xxxxweishin

if ever you're in my arms again this time I'll hold you forever.

Ray mungkin lupa bagaimana rupa Ezhar setelah beberapa tahun terakhir. Dalam artian, selama mereka tidak bertemu, Ray berpendapat akan ada perubahan-perubahan yang terjadi kepadanya.

Lalu tiba-tiba semesta bekerja sedikit memihak yang justru terkesan lucu, entah apa maksudnya ia pun tidak mengerti dan sibuk menebak-nebak sendiri.

Jujur, Ezhar masih terlihat sama di pandangannya yang telah lama sekali melihat dia terakhir kali, hanya saja sekarang dia lebih rapi dengan rambut berwarna hitam legam yang dipotong pendek, tidak ada lagi rambut kecoklatan panjang yang kerap kali melewati telinga.

Netra Ezhar terpaku untuk beberapa detik, menatap penuh kejut yang membulat tersirat jelas saat kedua pandangan yang sudah asing milik mereka akhirnya bertemu kembali.

Lalu terlihat dia dan senyumnya yang kemudian perlahan mengembang dari tempatnya berdiri di sudut ruangan penuh orang sibuk berlalu lalang di sekitar mereka, seakan menciptakan waktu yang seperti berhenti untuk Ray mencerna apa yang sedang terjadi saat ini.

“Ray...” adalah ucapnya tanpa suara yang bisa dibaca lewat bibir yang bergerak pelan.

Raynar Dewangga.

Nama itu disebut sekali lagi secara lirih nyaris berbisik dengan nada terselip rindu.

Tanpa sadar Ray sedikit mundur kala langkah Ezhar justru mendekat tanpa ragu. Pemuda itu membawa tungkainya yang dibalut celana hitam formal lengkap dengan kemeja batik berwarna senada dan motif coklat tua yang terlihat rapi, dia melangkah menuju Ray yang berada tepat di samping stan makanan dengan tangan sibuk memegang piring kecil berisi puding coklat.

Ada sedikit sensasi gila yang menyeruak di sekitar dada Ray yang mendadak sesak namun berdebar tanpa bisa dicegah secara bersamaan, degupnya seperti semakin kencang meronta saat akhirnya Ezhar berdiri hanya berjarak beberapa jengkal dari ujung sepatu hitamnya.

Dia adalah Ezhar yang dulu Ray cintai dan Ezhar yang sangat mencintai Ray.

Ezhar pernah mengenalkannya pada arti cinta yang begitu menyenangkan juga mendebarkan semasa remaja.

Ezhar juga yang mengenalkan pada rasa bahagia penuh kupu-kupu yang akan membuatnya tersipu setiap mereka bersama.

Ezhar pendengar yang baik, dulu dia selalu mempunyai waktu untuk mendengarkannya yang suka bicara banyak hal sejak mereka duduk di bangku sekolah.

Dan dia adalah patah hati terbesar Ray saat hubungan mereka harus berakhir empat tahun lalu.

“Gimana kabarnya, Ray?”

Tentang apa? kehidupanku atau perasaanku saat ini ketika melihat kamu lagi.

“Baik.” jawaban yang Ray akhirnya beri setelah ia menelan balik pertanyaannya yang terbersit dan menimbang cukup lama.

Ray tidak akan pernah menyangka bahwa pertemuan pertama mereka setelah berpisah adalah di sebuah gedung pernikahan yang sangat ramai.

Mau diruntut bagaimana pun, ia tidak tahu kalau Ezhar juga sama-sama mengenal orang di atas pelaminan sana yang merupakan sepupu Ray dan urusannya dengan Ezhar tentu ia tidak mengerti.

Mendengar jawaban Ray, Ezhar hanya mengangguk kecil. Sorot ingin tahunya tentang mengapa mereka berdua bisa bertemu di sini juga terlihat sangat jelas, “Mas Yudis teman kantorku, Ray.” beritahunya kemudian membuat Ray sedikit paham, “Kak Intan sepupuku.” balasnya.

Kali ini Ezhar kembali tersenyum mendengar ucapan Ray, dia terkekeh kecil mengetahui kebetulan yang tiba-tiba itu. Pantas bila dilihat lebih dekat kemeja batik yang digunakan oleh Ray sama dengan beberapa orang di sini, ternyata mereka masih satu keluarga.

“Oh iya? ternyata dunia memang sempit ya.”

Ray menarik tipis kedua sudut bibirnya tanda setuju dengan ucapan Ezhar. Benar, ia mengakuinya karena bagaimana bisa hal ini terjadi.

“Kamu sendiri apa kabar, zhar?”

Ezhar menatapnya lama sebelum menjawab, dia seakan sibuk memanjakan kedua iris matanya untuk melihat setiap detail wajah Ray yang seperti lebih tirus sejak terakhir mereka bertemu. Dulu pipinya lebih berisi saat tangannya selalu mampir di sana dan membuat satu lesung pipi dalam hadir di sela tawa bahagianya yang manis.

Selain itu, Ray tampak baik-baik saja di hadapannya saat ini dan Ezhar menghela napas lega diam-diam.

“Aku baik. Jujur nggak pernah nyangka bisa ketemu kamu di sini, Ray. Untung aku datang.”

Maksudnya?

Satu kebiasaan yang sering Ezhar tampilkan adalah dia selalu menatap penuh perhatian pada setiap lawan bicaranya, dan dulu Ray sangat menyukai hal tersebut.

“Zhar, kalau sama yang lain jangan natap sambil senyum gini deh, aku takut nanti mereka pada baper.”

“Iya enggak sayang, kan sama kamu aja.”

Ray berdehem kecil, sekilas ia mengalihkan tatapan ke sembarang arah saat melihat senyum Ezhar yang masih sama, senyum yang dulu paling ia sukai dari mantan kekasihnya itu.

Pandangan Ray justru bertemu dengan Rhea, sang adik yang sedang digandeng—paksa oleh Mama dan sibuk bicara dengan kerabat dalam rangka mencarikannya jodoh.

Dia menatap sambil menunjuk-nunjuk punggung Ezhar dari belakang. Tentu saja Rhea sangat tahu siapa orang di depannya saat ini dan sudah bisa ditebak akan bagaimana nanti dia bertanya ini-itu tentang Ezhar yang tiba-tiba muncul lagi setelah empat tahun.

Jujur ia pun tidak tahu.

Ray memang tidak pernah berhubungan lagi dengan Ezhar saat semuanya telah selesai diantara mereka.

Dalam empat tahun terakhir, segala kontak tentang Ezhar pun seperti menghilang darinya begitu saja, terlebih hidup di dua kota berbeda membuat semakin kecil kemungkinan untuk mereka bertemu.

Jangan tanya butuh berapa lama bagi Ray melupakannya karena hal itu tentu sudah jelas tidak mudah. Ezhar dan segala kenangannya yang mengisi masa remaja Ray seperti mempunyai tempat tersendiri di sudut hatinya yang sulit sekali dilupakan begitu saja.

Dan sekarang, dengan tidak memberikan aba-aba apa pun dia justru hadir kembali tepat di depannya.

Tadi sebelum Ezhar melihatnya, Ray yang lebih dulu memfokuskan pandangan saat dari belakang ia bisa melihat siluet familiar di antara orang yang berdatangan.

Ezhar yang sedang sibuk berbicara dengan kedua temannya bisa terlihat secara jelas ketika Ray sengaja berjalan ke arah berlawanan untuk memastikan bahwa yang ada di tempat ini dengannya adalah Ezhar Bachtiar, mantan kekasihnya sejak SMA.

Lagi, Ray katakan semesta sedang melucu padahal ia yang paling tahu bagaimana usahanya untuk melupakan Ezhar selama ini.

“Kamu di Bandung terus?”

Harusnya, Ray yang bertanya dengan lantang padanya.

Kenapa kamu ada di Bandung, zhar? sejak kapan?

Ray menaruh piring kecil di tangannya ke atas meja begitu saja, puding coklatnya belum habis saat tiba-tiba rasa manisnya terasa pahit di tenggorokan, padahal tadi enak-enak saja.

“Sekarang iya, habis lulus aku sempat kerja di Bogor tapi nggak lama.”

“Aku juga sudah tinggal di Bandung lagi.” Ezhar berucap sedikit keras saat suasana di sekitar mereka menjadi bising karena musik serta lagu yang mengalun cukup kencang.

Dia memilih melangkah ke samping Ray hingga membuat mereka kini bersisian, dan tubuh Ray tanpa diperintah langsung bergeser untuk memberinya ruang.

“Sejak kapan?” suara Ray sedikit tercekat, ia bertanya dan menatap kedua iris Ezhar penuh rasa ingin tahu.

“Baru beberapa bulan lalu. Aku juga kerja di sini sekarang... dan rasanya seperti kembali pulang, Ray.”

Ray hanya bisa terdiam mendapati kabar yang mungkin tidak pernah terlintas akan diketahuinya secara langsung seperti ini, pantas saja Ezhar bilang dia teman sekantor Mas Yudis.

Ezhar sudah kembali.

Lalu apakah mungkin hubungan mereka juga bisa seperti dulu lagi?

Dalam hampir tiga tahun hubungan yang terjalin, dua tahunnya Ray melepaskan Ezhar yang harus kuliah di Malang dan tinggal bersama kakaknya.

Sebelum berpacaran, keduanya sudah berteman dekat karena selalu berada di satu kelas yang sama sejak kelas sepuluh. Hingga ketika kelas dua belas, Ezhar menyatakan perasaan padanya tepat sepulang sekolah di dalam kelas yang hanya berisi sebagian orang yang belum pulang.

Ray tidak bodoh untuk membaca setiap perhatian Ezhar padanya selama mereka berteman dan saat waktunya tiba, ia dengan senang hati menjawab iya penuh yakin.

Bersama Ezhar, tahun terakhir masa putih abu-abu Ray penuh dengan banyak kenangan manis yang hanya terjadi satu kali dalam hidupnya.

Ezhar dan kisah mereka berdua mengisi penuh cerita masa remaja Raynar yang indah.

Satu tahun menjalani hubungan jarak jauh memang tidak mudah, Ray di Bandung dan Ezhar di Malang serta keduanya sama-sama mulai sibuk saat menjadi mahasiswa baru.

Tetapi, hal itu masih bisa diatasi dengan banyak pengertian dari masing-masing yang tidak ingin sengaja membuat-buat masalah.

“Aku kangen banget sama kamu, Ray.”

“Ezhar, kalau udah pulang kasih tahu dong, aku mau telpon yang lama.”

“Aku ngerti kita sama-sama sibuk. Tapi nanti lagi kabarin dulu ya, sayang.”

Di liburan semester pertama, Ray ingat menjemput Ezhar di stasiun saat dia akhirnya pulang ke Bandung. Ia dipeluk erat sekali oleh Ezhar yang berkali-kali mengucap rindu.

Selalu seperti itu, karena jarak yang jauh pertemuan mereka pun sangat terbatas sekali, mereka hanya bertemu kalau Ezhar sedang pulang ke Bandung, beruntung masa liburan bisa sampai dua bulan dan memberi waktu banyak untuk keduanya mengganti waktu yang hilang.

Sayangnya, hal tersebut tidak bertahan lama. Memasuki dua tahun hubungan jarak jauh mereka justru ada lebih banyak salah paham serta hal-hal yang tidak bisa diselesaikan hanya lewat telpon saja.

“Aku capek kita kayak gini terus, paham gak sih, zhar.”

Dan Ezhar bukannya tidak berusaha mempertahankan hubungannya, tetapi melihat Ray yang seperti sudah menyerah pada mereka malah membuatnya ikut memilih mundur walaupun sulit.

“Sebanyak apa pun aku minta, kalau kamunya sudah nggak mau kita lanjut. Aku gak bisa ngubah apa-apa kan, Ray?”

Ray tidak bisa tanpa Ezhar, tetapi dengan Ezhar yang tidak di sampingnya jauh lebih menyakitkan karena hubungan mereka tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya.

Empat tahun lalu, hubungan mereka berakhir tanpa banyak drama. Kata Rhea, mereka berdua tidak ada yang salah hanya saja mungkin keadaan yang memang tidak memihak seutuhnya karena tidak semua orang bisa menjalani hubungan jarak jauh.

“Jadi, kalian putusnya baik-baik?”

Ezhar hanya bisa tersenyum tipis bila orang-orang bertanya seperti itu padanya.

Mungkin, bisiknya dalam hati.

Karena tidak pernah sedikit pun Ezhar melepas Raynar dengan rasa amarah kepadanya.

Dia justru merasa bersalah, karenanya Ray harus melalui hubungan yang tidak selalu seindah yang dia janjikan sejak mereka di bangku sekolah dulu.

Empat tahun berpisah pasti telah terjadi banyak sekali cerita panjang yang dilalui. Seperti halnya Ray yang pernah berpacaran dengan teman kuliahnya saat di tingkat akhir, namun hubungan mereka rupanya tidak berhasil dan hanya bertahan sebentar.

Atau Ezhar yang mungkin belum kembali berniat membuka hatinya untuk orang lain walaupun banyak yang datang di sepanjang garis waktu tersebut.

Ray yang sekarang di sampingnya bukan lagi usia belasan seperti saat mereka berada di kelas yang sama menggunakan seragam putih abu-abu atau usia dua puluh saat mereka terakhir bertemu di liburan semester saat Ezhar pulang ke Bandung kala itu.

Ezhar memanggilnya dengan lembut membuat Ray yang kini berusia dua puluh empat tahun itu menatapnya menunggu kalimat apa selanjutnya yang akan dikatakan oleh Ezhar.

Dia menghela napas panjang sejenak, menahan rindu yang sudah menumpuk sejak tanpa sengaja tadi kedua netranya menemukan sosok Ray yang sedang menatapnya lebih dulu.

“Kalau aku bilang kangen, kamu percaya nggak, Ray?”

Ezhar ingin memeluknya, dia tidak pernah mengusik hidup Ray sejak hubungan mereka berakhir, dia mencoba mati-matian merelakan Raynar yang memang tidak ingin bersamanya lagi.

Sejak kepulangannya kembali ke Bandung lima bulan lalu pun, bukannya Ezhar tidak berniat bertemu, namun dia sadar diri kalau hubungan mereka sudah berakhir maka pertemanan yang dibangun jauh sebelumnya pun ikut pudar.

Miris, tapi kenyataannya memang seperti itu. Ezhar harus rela kehilangan pacar sekaligus teman baiknya.

“Dulu kan lo sama Ray deket banget, zhar. Bahkan sebelum pacaran dan jadi mantanan.”

Tempo hari dia bertemu dengan teman-teman semasa SMA nya dan nama Ray disebut tanpa bisa dicegah, karena dulu bila ada Ezhar maka selalu ada Ray yang akan bersamanya.

Kini, kedua mata Ray lengkap dengan ekspresi wajahnya terlihat terkejut saat mendengar ucapan Ezhar yang terlihat tanpa ragu.

Mengenal Ezhar bertahun-tahun membuat Ray paham mana yang sungguh-sungguh dan mana raut jahil yang kadang dia tampilkan di depannya. Dan Ray harus menelan ludahnya sendiri saat detik ini ia sadar kalau tidak ada raut jahil yang ditampilkan Ezhar sedikit pun.

Tandanya ucapan Ezhar sungguh-sungguh saat dia mengatakan kalau merindukannya.

“Percaya.” jawabnya pelan, karena tidak ada alasan bagi Ray untuk menyangkal apa yang ia lihat dan dengar langsung sekarang.

Ray tahu, ada rindu yang tersirat dalam setiap garak iris hitam yang menatap penuh perhatian kepada dirinya sejak pandangan mereka bertemu.

Jawaban Ray mungkin tidak terlalu terdengar jelas di pendengaran Ezhar karena suasana di dalam gedung yang bising, tapi dia justru tersenyum begitu lebar.

Bahunya terasa lebih ringan saat Ray membalas senyumnya walau tipis dan membuat lesung pipinya terlihat samar.

Ezhar mundur untuk bersandar pada tembok yang ada di belakang mereka, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana lalu pandangannya mengedar mencari rekan kerjanya yang tadi datang bersama.

“Aku kayaknya ditinggalin, deh. Temanku pada hilang, Ray.” ucapnya saat Ray mendekat dan melakukan hal yang sama, namun ia memilih melipat kedua tangannya di depan dada.

“Kelamaan tinggal di Malang gak akan bikin kamu lupa jalan dan nyasar pas pulang sendiri kan, zhar?”

Ezhar berhasil tertawa mendengar balasan Ray, ah rindu sekali rupanya dia berbicara dengan Ray seperti dulu.

Tidak lama satu tangannya dikeluarkan dari saku dan melambai pada Rhea yang sedang menatap mereka berdua dari tempat duduk.

“Rhea ngeliatin kita terus. Takut kamu kenapa-napa atau diapa-apain sama aku, mungkin? Aku kayaknya harus menghadap dia dulu kalau gini.”

Ray meringis, ia menatap Rhea dan memberinya sinyal agar mengontrol raut wajahnya yang ditekuk, kontras sekali dengan penampilan anggunnya yang menggunakan setelan kebaya berwana sage, rambut hitam panjangnya digelung sedemikian rupa hingga dia terlihat begitu cantik.

Alasannya jelas bukan karena kamu, Ezhar.

Ray tahu betul kalau adik kembarnya itu mulai jengah dengan Mama yang sibuk mencarikannya jodoh dan dia sedang meminta tolong untuk diajak kabur dari sana secepat mungkin.

Rhea dan Ezhar memang saling kenal walapun mereka dulu tidak satu kelas, lagi pula satu sekolah juga tahu siapa Rhea yang merupakan wakil ketua osis di angkatan mereka.

Jam di pergelangan tangan Ezhar sudah menunjukan pukul satu siang, bertemu lagi dengan Ray ternyata membuat waktu tanpa terasa cepat berlalu, padahal tadi dia datang hanya untuk menghormati Mas Yudis yang sudah mengundangnya di kantor dari jauh-jauh hari.

Ezhar memasukan ponselnya setelah membalas pesan kedua rekan kerjanya yang memberi tahu bahwa memang pulang lebih dulu saat melihat Ezhar tadi sibuk dengan Ray.

Ditatapnya Ray yang kini sedang bicara bersama Rhea dan beberapa orang keluarganya untuk pamit pulang lebih dulu. Tangan Rhea terlihat mengapit lengan Ray saat berjalan ke arahnya karena dia menggunakan sepatu berhak tinggi.

Tadi Ezhar juga sudah menyapa Rhea bonus bertemu dengan Mama mereka yang ternyata masih mengingatnya.

Kalau diingat saat sekolah dulu si kembar itu memang jarang terlihat bersama. Rhea yang aktif organisasi terbilang menjadi anak populer, berbeda dengan Ray yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur di perpustakaan.

“Males, kalau sama Rhea banyak nyapa orang, temennya gak keitung. Mending aku diem di perpus sepi dan biar kayak anak pinter.”

“Iya di perpus sih tapi bukannya belajar, kamu malah numpang tidur sampai ditegur yang jaga, Raynar sayang.”

Ray hanya akan tertawa mendengarnya, memang entah sudah berapa puluh kali ia mendapat tatapan tajam dari penjaga perpustakaan sekolah mereka, tapi Ezhar juga tidak pernah absen menemaninya sambil membawa setumpuk buku yang akan dia baca dalam diam di sampingnya yang tertidur.

Saat sampai di depannya, Ezhar hanya bisa menurut ketika lengannya disambar oleh Rhea yang terburu-buru dan membuat keduanya mengapit gadis itu yang berada di tengah-tengah, mereka berjalan keluar gedung menuju parkiran.

“Ayo pulang, capek banget aku dijodohin mulu, padahal umur 24 tahun tuh emang baru mulai hidup iyakan?”

“Iya, sabar Rhe. Mama emang ngebet banget punya cucu kali.”

“Kalau udah waktunya juga nanti aku kasih banyak, Ray.”

Mendengar obrolan kedua saudara itu hanya bisa membuat Ezhar menggeleng pelan dengan senyum yang tidak bisa ditahan, ada cukup banyak kenangan yang terlintas tentang cerita masa remaja mereka dulu.

Kalau ditanya siapa yang paling tahu tentang hubungan Ezhar dan Ray, jawabannya tentu Rhea. Adik perempuan beda lima menit dengan Ray itu bahkan sudah mendengar tentang Ezhar sejak mereka baru masuk SMA.

“Gapapa sama Ezhar, dia baik suka ngasih pajak kalau mau ngapelin kamu, lumayan aku dapat jajan gratis.”

“Itu karena kamunya galak, Rhe. Dia nyogok.”

Dan saat hubungan keduanya berakhir, Rhea yang paling tahu bagaimana Ray menjalani life after breakup yang terasa sangat kosong, berkali-kali dia juga mendapati Ray hanya termenung di dalam kamarnya tanpa melalukan hal apa pun.

Sekarang, gadis itu menghela napas dalam, sudut matanya melirik ke arah Ezhar yang berjalan di sebelah kirinya. Rhea yakin, kahadiran tiba-tiba Ezhar tentu saja bisa membuat perasaan Ray gusar walaupun kakaknya itu mencoba terlihat biasa saja.

Sejujurnya dia juga tidak mau terlalu jauh ikut campur tentang hubungan Ray, tetapi sebagai adik, Rhea bisa menilai kalau cinta Ray pada Ezhar seperti jauh lebih dalam daripada saat Ray berpacaran dengan mantanya yang terakhir.

Dan mungkin masih ada, batinnya.

Perihal pertemuan kembali ini pertanda baik atau buruk, Rhea tentu saja tidak tahu. Dia hanya berharap kalau misal kehadiran Ezhar bisa membuat Ray jauh lebih bahagia lagi, dia akan kembali mendukung mereka seperti dulu yang selalu dilakukannya.

“Zhar, serius kamu gapapa nganterin kita pulang?”

“Gapapa, Rhe. Kan aku yang nawarin. Aku masih ingat kok jalan ke rumah kalian dan gak akan nyasar.” jawaban Ezhar membuat Ray menatapnya lalu pemuda itu sedikit mendengus saat Ezhar ternyata menyambung obrolan mereka tadi di dalam.

Ezhar hanya tertawa kecil hingga dia membukakan pintu mobilnya untuk Rhea yang lebih dulu memilih duduk di belakang dan membuat Ray harus duduk di depan.

Perjalanan pulang setelah empat tahun tidak bertemu itu nyatanya tidak terlalu canggung saat untungnya ada Rhea si paling mengerti apa yang terjadi kepada kakak dan juga temannya.

Ray justru lebih banyak diam sekarang, ia hanya menatap ke luar jendela mobil Ezhar yang membelah jalanan kota Bandung di siang yang cukup terik.

Hubungan mereka memang bisa dibilang tidak terlalu buruk-buruk amat, dan juga sebelum memutuskan untuk pacaran keduanya telah berteman lebih lama.

Mungkin karena semesta yang terlalu tiba-tiba saja dalam bekerja hingga membuatnya terasa sedikit ambigu.

“Ray...”

Ezhar menahan lengan Ray yang akan membuka pintu setelah dia menghentikan mobil hitamnya tepat di depan pagar rumah Ray yang dulu selalu dia datangi.

“Aku masuk duluan, makasih ya zhar.” Rhea berucap cepat sambil keluar saat dia membaca situasi, tangan lentiknya yang dihiasi kutek berwarna nude mengetuk kaca jendela di samping Ezhar hingga dia menurunkannya, “Jangan bikin Ray nangis.” katanya pelan dengan nada serius membuat Ezhar tersenyum lembut membalas ucapannya.

“Aku cuma mau bicara sebentar sama kakak kamu, Rhe.”

Di luar sana ada banyak orang yang memilih untuk tidak mengenal lagi mantan kekasih yang pernah dicintainya sepenuh hati. Berbagai hal yang mendasari putusnya hubungan mereka bisa menjadi alasan paling kuat dalam memutuskan perilaku tersebut.

Namun, ada juga yang mungkin masih menjalin hubungan yang tidak terlalu buruk dan masih bisa bertemu dalam beberapa kesempatan yang terjadi, definisi melepaskan dan merelakan apa yang memang bukan untuknya.

“Kalau jodoh kan gak akan kemana, zhar. Terus kalau ada jalannya mungkin nanti kalian bakal dikasih kesempatan lagi.”

Ezhar ingat perkataan kakaknya kala itu saat dia bilang kalau hubungannya dengan Ray sudah putus.

Life after breakup yang dilaluinya banyak dia alihkan dengan kesibukan kegiatan organisasi yang kadang dinilai terlalu banyak oleh sang kakak. Tapi, Ezhar seakan bebal, dia hanya akan menjawab seadanya dan berjanji tidak akan mengganggu nilai kuliahnya.

Karena kalau hanya diam saja, pikirannya akan semakin penuh dengan sosok Raynar.

Empat tahun bukan waktu yang sebentar tentu saja, berpisah lalu kembali bertemu seperti sekarang membuat Ezhar dari tadi berpikir panjang.

Masih bisa kah?

Pemuda dua puluh empat tahun itu juga tidak mengesampingkan kemungkinan kalau saat ini Ray mungkin sudah bersama yang lain dan dia tidak mempunyai kesempatan lagi.

Tetapi Rhea bak ibu peri pembawa pesan di kesempatan saat tadi berdua dengannya dengan jelas dia mengatakan bahwa Ray sedang tidak dekat dengan siapa pun.

“Ray, kalau aku minta kita mulai berteman lagi, apa kamu mau?”

Ezhar bisa melihat wajah Ray yang kembali terkejut mendengar ucapannya, dia bertanya dengan hati-hati dan tidak akan memaksa kalau Ray memang tidak ingin. Walaupun nanti hatinya pasti akan kembali merasakan kecewa yang cukup dalam.

“Maaf kalau misal permintaanku terlalu berat buat kamu.”

Ezhar melanjutkan saat Ray masih terdiam dengan raut wajah tidak mengerti, di pikiran Ray saat ini sedang penuh sekali, kahadiran tiba-tiba Ezhar juga hal yang terjadi setelahnya membuat ia harus mencerna pelan-pelan.

Senyum Ezhar kali ini tampak diulas tipis namun berbanding terbalik dengan tatapannya yang serius, dia mengambil napas dalam terlihat ragu menimbang ucapannya yang akan dikatakan,

“Kalau boleh jujur, aku masih belum bisa lupain kamu, Ray.”

Punggungnya bersandar pada kursi lalu mengusap wajah dengan tangan kanan hingga merusak tatanan rambut bagian depannya yang tadi disisir rapi, ada tawa pelan yang justru terdengar miris di setiap helanya.

“Aku kangen banget sama kamu. Rasanya aku mau peluk kamu. Aku ingin bilang sebanyak mungkin sama kamu kalau aku masih sayang sama kamu, Ray.”

Nadanya kali ini jelas lebih lemah dan lirih, bercampur frustasi yang sudah menumpuk bertahun-tahun saat akhirnya Ray kini berada nyata tepat di depan matanya.

Ezhar menatapnya dengan tatapan yang justru terasa begitu menyesakkan bagi Ray, hatinya tiba-tiba terasa sakit seperti diremas kuat. Ray seperti kembali pada empat tahun lalu ketika ia melihat tatapan Ezhar di hari mereka memutuskan untuk selesai.

Ray memilih mengalihkan tatapannya saat suara Ezhar kembali terdengar penuh sesal. Ia hanya bisa menunduk menatap kedua jemarinya yang saling bertautan di atas paha, mengigit bibirnya yang menahan perasaan penuh kalut.

“Maafin aku, Ray. Maaf hubungan kita dulu harus berakhir dan aku buat kamu nangis.”

Kalau memang betul dulu keadaanlah yang menjadi alasan utama mereka harus berpisah, maka saat keadaan itu sudah bisa diatasi lagi, apakah mungkin semuanya bisa kembali semudah ini?

“Ezhar...” suara Ray terdengar serak nyaris berbisik, kini ia membalas tatapannya setelah beberapa saat terdiam menyisakan hening yang justru berisik di pikiran keduanya.

Di dalam mobil yang sudah dimatikan itu, Ezhar merasa udara seperti mencekiknya terlebih saat kedua mata Ray kini tampak berkaca-kaca menatapnya.

Tolong jangan menangis lagi karenaku, sayang.

Di sana ada luka yang nampak, ada sesal yang terlintas, juga ada rindu yang sama besarnya.

Ezhar memilih mendekat mengikuti kata hatinya, mengabaikan logika yang berkata bahwa dia tidak berhak merindukan Raynar yang sudah bukan siapa-siapanya lagi.

Ezhar membawa Ray ke dalam pelukan panjang sembari memejamkan matanya erat. Mendekap sebisanya untuk menyalurkan rindu pada Ray yang tidak menolak.

“Aku kangen banget sama kamu, Ray.”

Sebaris kelimat rindu yang sudah tiga kali di dengar oleh Ray hari ini diucapkan dengan sungguh-sungguh dari bibir Ezhar yang masih belum melepaskan pelukannya.

Ray menaruh dagunya di atas pundak Ezhar, ia mengusap ujung matanya yang sudah basah. Diremasnya kemeja Ezhar tepat di punggung yang tampak terkulai lelah itu, “Maaf..” bisiknya teramat pelan, suara Ray kembali tercekat di tenggorokan saat ia berusaha melanjutkan kalimatnya, “..maaf aku dulu memilih menyerah tentang kita, zhar.”

Ezhar kini menggeleng pelan sambil mengeratkan pelukannya tanpa bicara apa pun, diusapnya penuh sayang kepala Raynar, bahunya, punggungnya, seluruhnya yang berada di dalam dekapannya yang semakin erat namun begitu melegakan.

Rasanya mereka seperti pulang kembali ke rumah yang paling nyaman.

Kalau memang cara semesta bekerja sudah seperti saat ini, baik Ezhar maupun Ray tidak akan pernah bisa menolak pertemuan yang diharuskan terjadi lagi.

Dan kalau memang sudah garisnya dengan Ezhar, mau sejauh apa pun Ray pergi, jalan yang dilaluinya pasti akan menuntun ia kembali menuju tempat pulang yang seharusnya.

Adalah Ezhar yang selalu mencintainya sejak dulu.

Adalah Ezhar yang selalu menunggunya untuk mengajak kembali pulang dalam hubungan yang mereka ciptakan sejak bertahun-tahun lalu.

Adalah Ezhar yang akan mengajaknya mengulang kembali kisah bahagia yang telah lalu, juga menciptakan mimpi masa depan yang akan jauh lebih indah penuh dengan senyum bahagia di wajah Raynar.

“Pernah kepikiran balikan sama mantan nggak, zhar?”

Ezhar tertawa kecil mendengar pertanyaan dari teman kampusnya saat itu, dia mengangkat bahunya dengan ringan sambil membayangkan wajah Ray.

“Kenapa enggak? dari dulu hati gue juga cuma buat Ray.”

Acara tv di depannya tampak tidak menarik minat Kafka, pemuda itu hanya memencet asal remot yang ada di tangannya lalu memilih serial kartun yang kemudian juga tidak ditontonmya sama sekali karena ia fokus kembali kepada ponsel ditangannya.

Arsen benar-benar tidak membalas chatnya bahkan sampai malam seperti ini. Bukannya membujuk atau apa pun, dia malah menuruti ucapan Kafka.

“Emang dasar Sensen gak perduli sama aku!” kakinya menghentak kesal berkali-kali sambil menatap chat mereka tadi sore, “Aku beneran mau move on, besok harus lupain Mas Arsen! Rasain aja nanti kalau kamu suka sama aku tapi aku nya udah lupa.”

Tingkahnya yang misuh-misuh sendiri jelas membuat Lintang yang berjalan ke arahnya hanya bisa menggeleng pelan. Kafka Rashif Mahendra si bungsu keluarga Mahendra itu dan kelakuannya kalau menyangkut Arsen memang terkadang sedikit berlebihan. Lintang sendiri sudah khatam dan dia tidak bisa berbuat banyak, sesekali mungkin akan meledeknya sekaligus membantu walaupun dia tidak tahu.

“Dek, kamu jaga rumah. Mas mau keluar.”

“Kemana?” ia yang tiduran di atas sofa itu manatap kakaknya ingin tahu, lagi galau gini ini kok malah ditinggal sendiri sih.

“Ketemu temen. Papa sama Mamah juga paling udah di jalan pulang.” Lintang mengambil kunci motor yang ada di atas meja dekat tv lalu berbalik melihat adiknya yang hanya mengiyakan, “Awas kalau ngomong aneh-aneh sama Papa soal ngekost. Nanti diomelin beneran terus Mas bakal kabur aja gak akan bantuin kamu.”

“Iya lagian aku gak beneran juga.”

Lintang tahu kalau ucapan Kafka hanya ocehan semata, lagi pula ngapain ngekost kalau ke kampus tidak sampai tiga puluh menit kok. Dasar ada-ada saja.

“Mas pergi dulu pulang maleman bilangin ke yang lain.”

Tangannya dengan cepat mengacak rambut Kafka sebelum beranjak dari ruang keluarga sambil tertawa kecil mendengar protes darinya, “Bawain jajan pulangnya, Mas!” seruan Kafka itu hanya dibalas acungan jempol olehnya hingga kemudian terdengar suara motor yang meninggalkan rumah.

Bosan karena tidak ada yang dapat diajak bicara, Kafka melihat ponselnya lagi. Di layar yang terkunci itu sudah menunjukan pukul tujuh kurang lima belas dan benar-benar tidak ada satu pun pesan masuk dari Arsen membuat bibirnya semakin melengkung ke bawah dengan wajah ditekuk.

Jarinya bergulir membuka galeri yang menampilkan foto-foto mereka berdua atau pun foto Arsen yang diambilnya diam-diam kalau mereka sedang bersama, senyumnya perlahan terlihat mengubah cepat lengkung masam di wajahnya. Kafka bahkan memperbesar foto Arsen yang ia ambil di cafe tempo hari hingga memenuhi layar ponselnya.

“Ganteng banget My Sensen.” pujinya tanpa segan.

Katanya mau move on.

Sial! Ia mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri saat tersadar, kebiasaan ini memang tidak mudah untuk dihilangkan hanya karena modal niat saja. Lagi pula niat move on nya kan mulai besok, Kafka meringis saat hati dan pikirannya tidak sinkron.

Tapi, melupakan Arsen dari hidupnya? mendingan mimpi saja! Bian bahkan akan lebih percaya kalau dinosaurs hidup lagi daripada fakta kalau Kafka move on.

Digantinya lagi channel tv di depannya yang terlihat makin membosankan setelah ia menyimpan ponselnya asal di atas sofa, sepertinya mau acara apa pun itu tidak akan menarik saat isi pikirannya penuh oleh pemuda yang tinggal di sebrang rumah.

“Kenapa Mas? ada yang ketinggalan?” Kafka bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari tv saat mendengar pintu rumah yang dibuka, sepertinya belum ada sepuluh menit dari Lintang pergi.

Ia yang sedang tiduran di atas sofa itu mengerut bingung ketika tiba-tiba sebuah kantong makanan terlulur dari belakang menghalangi pandangannya, dan “Hai.” satu sapaan singkat dari suara berat yang sangat dikenalnya berhasil membuat Kafka menengadah.

Ada Arsen yang mengulas senyum di atasnya.

Bohong kalau Arsen tidak bisa melihat iris mata Kafka yang membulat saat menyadari kahadirannya. Anak itu terpaku beberapa saat hingga kemudian mengerjap ketika Arsen menyentuh ujung hidungnya.

“Ngedip dulu, Kafka.”

“Sensennnnnn!”

Bodoh! Kan ceritanya lagi ngambek, kenapa masih sempat-sempatnya terpaku saat melihat Arsen yang dipikirkannya sejak tadi kini ada di depan mata.

Arsen tertawa sekilas mendengar nada kesal dari Kafka itu, ia berjalan memutari sofa untuk duduk di sampingnya yang sudah bangun dari posisi tiduran.

Saat Arsen menghempaskan tubuh di samping kanannya, Kafka bisa mencium harum sabun mandi familiar yang selalu digunakan oleh Arsen. Dan bila dilihat memang sepertinya Arsen baru mandi karena tampilannya cukup segar dengan rambut sedikit basah.

Mungkin baru pulang kerja.

Kantong makanan tadi kembali terulur di depan Kafka, “Cake kesukaan kamu sama ada es krim juga.” Arsen menghela napas kecil saat Kafka yang sepertinya masih ngambek itu enggan mengambilnya dan hanya meliriknya saja.

“Oh gitu, ya sudah buat Lintang saja nanti.”

Bibir Kafka kembali melengkung ke bawah mendengar ucapan Arsen, enak saja biarin Mas Lintang beli sendiri.

Kini ia coba mengambil kantong itu dari tangan Arsen yang justru menjauhkan dan memindahkannya ke tangan yang lain sambil menaikan satu alis, “Bukannya gak mau?” tanyanya.

Tidak menjawab, Kafka lalu mendekat dan kembali mencoba meraihnya tanpa beranjak dari duduk. Sedangkan Arsen malah semakin mengulurkan tangannya menjauh dari jangkauan Kafka.

“Sensen, aku mau es krim.” ucapan Kafka sambil mencoba meraih tangannya susah payah itu membuat Arsen menarik kedua sudut bibirnya lalu terkekeh kecil karena perlahan raut datar Kafka sudah menghilang.

“Mas Arsen!” Kafka mengerang kecil sedikit kesal namun diselingi tawa saat Arsen masih tidak mengalah memberikan kantong itu padanya, jarang sekali Arsen bersikap jahil seperti Lintang.

Suara Kafka yang sibuk ingin merebut dari tangannya itu menutup suara dari tv yang memenuhi kediamannya, “Aku kira kamu nggak mau, kaf.”

“Mau, Mas Arsennnnn!”

Diliriknya wajah Arsen saat daritadi ia fokus pada tangan pemuda itu yang terangkat menjauh darinya.

Rasanya dunia Kafka sempat terhenti sesaat ketika ia menyadari betapa dekatnya posisi mereka saat ini. Sisa tawa di bibirnya perlahan menghilang. Kafka baru menyadari satu tangannya yang tidak sedang meraih lengan Arsen sudah berada di bahu pemuda itu.

Dan juga sejak kapan tangan kiri Arsen menahan pinggangnya yang sibuk bergerak agar tidak jatuh, ia bahkan sedikit meremas piyama Kafka.

Tanpa sadar, Kafka menelan ludahnya sendiri saat kedua netranya menatap Arsen yang juga melihatnya.

Ia mungkin sudah terbiasa melihat wajah Arsen selama sepuluh tahun, tapi Kafka tidak akan menampik kalau dalam jarak sedekat ini, Arsen bisa jauh lebih tampan.

Sensen, kalau begini mana bisa aku move on dari kamu! pikirannya berisik sekaligus heboh sendiri.

Melihat wajah Kafka yang berada tepat di depannya membuat Arsen mengalah, ia menuruhkan tangannya dan memberikan kantong makanan itu pada Kafka yang menerimanya lalu buru-buru membenarkan duduknya.

Tidak bisa menyembunyikan senyum senangnya, Kafka juga berpikir cake dari kafe kakaknya Bian di jam segini memang masih ada ya?

Arsen yang seperti mengerti tatapan Kafka menjawab sambil menyandarkan tubuh di sandaran sofa empuk berwarna abu itu, “Tadi sore aku chat kakaknya Bian, suruh pisahin dulu buat diambil pulang kerja.”

Bian nya tahu nggak ya? kenapa anak itu tidak bilang apa-apa padahal sejak tadi dia tahu kalau Kafka sedang galau karena Arsen.

“Oh, makasih Mas Arsen.”

Kafka tentu harus menarik ucapanya kalau Arsen tidak perduli. Faktanya Arsen selalu ingat hal apa yang disukainya, Arsen juga selalu baik dan penuh perhatian, dan Arsen akan menjadi orang pertama selain keluarganya yang paling perduli pada Kafka, sejak dulu.

Telapak tangan Arsen tiba-tiba menengadah padanya, “Apa?”

“Strawberry yang kamu tanam. Mana katanya aku mau dikasih kan?”

“Ada! bentar.” ia menggeleng saat Kafka menjawab penuh semangat dengan senyum lebarnya lalu berlari kecil ke arah dapur sebelum kembali dengan mangkuk kecil berisi tiga buah strawberry berwarna merah.

Arsen memang tahu dulu saat Kafka menanamnya di halaman belakang karena tentu saja saat ia sedang ada di rumah ini dan bahkan membantunya.

“Ini buat Mas Arsen karena udah bantuin nanam.”

“Makasih, Kafka.”

Sepertinya Arsen memang salah saat tadi menanggapi chat Kafka, ia tidak berpikir seperti itu. Arsen justru berpikir kalau lebih baik buat Kafka saja semua karena Arsen tahu dia sangat menyukainya. Namun, Kafka malah menganggap berbeda maksudnya hingga dia ngambek.

Kafka yang kini sedang memakan es krim nya melirik diam-diam pada Arsen yang menonton tv di depan mereka setelah memakan strawberry darinya. Walaupun hanya menggunakan kaos putih dan celana pendek Arsen selalu terlihat tampan dan keren di matanya. Jangankan baru mandi, masih ngantuk bangun tidur pun menurutnya Arsen tetap tampan.

“Mas Arsen emang baru pulang ya?”

“Iya, habis makan terus mandi aku langsung kesini.”

Info penting banget sepertinya karena Kafka sekarang harus menahan senyum lagi, segitunya ya Sensen gak mau aku ngambek lama-lama? pikirnya.

Dipeluknya bantal sofa yang ada di belakangnya, Arsen terlihat semakin nyaman bersandar di samping Kafka yang sibuk makan. Ah, rumah ini juga tumben sepi sekali. Arsen tahu kalau Kafka sedang sendirian saat tadi bertemu dengan Lintang yang akan pergi.

“Kafka..”

Kafka menjawab pelan, ia yang baru menghabiskan es krimnya menatap Arsen yang menahan senyumnya sambil mengulurkan tangan dan mengusap cepat sudut bibir Kafka menggunakan jarinya.

Oke, ini bukan yang pertama kali Arsen bersikap perhatian karena lagi-lagi sejak ia kecil Arsen memang tipikal orang yang berlaku lembut padanya. Tapi, tetap saja hal itu selalu membuat Kafka tidak bisa menahan degup jantungnya yang bekerja beberapa kali lipat.

“Kamu tadi nggak nangis beneran, kan?” Kafka meringis mendengar pertanyaan Arsen, tentu saja tidak!

Tetapi ia hanya mengangkat bahunya tidak ingin menjawab. Kafka ikut bersandar pada sofa, cake yang dibawa oleh Arsen tadi dibiarkan dulu di atas meja belum ingin dimakan.

“Kalau aku nangis gimana, Mas?” tanyanya tanpa menatap Arsen, ia justru menatap layar tv di depan alih-alih membalas tatapan Arsen.

“Maaf.” Arsen menjawab, “Maaf kalau aku sering bikin kamu kesal.”

Sebetulnya Kafka sadar tentang apa yang selalu dilakukannya kepada Arsen, urat malunya bahkan seperti sudah putus kalau itu untuk mencari perhatian pemuda di sampingnya ini.

Harusnya, mungkin Arsen yang kesal dengan segala sikapnya yang ngeyel dan ngotot untuk menunjukan perasaannya. Tapi, Arsen itu tidak pernah sekalipun marah atau membentaknya.

Arsen mungkin lebih banyak menghindar karena memikirkan perasaannya. Arsen tidak pernah ingin menyakiti atau menyinggung perasaannya sejak dulu.

Tapi, Kafka tidak bisa meminta maaf untuk itu. Kafka terlalu egois memikirkan perasaannya sendiri karena jelas dia tidak mau menyerah untuk Arsen.

Kafka menyukainya.

Aku gak mau cuma dianggap adik sama Mas Arsen.

Kafka menyayanginya lebih dari sekedar titel sosok kakak yang selalu Arsen tunjukan padanya.

Arsen bukan Lintang, mereka jelas berbeda.

“Aku gak nangis kok.” Kafka menyunggingkan senyum kecil, kali ini dibalasnya tatapan Arsen yang begitu teduh menatapnya, “Aku udah gede, enggak cengeng, Mas.”

“Iya. Terus kenapa kamu pingin ngekost? karena udah gede juga?”

Karena mau move on dari kamu, Sensen!!!

Arsen mengerjap saat tiba-tiba telunjuknya Kafka terarah lurus di depan wajahnya. Bahkan anak itu memasang wajah kelewat serius.

“Biar Mas Arsen gak bisa liat aku tiap hari. Rasain nanti kangen terus.”

Namun, Kafka berhasil dibuat melongo saat Arsen justru tertawa pelan menanggapi ucapannya itu, padahal biasanya dia akan menjadikan kening atau hidung Kafka sebagai sasaran empuk telunjuknya seperti tadi.

Diturukannya tangan Kafka yang ada di depan wajahnya hingga Kafka bisa melihat keseluruhan raut Arsen yang masih melepaskan tawa lalu tersenyum padanya.

“Oke, kalau gitu jangan ngekost ya.”

“Sensennnnn!”

Arsen yang masih berada di dalam selimut langsung memutar bola matanya saat mendengar suara yang sangat dikenalnya itu, adalah Kafka. Tetangga sekaligus adik dari Lintang, temannya sejak ia pindah ke komplek perumahan ini sepuluh tahun lalu.

Dulu, Kafka hanyalah bocah sembilan tahun yang selalu malu-malu kalau bertemu dengannya, dia akan mengekori Lintang yang kerap kali main ke rumahnya sambil memakan lolipop dan membuat Lintang hanya bisa pasrah tidak bisa menolak karena takut adiknya itu mengadu pada Mamah mereka kalau tidak diajak main.

“Mas Arsennnnnn!!!!”

Pemuda dengan hoodie berwarna abu itu menggerutu kecil sambil menggedor pintu rumah berwarna coklat kayu yang tertutup rapat dan dikunci. Di tangannya ada tupperware berisi makanan yang masih mengepulkan asap tipis, panas terasa di telapak tangannya membuat dia hampir berkata kasar karena terlalu lama menunggu.

“Kemana sih, Mas Arsen ada di rumah kan?” gedornya sekali lagi, bodoamat kalau suaranya terdengar kemana-mana. Dia tidak perduli, agaknya yang penting si pemilik rumah ini keluar. Karena setahu Kafka, hanya orang tuanya Arsen yang kemarin pergi keluar kota sedangkan anak tunggal mereka tidak ikut.

“Sensennnnn udah bangun belum??!!!”

“Berisik, Kafka.” suara Arsen terdengar berat saat ia membuka pintu dan netranya bisa melihat cengiran lebar dari Kafka lengkap dengan lesung pipinya yang langsung menerobos masuk ke dalam rumah.

“Aku bawain sarapan.” katanya.

Sepuluh tahun mereka bertetangga membuat Kafka hapal di luar kepala setiap sudut rumah Arsen, akibat sejak kecil selalu ikut main dengan kakaknya ke sini. Pun sama halnya dengan Arsen yang juga sudah tidak asing dengan rumah mereka yang hanya terlahang dua nomor saja.

“Disuruh Mamah, katanya takut Mas Arsen gak punya makanan di rumah. Jadi aku anterin, tadinya mau sama Mas Lintang tapi si kebo itu masih tidur jam segini.”

Jam dinding di ruang keluarga Arsen memang masih menunjukan pukul tujuh pagi, wajar saja kalau Lintang masih tidur di hari libur seperti ini karena Arsen pun seharusnya seperti itu kalau tidak ada pengganggu yang datang mengganggunya dengan gedoran pintu super heboh.

“Oh oke, bilangin makasih sama Tante Hana.” Arsen berkata pelan sambil menyusul Kafka yang berjalan ke dapur, anak itu sudah menaruh tupperware yang tadi dibawanya di atas meja makan.

Pandangan Kafka menelisik sibuk naik turun menatap Arsen yang baru bangun tidur dengan kolor sepaha dan kaos gombrong berwarna hitamnya. Rambutnya sedikit berantakan dan matanya yang sayu sesekali dikucek sebelum ia duduk di kursi lalu menaruh kepalanya di atas meja makan.

“Loh kok malah tidur lagi sih? Makan sarapan dulu nanti keburu dingin nasi gorengnya ini.”

Bawel banget, Kafka itu sama saja dengan kakaknya walaupun lebih heboh sedikit. Dulu, kalau Lintang tidak sibuk mengoceh dan mengajaknya main saat ia baru pertama pindah mungkin hubungan mereka bertiga tidak akan sedekat sekarang, karena jujur saja Arsen agak susah berteman dengan orang baru.

Tetapi, kedua bersaudara itu bisa dengan mudah membuatnya nyaman dan berpikir kalau pindah kesini tidak terlalu buruk. Arsen selalu bersyukur atas tingkah Lintang dulu.

“Sensen, makan dulu.”

Kafka tahu Arsen tidak terlalu menyukai panggilan itu darinya tapi kebiasaannya sejak kecil agak susah dihilangkan.

Dari dulu Kafka selalu memanggil Arsen dengan sebutan Sensen mengikuti kakaknya. Walaupun Lintang sering mengomelinya karena tidak sopan, tapi lidahnya terlalu terbiasa.

Lagi pula sekarang tidak sesering itu dan kalau sedang eling Kafka juga pasti memanggilnya dengan sopan karena biar bagaimana pun Arsen seumuran dengan Lintang yaitu empat tahun di atasnya.

“Mas Arsen habis lembur?”

Arsen hanya menjawab dengan deheman kecil, semalam ia memang pulang telat dan hari Sabtu ini adalah jadwalnya malas-malasan di rumah untuk menikmati hari libur. Kedua orang tuanya juga sedang ke luar kota untuk acara keluarga, sudah jelas Arsen tidak bisa ikut karena pekerjaannya.

Tangannya terlipat di atas meja guna menyangga kepala yang tiduran, matanya masih terpejam saat Arsen mendengar suara kursi tepat di sampingnya yang ditarik dan berdecit, ia tahu kalau Kafka juga memilih untuk duduk di sana.

Tidak ada suara berisik darinya membuat kening Arsen mengerut, Kafka itu anaknya tidak bisa anteng karena selalu ada saja yang diributkan, terlebih bila dia sedang berada di dekatnya.

Arsen perlahan membuka matanya dan ia mendapati Kafka yang juga sudah menaruh kepalanya di atas meja dengan mata yang terpokus kepadanya.

“Ngapain kamu?”

“Mas Arsen ganteng walaupun baru bangun tidur.”

Mulai.

Kafka tidak sempat menghindar saat telunjuk Arsen tiba-tiba sudah mengetuk keningnya, “Masih pagi, bocah.” ujarnya yang langsung mendapat dengusan dari bibir Kafka yang menggerutu kecil.

Rupanya sudah menjadi rahasia umum kalau Kafka itu katanya naksir mampus sama Arsen. Jangankan Lintang, Bian yang masih tinggal di satu komplek dengan mereka pun sudah hapal betul tentang kelakuan sahabatnya itu.

Namun, Arsen sendiri seperti tidak pernah menganggap serius ucapan Kafka hingga membuatnya kesal berkali-kali.

Pemuda sembilan belas tahun itu kini merengut dengan mata memincing, manatap Arsen yang menaikan satu alisnya.

“Nanti tupperware nya anterin ke rumah kata Mamah. Aku pulang aja, males sama Mas Arsen.”

Dia beranjak bangun dari kursi dan meninggalkan dapur membuat pandangan Arsen mengikuti punggungnya yang perlahan menghilang di balik tembok.

“Makasih Kafka makanannya.” serunya dan hanya dibalas ucapan tidak jelas yang samar terdengar.

Satu hela napas dalam keluar dari bibir Arsen yang mulai menegakkan kembali tubuhnya, suara pintu yang ditutup menandakan kalau Kafka sudah pergi dari rumahmya.

Ia menatap cukup lama tupperware di atas meja dengan satu senyum tipis yang perlahan tersungging di muka bantalnya.

Tangannya lalu dengan cepat mengambil sendok sebelum akhirnya Arsen memakan nasi goreng hangat yang dibawakan oleh Kafka.

Bila perlu diruntun ke belakang, ada semburan air yang berhasil keluar dari bibirnya saat Arsen pertama kali mendengar pernyataan cinta dari bocah tujuh belas tahun itu ketika mereka bertiga sedang main ps di rumahnya.

“Sensen.. kayaknya aku suka sama kamu.”

Lintang bahkan terbahak heboh sambil meledek adiknya hingga Kafka harus memukulnya dengan bantal berkali-kali agar dia diam.

Dua tahun lalu di sela wajah kagetnya, Arsen hanya mengangguk-ngangguk mengiyakan ucapan anak remaja itu sambil mengusak puncak kepalanya.

“Oh, iya makasih ya, Kafka. Sudah suka sama aku.”

Kemudian, Arsen tidak pernah merespon aneh-aneh ucapan Kafka karena takut menyakiti perasaannya.

Arsen kira, semuanya hanya akan berlangsung beberapa saat saja. Tetapi, hingga dua tahun berlalu Kafka masih sibuk merecokinya dengan banyak tingkah yang terkadang membuat Arsen pusing untuk meresponnya.


“Lintang?”

Arsen masuk ke kamar Lintang yang penuh dengan pernak pernik musik, Lintang itu sejak sekolah memang suka ngeband dan saat kuliah lumayan sering manggung di acara-acara kampus.

Berbeda dengan Arsen yang tidak terlalu suka lingkungan ramai, sikap mereka memang cukup bertolak belakang. Arsen yang pendiam dengan Lintang si extrovert yang temannya ada di mana-mana.

“Tumben lu keluar kandang.” adalah sapaan pertama kali Lintang saat Arsen duduk di atas tempat tidurnya.

Lintang tahu, Arsen sering sibuk belakangan ini dan dia hanya keluar rumah kalau pergi bekerja saja.

Lintang sendiri belum bekerja, dia sedang melanjutkan pendidikannya di kampus yang sama dengan Kafka. Mahasiswa S2 itu juga cukup sibuk dengan berbagai penelitian yang dikerjakannya, bahkan Arsen bisa melihat tumpukan paper di mejanya serta laptop yang menyala di depannya.

“Habis nganterin tupperware punya Tante Hana. Sabtu gini lo masih nugas?”

Lintang mengangguk lemah, dagunya menunjuk laptop dengan tidak minat, “Lagi pacaran gue sama jurnal-jurnal ini.” jawabnya asal membuat Arsen terkekeh kecil.

Jam di atas meja belajar Lintang menunjukan pukul dua siang, si pemilik kamar sudah sibuk lagi tenggelam dengan tugas-tugasnya saat Arsen justru mengambil gitar milik Lintang yang ada di sudut kamar.

Terimakasih pada Lintang yang sejak dulu selalu mengajarinya memainkan alat musik hingga Arsen bisa menggunakannya walaupun tidak sejago dirinya.

Kedekatan mereka sejak kecil memang membuat keduanya tidak canggung untuk berlama-lama menghabiskan waktu di rumah satu sama lain, kedua orang tua mereka pun sudah hapal dengan tingkah anak-anaknya.

“Oh iya. Tadi adek gue diapain sama lu, Sen?”

Arsen yang sedang duduk di teras balkon kamar Lintang yang menghadap ke taman belakang sambil memainkan pelan gitar Lintang itu menoleh, ia meringis kecil ditanya seperti itu.

“Biasa, kesel gitu.” jawan Arsen, Lintang tertawa dibuatnya, “Pantes pas dateng ke rumah misuh-misuh mulu tuh anak.” beritahunya.

“Sekarang di mana? kok gak ada di bawah tadi cuma ada ortu lo aja.”

“Ada kali di kamarnya atau kalau gak ada ya paling di tempat si Bian.”

Arsen melirik jendela kaca di sebelah kanannya, kamar Kafka memang bersebelahan dengan kamar Lintang. Ia menaruh gitar yang tadi dipangkunya lalu berdiri dan berjalan ke sana.

Jendela dengan gorden berwarna putih itu tertutup rapat saat Arsen mengetuk-ngetuk kacanya dari luar.

“Kafka?”

Hampir tiga menit tidak ada jawaban membuat Arsen berpikir mungkin memang Kafka tidak ada di kamar dan benar sedang di rumah Bian.

Namun, suara kunci yang coba dibuka dari dalam membuat Arsen mengurungkan niatnya untuk kembali ke tempat Lintang.

“Apa?”

Arsen tersenyum tipis mendengar nada ketus dari Kafka saat pemuda itu akhirnya membuka jendela dan membiarkan angin segar masuk ke dalam kamarnya yang bernuansa coklat muda.

Kafka jelas tahu kalau Arsen daritadi ada di kamar kakaknya karena dia bisa mendengar obrolan mereka yang samar-samar apalagi suara gitar yang tadi dimainkan oleh Arsen dari arah balkon.

Kalau saja sedang tidak kesal, sudah pasti dia nimbrung di kamar kakaknya sejak tadi karena ada Arsen.

“Lagi apa, Kaf?”

“Mau tidur, terus berisik ada yang mainin gitar.”

“Oh gitu, maaf ya.”

Sepuluh tahun mengenalnya, Arsen memang sangat terbiasa melihat banyak sekali sikap Kafka yang sering ditampilkannya. Dari Kafka berusia sembilan tahun hingga kini sudah menjadi mahasiswa, Arsen seperti ikut membesarkan adik temannya itu.

Kafka menatap Arsen yang justru menyandarkan tubuhnya pada tembok di samping jendela.

Namanya Arsen Daru Prasetya, pemuda dua puluh tiga tahun yang sudah mengisi hatinya sejak dua tahun lalu atau mungkin lebih karena Kafka baru mengerti sejak dia berusia tujuh belas tahun kalau rasa kagumnya sejak dulu terhadap Arsen, tetangga yang selalu bermain dengan kakaknya adalah rasa suka yang penuh debar.

Kata Mas Lintang, dulu dia suka Arsen karena cinta monyet sesaat saja. Tetapi, nyatanya sampai sekarang Kafka masih tidak bisa melupakan Arsen sebagai cinta pertamanya.

“Mau keluar nggak? eh tapi kamu mau tidur ya?”

Kafka mengerjap pelan saat mendengar ucapan Arsen, dia terlihat menimbang sambil menggigit bibir bawahnya. Sebetulnya Kafka tidak ngantuk-ngantuk banget sih, kalau diberi tawaran seperti ini oleh Arsen mana mungkin dia akan menolak.

“Mau kemana?”

“Jalan ke cafe depan aja. Sekalian beli kopi tuh buat kakak kamu. Tapi, kalau nggak mau ya gapapa.”

Cafe depan itu maksudnya cafe milik kakaknya Bian yang letaknya di sebrang gerbang komplek. Langganan anak-anak komplek juga kalau nongkrong. Jaraknya lumayan dekat hanya cukup jalan kaki.

“Mau nggak?”

Walaupun Kafka sering kesal dan ngembek padanya, tetapi Arsen seperti selalu mempunyai cara untuk membuat anak itu memaafkannya dan membuatnya kembali bersikap menjadi anak manis.

“Buruan aku tunggu di kamar Lintang ya.”

Kafka mendengus saat dia belum menjawab tapi Arsen sudah pergi kembali ke kamar kakaknya.

“Aku aja belum bilang iya, Mas Arsen!” serunya dengan keras lalu buru-buru menutup kembali jendelanya dan berjalan keluar kamar sambil melebarkan senyum.

Pintu kamar Lintang yang terbuka membuat Kafka masuk begitu saja, dia bisa melihat kakaknya yang memangku dagu di atas meja sambil memasang senyum miring menyebalkan ketika melihatnya.

Kafka menghempaskan tubuhnya di atas kasur Lintang lalu memeluk bantal sambil menunggu Arsen yang memasukan gitar ke dalam tempatnya lagi.

“Mau kemana, adikku sayang?”

“Kepo banget deh.” jawab Kafka hingga Lintang tertawa, pemuda itu melirik Arsen yang kini berjalan ke tempat tidur, “Your Sensen tuh lama-lama pusing kalau kamu nya ngambek mulu tahu.” katanya.

Mendengar ucapan kakaknya, Kafka berhasil melemparkan bantal di tangannya ke arah Lintang yang tertawa semakin puas melihat wajahnya yang memerah, “Diem nggak, Mas Lintang!”

Takut Arsen dengar.

My Sensen, Kafka dan ocehannya itu memang kadang membuat Lintang mengomelinya, tapi di sisi lain dia juga menghargai perasaan adiknya yang seperti benar-benar menyukai Arsen.

Karena sesering apapun Lintang memberitahunya, percuma. Kafka akan seratus kali lebih ngeyel kalau dia berkata tidak bisa menghilangkan perasaannya pada Arsen.

“Kita keluar dulu, nanti gue beliin kopi yang biasa.”

Arsen menarik tangan Kafka yang masih duduk di atas kasur, ia sudah terlalu paham kalau tidak segara dipisah, kedua kakak beradik itu akan ribut seperti anak kucing dan anjing.

“Low sugar ya, Sensen!”

“Kasih extra aja, Mas Arsen!”

Kepala Arsen menggeleng saat keduanya sibuk bersahut-sahutan, dari dulu ia memang selalu terjebak diantara keduanya.

Dan Arsen tidak akan menyadarinya kalau diam-diam di belakangnya Kafka mengulas senyum kelewat senang saat menatap tangan Arsen yang masih memegang pergelangan tangannya bahkan ketika mereka sudah menuruni anak tangga.

Sejak kecil, mungkin perlakuan Arsen memang sudah biasa seperti ini karena lambat laun ia selalu bersikap sebagaimana Lintang memperlakukan dan menjaga Kafka seperti seorang kakak.

Tetapi, ketika mereka beranjak dewasa terutama saat Kafka sendiri mulai menyadari perasaannya, setiap apa yang dilakukan Arsen selalu meninggalkan kesan yang berbeda baginya.

Senyum Kafka harus luntur saat Arsen melepaskan tangannya ketika mereka bertemu dengan Mamah nya yang ada di ruang tv.

“Tante Hana, aku izin bawa Kafka ke cafe depan ya. Mau jajan.”

“Boleh, daripada dia ngerem terus di kamar tuh atau ribut sama Mas nya.”

Ada tawa renyah yang terdengar dari Arsen ketika ia akan membalas ucapan Mamah nya lagi.

Sedangkan Kafka memilih berjalan lebih dulu ke teras rumah saat Arsen kemudian baru menyusulnya dari belakang.

“Kenapa sih buru-buru banget? orang aku harus izin dulu.”

“Lama.” jawab Kafka singkat.

Tangan Arsen tidak bisa ditahan saat lima detik kemudian sudah terangkat dan mendarat di puncak kepala Kafka, “Dasar gak sabaran.”

Arsen dan segala sikap baiknya hanya mampu membuat Kafka menghela napas panjang. Dia menatap Arsen yang mengulas senyum sambil membuka gerbang rumahnya,

“Ayo, nanti sekalian kita beli cake kesukaan kamu, semoga masih ada ya.”

Coba, jika begini terus mana bisa Kafka menghilangkan perasaannya sama Arsen, yang ada malah semakin suka!

Tidak ada yang tahu kalau Kafka dulu diam-diam pernah menangis saat Arsen punya pacar, kejadiannya sudah lama saat ia masih kelas sepuluh dan Arsen sudah kuliah. Ternyata satu tahun sebelum pernyataan cintanya pada Arsen, Kafka bahkan sudah lebih dulu merasakan patah hati.

Sejak mereka putus—kata Lintang. Kafka tidak pernah mendengar kalau Arsen punya pacar lagi hingga membuatnya sedikit berharap.

Senyum Kafka tampak cerah saat mendekat pada Arsen, mereka berjalan bersisian dengan tenang. Di lingkungan komplek mereka cukup banyak pohon rindang besar sehingga tidak terlalu terik walaupun harus jalan di siang hari seperti ini.

“Kalau misal udah habis nanti aku tanya Bian, kapan adanya lagi. Hari ini dia kerja di cafe.”

Arsen menoleh padanya lalu mengangguk kecil, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana sambil berjalan, “Iya kalau adanya besok, bilang aja nanti kita kesana lagi.”

“Emang kamu besok gak kemana-mana, Mas?”

“Enggak sih, besok jemput Ayah sama Ibu ke bandara sore. Dari pagi aku ada di rumah.”

Kafka hanya membulatkan mulutnya, dia tahu Arsen memang sering menghabiskan waktu di rumah daripada pergi keluar di hari liburnya, makanya sejak dulu dia dan Lintang lebih sering main di rumahnya.

Dengan Arsen, Kafka bisa merasa sangat nyaman. Mungkin karena dia juga terbiasa dengannya sejak kecil, perilaku Arsen sedikit berbeda dengan Lintang yang selalu menjaganya sambil bersikap jahil.

Arsen selalu menjaganya tanpa banyak bicara atau tanpa perlu membuatnya merengek dulu seperti pada Lintang.

Sebenernya kamu pernah suka sama aku juga nggak sih?

Kafka selalu menebak-nebak pikirannya itu walaupun dia tidak pernah tahu jawabannya. Karena segala sikap baik Arsen padanya justru menjadi bumerang di pikirannya sendiri

“Hati-hati. Sibuk ngelamun apa sih, Kaf.”

Kafka meringis saat tangan Arsen sudah menahan lengannya yang baru saja tersandung, “Jalan yang bener.” omelnya.

“Sibuk mikirin kamu.”

Walaupun pelan tapi Arsen bisa mendengar gumaman Kafka tersebut karena mereka berjalan cukup dekat dengan tangan Arsen yang masih memegang lengannya.

“Ngapain dipikirin saat orangnya ada tepat di samping kamu.”

Untuk Ananda,

Ada sebuah garis waktu lain yang tercipta bertentangan dengan yang seharusnya.

Maka, biarkanlah hidup dalam setiap ia yang mengharap takdir tidak selalu bekerja dengan kejam.

Adalah bahagia yang didamba dalam hela napas penuh sesak untuk diberinya setitik ruang bagi yang telah berdamai dengan duka.


“Papa...”

Ananda mengangkat wajahnya yang sedang menatap layar ponsel saat sebuah suara terdengar bersamaan dengan pintu kamar yang dibuka dari luar.

Netra coklat gelapnya bisa melihat sosok anak perempuan yang akan genap berusia lima tahun pada bulan depan itu dengan piyama gambar bebek berwarna kuning. Rambut panjangnya sedikit acak-acakan dan tangannya yang memeluk boneka kelinci sibuk mengucek mata.

Kaki kecilnya perlahan melangkah memasuki kamar lalu naik ke atas tempat tidur dan langsung memeluk Nanda yang membuka tangannya dengan lebar, “Kenapa sayang? kok Alin kebangun?” tanyanya penasaran, tangannya menyisir rambut sang anak yang kini sudah ndusel di pelukannya.

“Mau bobo sama papa..” cicitnya pelan membuat sebuah senyum kecil terlihat di wajah Nanda, sepertinya dia tahu apa yang terjadi hingga Alin sampai ke sini.

“Alin mimpi buruk ya? biasanya berani bobo sendiri.”

Putri kecil Ananda itu menganggukkan kepalanya saat mendengar pertanyaan sang papa. Tangan mungilnya meremas baju Ananda dan menjawab dengan suara lirih, bibirnya sedikit mencebik ke bawah.

“Alin takut.. ada monster, papa.”

Nanda membenarkan duduknya saat Alin yang berada di pangkuannya itu semakin mengerut, anaknya habis nonton apasih bisa-bisanya sampai mimpi monster segala.

“Nggak apa-apa nanti monsternya biar dilawan sama Ayah Ares ya.” dia menumpu dagunya di atas kepala Alin, menenangkan putrinya dengan sebuah pelukan penuh sayang, “Sekarang, Alin jangan takut karena sudah ada papa. Bobo lagi yuk.”

Suara pintu dari kamar mandi membuat Nanda menoleh dan pandangannya bersitatap dengan Ares yang memasang wajah bingung saat melihat putri mereka berada di pelukan papanya. Bukannya tadi sudah tidur di kamarnya ya? bahkan Ares sendiri yang sibuk membacakan buku untuknya hingga tidur.

Alin memang sudah sejak beberapa bulan ini dibiasakan untuk tidur sendiri, walaupun memang masih sering untuknya ingin tidur bersama mereka di sini. Putrinya itu sangat antusias saat dulu Ares mengecat kamar dengan warna pink dan mengisinya dengan berbagai mainan yang sudah dibelikan oleh Ananda.

“Mimpi buruk.” beritahu Nanda dengan pelan pada Ares yang mengangguk paham. Ia naik ke atas tempat tidur dan mengusap puncak kepala Alin yang wajahnya sudah sembunyi di ceruk leher Nanda sambil melingkarkan tangan di bahunya.

“Alin sayang, malam ini kita bobo bertiga ya, nak.”

Tahu ayahnya ada di sini juga, Alin langsung mengangkat wajah untuk menatap Ares, mata bulatnya yang jernih itu mirip sekali dengan Ananda yang selalu menatapnya penuh binar. Sorot mata paling hangat yang selalu menyapa Ares di setiap harinya sejak ia membuka mata.

“Mau dipeluk ayah.” rengeknya kemudian membuat Ares melepaskan tawa dengan suara dalam. Memang manjanya sama seperti Ananda dan Ares tidak bisa menampik hal tersebut.

“Sini, anak cantik mimpi apa sih sampai minta peluk begini, hmm?”

Ares melebarkan senyum saat Alin kini sudah pindah ke dalam dekapannya, nemplok lagi. Alin memang suka sekali dipeluk, anaknya clingy dan lagi-lagi hal tersebut sama seperti Ananda, Ares sudah kenyang saat Samudra selalu menyebut kalau ia hanya kebagian hikmahnya saja sebagai ayahnya Alin.

“Ada monster katanya, yah. Nanti tolong di usir ya, suruh jangan gangguin Alin tidur lagi.”

“Oke, nanti Ayah marahin monsternya.”

Tubuh Ares bersandar pada kepala ranjang dan mengusap-ngusap punggung Alin yang terlihat nyaman memeluknya sambil memegang boneka, sesekali Ares akan menepuk-nepuknya sambil bergumam penuh hal menenangkan.

Tidak ada yang bersuara selain Ares yang mengisi hening di sebuah kamar bernuansa putih tersebut. Nanda juga sudah beringsut untuk mendekat, ikut-ikutan menyandarkan kepalanya kepada lengan Ares yang merespon dengan tarikan di kedua sudut bibirnya dan kecupan ringan di pelipisnya.

Dengan Ares, mereka berdua akan selalu diberi tenang juga aman.

“Alin mau minum susu nggak?” Ares bertanya sambil menciumi puncak kepala Alin, rambutnya wangi strawberry karena tadi sore baru saja keramas.

Entah bagaimana Ananda mengurusnya tapi rambut panjang Alin selalu terawat dengan bagus, terlebih Alin sendiri yang selalu tidak mau kalau ditanya apakah ingin dipotong atau tidak. Ananda juga menikmatinya saat hampir setiap hari dia harus mengepang rambut panjang Alin dan memasang berbagai jepitan rambut lucu warna-warni yang menggemaskan.

“Alin mau susu coklat!” jawabnya tiba-tiba bersemangat, padahal tadi pas masuk kamar terlihat mengantuk sekali karena terbangun di jam sepuluh malam saat jam delapan tadi ia sudah tidur.

Kenapa sekarang batrainya malah seperti terisi penuh setelah mendapatkan pelukan.

Nanda menggeleng pelan melihat tingkah sang anak, tangannya dengan cepat mampir di puncak kepala Alin, “Mau ayah yang bikin atau sama papa?” tanyanya.

“Ayah.”

Alin menatap kedua iris hitam ayahnya lalu berkedip lucu, bulu matanya yang panjang terlihat cantik seperti boneka membuat Ares menahan gemas berkali-kali, “Tapi Alin ikut.” lanjut Alin sedikit mejaruk.

Oh Tuhan, Ananda versi mini ini memang suka sekali menempel dengan ayahnya yang terkadang sibuk pulang malam, hari ini memang Ares telat pulang dan tadi ia sudah dispam oleh suara Alin yang memenuhi chat dari ponsel Ananda.

Sekarang Ares mempunyai dua orang yang selalu menunggunya, alasan untuk ia selalu memilih rumah lebih dari apa pun.

Rumah yang begitu hangat, rumah yang penuh kasih sayang, rumah yang memberinya bahagia setiap waktu.

Rumah tempatnya untuk pulang.

Diciuminya dengan gemas pipi gembul Alin hingga dia tertawa dan merengek, apalagi saat Ananda melakukan hal yang sama.

Gemar sekali rupanya mengerjai anak mereka sendiri hingga kemudian berbagi gelak tawa yang menghantarkan hangat untuk melingkupi apa yang disebut keluarga.

Sebuah keluarga kecil Ares yang paling berarti di dunia.

“Besok Ayah libur, waktunya kita family time. Alin mau nya pergi ke zoo atau ke sea world? terus nanti kalau kemalaman pulangnya kita nginap di rumah oma saja ya.”

Ditatapnya sang anak yang duduk di atas pangkuannya, mereka memang punya waktu khusus untuk menghabiskan weekend bersama.

Hal yang tidak pernah berubah sejak dulu saat masih berpacaran hingga sekarang.

Quality time untuk mengganti hari-hari sibuk di setiap minggunya. Terlebih Ares yang terkadang pulang telat dan hanya bisa menghabiskan waktunya sebentar sebelum Alin tidur.

“Sea wold!” lagi-lagi suara Alin terdengar bersemangat, ia menjawab tanpa pikir panjang dengan senyum yang sangat cerah memperlihatkan lesung pipi kecil di kedua sudut bibirnya, sudah jelas kan didapat dari siapa.

Memang betul sepertinya kata Samudra, Ares hanya kebagian hikmahnya saja di sini.

“Alin mau lihat mermaid.”

Kali ini tangan Ananda yang menangkup kedua pipi gembulnya sebelum menguskkan ujung hidungnya pada pipi sang anak. Gemas.

“Mermaid terus, kalau ke zoo nanti ada gajah loh.”

“Alin maunya ke sea world, papa.”

Ares memperhatikan dalam diam bagaimana Ananda tertawa melihat jawaban anaknya yang kekeh saat dia masih berusahan mencoba untuk menggoyahkan keinginannya itu.

Lucu bila diingat, dulu Ares juga tidak akan menyangka kalau Ananda akan begitu senang saat mereka pergi kesana untuk pertama kalinya dan Alin malah ikut-ikutan menyukai tempat tersebut.

Lagi-lagi Rajendra Ares itu menarik kedua sudut bibirnya seakan tanpa lelah. Melihat Ananda yang tertawa bahagia adalah hal paling disukainya. Juga dengan tawa menggemaskan dari Alin membuat hati Ares selalu menghangat.

Ares tidak akan ragu untuk menukar apa pun asal ada Ananda juga Alin dalam hidupnya.

“Siap, princess. Besok kita ke sea wold sekalian ayah sama papa pacaran.”

Perkataan Ares itu membuat Nanda menoleh dengan cepat lalu menepuk pahanya, ada senyum malu-malu yang coba ditahannya susah payah saat Ares bicara ceplas ceplos di depan anak mereka, “Kak Ares inget umur, sudah punya anak tuh.” katanya yang dibalas tawa kecil.

Ananda dari dulu masih saja mudah tersipu, kayak baru pacaran.

“Ananda sayang, justru karena sekarang kita sudah punya Alin. Harus makin sering pacarannya karena ada yang ngikutin terus, ada yang merhatiin kita. Jadi Alin tahu gimana ayahnya memperlakukan papanya.”

“Gimana emang?”

Ares mendekat, mengecup kening Ananda cukup lama lalu beralih ke pipi kanannya sambil berbisik pelan.

“I love you, Ananda.”

“I love you, papa.” nah kan, ini adalah suara Alin yang ikut-ikutan hingga Ananda tidak bisa manahan kekehannya, benar-benar ditiru apa pun yang dilakukan oleh ayahnya.

Sikap manis Ares yang tidak pernah berubah dari dulu memang menurun pada Alin yang selalu membuatnya tersentuh dengan segala tingkahnya.

Kak Ares yang begitu perhatian, Kak Ares yang pengertian, Kak Ares yang selalu menomor satukan Ananda membuat dia jatuh cinta setiap harinya meskipun hubungan mereka sudah berjalan hampir delapan tahun.

Ananda bahkan masih ingat jelas saat Ares berkata serius akan melamarnya dan membuatnya memasang wajah tidak percaya.

Saat itu dia yang baru saja santai setelah sibuk seharian di hari pernikahan Alvin tiba-tiba digandeng oleh Ares ke halaman belakang villa tempat dilakukannya resepsi.

Dinginnya udara Lembang serta pemandangan hijau hutan pinus yang menyejukkan mata karena kakaknya memilih konsep outdoor menjadi suasanya yang masih diingat jelas oleh Nanda.

Sialnya di saat seperti itu udara Lembang seperti tidak ada artinya karena wajah Nanda justru terasa panas mendengar setiap kalimat yang terucap dari bibir Ares.

Pemuda dua puluh tujuh tahun itu dengan masih mengenakan kemeja batik hitamnya menggenggam tangan Nanda sambil berkata serius.

“Ananda, nanti setelah semuanya selesai dan keluarga kamu sudah tidak sibuk lagi, izinin Kak Ares buat menemui mereka secara pribadi ya? kakak mau serius juga sama kamu tentang hubungan kita kedepannya.”

Dua tahun hubungan mereka sudah jauh dari kata cukup bagi Ares untuk memantapkan niatnya sejak lama, karena kalau harus dengan selain Ananda, ia tidak akan bisa.

Ananda adalah belahan jiwanya.

Ananda adalah cintanya yang begitu besar.

Ares mengulas senyum lembut saat melihat raut kaget di wajah Nanda, tiba-tiba sekali di siang bolong seperti ini dia akan dilamar oleh Ares?

Ananda bahkan sempat berpikir kalau dia sedang mimpi, tetapi ibu jari Ares yang mengusap punggung tangannya yang sedikit dingin bertolak belakang dengan semburat merah yang terlihat samar di pipinya, membuat dia manarik kembali kesadarannya.

Ini nyata.

“Kak Ares mau minta izin sama Ibu dan Ayah kamu untuk melamar anak bungsunya, untuk melamar kamu, Ananda.”

Kesibukan keluarga Nanda menjelang pernikahan Alvin membuatnya menahan niat untuk menyampaikan hal ini pada Nanda itu sendiri, ia sadar waktunya mungkin belum tepat.

Tetapi, sekarang rasanya Ares sudah tidak bisa menahannya lagi. Tidak apa, setidaknya Nanda sudah tahu lebih dulu tentang niat baiknya walaupun ia belum bisa bicara langsung dengan kedua orang tuanya.

“Kak Ares serius?” akhirnya suara Nanda yang sedikit terbata masuk ke pendengaran Ares setelah sejak tadi dia hanya diam sibuk mencerna apa yang terjadi.

“Tentu saja. Serius lebih dari apa pun, sayang.”

Ananda merasakan dadanya seperti melepaskan beban yang menghimpit setelah mendengar jawaban Ares, walaupun ia tahu Ares tidak mungkin sembarangan untuk bermain-main dengan ucapannya itu.

Tetapi, tetap saja.

Ini adalah sebuah keputusan besar yang harus dipikirkan matang-matang, melamarnya berarti Ares kelak akan menikahinya.

Dan pernikahan adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan secara asal. Hal paling sakral yang akan mengikat mereka berdua seumur hidup.

Bersama Kak Ares seumur hidupnya?

Ananda tentu tidak akan pernah menolak.

Dan jawaban itulah yang membawa dia bisa sejauh ini melangkah bersama Ares, pemuda yang selalu memberikannya kasih sayang bertubi-tubi tanpa akan merasa kurang.

Kini kedua iris coklat gelap Ananda itu menatap dua pasang mata yang tertuju padanya dengan senyum yang kembali melebar. Menatapnya dengan rasa hangat yang paling nyaman.

Dunia Ananda yang sudah lengkap bersama Ares terasa lebih lengkap lagi dengan kehadiran seorang putri kecil yang mereka beri nama Aylin Baskara.

Ananda dibuat jatuh cinta, begitu pun dengan Ares.

Ketika suara tangis bayi yang nyaring untuk pertama kalinya terdengar memenuhi pendengaran mereka, saat cahaya matahari hangat di luar sana berpamitan untuk kembali ke peraduannya meninggalkan jejak semburat berwarna jingga yang menghiasi langit biru yang perlahan menggelap.

Ketika tubuh kecilnya yang masih berwarna merah berada di pelukan Ananda untuk pertama kalinya dan tangan mungil itu menggengam ujung jemarinya dengan erat sambil menangis.

Ah, tidak.

Jauh sebelum Alin bahkan terlahir ke dunia ini mereka sudah dibuat jatuh cinta saat Ananda mengetahui ada satu nyawa yang sangat berarti hidup di dalam perutnya.

Bagaimana Ares memeluknya dengan erat dan tangis haru saat ia tahu kalau mereka akan menjadi orang tua, adalah salah satu moment paling membahagiakan bagi Ananda.

Alin yang kehadirannya membawa cerita baru bagi Ananda juga Ares itu telah membuat keluarga kecil mereka penuh dengan tawa bahagia dan rasa syukur yang selalu Ananda bisikan di dalam hatinya.

“I love you too, Ayah Ares dan Aylin sayang.”

Satu tangan Ares terulur ke balik punggung Ananda, membawanya ke dalam pelukan hangat yang selalu ia berikan tanpa segan. Mendekap kedua orang yang paling berarti dalam hidupnya saat ini.

“Ananda, sayang. Terimakasih.”

“Untuk apa?”

“Semuanya.”

“Alin? ayah terimakasih juga?” suara Alin mengintrupsi kedua orang tuanya membuat mereka terkekeh saling pandang sebelum menatap putri kecil cantik itu dengan penuh sayang.

Ares mengecup lagi puncak kepalanya yang kemudian diikuti oleh Nanda.

“Alin sayang, makasih ya sudah jadi putri paling cantik buat Ayah Ares sama Papa Nanda. Makasih karena kamu sudah tumbuh jadi anak yang sehat, yang memberikan banyak sekali bahagia untuk kita.”

Ares mungkin tahu, putrinya belum terlalu mengerti sedalam apa arti ucapannya itu, tetapi ia bersungguh-sungguh.

Alin adalah anugerah baginya juga Ananda yang sangat berarti. Kelak, dia akan tahu sebesar apa Ares dan Ananda begitu mencintainya.

“Anak cantikku sayang...” bisik Ananda sambil mengelus rambut panjangnya yang begitu lembut, “Terimakasih sudah lahir dan menjadi putri kita.”

Netra Ares bisa menangkap mata indah Ananda yang selalu berbinar itu sedikit berkaca-kaca, Ananda yang berhati lembut dan gampang tersentuh lagi-lagi membuat Ares harus mengusap bahunya.

“Sudah, sekarang kita ke dapur. Ayah bikinin Alin susu dulu, katanya mau ikut, kan?”

Alin mengangguk cepat langsung melingkarkan tangannya di bahu Ares yang akan beranjak, seperti biasa mau digendong sama ayah.

“Kak Ares, ikut...” Nanda menatap Ares yang sudah berdiri dengan Alin yang asik nemplok pada ayahnya. Mulai.

Kalau begini rasanya Ares seperti mengurus dua anak.

Tanganya yang tidak menahan tubuh Alin terulur pada Ananda yang masih duduk di atas kasur, dia menyambutnya dengan senyum senang hingga lesung pipinya terlihat jelas, Ananda nya yang cantik.

Nanda memeluk lengan Ares yang menggandengnya berjalan ke luar kamar, tangannya digenggam dengan erat dan juga hangat.

Selalu seperti itu dari dulu, genggaman tangan Ares selalu menuntunnya kemana pun langkah mereka berjalan.

Suara Alin yang terdengar sibuk mengoceh antusias tentang family time mereka besok ke sea world menjadi suara paling menyenangkan di rumah itu, mengisi sunyi di malam yang cukup dingin saat langit gelap kembali tertutup awan mendung menyembunyikan cahaya bulan yang hanya terlihat samar.

“Habis bikinin Alin susu, nanti Kak Ares masakin makanan buat kamu.”

Ananda tersenyum semakin lebar mendengarnya, teringat dulu saat sering main ke apartment Ares dan menghabiskan waktu berdua di hampir setiap weekend setelah sibuk bekerja.

“Terimakasih, suami aku yang paling baik.”

Waktu ternyata berlalu sudah cukup jauh sejak pertemuan pertama mereka bertahun-tahun lalu.

Ares, Ananda, serta si kecil Alin adalah garis takdir yang digambar begitu sempurna oleh semesta yang ingin memberikan dunia paling indah bagi mereka.

Menghadirkan sebuah keluarga kecil yang menjadi tempat untuk mengerti arti mencintai dengan tulus.

Ananda, yang tersayang.

Raut bahagia di wajahnya jangan sampai menghilang karena Ares akan memberi segalanya agar senyum Ananda yang cantik selalu terlihat.

Having to learn how to live without you is a lesson I never wanted to learn

Samudra duduk termenung tidak tenang di tembok halaman rumah duka Ananda, kedua kakinya terus bergerak tidak sabar juga dengan tangan yang bertautan sedikit berkeringat.

Pemuda dua puluh lima tahun itu kemudian berjalan mendekat ke jalan tatkala ia melihat Anindita yang baru turun dari sebuah motor ojek online yang ditumpanginya.

“Kak Sam...” panggil Anin dengan sorot tidak percaya menatap kekasihnya yang memasang wajah tegang.

Saat diberitahu oleh Samudra, seperti hal nya semua orang, Anindita juga berkata tidak percaya.

Kedua matanya melihat nanar sambil menutup mulut dengan tangan ketika tertuju pada rangkaian bunga berukuran besar yang bisa dia baca dengan jalas dan ada sebuah nama yang dia kenal tercetak di sana, nama Ananda.

Bagaimana mungkin Ananda meninggalkan mereka begitu tiba-tiba seperti ini.

“Kak Ares gimana?” tanyanya langsung, memegang lengan Samudra yang menggeleng pelan, “Mungkin baru sampai stasiun, kita tunggu di dalam ya.”

Dia mengangguk kecil, tangannya kali ini digenggam erat oleh Samudra, mereka jelas mengenal dan pernah bertemu dengan Ananda beberapa kali sejak keduanya berpacaran.

Baik Samudra maupun Anindita tahu bagaimana Ares begitu mencintai Ananda, bahkan Azka sekalipun akan tahu bila dia melihat sorot penuh bahagia Ares bila sedang membicarakan Ananda.

Suara tangis dari duka kehilangan terdengar jelas dari dalam rumah membuat Anin mengangkat wajahnya untuk menghalau air matanya yang lagi-lagi turun dan rangkulan Samudra di pundaknya terasa mengerat.

Ananda adalah anak yang baik dan juga manis, di suatu hari Anin pernah membawa Samudra untuk datang ke toko bunga dan mengajaknya untuk ikut kelas merangkai saat mengisi weekend, tentu saja Samudra yang bucin mampus itu mengiyakan tanpa banyak protes.

Hari itu, Samudra pamer pada Ares dengan mengirim foto mereka bertiga hingga sahabatnya itu langsung merutuk padanya karena tidak diajak.

Tentu saja sudah bisa Samudra tebak, lima belas menit kemudian dia bisa melihat seorang Rajendra Ares yang tiba di depannya sambil membawa banyak makanan untuk mereka berempat.

“Lo berdua ngapain pacar gue di sini? Ananda, kakak-kakak ini gak jahatin kamu kan?”

Tanyanya membuat Samudra langsung melempar satu tangkai mawar bekas guntingan pada tubuh Ares yang baru saja duduk.

“Bacot lo sembarangan banget, taik!” balas Samudra membuat Ananda tertawa melihatnya, kedua sahabat itu memang kerap kali tidak akur kalau diperhatikan.

“Apasih Kak Ares orang kita lagi lucu-lucuan bikin buket sama Nanda, iyakan Nan?” dan itu adalah suara Anin yang menimpali ucapan Samudra.

“Iya, Kak Anin sama Kak Sam cuma lagi belajar merangkai bunga. Tapi, aku jadi obat nyamuk karena gak ada Kakak Ares.” Ananda berkata sedikit merajuk membuat Ares mengusap lembut puncak kepalanya.

Anin yang duduk di depan mereka bisa melihat bagaimana Ares, seniornya sejak kuliah serta yang berstatus sahabat dari pacarnya begitu memperlakukan Ananda dengan penuh perhatian.

Sejak di bangku kuliah, Samudra adalah orang yang paling mengenal Ares, bersama Azka tentunya.

Samudra tahu bagaimana Ares yang kerap tidak percaya pada hal-hal di luar pikiran realistis yang selalu dipegangnya. Pun perihal jatuh cinta, Samudra hanya pernah melihat Ares berpacaran dua kali semasa pertemanan mereka yang sudah memasuki usia tujuh tahun ini, pertama saat mereka semester tiga, kedua saat usia dewasa mereka sekarang.

Namun saat dengan Ananda sekarang, Samudra tahu Ares jauh begitu serius dengan perasaannya. Samudra tahu bagaimana Ares yang perlahan membuka diri pada sebuah hubungan yang kerap kali tidak menarik minatnya.

Tatapan Samudra berkali-kali bertemu pandang dengan wajah-wajah asing yang dia lihat keluar masuk ke dalam rumah, satu kesamaan di wajah mereka adalah raut kehilangan yang begitu dalam.

Beberapa gerombolan anak muda yang pasti teman Ananda silih berganti datang dan pergi dengan mata yang memerah, hal tersebut membuktikan betapa Ananda dicintai oleh teman-temannya, oleh kerabat, juga oleh saudara-saudaranya.

Karena Ananda adalah anak yang begitu baik.

“Kak Ares.”

Samudra mengangkat wajahnya saat tangan Anin memegang lengannya memberitahu dengan suara tertahan.

Tubuh jangkung Samudra bangun dari kursi-kursi yang di taruh di halaman rumah untuk para tamu yang datang.

Langkah lebarnya diikuti dengan Anindita mendekat pada Ares yang baru turun dari taksi tepat di depan rumah Ananda.

Di tangannya ada koper berwarna hitam yang ia genggam dengan erat saat melihat rumah yang biasa ia datangi untuk bertemu Ananda sudah banyak orang yang sedang berduka.

“Res...”

Samudra memanggil pelan Ares yang menatapnya dengan pandangan kalut bercampur bingung tidak mengerti, ia jelas bisa membaca karangan bunga di sana dan nama Ananda tercetak dengan jelas.

Nama kekasihnya yang begitu cantik kenapa ada di sana?

Samudra sejak tadi memang tidak memberitahu secara eksplisit karena dia ingat perkataan Azka, kalau tiba-tiba dikasih tau pacar lo meninggal apa lo gak bakal mati berdiri.

Samudra juga tidak mau Ares kenapa-napa saat ia masih dalam perjalanan. Jadi dia mengambil keputusan yang juga begitu sulit baginya.

“Res, nanti langsung ke rumah Nanda ya. Gue di sini sama Anin. Lo harus kuat.”

Hanya baris kalimat seperti itu yang dikatakan Samudra dan Ares yang denial tentu tidak betul-betul berpikir kalau kuat yang dimaksud oleh Samudra adalah sebuah kabar duka.

Kalau Ananda yang dicintainya sudah tidak ada.

Kalau kekasihnya ternyata sudah meninggal.

“Sam.. ini bohong kan?”

Anin kembali menumpahkan air matanya saat mendengar pertanyaan Ares pada kekasihnya itu dengan suara penuh ragu.

“Jawab gue, Samudra!”

Ares meninggikan suaranya membuat beberapa pasang mata menatap mereka bertiga, tangannya menarik kerah kemeja biru dongker Samudra, tatapannya menajam namun jelas penuh ketakutan dan gelengan pelan dari Samudra membuat lutut Ares lemas.

“Ananda udah nggak ada, Res.”

Tubuh Ares sedikit limbung hingga Samudra langsung menahan lengannya, namun ia dengan cepat menepisnya sambil berkata tidak mungkin.

Langkahnya terasa tidak menapak saat ia berjalan memasuki halaman luas rumah Ananda, penampilannya benar-benar berantakan dengan rambut yang diacak frustasi sejak di kereta tadi.

Samudra mengusap pelan pundak Anin yang terlihat kembali berusaha menghapus air matanya lagi sebelum dia menyusul Ares untuk masuk ke dalam rumah, “Tolong simpan koper Ares ke mobil ya. Aku nyusul dia ke dalam dulu.” ucapnya.

Pikiran Ares jelas sedang tidak waras saat ini, bagaimana mungkin saat tadi pagi Ananda masih mengiriminya pesan, tetapi tiba-tiba sekarang tubuh kekasihnya itu sudah terbujur kaku di dalam sebuah peti mati berwarna coklat tua yang berada di dalam rumahnya.

Diedarkannya pandangannya ke seisi rumah yang terdapat beberapa orang dan semuanya sedang menangis.

Pandangan Ares bersitatap dengan Nindya yang seperti telah menangis sejak tadi karena matanya sangat memerah, dia terduduk sambil memeluk sang Ibu yang sedang menangis begitu pilu di bahunya, tangisan seorang Ibu untuk anak kesayangannya yang pergi lebih dulu.

Juga ada Alvin yang bersandar pada tembok sibuk menutup matanya dengan tangan mencoba menahan tangis yang sejak tadi tidak bisa berhenti saat melihat adik bungsu kesayangan mereka yang telat pergi untuk selama-lamanya.

Netra Ares juga bisa menangkap sosok Ayah Ananda yang sedang berbicara di sudut ruangan dengan kerabatnya. Sang kepala keluarga itu terlihat tegar namun ada duka mendalam di sorot matanya yang meredup, siapa pun yang melihatnya akan tahu sedalam apa beliau kehilangan saat ini.

Ares mundur satu langkah, terlalu takut menerima apa yang ada di depannya ini, semuanya terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi.

Rasa sakitnya, air matanya yang entah sejak kapan turun membuat bahu Ares perlahan bergetar saat menggumamkan nama Ananda dengan begitu lirih.

Nanda, kamu gak mungkin beneran ninggalin kita kan, sayang?

“Ares..” suara Maudy dari sampingnya membuat Ares menoleh, di hadapannya wanita berusia awal tiga puluhan itu terlihat begitu sembab.

Tangannya menyentuh lengan Ares sambil meremasnya sedikit kencang, “Temui Nanda untuk terakhir kalinya ya.” katanya dengan suara yang serak.

Untuk terakhir kalinya.

Langkah Ares begitu berat kali ini, kakinya seperti dipatok ke dalam lantai yang ia pijak agar tidak bisa melangkah ke sana, agar ia tidak mendekat ke arah peti yang belum ditutup itu.

Karena kalau Ares melihat, semuanya akan menjadi mimpi paling buruk di hidupnya.

Seharusnya saat Ares datang, Ananda sedang sibuk dengan bunga-bunga di depan mejanya.

Ananda sedang sibuk dengan banyak buket yang harus dia buat.

Ananda sedang menggunakan appron coklat yang selalu dikenakannya.

Ananda akan menyambutnya dengan sebuah senyum manis juga cantik seperti biasa.

Ananda akan dipeluknya dengan erat sesuai dengan permintaannya tadi pagi.

Tetapi, yang terjadi sekarang begitu betolak belakang. Jauh sekali, bahkan tidak pernah ada dalam pikiran paling liar dari Ares sedikit pun.

Tubuh Ares bersimpuh di depan peti yang baru saja ia lihat. Pundaknya bergetar lebih hebat dan tangisnya terdengar begitu menyayat hati bagi siapa pun yang mendengarnya.

Seorang Rajendra Ares Baskara menangis begitu tersedu-sedu sendirian saat merasakan duka kehilangan yang terasa sangat menyakitkan baginya.

Samudra mengusap kasar sudut matanya saat melihat punggung sahabatnya dari belakang.

Ares yang dikenalnya sejak tujuh tahun lalu itu untuk pertama kalinya menangis, memangil nama Ananda dengan begitu parau.

“Nanda kenapa tidur di sini, sayang.”

“Nanda harusnya kan sedang nunggu kakak.”

Ares mengepalkan tangannya dengan kepala yang tertunduk dalam saat melihat wajah damai Ananda terpejam di depannya.

“Ananda...” panggilnya tanpa suara yang terdengar jelas disela isakannya.

“Ananda sayang...” bisiknya terbawa angin karena begitu lirih namun sangat menyakitkan.

“Nanda, Kak Ares sudah pulang buat ketemu sama kamu.”

Di sela pandangannya yang memburam karena air matanya, Ares menatap begitu dalam wajah Ananda yang tertidur damai, “Nanda katanya kangen.. kenapa malah pergi saat Kak Ares pulang.”

“Kita bahkan belum ketemu satu menit pun, sayang.”

Rindu yang menumpuk diantara mereka satu minggu ini justru harus dibayar dengan pertemuan yang begitu kejam.

Sekarang, Ares tidak bisa memeluknya lagi.

Ares tidak bisa melihat senyumnya yang begitu cantik dan manis lagi.

Ares tidak bisa melihat binar bahagia di kedua iris coklat gelap Ananda yang di sukainya lagi.

Ares tidak bisa mendengar suaranya yang begitu lembut lagi.

Ares tidak bisa mendengar suara tawanya yang bahagia lagi.

Ares tidak bisa menghadapi tingkah manja Ananda kepadanya lagi.

Dan Ares sudah benar-benar kehilangan Ananda untuk selama-lamanya.

Mereka memang bertemu lagi di hari Sabtu sesuai ucapan Ananda saat Ares mengantarnya pulang minggu lalu, namun Ares menggeleng pelan dengan hati yang hancur bila mengingatnya.

“Bukan yang seperti ini, sayang.”

Bukan pertemuan yang seperti ini yang mereka maksud, ya Tuhan.

Tangan Ares meremas kuat memegang sisi peti hingga buku jarinya memutih, perasaannya jelas berkecamuk kacau kala harus menerima sebuah fakta menyakitkan seperti ini.

“Kenapa kita harus ketemu saat kamu sudah pergi ninggalin kakak, Ananda.”

Ares merasakan pundaknya yang diremas dari samping, tubuhnya kemudian dibawa ke dalam sebuah pelukan oleh Samudra yang sejak tadi memperhatikannya dalam diam.

Aku mau sama Kak Ares terus, sampai lama.

Perkataan Ananda saat itu kembali terngiang di telinganya membuat Ares memejamkan mata, dadanya penuh sesak seperti dipukul dengan begitu kencang tanpa ampun.

“Kenapa Nanda ninggalin gue begitu cepat, Sam? kenapa?”

Pertanyaan Ares kepadanya hanya mampu Samudra jawab dengan tepukan pelan di pundaknya, sungguh Ares yang begitu rapuh saat ini adalah Ares yang tidak pernah Samudra lihat sebelumnya.

“Kenapa Ananda harus pergi ninggalin kita?”


Ada banyak hal yang kemungkinan terjadi bila menyangkut tentang kehilangan serta kematian di mana itu adalah sebuah rahasia mutlak yang hanya Tuhan dan takdir yang tahu tanpa bisa diikutcampuri oleh tangan manusia yang tidak berdaya.

Pun bagi seseorang yang ditinggalkannya, akan ada banyak sekali yang direbut darinya di sisa waktu saat harus menjalani hari setelah melalui kehilangan abadi dari orang yang lebih dulu pergi ke pangkuan Tuhan.

Kematian telah merebut banyak hal yang dimilik oleh Ares bersama Ananda.

Dia telah merebut banyak percakapan yang seharusnya terjadi setiap hari, dia telah merebut tawa bahagia yang akan selalu terdengar dari bibir Ananda juga dirinya.

Dia telah merebut banyak momen yang akan bisa dilalui Ares juga Ananda hingga bertahun-tahun kedepan, dia telah merebut banyak janji yang telah Ares buat untuk Ananda, dia bahkan merebut hening yang terkadang tercipta diantara mereka saat hanya ada pandangan yang akan berbicara lewat mata penuh binar paling terang.

Kematian, telah merebut waktu yang seharusnya Ares habiskan dengan Ananda selama mungkin.

Ares menaruh begitu saja koper miliknya di balik pintu apartemen, penampilannya jelas jauh lebih kacau dari sejak tadi ia sampai di rumah Ananda.

Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukan pukul enam sore, ia berjalan dengan linglung memasuki tempat tinggalnya.

Sebelumnya Ares diantarkan oleh Samudra juga Anindita hingga ke depan bangunan apartemennya di bawah sana.

Bahkan, sahabatnya itu berbaik hati akan mengantarnya sampai depan kamar saat Ares menolak sambil tersenyum tipis.

Tungkainya melangkah masuk ke dalam kamar mandi dan Ares bisa melihat pantulan dirinya di depan cermin.

Matanya sangat sembab juga memerah sejak dari tadi ia sibuk menangisi Ananda hingga tubuh kekasihnya itu sudah berada di tempat peristirahatan terakhirnya.

Iris hitam Ares menatap mug kecil yang berada di atas wastafel, senyumnya terlihat begitu pilu saat di sana ia bisa melihat dua buah sikat gigi yang berbeda warna, satu miliknya dan satu lagi milik Ananda yang memang beberapa kali menginap di tempatnya.

Tangan Ares langsung menyalakan keran air dan membasuh mukanya dengan cepat, menyembunyikan sudut matanya yang kembali menghangat.

Ia perlahan melepas kancing kemejanya yang sedikit kotor terkena tanah saat di makam Ananda tadi. Digenggamnya dengan erat kemeja tersebut dengan tatapan penuh luka.

Ananda nya sudah benar-benar pergi.

Semakin Ares menatap setiap sudut tempat tinggalnya, maka bermacam kenangan dengan Ananda seperti diputar dalam sebuah cuplikan film dalam ingatannya.

Karena ada begitu banyak memori yang Ananda ciptakan di sini, di tempatnya bersama dirinya.

Ananda akan tidur di sofa dengan kepala berada di atas pahanya, Ananda akan menontom film dengan kentang goreng kesukaannya.

Ananda akan memaksa untuk membantunya memasak, Ananda akan makan masakannya dengan senyum senang begitu lebar.

Ananda akan berlama-lama berdiri di balkon hanya untuk melihat sibuknya jalan Kota Bandung dari atas sini, atau dia akan menatap langit yang tersemat di namanya.

Juga, Ananda akan memeluknya dengan erat sambil tertawa dan menyebut namanya, suaranya mengisi ruang kosong di hati serta di apartemennya yang terbiasa sunyi.

Semua tentang Ananda begitu melekat di setiap sudut tempat tinggal Ares dan hal tersebut membuat Ares semakin terpuruk dalam duka kehilangan yang begitu dalam.

Tanpa Ananda, semua itu tidak akan terulang lagi.

Semuanya hanyalah tinggal kenangan abadi yang ada di memori ingatanya.

Ares terduduk di atas tempat tidur, ia termenung menatap nanar bunga lily putih di dalam vas yang berada di atas meja tepat di samping tempat tidur.

Ingatan Ares kembali terbang saat pertama kali ia akan memperkenalkan Ananda dengan adiknya.

Saat itu, Nanda menatap tidak percaya dengan senyumnya saat Ares bilang kalau nama adiknya adalah Lily.

“Kayak nama bunga yang aku sukai, bagus banget, kak!”

Kedua kaki Ares diangkat ke atas tempat tidur, pemuda dua puluh lima tahun yang sedang berduka itu menenggelamkan wajahnya di atas lututnya yang ia peluk.

Sendirian.

Bahunya perlahan kembali bergetar, di sunyinya malam dengan langit gelap tertutup awan, air mata Ares kembali turun dari sudut matanya yang memanas.

Bibirnya menggumamkan sebuah nama dengan pelan, berbisik untuk dirinya sendiri.

Kenapa Nanda ninggalin Kak Ares tanpa pamit seperti ini?

Tubuhnya yang berbalut piyama berwarna hitam kini meringkuk seperti bayi yang bergelung di atas tempat tidur.

Kehadiran Ananda tentu saja berdampak begitu besar bagi kehidupan seorang Rajendra.

Ananda memberinya dunia yang penuh dengan kata bahagia bahkan saat Ares hanya bisa melihatnya.

Ananda mengenalkannya pada cinta yang yang begitu tulus diantara mereka, sebelum dia sempat mengajarkan arti sebuah kehilangan.

Kak Ares nggak sekuat itu, Ananda.

Kak Ares nggak sekuat itu untuk melihat kamu pergi.

Semuanya terlalu tiba-tiba untuk dicerna oleh otak Ares.

Hari ini, ia seperti berjalan di sebuah lorong yang begitu panjang tanpa ujung.

Tubuh serta pikirannya begitu lelah.

Hatinya terasa begitu sakit serta kosong secara bersamaan.

Ares terlihat menyedihkan, Ares yang rapuh terlihat seperti anak kecil sebagaimana ia kerap kali bersikap di depan Ananda.

Kedua matanya terpejam, ia ingin tertidur walaupun begitu susah saat pikiran lelahnya terasa menumpuk dengan banyak sekali beban yang dirasakannya.

Ares ingin tidur, karena mungkin nanti Ananda akan datang menemuinya dalam mimpi untuk sekedar mengucapkan salam perpisahan.

Ares ingin tidur, sehingga ia akan bisa melihatnya lagi walaupun ketika bangun nanti Ares tidak akan mengingatnya dengan jelas, tetapi tidak apa.

Asal Ares bisa melihat Ananda.

Ares tertawa miris kala ia semakin kalut dan justru terbersit di pikiran paling gilanya, saat ia terbangun nanti semua ini adalah mimpi yang luar biasa begitu terasa nyata.

Dan akan ada Ananda yang menepuk-nepuk pipinya dengan lembut sambil memanggil namanya dengan sedikit merajuk seperti biasa yang beberapa kali dia lakukan ketika menginap di tempatnya.

“Kakak Ares bangun... udah siang nih.”

Ares tersenyum tipis mengingat hal tersebut, kedua matanya masih terpejam dengan air mata yang terasa hangat membasahi pipinya.

Ares hanya berharap kantuknya segera datang dan menjemputnya ke dalam mimpi agar ia bisa bertemu lagi dengan Ananda nya.

Sayang, Kak Ares rindu dan ingin pulang.

Karena kematian, tidak akan mungkin mengambil Ananda juga di dalam mimpinya, dan hanya di sanalah Ares akan menemukannya.

I sleep so that we can meet, Ananda.

I am trying to remember you and let you go at the same time

Satu tarikan napas panjang terlihat dilakukan oleh Ares saat menghentikan mobilnya di depan toko bunga yang dua tahun lalu untuk pertama kalinya ia datangi ketika hujan turun di langit Kota Bandung.

Butuh hingga lima menit untuk pemuda yang kini berusia dua puluh tujuh itu menyiapkan dirinya sebelum keluar dari mobil. Ia hanya terdiam menatap ke arah sana saat berbagai kelibat kenangan muncul di pikirannya.

Ares pernah membantu Ananda dengan kardus-kardusnya di depan toko, sebuah pertemuan kedua yang begitu sangat manis kalau diingat.

Kepalanya menunduk hingga keningnya menyentuh kemudi dan ada senyum getir yang terlihat samar. Tangannya yang juga sedang memegang kemudi tanpa sadar mengerat membuatnya lagi-lagi harus menghela napas lebih dalam.

Ananda, bisiknya dalam hati.

Langkah lebarnya berjalan pelan untuk sampai ke depan pintu kaca yang tertutup rapat. Tangannya memegang handle pintu sebelum mendorongnya untuk dibuka dan melangkah masuk.

“Teh Maudy.”

Sapanya pertama kali saat ia melihat kakak sepupu Ananda yang sedang sibuk dengan berbagai bunga potong yang berserakan di atas meja. Kepalanya mendongak dan pandangannya sedikit terkejut melihat siapa yang datang ke tokonya saat dia baru saja buka.

“Ares? Sudah lama banget. Apa kabar kamu, Res?”

Ares tersenyum sopan menyambut respon hangat dari kakak perempuan yang dulu selalu menjadi saksi bagaimana ia banyak mengunjungi Ananda di sini.

“Saya baik, semuanya gimana?”

Ares balik bertanya pada Maudy yang sudah menyuruhnya untuk duduk di meja yang juga pernah ia tempati ketika menunggu Nanda merangkai bunga pesanan Samudra dulu di pertemuan pertama mereka.

Satu tahun lalu Ares memang kembali ke Jakarta dan meninggalkan Bandung yang sudah ia tinggali selama delapan tahun terakhir.

Tepatnya enam bulan setelah kepergian Ananda.

Alasannya karena tuntutan pekerjaan dan kemudian tentu saja keputusannya itu disambut baik oleh orang rumah saat akhirnya anak sulung mereka bisa kembali tinggal bersama.

Obrolannya dengan Maudy membawa banyak kenangan yang kembali mengambil alih pikirannya.

Selain apartemennya dulu, setiap sudut toko bunga ini juga mengingatkannya dengan Ananda.

Bunga dan langit, dua hal yang selalu Ares kaitkan dengan kekasihnya itu.

Ares menatap lama sebuah papan yang ada di sisi tembok tempat menempelkan foto-foto dari kelas merangkai bunga. Dan di sana ada cukup banyak foto Ananda juga foto mereka berempat bersama Samudra serta Anindita saat diambil hampir dua tahun lalu.

Kenangan hari itu tercetak dalam sebuah foto polaroid kecil yang sepertinya nanti akan ia minta untuk dibawa pulang.

Netra Ares juga bergulir menatap sebuah cctv yang berada di belakang meja tempat Nanda bisa merangkai bunga dan mengarah ke tempatnya duduk sekarang.

Memorinya kembali mundur pada hari di mana saat ia datang untuk menemui Ananda sebelum pulang ke Jakarta.

Pagi itu Nanda menyuruhnya untuk berdiri di depan cctv sambil melambaikan tanganya yang membuat Ares bertanya bingung, “Buat apa, sayang?”

“Biar aku bisa lihat Kak Ares dari rekaman cctv kalau kangen.”

Jawaban polos Nanda saat itu membuat Ares sekuat tenaga menahan tawanya karena terdengar begitu lucu baginya, “Kalau kangen kan tinggal video call, Ananda.” gumam Ares.

Ia justru menarik Nanda yang sedang duduk untuk ikut berdiri sebelum kemudian merangkulnya “Gini saja ya, biar kamu nanti lihatnya kita berdua. Nah, sudah boleh dadah-dadah sekarang.”

Nanda tertawa dengan ide Ares karena kalau Teh Maudy tahu pasti dia akan malu banget.

Tangannya di pegang oleh Ares dari belakang dan langsung melambai ke atas, membuatnya benar-benar tertawa lepas apalagi saat kemudian Ares melakukan hal yang sama.

Hari itu, Ares ingat Ananda banyak tertawa dengan wajah cerahnya meskipun kemudian ia merajuk seperti biasa saat Ares harus pergi.

Mirisnya, sekarang justru Ares lah yang rasanya ingin melihat semua rekaman cctv di ruangan ini karena akan ada banyak sekali keseharian Ananda yang terekam jelas di sana.

Kesadarannya yang sedikit melamun itu berhasil ditarik kembali untuk menatap Maudy yang kini memberikan sebuah undangan pernikahan padanya.

“Dari Alvin, sudah jauh-jauh hari dia bilang kalau ada kamu datang kesini tolong dikasih. Keluarga Nanda masih suka nanyain kamu, Res.”

Tangan Ares memegang undangan pernikahan berwarna gading dengan hiasan bunga yang terlihat sangat cantik. Dilihat dari tanggal yang tercetak, acaranya masih dua minggu lagi.

Kini di wajahnya terulas sebuah senyum ketika mendengar ucapan Maudy. Ares tahu keluarga Ananda memang begitu baik karena sejak dulu selalu menyambutnya dengan tangan terbuka lebar,

“Saya ikut berbahagia buat Kak Alvin. Nanti saya pasti datang. Tolong sampaikan salam sama semuanya, Teh.”

Sejak kepindahannya kembali ke Jakarta bulan Februari tahun lalu, Ares beberapa kali masih sering berkunjung ke Bandung.

Ia akan menyempatkan waktunya untuk mengunjungi Ananda yang selalu dirindukannya.

Namun memang Ares sudah lama tidak mampir ke toko ini sehingga ia tidak pernah bertemu lagi dengan Maudy maupun keluarga Ananda yang lain.

Paling saja Ares hanya akan bertemu dengan Samudra saat sahabatnya itu diberi tahu kalau ia sedang ada di Bandung.

Karena Ares sudah tidak punya tempat pulang lagi di sini.

Rumahnya sudah tidak ada.

Sejujurnya ada seseorang yang ingin sekali Ares temui, mungkin nanti saat di acara Alvin. Ares ingin bertemu Ibu nya Nanda yang dulu selalu menyambutnya dengan senyum lembut ketika ia akan menemui anak bungsunya.

Bahkan, Ares masih mengingat jelas bagaimana Ibu memeluknya dengan begitu hangat di hari Nanda meninggal.

Tangan lembutnya mengusap dengan sabar punggung Ares yang bergetar. Beliau berbisik padanya yang sedang menangis sambil memegang nisan Nanda dan berkata untuk mengikhlaskan kepergian putranya walaupun Ares tahu betul, hal tersebut juga pasti jauh lebih berat untuk beliau.

“Hari ini mau ke tempat Nanda?”

Ares mengangguk pasti, ia rindu sekali.

“Saya mau bawa bunga, tapi boleh nggak saya yang merangkainya sendiri?”

Permintaan Ares itu membuat Maudy menampilkan senyum simpul sambil mengangguk, “Silahkan, Ares.” dia tentu tahu bagaimana adik sepupunya itu selalu menunggu Ares di sini dengan penuh senyum dan akan sibuk bercerita banyak padanya tentang Ares yang begitu baik.

Kak Ares ini, Kak Ares itu.

Senyumnya, cerita antusiasnya dan binar senang di kedua bola matanya bila Ares datang masih bisa diingat jelas oleh Maudy hingga sekarang.

“Terimakasih, Teh Maudy.”

Dulu, di saat ia menyatakan cintanya di toko bunga ini. Ares pernah bilang kalau ia akan membuatkan buket bunga paling cantik untuk Ananda.

Dan di tangannya saat ini, ada sebuket bunga lily putih kesukaan Ananda yang ia rangkai dengan susah payah agar terlihat cantik sebagaimana janjinya pada Ananda.

Langka kaki Ares seakan sudah hapal di luar kepala kapan ia harus berbelok ke kanan, berjalan lurus, kemudian ke arah kiri agar sampai di sebuah makam yang bertulisan nama Ananda diantara ratusan batu nisan yang ada di sini.

Senyum Ares selalu sama apabila ia akhirnya menurunkan tubuhnya untuk berjongkok di samping pusaran Ananda yang kini sudah berusia lebih dari satu tahun itu.

Sebuah senyum hangat namun dengan sorot penuh luka yang tidak akan bisa berbohong terlihat jelas di wajah tampannya.

Tangan Ares yang dibalut kemeja panjang berwana hitam menaruh bunga yang tadi dibawanya di atas makam Ananda dengan perlahan.

“Ananda...” sapanya dengan pelan, “Maafin Kak Ares baru sempat datang lagi.”

Tangannya terulur untuk mengusap dengan pelan nama cantik Ananda yang terukir di sana, ada bekas air hujan yang menghalanginya karena jelas saja hujan lagi-lagi turun di sini bahkan sejak pagi.

“Maaf juga kalau buket bunganya enggak sebagus buatan kamu ya, sayang. Kak Ares nya masih belum jago.”

Ia juga membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh sembarangan walaupun makam Ananda jelas terawat dengan rapi.

Ares termenung sebentar menatap nisan Ananda yang lagi-lagi diusapnya dengan perlahan, dadanya terasa sesak sesaat ia kembali berbicara,

“Nanda tahu nggak, hari ini harusnya kita anniversary yang ke dua sekarang...” bisiknya dengan begitu pelan.

Di bulan Januari dua tahun lalu mereka akhirnya berpacaran setelah Ares melakukan aksi pdkt nya yang hanya berlangsung dua bulan saja. Setelah Ares yakin bahwa hatinya memang sudah tertuju pada Ananda bahkan sejak di pertemuan pertama mereka.

Dan kali ini Ares bertemu lagi dengan tanggal dan bulan yang sama namun dengan tahun yang berbeda.

Begitu pun dengan keadaan mereka berdua, Ares di sini sendirian tanpa Ananda di sisinya.

Ares bisa menghabiskan waktu cukup lama bila ia sedang berada di sini. Ada banyak cerita yang keluar dari bibirnya seakan Ananda mendengarkan dan ada di sini bersamanya.

Sesekali pandangan Ares menengadah ke atas untuk menatap langit yang kelabu tertutup awan mendung.

Ares selalu berharap bahwa langit Ananda bisa menyampaikan pesan kepadanya, bahwa langit Ananda bisa tahu kalau di sini, Ares akan selalu mengenangnya.

Dari total dua puluh tujuh tahun hidupnya, Ares mungkin hanya menghabiskan waktu bersama Ananda kurang dari satu tahun saja.

Tetapi, kenangannya bersama dengan Ananda akan selalu Ares simpan di satu ruang ingatannya, karena Ananda begitu berarti untuknya.

Karena Ananda begitu ia cintai dengan setulus hatinya.

Setelah kepergian Ananda banyak hal yang terjadi. Namun, terkadang Ares selalu ingin kembali kepada waktu saat ia masih bersama Ananda. Ketika kehadiran Ananda bisa ia lihat di hidupnya.

Tentu saja butuh waktu yang tidak sebentar untuk Ares bisa benar-benar melepaskan kepergian Ananda.

Butuh banyak rasa sakit yang harus dilalui oleh Ares kala setiap hari ia menatap nanar sudut tempat tinggalnya yang selalu mengingatkannya dengan Ananda.

Butuh hati yang begitu lapang saat Ares akhirnya bisa mengucap ikhlas untuk merelakan Ananda pergi selama-lamanya.

Rindunya jelas masih sering mampir karena Ananda menempati satu ruang di hatinya yang tidak akan pernah bisa Ares gantikan.

Ares merindukan suaranya, Ares merindukan tatapan hangatnya, Ares merindukan senyum cantiknya, Ares selalu merindukan Ananda nya.

Namun perlahan, beban kesedihan dan duka yang selalu Ares bawa itu terasa lebih ringan saat ia benar-benar meyakini kalau Ananda pergi ke tempat yang jauh lebih baik.

Tuhan lebih sayang Ananda sehingga Dia mengambilnya lebih cepat.

Ares akan selalu mengingat tentang Ananda yang pernah mengisi hari-harinya.

Ananda yang selalu memberikan bahagia kepadanya.

Ananda yang begitu disayanginya.

Ares mengusap sudut matanya yang menghangat saat tiba-tiba air matanya kembali keluar dari sana, “Nanda di atas sana pasti bosan lihat Kak Ares sering nangisin kamu ya.” gumamnya mencoba untuk mengulas senyum, tetapi nihil.

Duka Ares masih ada di dasar hatinya, ia mungkin bisa terlihat baik-baik saja di depan orang lain. Tetapi saat sendiri, Ares tidak akan bisa berbohong kalau hatinya selalu merasa sakit dan dalam diamnya Ares hanya berharap Ananda di tempatkan di sisi terbaik-Nya.

Ananda sudah di surga, anak baik itu sudah tenang di atas sana.

Tangannya kembali mengusap nama Ananda, kepala Ares tertunduk dalam dengan mata terpejam, membayangkan wajah Ananda yang selalu menatapnya sambil mengulas senyum dengan lesung pipi yang begitu cantik.

“Kak Ares rindu sekali, sayang.” bisiknya.

Pertahannya runtuh, pundak Ares perlahan bergetar pelan. Di depan pusaran Ananda, ia akhirnya menangis bersama langit yang perlahan ikut kembali berduka bersamanya, langit menjatuhkan satu demi satu tetes air yang membasahi pundaknya seakan ikut merasakan kesedihan pemuda di bawah naungannya.

“Ananda...”

Untuk Ananda, sayangnya Kak Ares.

Ananda, kalau nanti kita terlahir kembali... izinin Kak Ares buat jagain kamu lagi ya, sayang.

Nanti kita minta sang waktu agar jangan jahat sama kamu, agar kita bisa sama-sama lebih lama lagi.

Masih banyak sekali yang ingin Kak Ares lakukan untuk kamu, Ananda.

Ananda... Kak Ares berharap bisa bilang langsung kalau kakak sangat berterimakasih untuk semuanya dan untuk kenangan yang telah kita bagi berdua.

Anandaku yang cantik, tidur yang nyenyak ya, sayang.

I love you.

I miss telling you.

I miss hearing it back.

If I had one wish, you'd stay forever

Akan ada dua hal yang bisa membayangi ingatan Ares mungkin hingga bertahun-tahun kedepan bila mengingat tentang Ananda; bagaimana Ananda melihatnya untuk yang pertama kali dan bagaimana Ananda menatapnya untuk yang terakhir kali.

“Emangnya kakak harus banget pergi ya besok lusa?”

Ares menatap Ananda yang bertanya tidak rela sambil memeluk pinggangnya yang sedang berdiri di samping tempat tidur. Satu sisi wajahnya menempel pada perut rata Ares dengan tangan yang semakin mengerat melingkar padanya.

Kekasihnya itu dengan muka bantalnya yang baru bangun tidur terlihat lucu karena rambutnya mencuat kesana sini hingga Ares dengan penuh perhatian menyisir menggunakan jari-jarinya.

Di hari Minggu pagi pukul setengah tujuh ini, Ananda terbangun saat dia mencium wangi masakan yang masuk ke hidungnya yang sedang tidur.

Semalam, Nanda memang menginap di tempat Ares. Saat dia terlalu malam untuk pulang setelah mereka menghabiskan waktu bersama, Nanda memang beberapa kali akan tidur di sini ketika Ares tentu saja mengizinkannya.

Alasannya juga karena minggu kemarin Ares harus pulang ke Jakarta, jadi mereka tidak bertemu di hari libur.

Kangen, akhirnya kemarin bisa quality time seperti biasa di tempat Ares.

Tetapi semalam tiba-tiba Ares memberi tahu kalau minggu depan ia harus pergi lagi.

Ares mengerang gemas saat melihat bibir Nanda yang kini mencebik di bawahnya, ia menangkup kedua pipi yang masih memeluk pinggangnya dan membuat wajah bangun tidur itu menengadah menatapnya.

“Sebentar saja, nanti Sabtu pagi juga pulang, sayang. Ada kerjaan cuma tiga hari.”

“Enggak tiga hari. Kan dua hari buat di jalan, totalnya jadi lima hari dan itu lama tau, Kak Ares....” sanggah Nanda dengan nada sedikit merajuk sambil meremas kaos bagian belakang Ares, “Pingin ikut ke Jogja. Mau liburan, pusing kerja terus.” lanjutnya membuat Ares justru tertawa kecil.

“Kakak ke sana juga buat kerja loh, Ananda. Bukan liburan.” diusapnya pipi yang lebih muda itu dengan ibu jarinya, Ares tersenyum lembut menatap Nanda yang belum merelakannya untuk pergi, “Nanti ya liburannya kalau ada long weekend, terus kita ke sana berdua.”

Sorot di kedua netra Ananda itu kemudian perlahan berbinar antusias menatap iris hitam Ares yang menunduk padanya,

“Mau! Janji ya awas kalau Kak Ares bohongin Nanda.”

Janji Ares yang tidak akan bisa ditepati itu rupanya kembali bertambah.

Ares mengangguk sembari mendekatkan wajahnya, ia mengecup cepat sudut bibir Ananda yang kali ini mengulas senyum lebar.

“Iya, sekarang ayo bangun dulu, kakak sudah masakin sarapan buat kamu.”

“Gendong.”

Oh, Ananda ayolah ini masih pagi tapi dia sudah bersikap manja sekali.

Nanda tertawa saat Ares mencubit pipinya, selalu begini kalau ia gemas dengan Nanda, geregetan banget.

“Pacarku yang baik, pacarku yang paling tampan sebandung raya. Kak Rajendra, gendong.”

Pintanya lagi dan sengaja menggunakan nada lebih manis lengkap dengan lesung pipi dalamnya sambil mengulurkan kedua tangan pada Ares.

Rajendra. Tentu saja jarang sekali Nanda memanggil namanya seperti itu karena Ares sendiri pun jarang menggunakan nama depannya yang menurut sebagian orang terdengar cukup asing, bahkan dia lebih sering menyingkat satu huruf R saja si depan namanya.

Ditatapnya dengan hangat Ananda dan sikap manjanya yang tidak berubah sedikit pun setelah hubungan mereka memasuki bulan ke tujuh, justru dia malah semakin sering menujukannya pada Ares yang tidak akan pernah menolak.

“Manja banget sih Ananda ini.”

“Gak boleh?” Nanda menatap Ares dengan raut sedih namun saat Ares menyambut uluran tangannya, sebuah senyum senang menjadi satu-satunya yang bisa dilihat oleh Ares.

“Kak Ares si dewa perang memang kuat banget.” katanya lalu terkekeh geli membuat Ares merespon dengan bergumam sambil membawa tubuhnya keluar dari kamar dengan mudah.

Ananda memang suka meledeknya seperti itu, tetapi dia jelas tahu kalau Kak Ares nya jauh dari kata kejam seperti apa yang tersemat untuk dewa perang dalam mitologi Yunani.

Ares begitu baik padanya, Ares begitu perhatian dan menghargai Ananda setulus hatinya.

Juga, Ares begitu mencintainya.

Seperti anak koala, Nanda mengaitkan kedua kakinya di belakang pinggang Ares saat ia memeluknya dari depan. Tangannya memeluk erat bahu Ares dengan dagu yang ditaruh di atas pundaknya.

Senyumnya terlihat semakin melebar saat Ares mendekapnya erat untuk menjaga tubuhnya agar tidak jatuh.

“Kakak Ares sayangnya Ananda...” bisiknya pelan di samping telinga sang kekasih sambil mencium pipi kanannya, tingkahnya itu praktis langsung membuat Ares melepaskan sebuah tawa yang terdengar dalam penuh senang memenuhi ruangan apartemennya.

Benar kata Samudra, dia jadi bucin nggak ketolong ke Ananda Ananda ini.

Ares mendudukan Nanda di meja makan yang masih kosong, ia memang belum menyiapkan piring atau menuang makanan apa pun yang masih hangat di atas kompor.

Tubuh Ares itu seperti mengurung Nanda saat kedua tangannya ditaruh di sisi kana kiri tepat di samping pahanya yang hanya menggunakan celana pendek di atas lutut milik Ares, begitu pun dengan kaos putih yang dikenakannya saat ini jelas milik si pemilik tempatnya menginap.

Iris legam Ares lagi-lagi bersitatap dengan netra Ananda yang sedikit terang karena tertimpa cahaya matahari yang menerobos masuk melalui pintu kaca ke arah balkon.

Cantik, Ananda nya begitu cantik sekali pagi ini.

“Kenapa?” Ananda bertanya nyaris berbisik saat Ares hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dia sedikit salah tingkah apalagi posisinya sekarang yang tidak bisa kabur kemana pun.

“Gak apa-apa, kamu cantik.” jawab Ares sambil menyentuh anak rambut Ananda yang jatuh acak di pelipisnya.

Ananda tersipu dan Ares menyukainya.

Ia kembali mendekatkan wajahnya dan mencium lagi-lagi sudut bibir Ananda hingga kekasihnya itu tertawa malu.

Suara tawa Ananda sepenuhnya memenuhi pendengaran Ares saat ini, juga mengisi tempat tinggalnya yang dulu terbiasa sepi.

“Kak Ares...” juga suara Ananda yang menyebut namanya di sela tawa selalu membuat Ares melebarkan sudut bibirnya.

Karena mengetahui dialah alasan Ananda tersenyum dan Ananda tertawa bahagia membuat Ares semakin tidak ingin kehilangan Ananda.

Satu tangan Ares menangkup pipi Nanda saat kening mereka bersentuhan, mau sekuat apa pun ditahan, Nanda tidak bisa menyembunyikan rona kemerahan yang muncul di wajahnya saat ini.

“Ananda...” Ares berguman pelan, kedua sorot mata mereka yang bertemu pandang tampak berbinar satu sama lain, “Ananda...” panggilnya lagi hingga Nanda semakin memerah dan Ares tertawa kecil dibuatnya.

“Kak Ares.” Nanda akhirnya menggerutu padanya.

Lucu sekali.

Nanda mungkin tidak akan pernah mengira kalau pertemuan pertamanya dengan Ares di suatu siang saat turun hujan itu akan membawanya begitu jauh hingga sekarang.

“Kakak....” kali ini tangannya yang memang masih berada di pundak Ares perlahan terangkat untuk menyentuh kedua pipi Ares dan menangkupnya, dia melakukan hal yang sama seperti Ares yang selalu memperlakukannya sepert ini, bahkan beberapa menit lalu karena sekarang tangan Ares sudah berada di pinggangnya.

Tangan lembut Ananda yang berada di pipinya itu membuat satu senyum simpul hadir kembali di wajah tampan Ares yang sedikit bingung, “Kamu ngapain, hmm?”

Kepala Nanda menggeleng pelan, yang bisa Ares lihat hanya sorot penuh bahagia tergambar jelas di kedua mata jernihnya.

“Aku sayang banget sama Kak Ares.” katanya sambil tersenyum, dia menatap setiap detail dari wajah Ares yang sudah menjadi kebiasaan diam-diamnya kalau sedang memperhatikan Ares.

Dikecupnya dengan lembut puncak hidung Ares yang mancung karena Ananda suka sekali melihatnya. Terkadang kalau Ares tidur di atas pahanya, telunjuk Ananda sering menyentuhnya di sepanjang tulang hidungnya hingga Ares terheran namun tetap dibiarkan karena Ananda akan berkata kalau dia menyukainya.

“Aku selalu berterimakasih karena Kak Ares selalu bikin aku bahagia. Karena aku mungkin enggak pernah sebahagia ini sejak aku kenal sama orang sebaik kakak.” lanjutnya tanpa ragu.

Ananda tiba-tiba merasakan sudut matanya menghangat yang jelas tidak terlewat sedikit pun dari netra Ares yang berada tepat di depannya.

“Rasanya...” Nanda menjeda saat suaranya sedikit tercekat, tangannya menarik bahu Ares untuk mendekat lalu dia kembali memeluknya, menyembunyikan wajahnya yang siap menangis di balik bahu Ares,

“Aku mau sama Kak Ares terus, sampai lama.”

Ares mengangguk kecil mendengar suara Nanda yang sedikit parau, tangannya mengusap bergantian di sepanjang pinggang hingga puncak kepalanya sambil bergumam membalas semua ucapan Ananda dan mengecup pundak polosnya saat kaos yang dia kenakan memperlihatkan kulit putihnya.

Ares memeluk Ananda dengan begitu dalam, menenggelamkan tubuh Ananda di bawah rengkuhannya. Menghirup wangi Ananda yang tercampur dengannya sambil memejamkan mata.

“Enggak cuma Nanda, Kak Ares juga sama. Mau sama kamu terus.” bisiknya sungguh-sungguh.

Di hari itu ia mengantarkan Nanda pulang di pukul tiga sore setelah mereka menonton sebuah film animasi yang membuat Nanda menangis di pelukannya.

Ah, Ares tahu Ananda memang begitu lembut, hatinya gampang tersentuh dan beberapa kali dia mudah menangis membuat Ares harus memeluknya atau merangkulnya sambil mengusap-ngusap bahunya.

Dan saat Ananda kembali meminta sebuah pelukan panjang darinya di dalam mobil tepat di depan rumahnya, Ares tentu saja mengabulkan tanpa banyak bertanya.

Yang bisa dilakukannya hanya kembali mendekap Ananda, memeluknya dengan tangan yang melingkar di tubuhnya membuat Ananda merasa aman saat memiliki Ares yang selalu ada untuknya.

“Gapapa ya, Kak Ares pergi ke Jogja dulu?” tanyanya sekali lagi dengan satu tangan yang lagi-lagi menangkup pipi kanan Ananda, ibu jarinya mengusap lembut wajah sang kekasih di sana.

Satu tangan hangat Ares yang lain menggenggam tangan Ananda dengan sedikit erat.

“Ananda...” ucapnya lagi saat Nanda masih belum menjawab, dia justru terlihat begitu sedih dengan mata yang berkaca-kaca, “Gak lama beneran, nanti kaka—”

“Iya.” potong Ananda saat Ares belum selesai bicara. Dia menghela napas kecil, lalu mengangguk, “Gapapa, Kak Ares...” jawabnya dengan suara tertahan, perlahan senyumnya terlihat walaupun tipis dan sorot matanya masih memancar tidak rela saat akan ditinggalkan oleh Ares.

Ares menarik kedua sudut bibirnya, ia mencium kening Ananda cukup lama membuat Ananda memejamkan matanya. Ares juga menggenggam erat kedua tangannya lagi, sebelum dibawa ke depan bibirnya sambil dicium berkali-kali.

“Makasih, sayangnya Kak Ares.”

Siapa pun pasti akan berpikir bahwa pelukan di sore hari itu hanya untuk perpisahan yang akan dilewati beberapa hari ke depan saja.

Baik Ares maupun Ananda.

Tanpa tahu, bahwa garis takdir kejam ternyata berkata lain.

Mereka dengan tega justru menjadikannya sebuah pelukan perpisahan yang tidak akan pernah bisa Ares dan Ananda ulangi lagi. Selamanya.

Kemudian Ares bisa melihat Ananda yang kembali tersenyum padanya sambil melambaikan tangan di depan rumah saat Ares memasuki mobil.

“Hati-hati, Kak Ares. Ketemu lagi Sabtu ya!”

Bahkan kalimat terakhir dari Ananda yang Ares dengar secara langsung dengan telinganya sendiri akan selalu terngiang olehnya dengan jelas.

Tatapan Ananda dengan mata coklat gelapnya yang tidak berbinar seperti biasa menjadi tatapan yang Ares lihat untuk terakhir kali di hari tersebut.

Juga yang bisa ia lihat secara langsung untuk terakhir kali dalam hidupnya di pertemuan terakhir mereka.


Talapak tangan Ares terasa dingin, begitu pun dengan bahunya yang tiba-tiba menegang. Pikirannya sudah jauh pergi dari kereta yang masih melaju kencang di jalannya.

Ares baru selesai mengurus pekerjaan yang mengharuskannya untuk mengunjungi Yogyakarta dalam beberapa hari ini.

Dan di hari Sabtu siang awal bulan Agustus, ia harus mendengar kabar yang membuatnya bingung, kabar yang membuatnya kalut saat sebuah telepon dari nomor yang ia namai “Toko Bunga Ananda” menghubunginya.

Adalah suara serak serta tangis perempuan yang pertama kali menyapanya.

Ares mengenal Maudy sejalan dengan hubungannya bersama Ananda yang telah terjalin beberapa bulan ini, karena kalau dibandingkan dengan kedua kakak Ananda, Ares memang lebih sering bertemu dengan Maudy saat ia sering bolak-balik ke toko untuk bertemu dengan kekasihnya.

“Ares, Nanda kecelakaan.”

“Sekarang sedang dibawa ke rumah sakit.”

Ares tidak bisa mencerna kata-kata lain yang diucap Maudy saat itu, yang ada di pikirannya hanya Nanda dan kecelakaan.

Hal mengerikan apa maksudnya ini, Ya Tuhan.

Enggak mungkin, bahkan tadi pagi pun Ananda masih mengiriminya pesan.

Ares tentu saja tidak mau percaya.

Ares tidak mau Ananda nya kenapa-napa.

Ia kemudian mencoba menghubungi nomor Ananda bepuluh-puluh kali namun hasilnya nihil. Perasaannya semakin tidak jelas saat Ananda tidak bisa dihubungi dan seolah membuktikan ucapan Maudy adalah benar, semua ini bukan sebuah lelucon yang ia harapkan.

Di saat seperti ini Ares punya Samudra yang bisa ia mintai tolong dan sesuai dugaan, sahabatnya itu langsung pergi menuju rumah Ananda untuk memastikan kekhawatiran yang ia rasakan begitu besar saat ini.

Dengan tidak sabar Ares melirik arloji yang ada di tangan kanannya. Sial! ia mengumpat berkali-kali sambil mengepalkan tangannya di atas paha ketika jadwal kereta yang ia tumpangi saat ini masih lebih dari satu jam lagi untuk sampai di Kota Bandung.

“Ares, lo kenapa?”

Ares menoleh ke belakang saat Abian, teman satu kantornya bertanya dengan raut bingung melihat Ares yang tampak begitu gelisah, juga dia sempat mendengar Ares berbica di telepon hingga rekannya itu berkata tidak mungkin berkali-kali dengan nada penuh tidak percaya.

“Mas Bian, gue harus gimana?” tanyanya dengan suara gamang, pandangannya terlihat begitu kalut, perasaannya semakin tidak menentu saat suara Maudy yang menangis kembali terngiang di telinganya.

“Keadaannya parah, Ares.”

Selama sisa perjalanannya Ares harus menunggu dengan perasaan penuh gelisah sambil merapal doa tidak henti dalam hatinya untuk Ananda.

Nanda, kamu pasti nggak apa-apa, sayang.

Nanda, Kak Ares mohon.

Kita sudah janji hari ini mau ketemu.

Ananda jangan kemana-kemana.

Sebentar lagi Kak Ares pulang.

Ananda, Ananda, dan Ananda.

Pikiran Ares saat ini begitu penuh, gelisahnya membuat berbagai pikiran negatif berkeliaran di kepalanya dengan kurang ajar.

Ares menggeleng kuat sambil tertawa sumbang.

“Goblok. Mikir apa sih lo, Res.”

“Jelas, Ananda pasti baik-baik saja. Pasti.”

Namun, nada getar penuh takut yang keluar dari suaranya tidak bisa Ares bohongi.

Ananda gak akan kemana-mana, Rajendra. Stop mikir hal yang gak perlu, batinnya sibuk merutuk dirinya sendiri.

“Ananda pasti lagi nungguin gue.”

Now I have to remember you for longer than I have known you

Bagi Ares, ada banyak hal yang selalu ia ingat dengan jelas kalau itu berbicara tentang Ananda, kekasihnya.

Setelah pertemuan pertama mereka, ia bercerita panjang lebar dengan Azka juga Samudra soal bagaimana Ananda berhasil mencuri perhatiannya dan tentu saja Samudra berkata mampus! dengan refleks guna membalas cerita lama tentang dia yang dulu sering membahas Anindita semasa kuliah di depan kedua sahabatnya tapi malah dianggap candaan oleh Ares.

“Ngarasain juga kan lo jadi gue. Kena karma tuh nanti jadi bucin gak ketolong ke Ananda Ananda itu.”

Saat itu Ares hanya bisa tertawa menanggapi ucapan Samudra tanpa benar-benar menyanggahnya sama sekali karena di sudut hatinya Ares tahu, Ananda berbeda. Ananda memang begitu kuat menciptakan kesan pertama di ingatannya.

Hingga akhirnya dua minggu kemudian Ares memutuskan untuk kembali menemui Ananda yang merupakan sebuah titik awal dari perjalanan cintanya menjadi sangat besar.

Juga yang tidak akan pernah ia bayangkan akan membawanya merasakan duka kehilangan yang begitu menyakitkan saat Ananda pergi.

Di hubungan mereka yang memasuki bulan ke empat, Ares baru saja menjemput Nanda sepulang bekerja sesuai rutinitasnya bila mereka sedang tidak sama-sama sibuk.

Ketakutan Nanda saat itu memang tidak sepenuhnya terbukti, namun tidak salah juga karena kesibukan mereka memang sedikit berdampak pada intensitas pertemuan keduanya.

Tetapi, semua itu masih bisa diatasi, baik Ares maupun Nanda pada akhirnya tidak terlalu mempermasalahkan karena sesibuk apa pun mereka akan selalu ada saat saling membutuhkan.

Hari Jumat sore sudah bisa dihitung memasuki weekend ketika mobil Ares baru saja meninggalkan halaman parkir kantor tempat Nanda bekerja.

Di kursi sampingnya, dia tampak terduduk bersandar dengan bahu terkulai lemas, “Capek banget, Kak Ares.” katanya dengan nada merajuk.

Ares tersenyum kecil sambil mengusak puncak kepalanya, tuh kan kasian banget pacarnya ini.

Ia memberikan satu cup minuman dingin yang tadi sengaja dibelinya sebelum menjemput Nanda, dan tentu saja itu langsung membuat mata Nanda berbinar senang sambil menerimanya.

Tahu sekali apa saja yang bisa menaikan mood Nanda.

Perhatian Ares menang tidak pernah berkurang sedikit pun dari sejak mereka dekat dulu, bahkan rasanya semakin bertambah seiring berjalannya hubungan mereka.

“Makasih, kakak.”

“Sama-sama, sayang.”

Setelah dua bulan bekerja, Nanda memang harus terbiasa mengikuti ritme hidup fase dewasa yang mulai dijalaninya dan Ares tidak pernah absen sebagai supportive boyfriend yang selalu mendengarkan setiap ceritanya bahkan memberikan masukan-masukan yang sekiranya sedikit membantu Nanda dalam menjalani pekerjaannya.

Namun, setelah lelahnya mereka di hari kerja itu akan ada weekends yang selalu dinantikan karena akan dihabiskan dengan penuh perasaan senang saat bisa mempunyai waktu bersama lebih lama.

Seperti sekarang, kini mereka berada di balkon apartemen Ares yang lagi-lagi menjadi tempat paling nyaman untuk menghabiskan waktu berdua.

Baik Ares maupun Nanda yang tidak terlalu suka tempat ramai memang sudah memutuskan kalau di sini lah tempat paling pas untuk mereka quality time.

Ares bisa memasakan makanan untuk mereka berdua dengan Nanda yang akan sibuk merecokinya dengan jahil. Kekasihnya itu selalu bersikeras untuk membantu walau ujung-ujungnya hanya disuruh duduk manis saja oleh Ares.

Kalau seperti itu artinya tugas Nanda hanya menyemangati Ares yang sedang memasak dengan caranya sendiri, yaitu memeluk Ares dari belakang hingga Ares hapal betul tingkah manjanya itu.

“Ananda... kalau gini Kak Ares jadi nggak fokus. Dipeluk-peluk kamu terus.”

Dan Ananda hanya akan tertawa saat Ares membalikan tubuhnya, memandangnya dengan jengkel namun akan meluluh saat Ananda memberikan tatapan seperti anak kucing.

Ares akan menghela napas kecil sambil memeluk Ananda yang masih menyisakan tawa kecil di bibirnya.

“Kalau masakan kakak jadi gak enak gara-gara kamu, kamu tanggung jawab ya.”

“Iya, tetap aku makan kok, Kak Ares sayang.”

Atau selain itu mereka hanya akan malas-malasan di atas sofa sambil menonton film dengan kepala Nanda yang tidur di paha Ares atau pun sebaliknya. Juga dengan kentang goreng hangat satu piring yang bisa dihabiskan oleh Nanda.

Di tempat ini, ada begitu banyak memori yang terekam tentang betapa serunya hubungan Ares dengan Nanda, betapa banyaknya tawa bahagia yang kerap terdengar bila mereka sedang bersama.

Nanda terlihat memegang mug putih berisi susu coklat hangat di tangannya ketika Ares yang berada di sampingnya memegang gelas berisi kopi.

Oh, selain tidak bisa makan pedas, Ananda juga ternyata tidak terlalu suka minum kopi sehingga Ares sengaja menyediakan susu coklat di dapurnya khusus untuk Ananda. Pantas saja dulu saat selalu diajak ke cafe waktu pdkt Ananda pasti memesan selain kopi.

Netra Ares melirik ke samping saat Ananda merapatkan cardigan hitam—milik Ares yang sedang dipakainya.

Lima menit lalu Ares masuk ke dalam kamar untuk mengambil cardigan dan memasangkannya di pundak Nanda yang kemudian menatapnya sambil tersenyum lebar mengucap terimakasih.

Setelah mandi tadi, Nanda memang hanya menggunakan kaos pendek dan tentu Ares tidak mungkin membiarkannya kedinginan saat angin malam menerpa kulit putihnya.

Ananda selalu suka kalau dia berdiri di balkon apartmen Ares yang berada di lantai enam. Dari sini terlihat jelas jalan-jalan di Kota Bandung yang masih sibuk di pukul tujuh malam. Lampu-lampu bangunan di bawah sana terlihat cantik kontras dengan langit malam yang begitu gelap.

Ares menyesap kopinya, merasakan sensasi sedikit pahit yang melewati tenggorokannya. Tidak ada yang memulai bicara membuat mereka hanya menikmati hening dengan angin yang sesekali mengibas rambut membuatnya jatuh acak di atas kening.

Satu langkah kecil Ares bergeser ke arah kiri untuk mendekat pada Nanda, tangannya yang tidak memegang gelas merangkul pundak sang kekasih membuat Nanda menjatuhkan kepalanya untuk bersandar di bahu Ares tanpa ragu.

“Langitnya gak banyak bintang, cuma satu.”

Nanda bergumam pelan sambil menengadah ke atas, pandangannya mengedar menatap langit luas tanpa ujung yang begitu gelap.

“Tapi ada bulan sabit di sampingnya, cantik.” timpal Ares ikut mengangkat wajahnya, tangannya mengusap-mengusap lengan Nanda dengan pelan hingga ia merasakan kepala Nanda mengangguk kecil di bahunya, “Iya, cantik banget.”

“Kayak Ananda.”

Nanda tertawa sedikit malu mendengar gombalan Ares yang tiba-tiba itu. Pipinya sedikit menghangat saat Ares mendaratkan sebuah kecupan cukup lama di pelipisnya.

“Ananda Langit Kaivan.”

Naman lengkap Nanda dirapalkan dengan suara dalam oleh Ares, ia mengeratkan pelukannya pada Nanda yang juga semakin merapatkan tubuhnya.

“Nama kamu cantik sekali, boleh tahu kenapa ada langitnya?” ia bertanya sambil melirik Nanda yang kini menyunggingkan senyum di wajahnya.

“Kata Kak Ares paling bagus langit itu saat kapan?” Nanda justru balik bertanya padanya setelah ia menyesap susu coklatnya yang sudah sedikit dingin.

“Senja.” jawab Ares cepat, “Tapi, waktu fajar juga cantik banget.” tambahnya membuat Nanda menatapnya dengan sorot geli, “Semuanya juga cantik, kak.” balasnya.

“Iya betul.”

“Kata Ayah, dulu aku lahirnya waktu fajar. Aku diceritain Ibu juga. Ayah nunggu di rumah sakit sambil panik meluk Kak Alvin sama Teh Nindya yang masih pada kecil dan nggak bisa ditinggal di rumah berdua.”

Ares melihat ada senyum simpul dengan pandangan menerawang yang telihat di wajah cantik Ananda saat ini.

“Ayah bilang, dia dengar suara tangis aku pertama kali saat warna langitnya cantiikkkkkk banget, perpaduan oren sama biru yang bener-bener kayak lukisan karya Tuhan.”

Ananda menatapnya dengan sorot berbinar, sudut bibirnya ditarik jauh berlawanan membentuk lengkung indah yang selalu Ares sukai.

“Terus akhirnya Ayah jadiin langit buat nama tengah aku.” senyum manis Nanda menular padanya hingga Rajendra Ares itu ikut melebarkan sudut bibirnya.

“Nanda juga karya Tuhan yang begitu cantik.” ucap Ares dengan suara beratnya.

“Nanti kalau Kak Ares kangen aku, bisa liat langit aja.” Nanda kemudian kembali berbicara dengan sedikit terkekeh,

“Semua langit mau senja, mau fajar, mau mendung, mau hujan, mau malam, pokoknya semuanya tetap langit yang ada dalam nama aku.”

Tidak lagi merangkulnya, kini Ares telah memeluk Nanda yang sedikit protes karena mug yang ada ditangannya. Tetapi, Ares tidak perduli, ia hanya tertawa mendengar suara gerutuannya itu.

“Gampang banget ya, tinggal liat ke atas terus Kak Ares bisa langsung ngobatin kangen ke kamu, dong.”

Nanda mengangguk di dalam pelukannya, satu tangannya kini membalas pelukan Ares, “Iya, kakak liat langit aja terus teriak deh nanti sampai ke aku tuh suaranya.”

Diciumnya pipi Nanda itu yang kini tertawa karena ucapannya sendiri, “Emangnya kamu burung bisa dengar suara di langit. Aku teriak dari sini juga gak akan sampai ke rumah kamu.”

Ares lalu mengusak rambutnya dengan gemas,

“Lagian kalau kangen tinggal kakak samperin saja ke rumah biar cepat ketemu.”

Sesungguhnya Ares tidak akan pernah menyangka kalau obrolan mereka saat itu tentang langit akan begitu berarti baginya ketika ia benar-benar merindukan sosok Ananda di setiap harinya yang terasa kosong.

Faktanya Ares tidak bisa seperti apa yang ia katakan kala itu, ia tidak bisa mendatangi rumah Ananda untuk mengobati rindunya saat Ananda itu sendiri tidak ada di sana lagi.

Ananda tidak ada di rumahnya.

Ananda sudah berada di tempat jauh yang tidak bisa dijangkau olehnya lagi.

Ares hanya bisa berlama-lama menatap langit dari balkon kamarnya tanpa sepatah kata pun.

Ia hanya terdiam lalu memejamkan mata saat sudut matanya terasa panas dan mendesak air mata entah yang keberapa kalinya untuk kembali jatuh.

Hatinya selalu seperti diremas begitu kuat bila ia menggumamkan nama Ananda yang begitu dicintainya dengan sangat dalam.

Ia berulang kali menyampaikan rindunya pada langit yang begitu luas di atas sana berharap langit Ananda ada di salah satu titiknya dan mendengar bagaimana ia begitu merindukannya.

Nanda lagi apa, sayang? Kak Ares kangen.


Ares selalu suka melihat senyum Ananda yang terukir di wajahnya karena Ananda akan terlihat manis dan juga cantik.

Dialah Ananda Langit Kaivan yang berstatus kekasihnya.

Dialah Ananda yang saat ini sedang terpaku melihat ikan-ikan besar yang berada di atas kepalanya.

Juga, matanya yang berbinar senang selalu membuat Ares ingin memberikan bahagia yang begitu banyak kepadanya.

Di awal bulan Juni ini, Ares baru saja disuruh pulang saat bulan lalu ia tidak bisa. Selain Ananda, alasannya juga karena pekerjaan yang menumpuk membuatnya mau tidak mau menunda jadwal ke rumah orang tuanya.

“Kak Ares.. fotoin aku.” panggilan Nanda itu membuat Ares mendekat padanya sambil melebarkan senyum, daritadi juga Ares sudah banyak mengambil gambar Ananda walaupun dia tidak tahu karena sibuk sendiri dengan rasa senangnya.

Saat ini mereka sedang ada di Sea World.

Katanya ini adalah tempat yang paling ingin dikunjungi Nanda bila dia main ke Jakarta lagi. Nanda bilang terakhir kesini waktu SMA dulu bersama Teh Nindya. Dan Kak Alvin yang selalu dia recoki bila sedang libur itu kerap kali menolak bila diajak, dasar kakak keduanya itu tidak seru!

Ananda sempat terbengong sesaat ketika Ares tiba-tiba mengajaknya untuk pulang ke Jakarta. Dia bahkan sampai tersedak es teh manisnya hingga terbatuk membuat Ares harus menepuk-nepuk punggungnya dengan khawatir.

“Nanda mau ikut Kak Ares pulang nggak? nanti kakak ajak main ke Sea World sekalian, kan katanya kamu mau kesana.”

Itu adalah ucapan Ares yang tiba-tiba saat mereka sedang makan malam di sebuat tempat makan dekat kantornya sepulang mereka bekerja.

Oke, Sea World di sini bukan topik utama seharusnya, karena Nanda dengan cepat justru meng-highlight kata “pulang” yang diucapkan oleh Ares.

Pulang ke rumah orang tuanya, yang artinya Nanda akan bertemu ketiga keluarga Ares. Ada Papa, Mama, serta Lily sang adik yang sudah Nanda kenal cukup lama.

“Kak Ares serius?” Nanda bertanya tidak yakin sambil menatap Ares yang mengangguk pasti di depannya.

“Serius, sayang. Minggu ini aku disuruh pulang sama Mama.”

Sekarang masih hari Rabu, ada jeda tiga hari untuk Nanda berpikir hingga hari Sabtu saat Ares akan pulang ke Jakarta.

“Kabarin kakak ya kalau kamu mau. Lily bilang mau ketemu sama Kak Nanda katanya.”

Nanda meringis mendegarnya, Lily itu memang berteman dengannya di Instagram, terkadang dia juga membalas statusnya hingga terjadi obrolan singkat beberapa kali.

“Iya kak, nanti aku izin Ibu dulu.”

Maka, di sini lah Nanda sekarang.

Tadi Ares menjemputnya ke rumah pukul tujuh pagi, kata Ares mereka akan menginap dan baru pulang besok Minggu.

Jujur saja Ananda sedikit gugup saat mobil Ares berhenti di dalam gerbang rumah yang terbuka lebar. Dia menatap Ares yang tersenyum lembut padanya sambil menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam rumah.

Suara anak remaja perempuan langsung terdengar begitu Ares memanggil namanya.

“KAK NANDA!”

Panggilnya dengan suara nyaring membuat Ares mendengus kecil, “Berisik, gausah sambil teriak-teriak juga, Lilya.” katanya sedikit mengomel membuat Nanda menahan tawanya.

“Hallo, Lily.”

Ananda menyambut pelukan Lily dengan hangat, selalu seperti itu dengan siapa pun. Ares tahu kekasihnya adalah anak manis, anak ramah dan anak baik sejak mereka bertemu pertama kali.

Bertemu dengan seluruh keluarga Ares tidak semenakutkan itu karena semuanya tampak welcome sekali pada Ananda yang baru pertama kali berkunjung.

Sikap Nanda yang kelewat ramah dan mudah tersenyum membuat dia selalu disukai banyak orang, sejak sekolah dan kuliah dulu Ananda memang dikenal dengan sikap baiknya.

“Kakak Nanda cantik gini kok mau sama Kak Ares ya..?”

Ares lagi-lagi mendengus sambil menyentil kening adiknya hingga dia mengaduh lebay dan menepis tangan sang kakak. Sedangkan Nanda kembali menahan tawanya melihat tingkah kedua saudara itu.

Dia menatap remaja cantik berambut panjang itu dengan lembut, wajahnya jelas mirip Kak Ares tapi tingkahnya sedikit tidak bisa diam berbeda dengan sang kakak yang lebih kalem, simpulnya.

“Karena Kak Nanda sayang sama Kak Ares. Kakak kamu baik banget.”

Jawaban Nanda itu membuat satu senyum simpul terlihat di wajah Ares.

Berbeda dengan Lily yang langsung berkata heboh sambil menunjuk-nunjuk kakaknya, “Wah kakak pelet pakai apa nih Kak Nanda nya??!”

Kurang ajar,

Ares memiting leher adiknya yang asal bicara, bercanda tentu saja. Tapi, Lilya Baskara itu malah mengaduh sampai Mama datang dan bertanya karena keributan yang mereka buat.

Melihat mereka membuat Nanda tidak bisa menahan senyum lebarnya. Teringat kalau dia juga seperti itu dengan Kak Alvin, kakak keduanya itu yang paling sering ribut dengannya walaupun ujung-ujungnya selalu baik dan memanjakannya dengan banyak jajanan.

Ananda mengerjap saat Ares yang sedang berdiri di sampingnya tiba-tiba menggenggam tangannya.

Kebiasaan, tapi Nanda menyukainya.

Kak Ares dan genggaman tangannya adalah hal yang disukai Ananda.

Tangan hangat Ares selalu menuntunnya kemana pun mereka pergi.

Tangan hangat Ares selalu memberikan rasa tenang kepadanya karena Ares selalu bersamanya.

Tangan hangat Ares selalu menyentuhnya dengan begitu lembut, menggenggamnya menyalurkan sayang yang bisa Nanda rasakan.

Di depan kaca besar dan juga tinggi berisi berbagai ikan dengan air berwarna biru, Ares menatapnya dengan begitu dalam.

Ares tersenyum sangat tampan sekali, genggaman tangannya pada Ananda mengerat tatkala Ananda berucap pelan padanya,

“Makasih sudah ajak aku ke sini, Kak Ares.”

Nanda mendekat, mengecup pipinya dengan cepat lalu berbisik lirih di sampingnya, “I love you, kak.”

“I love you too, Ananda.”

Ares bisa mengingat jelas hari itu.

Ia mengingat bagaimana mereka berbagi tawa sambil menebak-nebak nama ikan yang ada di akuarium raksasa tersebut.

Ia mengingat bagaimana Ananda menyuruhnya untuk meminta tolong pada orang lain agar bisa memfoto mereka berdua.

Ia mengingat bagaimana senyum Ananda tampak berkali-kali lebih cantik saat terlihat begitu bahagia hanya karena Ares mengajaknya ke sana.

Ia mengingat boneka hiu yang dibeli Ananda untuknya sebagai oleh-oleh.

Ia mengingat mata Ananda yang menatap kagum pada ubur-ubur yang bergerak cantik di depannya dan tentu saja tidak lepas dari kamera ponselnya untuk diabadikan hingga akhirnya Nanda sadar dan merengek untuk meminta dihapus.

Ares juga mengingat janjinya yang tidak akan pernah bisa ia tepati.

“Kamu suka banget ya, nanti Kak Ares ajak kesini lagi. Nanda tinggal bilang saja.”

Adalah sebuah janji yang hanya akan terkubur dalam tanpa bisa dijalankannya.

Karena tanpa Ananda itu sendiri, janji Ares tidak ada artinya lagi.

But who am I? without you?

Ares tersenyum begitu lebar saat tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang. Ananda, kekasihnya itu tiba-tiba menerjangnya dengan sebuah pelukan erat begitu ia membuka pintu apartemennya, bahkan saat Ares belum mengeluarkan sepatah kata apa pun.

“Kak Ares, aku keterima kerja!” pekiknya dengan nada senang. Tubuhnya meloncat-loncat kecil sambil memeluk bahu Ares yang masih berdiri di balik pintu yang masih terbuka.

Tingkahnya itu membuat Ares tidak kuasa untuk mendekapnya semakin erat sambil tertawa dengan suara dalamnya, tangannya mengusap lembut belakang kepala Nanda yang masih kegirangan enggan melepaskan pelukannya, dia tidak perduli bila ada yang mungkin melihat tingkah mereka di lorong lantai enam ini.

“Selamat ya, sayang.” bisik Ares lalu mengecup sekilas pelipisnya.

Akhirnya, Nanda bukan lagi pengangguran!

Setelah perjuangannya melamar ke banyak perusahaan hingga minggu lalu dia melakukan interview, hari ini satu pesan masuk di email nya benar-benar membuat Nanda tidak bisa menghilangkan senyumnya.

Ares memang belum tahu karena Nanda sengaja ingin memberikan kabar bahagianya ini secara langsung. Maka dari itu dia meminta untuk bertemu sepulang Ares bekerja hari ini.

Dan di sini lah Ananda berada sekarang, di apartemen Ares yang memang sudah pernah dia datangi.

“Aku bakal jadi anak kantoran kayak Kak Ares. Masih enggak percaya.”

Senyum Nanda tampak lebar sekali sambil sibuk membayangkan bagaimana minggu depan ketika dia akan memulai hidup baru sebagai orang dewasa yang punya pekerjaan.

Tangannya digandeng oleh Ares untuk masuk setelah ia menutup lagi pintu apartemennya.

“Nanti kakak gak bisa main ke toko bunga lagi, jemput kamunya jadi di kantor. Gaya banget.”

Ares berkata sambil menatap Nanda yang terkikik geli, pemuda dua puluh dua tahun itu kembali masuk ke dalam pelukannya saat ia membuka tangan.

“Sekali lagi selamat ya, Ananda. Kamu keren banget, semoga semuanya lancar dan kamu betah kerja di sana.” Ares secara tulus berbicara dengan tangannya yang kini mengusap-ngusap punggung Nanda yang semakin bergelung di pelukannya.

“Makasih banyak, Kak Ares.” Nanda terlihat betah berlama-lama sebelum kembali memberi jarak, di matanya yang indah itu ada binar senang yang tidak bisa dilewatkan oleh Ares.

Tangan Ares menangukup pipi yang meninggi karena senyumnya kelewat lebar, bahkan lesung pipinya terlihat begitu dalam membuat Ares mengerang kecil, cantik dan manis sekali Anandaku.

Dua hari kemarin ia benar-benar direpotkan oleh pekerjaan dan sibuk pulang malam hingga akhirnya bisa melihat Ananda di depannya sekarang bagai obat yang membuatnya merasa jauh lebih baik.

Kedua iris coklat gelap Nanda dibuat membulat tatkala Ares mengecup bibirnya dibarengi dengan senyum, diselingi kata-kata sayang juga rindu yang membuat Nanda tertawa penuh malu dengan wajah memerah seperti tomat.

Apalagi saat Ares mengubah kecupan-kecupan ringan itu menjadi sebuh ciuman lembut yang bisa membuat sebagian otak Ananda jatuh ke dengkulnya.

Sungguh, Kak Ares ini memang paling bisa membuatnya tidak bisa berkutik bahkan saat hubungan mereka sudah berjalan hampir dua bulan.

Karena semuanya masih terasa sama, debar jantungnya, gugupnya, perasaan membuncahnya yang masih Nanda ingat jelas saat Ares menciumnya untuk pertama kali di suatu sore saat senja berwarna oren kemerahan akhirnya muncul di langit Kota Bandung yang terbiasa hujan.

Sejak akhir Februari lalu, Nanda tidak lagi memegang penuh “The Daisy Den” karena Teh Maudy sudah kembali mengurus tokonya walaupun memang tidak sepenuhnya sendiri.

Beberapa kali dia masih membutuhkan bantuan Nanda yang selalu ada di rumah, seperti hal nya hari ini saat Nanda tiba-tiba dimintai tolong untuk datang ke tokonya.

Namun, mulai minggu depan Nanda tidak bisa banyak membantu lagi, setidaknya di weekdays karena dia sudah mulai bekerja.

“Mau keluar buat merayakan hari bahagia kamu ini nggak?”

Ares bertanya pada Nanda yang kini sedang tiduran di sofa dengan kepala yang berada di atas pahanya.

Matanya terlihat terpejam sambil memeluk bantal, dia menikmati usapan lembut tangan Ares yang memainkan rambutnya. Sekekali ibu jarinya itu mengusap mengikuti garis alis tebal Nanda, menghilangkan kerutan di keningnya hingga Nanda rasanya bisa tertidur dengan nyenyak di pangkuan Ares.

Ditambah, suasana di luar mulai kembali terdengar suara samar hujan yang lagi-lagi tumpah di langit petang Kota Bandung membuat Nanda semakin tidak mau beranjak apalagi pergi keluar.

“Enggak mau. Mau di sini aja.” jawabnya pelan tanpa membuka mata, tubuhnya bergerak ke samping dan menghadapkan wajahnya tepat di depan perut rata Ares yang mengulas senyum simpul melihat tingkahnya.

Kali ini tangan Rajendra Ares itu mengusap pipi Nanda yang terasa halus di telapaknya, juga ia sempat menunduk untuk memberi kecupan di puncak kepalanya hingga Nanda tanpa ragu menarik kedua sudut bibirnya.

Ananda.

Semakin Ares mengenalnya maka ia seakan semakin dibuat untuk terus-menerus jatuh cinta.

Di hubungan mereka yang memasuki minggu ke tujuh itu Ares mulai terbiasa menghadapi sikap manja Nanda yang sesekali dia tampilkan, dialah si anak bungsu dari tiga bersaudara.

Ares pernah bertemu dengan kedua kakaknya saat menjemput Nanda pada suatu malam ketika mereka akan keluar. Ada Teh Nindya serta Kak Alvin, begitu yang akhirnya dikenalnya selain kedua orang tua Nanda yang lebih dulu Ares temui.

Keduanya memang sudah tidak tinggal bersama Nanda dan orang tuanya. Dari cerita Nanda, Ares tahu kalau kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal dengan suaminya walaupun masih di Kota Bandung.

Sedangkan kakak keduanya, Alvin yang ternyata terpaut tiga tahun di atas Ares saat ini bekerja dan tinggal di Bogor meski masih sering bolak balik ke Bandung, sama saja seperti dirinya kalau harus pulang ke Jakarta.

Rupanya, memang ada jarak cukup jauh dari kakak-kakaknya kepada Nanda, yaitu hampir enam tahun sehingga menjadikan keduanya memanjakan adik kecil mereka.

Sebetulnya ada sedikit kemiripan dengan cerita Ares yang merupakan anak sulung, ia juga mempunyai satu adik perempuan yang usianya terpaut cukup jauh karena adiknya itu masih duduk di bangku SMA, namanya Lily.

Nanda memang belum pernah bertemu langsung dengannya tapi mereka pernah tersambung dalam sebuah video call ketika Ares mengenalkan Nanda saat mereka baru berpacaran satu minggu.

“Ya sudah nanti makan di sini saja ya, kakak masakin buat kamu.”

Ucapan Ares kali ini berhasil membuat Nanda membuka matanya yang kembali berbinar senang, “Mau!” serunya dengan nada penuh semangat membuat Ares tidak tahan untuk mencubit kedua pipinya saat dia malah melebarkan senyumnya.

“Dimasakin pacar aku. Senangnya.”

“Emang masakan aku enak?”

Ares bertanya penasaran, ia menunduk sambil memainkan jemari Nanda yang masih memeluk bantal di dadanya.

Satu kebiasaan yang disadari Nanda sejak mereka berpacaran kalau Kak Ares nya itu suka sekali memegang tangannya di banyak kesempatan. Lalu ia akan bertanya sedikit heboh bila melihat tangannya yang dibalut plester saat terluka ketika harus berurusan dengan gunting dan duri.

Ditanya seperti itu tentu membuat Nanda mengangguk-angguk seperti anak kecil di pangkuannya, yang begini nanti disuruh kerja kantoran kasian banget kalau stress, batin Ares.

“Enak. Waktu pertama kesini kan Kak Ares masakin buat aku juga.” jawabnya dengan sungguh-sungguh, Nanda tidak bisa memasak, jadi dia menatap Ares dengan penuh kagum.

Waktu itu, agenda ngedate mereka memang sangat dadakan sekali. Ares menjemput Nanda yang baru menutup toko saat ia selesai belanja untuk mengisi kulkas yang sudah kosong. Nanda yang terlihat kelelahan karena pesanan yang menumpuk itu malas kemana-kemana hingga akhirnya Ares mengajaknya untuk makan malam di tempatnya saja.

“Nanti Nanda bantuin Kak Ares nggak?”

“Iya, kan kakak yang masak terus aku bantuin buat ngabisin makanannya.”

Baru saja selesai bicara, Nanda berhasil mendapatkan sentilan di keningnya dari Ares yang kemudian memutar kedua bola matanya.

Suara tawa Nanda terdengar begitu renyah memenuhi ruangan yang sepi ini saat melihat wajah masam Ares hingga dia kemudian meminta maaf sambil ndusel di perut kekasihnya itu.

Tangannya sudah melingkar di pinggang Ares sambil menyembunyikan wajahnya yang masih mencoba menghentikan tawa geli.

Ares si anak sulung yang terlihat dewasa itu ternyata bisa merajuk seperti anak kecil juga bila di depan Ananda.

“Bercanda Kak Ares sayang. Nanti Nanda bantuin ngupas bawang deh.”

Apartmen yang di tempati Ares memang tidak terlalu besar, hanya ada satu kamar tidur, satu ruang tengah berisi sofa panjang dan meja tv, kamar mandi di sisi lainnya, juga kitchen set minimalis dan meja makan dengan dua kursi.

Barang Ares pun tidak terlalu banyak kalau dilihat-lihat, memang sengaja disetting untuknya tinggal sendirian saja.

Saat kedatangan Nanda yang kedua kali ke tempatnya, pemuda itu membawa dua buah vas lengkap dengan bunga mawar segar yang tampak cantik.

“Aku bawain ini biar kamar Kak Ares ada hiasannya dan nggak polos-polos banget.”

Begitu katanya dan Ares hanya membiarkan kekasihnya itu berbuat sesukanya. Setelah dia bingung sendiri, Nanda akhirnya menaruh satu vas di meja samping tempat tidur serta satu lagi di meja dekat sofa yang mereka duduki.

Baru beberapa hari lalu Nanda juga memberinya bunga lily putih untuk mengganti isi vasnya setelah Ares bilang bunga mawar yang dibawa Nanda pertama kali sudah layu.

“Ananda...”

Ares bergumam kecil ketika Nanda tiba-tiba memeluknya dari belakang saat ia sibuk dengan spatula dan fry pan berisi nasi goreng seafood yang sedang dimasaknya.

Skill memasak Ares memang tidak terlalu pas-pasan karena ia terbiasa hidup mandiri beberapa tahun ini. Dan saat Nanda justru minta dimasakan nasi goreng yang sangat mudah baginya, Ares tentu mengiyakan dengan penuh percaya diri.

Ananda juga tidak betul-betul membantunya memasak saat Ares justru menyuruhnya menunggu saja. Dia malah disuruh mengupas buah untuk nanti dimakan setelah mereka makan malam alih-alih mengupas bawang seperti katanya tadi.

“Aku udah selesai ngupas mangga nya.” beritahunya dengan suara pelan bergumam di balik punggungnya.

“Iya, makasih ya, sayang.”

Ares melirik tangan kekasihnya itu yang kini sudah kembali melingkari perutnya, gerakannya jadi terbatas saat Nanda menempelkan wajah di punggunya dan mengikuti setiap gerak Ares kemana pun ia melangkah.

“Nanda ngapain?”

“Nyemangatin Kak Ares masak.” jawabnya sambil terkikik, dia malah semakin menempelkan tubuhnya pada punggung Ares.

Oh Tuhanku.

Dihadapkan dengan Ananda yang seperti ini membuat Ares bergeleng pelan sambil menahan senyumnya. Tangan kirinya menyentuh punggung tangan Nanda yang sedang memeluknya untuk diusap dengan lembut saat satu tangan lainnya sibuk dengan masakannya, jangan sampai nanti malah gosong dan tidak bisa dimakan.

“Kakak Ares...”

Ares berdehem menjawab panggilan Nanda, keningnya sedikit mengerut saat dia tidak melanjutkan kalimatnya setelah beberapa menit kemudian.

Dimatikannya kompor tersebut saat Ares selesai mencicipi masakannya sendiri, perfect, tidak terlalu pedas karena Nanda tidak suka.

Nanda memang benar-benar tidak kuat makan pedas, Ares pernah melihatnya menangis hanya karena dia salah memesan level pedas saat makan ramen berbulan-bulan lalu ketika mereka masih pdkt, kasihan sekaligus lucu sekali kalau diingat.

Tubuh Ares berbalik tanpa membuat pelukan Nanda padanya terlepas, pinggangnya bersandar pada kitchen set yang ada di belakangnya.

Kedua iris hitam legamnya itu menatap sorot hangat dari iris Ananda yang ada di depannya.

“Kenapa, hmm?” ditanyanya Nanda dengan benar kali ini sambil kembali menangkup kedua pipinya yang kini mengembung lucu dan bibir yang mencucu, gemas sekali.

Pusing juga kalau dalam sehari Ares harus dihadapkan terus-terusan dengan Ananda yang seperti ini, ia hanya berdoa semoga imannya kuat menghadapi sisi manja Ananda yang justru membuatnya semakin jatuh cinta.

“Nanti kalau aku udah kerja terus kita malah jadi jarang ketemu gimana?”

Nanda balik bertanya dengan nada lesu, tangannya yang berada di pinggang Ares itu meremas kaosnya, “Tiba-tiba malah kepikiran kayak gitu...” lanjutnya semakin pelan.

Sebuah senyuman tipis dihadirkan oleh Ares saat melihat kekhawatiran di wajah Nanda sekarang. Ia mengusap pipi yang mengembung itu dengan ibu jarinya sebelum mengecupnya di sana dengan gerakan lambat.

“Aku nya harus apa kalau Kak Ares makin sibuk?”

Nanda bertanya lagi namun, matanya sempat berkedip lucu ketika kaget mendapatkan serangan dadakan dari Ares dan rona kemerahan kembali terlihat samar di pipinya yang barusan dikecup.

“Nanda biasanya ngapain kalau Kak Ares lagi gak bisa ketemu?”

“Nunggu. Aku selalu nungguin sampai Kak Ares akhirnya datang.”

Ares terdiam sebentar menatap Nanda yang berkata serius, sorot matanya tidak ada keraguan sama sekali saat menjawab karena memang begitu adanya, Nanda selalu menunggu Ares untuk datang kepadanya.

Karena sejauh apa pun pergi, sesibuk apa pun Ares, ia butuh tempat pulang.

Adalah Ananda, tempat yang disebut rumah baginya sejak mereka berpacaran, tempat paling nyaman bagi Ares untuk menghabiskan waktunya.

Bersama Ananda, Ares selalu merasa paling bahagia.

Perlahan ia membawa tubuh kekasihnya itu untuk kembali dipeluk, hatinya terasa hangat sekali ketika mendengar jawaban Nanda.

Ananda, sayangku.

“Nanda jangan khawatir ya, Kak Ares pasti bakal selalu luangin waktu buat kamu. Kalau kita sama-sama sibuk kan bisa atur waktu lagi, sayang. Kita juga masih sama-sama di Bandung. Kak Ares bisa kapan pun datang ke rumah kamu atau kamu bisa ke tempat kakak seperti sekarang.”

Ares mengusap lembut punggung Nanda untuk menyalurkan tenang, dekapan penuh nyaman yang diberikannya itu berharap bisa mengurangi resah yang dirasakan oleh kekasihnya saat ini.

Bibir Nanda terdengar bergumam pelan sambil menganggukan kepalanya saat dia selanjutnya kembali mendengar Ares yang mengucap kata menenangkan berkali-kali tanpa melepaskan pelukannya lengkap dengan ciuman lembut yang dia dapatkan di puncak kepalanya.

Kalau Ares sibuk seperti kemarin, artinya akan ada hari yang mereka habiskan selanjutnya untuk melepas rindu, seperti hari ini.

Quality time berdua.

Tetapi, Nanda tidak akan menyangkal kalau dia pernah membayangkan Ares yang mungkin harus kembali ke Jakarta entah untuk pulang lama atau mungkin pindah tempat kerja dan itu membuatnya merengut sedih.

“Kalau nggak ada kamu, aku harus gimana, Kak Ares?”

Ares melonggarkan pelukannya, menatap Nanda yang kali ini memasang wajah sedih, ia memegang kedua lengan atas kekasihnya itu sambil sedikit meremasnya.

“Kakak gak akan kemana-mana, sayang.” sorot mata Ares itu menatap lurus pada Nanda, meyakinkannya dengan serius bahwa ketakutan Nanda itu tidak akan terjadi.

“Kak Ares akan selalu di sini sama kamu dan hubungan kita bakal baik-baik saja, Ananda.”

Karena justru pada akhirnya pertanyaan itu harus dibalik oleh Ares yang bertanya kepada Nanda.

Ares bertanya dengan suara parau.

Ares bertanya dengan hati yang hancur.

Ares bertanya dengan tatapan kosong namun air matanya tidak mau berhenti.

Ares juga bertanya dengan pikiran yang berkecamuk penuh rasa tidak percaya saat menatap pusaran di depannya yang bertuliskan nama lengkap sang kekasih.

Ares terus bertanya dengan pundak bergetar ketika perlahan ia menyentuh tempat peristirahatan terakhir Ananda dengan perasaan yang tidak akan pernah bisa ia gambarkan seumur hidupnya.

Ares sudah menepati janjinya kepada Ananda untuk tidak akan kemana-mana, namun kenapa justru Ananda lah yang pergi meninggalkannya.

“Kalau nggak ada kamu, sekarang Kak Ares harus gimana, Ananda?”

It's you, because no one else makes sense

“Kak Ares, kalau dipotongin terus nanti tambah pendek loh buket bunganya.”

Ares meringis saat ia lagi-lagi kena tegur yang ke tiga kali sejak lima belas menit lalu datang ke toko bunga Nanda.

Hari Minggu di akhir bulan Januari, Ares dengan sok idenya meminta untuk diajarkan merangkai bunga. Semalam saat mereka berbicara lewat telepon, Nanda dibuat mengerutkan keningnya sambil bertanya bingung.

“Aku nggak salah denger kan, kakak mau balajar bikin buket?”

Namun, Rajendra Ares itu hanya tertawa mengiyakan.

“Iya, Nanda. Beneran kamu ajarin aku dong sekali-kali. Bikin kelas merangkai bunga tapi muridnya aku aja ya. Aku lagi mumet banget di tempat kerja, butuh kegiatan positif.”

Nanda tidak menolak sama sekali, setelah melihat notes di ponselnya ternyata memang tidak banyak pesanan di hari Minggu besok. Kalau untuk sekedar mengajari Ares merangkai bunga saja dia jelas punya banyak waktu.

Hingga sekarang, Nanda memang masih memegang penuh “The Daisy Den.” walaupun sudah berlalu tiga bulan sejak ia dimintai tolong oleh Teh Maudy, kakaknya itu masih belum bisa membagi fokus dari bayi cantiknya dengan urusan toko.

Bagi Nanda, itu bukan hal besar selagi dia bisa maka dia tidak masalah, lagi pula sudah dibilang kan kalau Nanda selalu menyukai rutinitas barunya sebagai florist.

Juga, dalam rutinitasnya itu ada sedikit hal yang berbeda ketika tiba-tiba dia mengenal sosok Ares.

Pemuda yang dia temui di bulan November lalu, pemuda yang datang saat hujan mengguyur Kota Bandung hampir seharian. Pemuda yang tiba-tiba menggumamkan namanya di saat hening melingkupi mereka berdua.

Dua minggu kemudian setelah hari itu, Ares benar-benar muncul lagi di pagi hari saat dia harus menyusun banyak sekali bunga yang baru datang dikirimkan ke toko.

“Ananda Langit Kaivan...”

Ares bergumam membaca nama yang tertera di kardus-kardus yang berserakan di depan toko tersebut. Dia menunduk di samping Nanda yang terlihat sibuk bahkan tidak menyadari kedatangannya.

Tokonya memang baru saja buka di pukul sembilan pagi dan Nanda sedang fokus mengecek barang sehingga Ares tidak mau menggangu.

Salah dia datang terlalu pagi.

Tapi lagi-lagi bibirnya tidak bisa direm saat ia membaca nama lengkap Nanda yang ada di sana.

Tentu saja hal tersebut membuat kedua iris cokelat gelap Nanda membulat tatkala mendengar suara sedikit familiar yang tiba-tiba berbicara di sampingnya yang sedang berjongkok dan menulis untuk memeriksa beberapa kardus berisi bunga yang masih belum dibuka.

Dia menoleh dengan cepat ke samping dan mendapati Ares yang kini sudah ikut berjongkok di dekatnya, “Ada yang perlu saya bantuin nggak?” tanyanya sambil tersenyum, tangannya mengambil satu kardus di depannya yang berisi bunga krisan apabila dilihat dari tulisannya.

Ada sedikit pancaran jenaka di kedua netranya ketika melihat raut terkejut di wajah Nanda, pemuda itu bahkan mengerjap beberapa kali untuk mamastikan penglihatannya, meyakinkan kalau Ares benar-benar datang lagi seperti ucapannya waktu itu.

“Kak Ares???” tanyanya dengan nada kaget yang sudah bisa ditebak oleh Ares hingga ia tidak bisa manahan senyumnya yang perlahan melebar dibarengi dengan tawa kecil, lucu sekali anak ini.

“Selamat pagi, Ananda.” sapanya, ia bisa melihat Nanda perlahan membalas senyumnya setelah raut terkejutnya itu menghilang dari wajahnya.

Ah, Ares merindukan senyum cantik dan manis Nanda yang ia lihat dua minggu lalu itu.

“Pagi, Kak Ares.” balasnya dengan nada ramah seperti biasa, “Mau pesan bunga lagi? Tapi maaf agak lama saya harus bongkar ini semua dulu, gapapa?”

Nanda perlahan berdiri diikuti Ares yang berada di sampingnya, ia tampak mengangkat bahunya ringan tidak masalah, “Enggak apa-apa kok. Saya mau pesan buket buat ulang tahun Mama saya hari ini, bisa?”

“Bisa, kak! Sebentar ya saya beresin ini secepatnya dulu.”

Nanda ingat, hari itu Ares membantunya memasukan kardus-kardus tersebut ke dalam, Ares membantunya membongkar barang bahkan pemuda itu membantu menyusun bunga yang baru datang untuk disimpan ke vas-vas besar yang ada di sana.

Ares juga menunggu dengan sabar saat buket pesanannya dibuat walaupun ia harus langsung pulang ke Jakarta saat itu.

Menunggu tidak seburuk yang dibayangkan apalagi kalau itu bersama Nanda. Di pertemuan pertama mereka ia banyak memperhatian Nanda dengan diam, sedangkan ketika di pertemuan kedua Ares sudah bisa mencairkan suasana dan mengambil alih keadaan.

Satu obrolan kecil darinya bisa membuat mereka berbicara banyak hal. Hingga Ares akhirnya tahu alasan Nanda bekerja di sana dan itu merupakan toko milik kakak sepupunya.

Sejak pertemuan kedua mereka pula, dalam rutinitas harian Nanda yang baru itu ada Ares yang akan melengkapinya, yang memberikan tambahan cerita manis di hidupnya.

Tentu, begitu pun sebaliknya.

Bagi Ares mengenal Nanda adalah salah satu hal luar biasa yang pernah terjadi padanya.

Ananda.

Ares bahkan tidak bisa melupakan nama dan wajah tersebut hingga beberapa hari setelah pertemuan pertama mereka. Maka tepat dua minggu kemudian Ares tidak ragu untuk kembali menemuinya.

Selanjutnya ada panggilan saya yang perlahan berganti menjadi aku, ada canggung yang perlahan menjadi lebih lugas, ada pesan formal yang berganti ke ranah pribadi setiap harinya, ada candaan kecil yang membuat tawa dengan perasaan menggelitik penuh debar, juga ada banyak obrolan-obrolan ringan hingga malam hari saat melepas lelah setelah beraktivitas.

Terhitung sudah dua bulan intensitas pertemuan mereka juga semakin rapat setiap minggunya. Ares beberapa kali mampir sepulang kantor untuk mengajak Nanda keluar, entah itu makan malam atau sekedar ngopi di cafe yang masih ada di sekitar kampus.

Nanda juga pernah diantarkan pulang oleh Ares bahkan saat dia harus pergi ke rumah Teh Maudy hingga Ares akhirnya bertemu langsung dengan pemilik toko bunga yang kerap didatanginya itu.

Ares seperti terang-terangan sedang mendekati Nanda dan memang iya.

Sejak awal, perasaanya belum berubah.

Degup jantungnya masih tidak bisa dijelaskan jika sedang bersama dengan Nanda, kesimpulan pastinya yang ia sendiri tahu bahwasanya Ares sudah jatuh cinta.

Ares sudah jatuh cinta sejak di pertemuan pertama mereka.

“Kak Ares.”

Nanda lagi-lagi menegur sambil menggelangkan kepalanya tidak habis pikir pada Ares yang kini memotong hampir semua daun pada tangkai yang sedang dipegang oleh tangannya.

“Maaf.” gumam Ares sambil terkekeh, ia melirik Nanda yang duduk di sampingnya. Pemuda itu menggeserkan kursinya agar lebih dekat padanya, tangannya mengambil satu tangkai bunga yang ada di depannya.

Ares hanya memperhatikan saat Nanda memberi contoh langsung padanya dengan sabar, mengajarkan step by step bahkan sejak tadi memilih bunga apa yang akan dibuat latihan oleh mereka.

“Kenapa nyari kegiatannya malah merangkai bunga?”

Nanda bertanya sambil menopang dagunya memperhatikan Ares yang kembali sibuk dengan gunting dan kreativitasnya.

“Karena di sini aku bisa berdua sama kamu.” jawabnya tanpa banyak berpikir, jelas alasan pertamanya adalah Nanda.

Setelah satu minggu ia disibukkan dengan pekerjaan, bertemu dengan Nanda adalah obat yang selalu ia nanti-nanti. Melihat senyumnya, melihat wajahnya, mendengar suaranya seperti sudah cukup membuat bahu Ares terasa lebih ringan.

Ares menyukainya.

Bahkan satu pesan dari Nanda di pagi hari bisa membuat mood Ares terasa jauh lebih baik seharian.

Progress hubungan mereka memang sudah lumayan jauh dalam dua bulan ini walaupun belum ada status pasti. Tapi, Ares tahu Nanda menyambut baik niatnya itu, karena pdkt-pdkt yang dilakukan olehnya selalu diberi lampu hijau oleh pemuda dua puluh dua tahun itu.

Nanda tidak bisa bereaksi apa pun lagi selain menelungkupkan wajahnya yang memerah di atas meja kayu tersebut ketika mendengar jawaban Ares yang berbicara sambil menatapnya dalam.

Tidak ada candaan sama sekali di kedua sorot matanya, dan Nanda tidak bodoh untuk mengerti kemana arah pembicaraan mereka.

Nanda bisa merasakan puncak kepalanya diusap pelan oleh tangan lebar Ares, terasa hangat dan penuh sayang. Beberapa kali Ares memang memperlakukannya seperti itu dan dia menyukainya.

Perhatian-perhatian yang Ares berikan padanya memang terkadang berlebihan apabila mengingat status mereka yang belum ada apa-apa.

“Kak Ares...” gumamnya sambil mengangkat wajahnya yang tadi disembunyikan, dia menopang kepalanya yang kini tiduran di atas lengan memperhatikan Ares yang sudah menyimpan alat tempurnya itu.

Ares melakukan hal yang sama, menaruh kepalanya di atas meja, memandang Nanda yang terkejut karena ia berbuat sama.

“Nanti kalau sudah jago, aku kasih buketnya buat kamu ya.” ucap Ares, lagi-lagi ia mengulum senyum, tangannya terangkat menyentuh anak rambut Nanda yang jatuh di pelipisnya, “Aku mau buat buket bunga yang paling cantik buat kamu, Ananda.” lanjutnya.

Nanda menarik kedua sudut bibirnya ketika mendengar ucapan Ares. Ananda, Ares kerap kali memanggil nama panjangnya dengan begitu lembut membuat wajahnya selalu menghangat dan jantungnya berdebar.

Tetapi, satu gelengan kecil terlihat dari Nanda, “Aku mau yang dibuat sekarang aja...” Nanda menolak, kedua manik matanya memandang iris gelap milik Ares yang menatapnya dengan hangat.

Lagi-lagi di luar mulai terdengar suara hujan yang kembali jatuh dari langit Kota Bandung.

Tentang mereka berdua entah mengapa hujan selalu ikut campur dan memberikan cerita tersendiri.

“Aku mau buket yang pertama Kak Ares buat aja, gapapa enggak terlalu bagus juga...” jelasnya saat dia melihat raut penuh tanya di wajah Ares dengan kening yang sedikit mengerut tidak paham.

“Aku menghargai usaha Kak Ares yang rela belajar buat bikin buket bunga buat aku, terus yang pertama juga artinya paling spesial kan? Aku bisa dibilang orang yang beruntung karena nanti jadi yang pertama dikasih bunga hasil buatan Kak Ares.” katanya sambil mengigit bibir sedikit ragu.

Ares terdiam sebentar, kedua iris matanya menatap lurus pada Nanda mencari maksud dari ucapannya barusan.

Ia kemudian dengan cepat kembali membenarkan duduknya, menarik lengan Nanda agar bangun dan kembali duduk seperti dirinya, dihadapkannya tubuh Nanda itu hingga mereka berhadapan sambil memegang kedua bahunya.

“Ananda, kalau aku minta kamu jadi pacar aku sekarang, nggak terlalu terburu-buru kan?”

Sepasang mata indah yang berhasil menarik perhatian Ares sejak mereka bertemu itu mengedip lambat saat tangan Ares kini berpindah untuk menangkup kedua pipinya, menyalurkan hangat hingga ke relung hatinya.

“Sama kamu, aku mau lebih lama lagi. Sama kamu, aku selalu merasa bahagia. Sama kamu, aku selalu merasa kalau hidup aku menjadi lebih lengkap, Ananda.”

Nanda tidak bisa berpikir hal lain di luar apa yang sedang dia dengar sekarang dari bibir Ares. Rasanya dia ingin menangis saat Ares berkata seperti itu, rasanya dia begitu dicintai hingga hatinya terasa penuh oleh bahagia.

Saat tiba-tiba sudut matanya menghangat dan matanya berkaca-kaca, ada Ares yang mengulas senyum begitu menenangkan di depannya.

“Jangan nangis, aku lagi meminta kamu jadi pacar aku, bukan lagi jahatin kamu, Ananda.” kedua ibu jarinya mengusap lembut pipi Nanda yang sedikit dingin, “I love you.” bisiknya penuh makna, penuh perasaan saat akhirnya Ares bisa mengatakan hal yang sejak lama ia coba pendam.

“I love you, Ananda.”

Dan Ares bisa melihat anggukan kecil yang diberikan Nanda untuknya sebelum pemuda itu berhambur ke dekapannya. Memeluk tubuhnya erat, membiarkan sudut matanya menumpahkan apa yang tidak bisa ditahan.

“I love you too, Kak Ares.”

Dia mau, Nanda tentu saja mau menjadi pacar Ares.

“Makasih sudah datang di hidup aku dan membawa bahagia yang banyak sekali, makasih sudah kembali ke sini untuk bertemu aku, kak.”

Selamanya akan diingat oleh Ares, tentang pernyataan cintanya hari ini, tentang perubahan status mereka berdua, juga tentang cinta yang akhirnya bisa berlabuh pada titik temu yang akhirnya bisa bersatu.

“Kakak yang harusnya bilang makasih sama Nanda. Makasih sudah mau ngasih kesempatan untuk kita menjadi dekat sejak awal.”

Ares berbisik di balik bahu Nanda, mendekapnya sambil menciumi puncak kepalanya penuh sayang.

Kedua matanya terpejam dengan senyum yang begitu lebar di wajahnya, juga dengan hati yang begitu lega saat pemuda yang ada di dekapannya ini sudah resmi menjadi miliknya.

“Terimakasih, Ananda.”

Karena hanya Ananda seorang yang bisa membuat Rajendra Ares jatuh cinta begitu dalam seperti ini, yang bisa membuatnya membuang rasa ragu apa pun yang berhubungan dengan Nanda.

Ares mencintainya, sungguh tanpa pengecualian.

Ananda dan segala tentangnya.

Ananda dan segala kenangannya.

Ananda dan segala hidupnya yang bahkan telah direnggut secara paksa darinya.

Ananda dan segalanya yang kini tertinggal dalam satu ruang ingatan bahagia sekaligus menyakitkan bagi Ares.

Dan Ananda yang tidak akan pernah bisa ia lihat lagi seumur hidupnya.