[XXII]
Wooseok membuka pintu kamar dengan pelan sambil matanya terus mengawasi sosok Jinhyuk yang masih tertidur nyenyak dengan posisi tengkurap serta selimut yang sudah melorot hingga pinggangnya. Takut-takut suara kunci yang ia putar membangunkan Jinhyuk.
Langkahnya berjalan ke arah dapur utama kediaman Lee, suasana rumah tampak sepi karena saat ini jarum jam yang terpasang di dinding ruang tengah yang baru saja dilewatinya masih di angka lima lebih tiga puluh pagi.
Rumah keluarga barunya ini tidak seperti rumahnya atau Yohan yang mempunyai dua lantai. Rumah Mas Jinhyuk hanya satu lantai, namun cukup luas seperti untuk tempat tinggal keluarga besar.
Mempunyai taman belakang ditanami rumput hijau yang membuatnya terlihat sangat asri, sangat cocok untuk menikmati sore hari. Bisa diakses dari ruang tengah menggunakan pintu kaca geser, sedangkan halaman depan rumahnya ditanami berbagai bunga, salah satu hobi Ibu.
Tidak lama kemudian setelah Wooseok sampai di dapur dan mengambil minum, ia mendapati Ibu mertuanya yang juga memasuki dapur.
Ibu memang selalu bangun pagi untuk menyiapkan sarapan dan tentu saja rutinitas baru Wooseok adalah membantunya walaupun tak jarang ia dibuat telat dan hanya tinggal makan saja karena ulah si sulung keluarga ini yang selalu menahannya untuk berlama-lama di dalam kamar.
Ibu tidak keberatan sama sekali, sebetulnya beliau juga sudah biasa menyiapkannya sendirian karena kedua putranya tidak ada yang bersahabat dengan dapur. Dengan adanya Wooseok disini, dapurnya sekarang selalu ramai di pagi hari.
Masakan Ibu enak sekali, tapi masakan Wooseok juga tidak buruk dan selalu disukai oleh keluarga ini. Sejak dulu memang ia seringkali merecoki Mama di dapur karena tidak ada lagi yang bisa ia ganggu.
“Selamat pagi, Ibu.” sapanya begitu ia selesai menenggak habis segelas air putih, Ibu tersenyum kecil menjawab sapaan menantu kesayangannya itu.
“Selamat pagi, sayang.” beliau mengusap bahu Wooseok sambil berlalu menuju kulkas, mengambil susu full cream ukuran satu liter dan menuangnya ke dalam gelas.
Waktu benar-benar terasa berlalu begitu cepat. Wooseok tadi tidak sengaja melihat tanggal di layar ponselnya, sudah tanggal tujuh lagi.
Artinya tidak terasa sudah satu bulan Wooseok menikah dan tiga minggu tinggal dengan keluarga Lee. Keluarga Mas Jinhyuk yang begitu baik padanya, menganggapnya sebagai bagian dari mereka, walaupun faktanya memang begitu, kan Wooseok suami dari Jinhyuk. Apalagi perhatian Ibu padanya yang begitu tulus.
Tinggal disini, membuatnya benar-benar merasa di rumah. Rumah ini begitu hangat. Wooseok menikmatinya, ia sangat bersyukur.
Ibu sudah seperti Mamanya, Ayah tidak ramai seperti Papanya karena pembawaannya yang tenang namun begitu hangat pada keluarga. Jelas Wooseok bisa langsung tahu, dari siapa sifatnya Mas Jinhyuk menurun.
Bonusnya Wooseok merasakan bagaimana rasanya mempunyai adik yang seringkali menempel kepadanya. Dirinya sendiri adalah anak tunggal, kalau bukan para sepupunya yang sering main ke rumah, rumahnya dulu terbiasa sepi.
Semakin sepi saat sekarang ditinggali tanpa dirinya. Ah, Wooseok jadi merindukan kedua orangtuanya. Padahal setiap hari selalu bertukar kabar.
“Tadi malam pulang sendirian, kak? kan abang lembur. Ibu kemarin nemenin Ayah ada acara. Baru pulang jam 8 malam, langsung tidur. Jadinya gak tahu pas kalian pulang.”
Ibu berbicara sambil menutup pintu kulkas, kemudian beliau duduk di kursi samping Wooseok di meja makan, meletakan dua gelas berisi susu di atas meja. Satunya digeser ke depan Wooseok.
Oh iya, semua orang sekarang memanggilnya kakak seperti Jinhyuk. Ketika ia bertanya kenapa, Ibu hanya menjawab, “Kamu kan anak ibu juga. Jadi, Ibu punya tiga anak; abang, kakak, sama adek. Lengkap.” begitu katanya yang diangguki Ayah.
Wooseok hanya bisa tersenyum dengan hati yang menghangat saat mendengarnya kala itu.
Sambil memegang gelas susunya, Wooseok berterimakasih. Ia lalu menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Ibu, netranya membalas tatapan beliau.
“Aku pulang sama Mas Jinhyuk kok, bu. Mas lemburnya gak sampai jam 10 ternyata. Terus kita makan dulu sambil beli sate pesanan adek. Jadinya baru sampai rumah jam 10.” jelasnya.
Tangan Ibu mengusap pelan punggung Wooseok. Tatapannya sangat lembut dan Wooseok begitu menyukainya. “Jangan terlalu kecapekan.” ucapnya pelan.
Wooseok seakan paham maksud Ibu. Lagi-lagi Wooseok mengulas senyum menenangkan, “Iya bu. Aku gapapa kok, sudah biasa.”
Beberapa kali memang Ibu berkata khawatir saat Wooseok harus pulang malam setiap hari karena bekerja, dan setiap itu pula Wooseok tersenyum sambil berkata tidak apa-apa.
Wooseok sudah terbiasa dengan rutinitasnya.
Setelah berkata seperti itu, Wooseok bisa melihat Ibu yang mencebik sedikit merajuk, membuat Wooseok tertawa kecil. Ibu ini lucu juga. Tapi, tatapan beliau kembali menghangat kali ini, tangannya menggengam tangan Wooseok yang ada di atas meja, senyumnya perlahan terlihat, sangat cantik.
“Gak terasa, ya? ternyata sudah satu bulan ibu punya mantu. Ibu senang kamu tinggal di sini.”
“Aku juga gak kalah seneng bisa tinggal sama keluarga ini. Walaupun aku jauh dari Mama sama Papa, tapi aku merasa seperti di rumah, bu. Makasih.”
Wooseok ikut tersenyum saat Ibu juga menarik kedua sudut bibirnya semakin lebar.
“Memang kamu itu mantu kesayangannya Ibu.”
“Mantu Ibu kan cuma aku. Saingan aku masih lama, nunggu adek nikah dulu. Hehe.”
Wooseok menatap Ibu dengan mengulas senyum simpul.
“Ibu juga mertua kesayangan aku. Pokoknya aku sayang Ibu. Maaf ya kalau aku suka ngerepotin.” tambahnya dengan nada sedikit melemah di akhir kalimat.
Merasa tidak enak.
“Enggak, kak. Ibu gak pernah merasa direpotkan sama sekali. Malah senang anak Ibu jadi nambah.”
Rumah ini justru terasa lebih ramai karena kehadiran Wooseok. Wooseok yang suka bertingkah manja padanya dan terkadang ia sering melihat Wooseok merengek pada putra sulungnya.
Sikap Wooseok yang menggemaskan mudah sekali disukai.
Kedua putranya jarang sekali bertingkah manja seperti Wooseok kepadanya. Jinhyuk selalu bertingkah sebagai anak tangguh yang bisa diandalkan sejak kecil walaupun jarak usianya terpaut jauh dengan Jinu. Jinu sendiri tidak begitu jauh berbeda, dia lebih sering mengekori abangnya dan mengganggunya.
Tangan Ibu kini mengusap pelan pipi Wooseok dengan sayang, kembali tatapannya menghangat menatap Wooseok. “Pantesan abang sayang banget sama kamu. Ibu lega, abang sudah punya tujuan hidup di usianya sekarang.” ujarnya.
Sungguh, Wooseok tidak bisa menampik kalau ia sangat terenyuh mendengarnya. Wooseok merasakan begitu disayangi di rumah ini, bukah hanya sekarang tapi sejak mereka masih bertunangan dulu. Wooseok kembali ingat saat dirinya dulu menangis di rumah ini hingga membuat semuanya khawatir. Mengingat hal itu sedikit membuatnya meringis malu.
Tangannya memeluk Ibu dari samping tanpa ragu yang kemudian dibalas usapan hangat di lengannya.
“Pagi-pagi malah jadi melow.” cicit Wooseok.
Ibu hanya terkekeh kecil mendengarnya menantu manjanya itu. “Sudah, bangunkan suami kamu. Keburu siang, nanti gak sempat sarapan. Ibu mau masak dulu.”
Wooseok mengangguk sambil melepaskan pelukannya. Meminum susu yang tadi diberi oleh Ibu lalu berdiri dari duduknya, “Aku bangunin Mas Jinhyuk dulu ya, bu.” pamitnya dan Ibu hanya mengiyakan.
Bagitu Wooseok kembali ke kamar, Jinhyuk masih tertidur lelap. Kemudian Wooseok membawa tungkainya berjalan ke arah jendela yang berada di sebelah kiri tempat tidur dan membuka gorden hingga menimbulkan cahaya dari luar menerobos masuk untuk menerangi kamar mereka.
Barusan saat melewati ruang tengah Wooseok lihat masih belum pukul 6, matahari hari ini tampak tertutup awan mendung hingga tidak seterik biasanya. Wooseok tebak mungkin nanti akan hujan.
Baiklah saatnya melakukan rutinitas paginya yang utama, yaitu membangunkan Mas Jinhyuk.
“Mas Jinhyuk bangun...”
Wooseok duduk di tepi tempat tidur, tangannya menepuk-nepuk pelan pipi Jinhyuk, mencubitnya, menusuk-nusuk dengan ujung jari telunjuknya. Wooseok memang paling senang melihat wajah Mas Jinhyuk yang akan merajuk saat dibangunkan seperti itu. Terlihat lucu hingga seringkali membuatnya terkikik geli. Wooseok seperti melihat sisi Mas Jinhyuk yang lain, terkadang dia akan bertingkah manja padanya.
Sungguh sebulan ini mereka seperti belajar setiap hari untuk semakin mengenal satu sama lain. Yang dulu tidak terlihat saat masih berpacaran, lambat laun mulai mereka pahami. Menikah itu berbeda dan Wooseok menikmati setiap prosesnya.
Masih memejamkan matanya, alis tegas Jinhyuk ditekuk saat tidurnya merasa terganggu, sudah hapal di luar kepala siapa pelakunya. Kepala Jinhyuk berpindah ke atas paha Wooseok. Memeluknya lagi sambil bergumam tidak jelas, menyembunyikan wajahnya di perut Wooseok untuk menghindari cahaya yang menyilaukan.
“10 menit lagi, kak.” gumam Jinhyuk dengan suara serak khas bangun tidur. Wooseok hanya menghela napas dengan tangan yang mengelus halus rambut Jinhyuk.
Pengetahuan penting yang sudah diketahuinnya. Mas Jinhyuk selalu meminta tambahan waktu, jadi jangan sampai membangungkannya dalam waktu mepet, nanti dipastikan kesiangan.. kecuali untuk urusan mendesak. Sejujurnya Jinhyuk tipe yang mudah terjaga hanya saja memang dia itu kalau menurut Wooseok adalah kaum rebahan yang selalu ingin berlama-lama di atas tempat tidur.
“Kelamaan. Aku mau nyiapin sarapan sama Ibu, mas.”
“5 menit.” tawar Jinhyuk masih sambil ndusel di perutnya. Lagipula masih belum jam 6, Wooseok akhirnya mengangguk setuju walaupun Jinhyuk tidak bisa melihatnya. “Oke, 5 menit.” putusnya menyetujui.
Lima menit sungguh singkat bagi Jinhyuk, terlalu singkat malah untuk menikmati usapan dari tangan Wooseok di atas kepalanya. Akhirnya dia terduduk saat Wooseok sudah mengoceh. Jinhyuk mengucek matanya sesaat lalu menatap Wooseok di depannya, tersenyum tipis dan mengecup bibir suaminya itu dengan cepat, “Bawel.” katanya.
Pagi hari Jinhyuk sekarang seperti ini, setiap pagi akan dibangunkan oleh Wooseok bukan lagi Ibu yang akan mengetuk pintu kamarnya. Dibangungkan dengan cara jahil atau paling manis sekalipun. Membuatnya berkali-kali merasa beruntung bisa mengawali hari dengan menatap senyum Wooseok yang begitu manis, membuat harinya berkali-kali lebih bersemangat.
Wooseok berdiri dan kabur ke kamar mandi yang memang ada di dalam kamar dengan wajah memerah. “Sebentar aku pakai dulu kamar mandinya.” katanya kelewat cepat membuat Jinhyuk tertawa kecil.
Sudah sebulan menikah pun nyatanya Wooseok belum terbiasa, jantungnya masih berdetak cepat dan merasa lemah saat bersama Mas Jinhyuk. Huhu
Jinhyuk ikut bangun menyingkap selimutnya dan menyusul Wooseok. Kedua tangannya terlipat di depan dada dan tubuh jangkungnya bersandar di pintu kamar mandi yang dibiarkan terbuka, menatap Wooseok yang sedang menggosok giginya di depan wastafel, di area kamar mandi kering.
Langkah Jinhyuk mendekat, hingga mereka berdiri bersampingan. Jinhyuk ikut mengambil sikat giginya dan menuang pasta gigi di atasnya. Satu tangannya merangkul pundak Wooseok, satu tangannya yang lain mulai menyikat gigi.
Wooseok menatap wajah Jinhyuk lewat cermin lebar di depan mereka. Seakan bertanya, “Ngapain?” sambil melirik tangan Jinhyuk, yang lebih dewasa hanya menaikan alisnya dan mengangkat bahu sambil tetap menggosok giginya.
Sama-sama memakai piyama dan bermuka bantal, tampilan keduanya terpantul jelas di depan cermin. Tinggi Wooseok hanya sebatas dagu Jinhyuk membuat gap diantara mereka terlihat lucu. Apalagi dengan Jinhyuk yang memang sedang merangkulnya.
Tangan Jinhyuk mengacak-ngacak rambut Wooseok jahil dan Wooseok mamasang wajah protes masih lewat cermin tanpa menoleh langsung. “Berantakan.” rengeknya samar dengan sikat gigi yang masih ada di dalam mulutnya dan Jinhyuk hanya tertawa kecil.
Jinhyuk menikmati waktu singkat mereka di pagi hari seperti ini.
Wooseok yang lebih dulu selesai, dia berkumur dan membasuh muka siap untuk keluar kamar mandi. Wooseok akan membiarkan Jinhyuk untuk mandi terlebih dahulu, dirinya sendiri akan membantu Ibu untuk menyiapkan sarapan sambil menunggu.
Namun, tangan Jinhyuk menahannya dan Wooseok hanya menunggu sambil mengelap mukanya dengan tisu yang ada di sana. Ia memperhatikan Jinhyuk yang baru selesai, berkumur dan membasuh muka juga.
Sekarang mereka sudah tampak jauh lebih segar.
Tanpa diminta, Wooseok mengambil tisu lagi dan memberikannya pada Jinhyuk agar dia mengelap wajahnya. Wooseok geregetan sendiri melihatnya. Mas Jinhyuk ini, cuma cuci muka tapi kerah piyamanya sampai basah segala.
“Jam berapa ini, kak?” tanya Jinhyuk sambil sibuk mengusap wajahnya yang basah dengan tisu dari Wooseok.
“Jam 6.” jawab Wooseok singkat. Pinggangnya bersandar di tembok wastafel berwarna putih itu, tubuhnya membelakangi kaca untuk menatap Jinhyuk. “Mas mau bawa bekal hari ini? biar aku siapin.”
“Enggak deh, mas kayaknya makan di luar aja. Ada pekerjaan juga.” ujar Jinhyuk, tangannya membuang tisu ke tempat sampah yang ada di bawah, tepat di samping wastafel.
Radar Wooseok mendadak menyala saat Jinhyuk memegang kedua pinggang kecilnya dan mengangkatnya dengan mudah untuk duduk di atas tembok wastafel yang tingginya hanya sebatas pinggangnya itu.
Kedua tangan Jinhyuk bertumpu tepat di kedua sisi tubuh Wooseok dan perlahan wajah Wooseok kembali memerah lagi saat tubuhnya dikurung seperti ini. Jinhyuk berdiri diantara kaki Wooseok yang menggantung tanpa menyentuh lantai kamar mandi. Membuat wajah Wooseok berada beberapa senti di atasnya.
Senyum itu lagi. Senyum yang membuat Wooseok meleleh dihadirkan oleh Jinhyuk tanpa rasa ampun. Wooseok pusing saat Jinhyuk mulai mendekatkan wajahnya. Membuat napas mereka yang beraroma mint saling menyatu.
“Aku gak mau kesiangan.”
Jinhyuk terkekeh pelan mendengar gerutuan Wooseok yang keluar sangat lirih dari bibir mungilnya.
“Enggak akan. Kan masih jam 6, sayang.”
Perlahan tangan Jinhyuk menarik pinggang Wooseok agar membuat tubuh mereka semakin merapat. Satu tangannya mulai terangkat ke tengkuk Wooseok. Jinhyuk menarik satu sudut bibirnya untuk tersenyum, terlihat jelas di pantulan cermin sebelum dia mulai menyatukan bibir mereka.
Pacaran setelah menikah itu menyenangkan, begitu setidaknya menurut Jinhyuk. Sebulan ini Jinhyuk sangat menikmati status barunya. Walaupun mereka sibuk masing-masing seperti dulu ketika masih berpacaran, tetapi kali ini ada yang bisa didapat lebih. Waktu di pagi hari dan malam bisa mereka habiskan bersama karena sudah tinggal satu atap, satu kamar, dan tentu saja satu tempat tidur.
Begitupun ketika berduaan, tidak ada lagi yang membuatnya takut untuk menyentuh Wooseok karena dibatasi oleh prinsipnya sendiri yang selama ini dia pegang.
Wooseok melepaskan ciuman mereka lebih dulu untuk mengambil napas panjang. Napasnya terasa berat dan suasana di sekitar mereka mulai terasa panas.
Mata bulat Wooseok balik menatap mata yang memandangnya sangat lekat.
“Mau mandi?” Jinhyuk bertanya dengan suara serak, ibu jarinya mengusap lembut sudut bibir Wooseok. Mengulas senyum berbahaya.
Tawaran tidak berakhlak dari Jinhyuk membuat Wooseok menelan ludahnya susah payah. Tentu saja mereka pernah... beberapa kali disini.. dan Wooseok paham akan berakhir seperti apa nanti “mandi” yang dimaksud itu.
“Atau mau di tempat tidur? ..atau mau di sofa?”
Sumpah, Wooseok mengerang malu mendengarnya. “Mas Jinhyuk!” rengeknya dengan bibir yang mencebik ke bawah.
Mas Jinhyuk ini seperti sedang menawarkan apa saja. Bisa-bisanya bercanda dengan bertanya seperti itu.
Jinhyuk tertawa kecil sambil kembali mengecup ramun milik Wooseok dengan cepat. “Ah, lama kamu kak jawabnya. Nanti kesiangan beneran kita.” dia langsung mengangkat tubuh mungil Wooseok yang tidak terlalu berat itu.
Tangannya menahan paha Wooseok yang melingkar di pinggangnya agar tidak jatuh. Sambil bergumam tidak jelas Wooseok langsung berpegangan untuk memeluk pundak Jinhyuk.
Wooseok seperti anak koala. Digendong dari depan oleh Mas Jinhyuk yang berjalan keluar kamar mandi.
Entah menuju tempat tidur atau sofa.