niat serius aja, lo.“
Jinhyuk melembutkan tatapannya, satu tangannya yang bebas mengusap puncak kepala Wooseok dengan sayang juga dengan senyum yang masih terpatri jelas di paras-tampan-nya.
“Tapi kamunya kak. Kamu yang buat mas bisa sampai kayak gini. Kamu yang melengkapi mas agar bisa yakin seyakin-yakinnya buat ngambil keputusan besar ini. Buat serius sama kamu...”
“Sampai akhirnya mas berani bilang sama Ayah dan Ibu, bilang kalau mas mau melamar anak orang. Bilang kalau mas sudah menemukan siapa yang mau mas jagain, bilang kalau mas sudah siap tanggung jawab buat satu nama, bilang siapa yang mau mas jadikan pendamping hidup...”
“Namanya Kim Wooseok.”
Mendengarnya Wooseok mau menangis. Mau meluk Mas Jinhyuk. Padahal hari bahagianya masih besok, tapi malam ini, ia dibuat berjuta kali merasa haru dengan setiap kata yang keluar dari bilah bibir Mas Jinhyuk nya.
Tangan lebar Jinhyuk mengusap dengan lembut ujung mata Wooseok yang mulai berair, “Mas bilang begini bukan mau buat kamu nangis, sayang.” bisiknya.
Namun, Wooseok buru-buru menutup wajah dengan kedua tangannya. Wooseok tidak bisa menahan tangisnya, ia terlalu bahagia, hatinya terasa penuh.
Jinhyuk tanpa berucap lagi langsung membawa Wooseok ke dalam pelukannya, menyandarkan kepala Wooseok di bahunya. Satu tangannya sibuk mengusap belakang kepala Wooseok dan yang satunya lagi menepuk-nepuk punggungnya, berulang kali dia mengucap kata menenangkan.
“Kita pulang, ya?”
Wooseok mengangguk pelan, tanpa berkata apapun.
“Kalau ditanya, apa yang buat aku yakin buat nikah...”
Jinhyuk memelankan langkahnya sesaat ketika Wooseok membuka suara, saat ini mereka sedang berjalan menuju kamar Wooseok. Wooseok juga sudah tidak menangis lagi, ia takut besok matanya sembab dan malah mengganggu penampilannya.
“Aku bakal jawab simpel aja... asal nikahnya sama Mas Jinhyuk.” lanjut Wooseok pelan sambil mengeratkan pelukannya di lengan Jinhyuk.
Wooseok tersenyum geli saat mendongak dan mendapati Jinhyuk yang terdiam sambil mengerjap bingung menatapnya, “Bucin.” gumam Jinhyuk kemudian.
Dengan sedikit merajuk, Wooseok menggelengkan kepalanya, “Bukan bucin, ih.” katanya sambil memukul pelan lengan Jinhyuk yang sedang ia peluk dan Jinhyuk hanya merespon dengan tawa kecil.
Langkah mereka sekarang benar-benar berhenti di depan pintu kamar Wooseok. Pelukan Wooseok pada lengan Jinhyuk perlahan terlepas, sejalan dengan Wooseok yang sibuk mencari kunci kamarnya di saku celana.
“Di saku jaket, kak.”
Mendengar ucapan Jinhyuk yang mengingatkannya, Wooseok hanya meringis sambil bergumam pelan ketika menemukan kunci yang ia cari. Lupa, tadi sebelum mereka keluar ia memang ke kamar dulu untuk mengambil jaket, sepertinya Jinhyuk melihat saat tadi Wooseok menyimpan kunci.
“Serius lho, mas.”
“Apanya?”
Wooseok mengambil napas dalam sebelum menjawab, “Asal nikahnya sama kamu, aku mau.”
Mereka masih melanjutkan obrolan, Wooseok menyandarkan punggungnya pada pintu dan Jinhyuk berdiri tepat di depannya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Nikah itu... perlu banyak banget yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan, kan?”
Jinhyuk mengangguk kecil sebagai respon.
Wooseok juga mengangguk, mereka sepaham. “Yang paling utama buat aku itu.. percaya.”
“Pertimbangan paling berat buat aku itu kalau mikir “Mau dipercayain sama siapa nih hidup aku? nikah cuma sekali seumur hidup, jangan sampai salah milih orang”, selalu kayak gitu.”
Wooseok membenarkan kacamata bulatnya yang sedikit melorot, pandangannya masih bersitatap dengan Jinhyuk yang setia menyimak.
“Sama Mas Jinhyuk. Dengan percaya diri, sekarang aku bisa jawab pertanyaan aku sendiri. Aku dapat percaya itu saat sama kamu, mas. Sama kayak kamu, kesempatan gak datang dua kali, gak mungkin aku melewatkannya.”
“Kamu tadi gak percaya, dikira mas dm-an sama Sujeong.”
Wooseok mendengus lalu melangkah maju untuk memukul pelan bahu Jinhyuk, bibirnya tampak mengerucut, lucu.
“Yang tadi beda, aku emang mikirnya kemana-mana. Lagian aku bukan ragu sama kamunya, aku cuma kepo aja ngomongin apa sih sampai harus di dm segala.”
Jinhyuk mengangguk sambil berucap maaf.
“Aku serius, mau ngomong lagi.” lanjut Wooseok kemudian dan Jinhyuk mempersilahkan lewat senyum tipis.
“Aku udah nemu kok orangnya, ngapain ragu pas diajak serius. Belum tentu aku bakal ketemu lagi yang sebaik kamu. Belum tentu aku bakal ketemu lagi sama orang yang bisa aku kasih percaya sepenuhnya buat tanggung jawab sama hidupku.”
“Belum tentu juga aku bakal jatuh cinta lagi sedalam yang sekarang aku rasain... saat sama Mas Jinhyuk.”
Melihat Wooseok yang berkata dengan mata yang memancarkan binar bahagia di balik kacamata bulatnya, serta raut wajah malu-malu, Jinhyuk bisa merasakan jantungnya yang kian berdegup. Sinting, udah sinting memang!
Jinhyuk merasa hangat mendengarnya, sekali lagi dia mengucap terimakasih telah dipertemukan dengan sosok di depannya, berterimakasih telah membuat sosok di depannya ini-besok-menjadi miliknya, berterimakasih karena sosok di depannya, hidupnya menjadi lengkap.
Sejak awal, tidak ada keraguan untuk besok.
“Yaudah, Mas Jinhyuk sana ke kamar. Jangan bergadang. Aku mau tidur. Mungkin teman mas juga udah pada datang.”
Wooseok mendorong pelan punggung Jinhyuk agar menjauh, wajahnya sudah memerah hingga ke telinga. Malu saat Jinhyuk hanya terdiam sambil memandanginya dengan tatapan dalam.
“Kamu dulu yang masuk, baru mas pergi.”
Wooseok menggelengkan kepalanya, keras kepala. “Enggak! Mas Jinhyuk duluan, sana ke kamar. Hush hush!”
Jinhyuk meloloskan tawa saat Wooseok semakin gencar mengusirnya, dia bisa melihat wajah Wooseok yang semakin memerah menahan malu.
“Iya iya, mas pergi.” pungkas Jinhyuk mengalah.
Dia memandang Wooseok sesaat sebelum melangkahkan kakinya dengan pelan sambil berjalan mundur, menatap Wooseok yang masih terdiam di depan pintu kamarnya dengan gestur tangan mengusir.
I wanna marry you. I wanna marry you because you deserve someone who treats you right. I wanna marry you because I wanna take care of you. I wanna marry you because I trust you. I wanna marry you because I wanna make you happy. I wanna marry you because it's real and hard work, and a lifetime of ups and downs with you is worth every second of it. There are many more reasons I could mention. All of these reasons fall into the final and most important reason. I wanna marry you because I love you.
“Kak..”
Wooseok menoleh saat tangannya yang akan membuka pintu ditahan oleh tangan lain, hingga menyentaknya membuat wajahnya langsung menghadap dada Jinhyuk.
Wooseok terdiam sesaat masih mencerna yang terjadi, ini Mas Jinhyuk nya balik lagi?
“Kenapa, mas?” tanyanya pelan dengan nada bingung, namun tangannya bergerak untuk membalas pelukannya, meremas kedua sisi kemeja Jinhyuk.
Wooseok tidak-belum-mendapat jawaban sebuah kata, dia hanya bisa mendapatkan jawaban dari pelukan Jinhyuk yang mengerat dan sebuah ciuman di atas kepalanya, serta degup jantung Jinhyuk yang begitu cepat terasa di sisi wajahnya yang bersandar di dada Jinhyuk.
Perlahan semburat merah di kedua pipi Wooseok kembali nampak. Sekarang, detak jantungnya sendiri sudah sama cepatnya dengan punya Mas Jinhyuk.
Jinhyuk melepaskan pelukannya setelah beberapa saat hanya ada hening diantara mereka. Dia mengecup kening Wooseok cukup lama seakan mencurahkan segala perasaannya. Netranya kemudian turun untuk memandang paras Wooseok yang kembali bersemu dengan lamat-lamat.
Dengan senyum hangatnya Jinhyuk berujar pelan, “Gapapa, cuma belum bilang selamat malam.” dia sedikit menunduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Wooseok.
Kedua tangannya menangkup pipi Wooseok yang semakin bersemu dan dia mengusap menggunakan ibu jarinya, pelan teramat lembut.
Pandangan matanya menyiratkan beragam emosi, namun yang bisa Wooseok rasakan hanya teduh. Tatapan tulus yang membuatnya merasa sangat berarti, di mata Mas Jinhyuk.
Jinhyuk masih mengulas senyum hangat, menular hingga Wooseok menarik kedua sudut bibirnya secara perlahan untuk membalas, “Apa, Mas Jinhyuk?” cicitnya salah tingkah.
Jinhyuk, dia berbicara dengan sungguh-sungguh, cukup dengan berbisik dalam jarak sedekat ini.
“Selamat malam, Kak Ushin. Tidur yang nyenyak ya, sayang. Sampai bertemu besok... di hari pernikahan kita.”
“Mas Jinhyuk sayang kamu.”