ezharay au
if ever you're in my arms again this time I'll hold you forever.
Ray mungkin lupa bagaimana rupa Ezhar setelah beberapa tahun terakhir. Dalam artian, selama mereka tidak bertemu, Ray berpendapat akan ada perubahan-perubahan yang terjadi kepadanya.
Lalu tiba-tiba semesta bekerja sedikit memihak yang justru terkesan lucu, entah apa maksudnya ia pun tidak mengerti dan sibuk menebak-nebak sendiri.
Jujur, Ezhar masih terlihat sama di pandangannya yang telah lama sekali melihat dia terakhir kali, hanya saja sekarang dia lebih rapi dengan rambut berwarna hitam legam yang dipotong pendek, tidak ada lagi rambut kecoklatan panjang yang kerap kali melewati telinga.
Netra Ezhar terpaku untuk beberapa detik, menatap penuh kejut yang membulat tersirat jelas saat kedua pandangan yang sudah asing milik mereka akhirnya bertemu kembali.
Lalu terlihat dia dan senyumnya yang kemudian perlahan mengembang dari tempatnya berdiri di sudut ruangan penuh orang sibuk berlalu lalang di sekitar mereka, seakan menciptakan waktu yang seperti berhenti untuk Ray mencerna apa yang sedang terjadi saat ini.
“Ray...” adalah ucapnya tanpa suara yang bisa dibaca lewat bibir yang bergerak pelan.
Raynar Dewangga.
Nama itu disebut sekali lagi secara lirih nyaris berbisik dengan nada terselip rindu.
Tanpa sadar Ray sedikit mundur kala langkah Ezhar justru mendekat tanpa ragu. Pemuda itu membawa tungkainya yang dibalut celana hitam formal lengkap dengan kemeja batik berwarna senada dan motif coklat tua yang terlihat rapi, dia melangkah menuju Ray yang berada tepat di samping stan makanan dengan tangan sibuk memegang piring kecil berisi puding coklat.
Ada sedikit sensasi gila yang menyeruak di sekitar dada Ray yang mendadak sesak namun berdebar tanpa bisa dicegah secara bersamaan, degupnya seperti semakin kencang meronta saat akhirnya Ezhar berdiri hanya berjarak beberapa jengkal dari ujung sepatu hitamnya.
Dia adalah Ezhar yang dulu Ray cintai dan Ezhar yang sangat mencintai Ray.
Ezhar pernah mengenalkannya pada arti cinta yang begitu menyenangkan juga mendebarkan semasa remaja.
Ezhar juga yang mengenalkan pada rasa bahagia penuh kupu-kupu yang akan membuatnya tersipu setiap mereka bersama.
Ezhar pendengar yang baik, dulu dia selalu mempunyai waktu untuk mendengarkannya yang suka bicara banyak hal sejak mereka duduk di bangku sekolah.
Dan dia adalah patah hati terbesar Ray saat hubungan mereka harus berakhir empat tahun lalu.
“Gimana kabarnya, Ray?”
Tentang apa? kehidupanku atau perasaanku saat ini ketika melihat kamu lagi.
“Baik.” jawaban yang Ray akhirnya beri setelah ia menelan balik pertanyaannya yang terbersit dan menimbang cukup lama.
Ray tidak akan pernah menyangka bahwa pertemuan pertama mereka setelah berpisah adalah di sebuah gedung pernikahan yang sangat ramai.
Mau diruntut bagaimana pun, ia tidak tahu kalau Ezhar juga sama-sama mengenal orang di atas pelaminan sana yang merupakan sepupu Ray dan urusannya dengan Ezhar tentu ia tidak mengerti.
Mendengar jawaban Ray, Ezhar hanya mengangguk kecil. Sorot ingin tahunya tentang mengapa mereka berdua bisa bertemu di sini juga terlihat sangat jelas, “Mas Yudis teman kantorku, Ray.” beritahunya kemudian membuat Ray sedikit paham, “Kak Intan sepupuku.” balasnya.
Kali ini Ezhar kembali tersenyum mendengar ucapan Ray, dia terkekeh kecil mengetahui kebetulan yang tiba-tiba itu. Pantas bila dilihat lebih dekat kemeja batik yang digunakan oleh Ray sama dengan beberapa orang di sini, ternyata mereka masih satu keluarga.
“Oh iya? ternyata dunia memang sempit ya.”
Ray menarik tipis kedua sudut bibirnya tanda setuju dengan ucapan Ezhar. Benar, ia mengakuinya karena bagaimana bisa hal ini terjadi.
“Kamu sendiri apa kabar, zhar?”
Ezhar menatapnya lama sebelum menjawab, dia seakan sibuk memanjakan kedua iris matanya untuk melihat setiap detail wajah Ray yang seperti lebih tirus sejak terakhir mereka bertemu. Dulu pipinya lebih berisi saat tangannya selalu mampir di sana dan membuat satu lesung pipi dalam hadir di sela tawa bahagianya yang manis.
Selain itu, Ray tampak baik-baik saja di hadapannya saat ini dan Ezhar menghela napas lega diam-diam.
“Aku baik. Jujur nggak pernah nyangka bisa ketemu kamu di sini, Ray. Untung aku datang.”
Maksudnya?
Satu kebiasaan yang sering Ezhar tampilkan adalah dia selalu menatap penuh perhatian pada setiap lawan bicaranya, dan dulu Ray sangat menyukai hal tersebut.
“Zhar, kalau sama yang lain jangan natap sambil senyum gini deh, aku takut nanti mereka pada baper.”
“Iya enggak sayang, kan sama kamu aja.”
Ray berdehem kecil, sekilas ia mengalihkan tatapan ke sembarang arah saat melihat senyum Ezhar yang masih sama, senyum yang dulu paling ia sukai dari mantan kekasihnya itu.
Pandangan Ray justru bertemu dengan Rhea, sang adik yang sedang digandeng—paksa oleh Mama dan sibuk bicara dengan kerabat dalam rangka mencarikannya jodoh.
Dia menatap sambil menunjuk-nunjuk punggung Ezhar dari belakang. Tentu saja Rhea sangat tahu siapa orang di depannya saat ini dan sudah bisa ditebak akan bagaimana nanti dia bertanya ini-itu tentang Ezhar yang tiba-tiba muncul lagi setelah empat tahun.
Jujur ia pun tidak tahu.
Ray memang tidak pernah berhubungan lagi dengan Ezhar saat semuanya telah selesai diantara mereka.
Dalam empat tahun terakhir, segala kontak tentang Ezhar pun seperti menghilang darinya begitu saja, terlebih hidup di dua kota berbeda membuat semakin kecil kemungkinan untuk mereka bertemu.
Jangan tanya butuh berapa lama bagi Ray melupakannya karena hal itu tentu sudah jelas tidak mudah. Ezhar dan segala kenangannya yang mengisi masa remaja Ray seperti mempunyai tempat tersendiri di sudut hatinya yang sulit sekali dilupakan begitu saja.
Dan sekarang, dengan tidak memberikan aba-aba apa pun dia justru hadir kembali tepat di depannya.
Tadi sebelum Ezhar melihatnya, Ray yang lebih dulu memfokuskan pandangan saat dari belakang ia bisa melihat siluet familiar di antara orang yang berdatangan.
Ezhar yang sedang sibuk berbicara dengan kedua temannya bisa terlihat secara jelas ketika Ray sengaja berjalan ke arah berlawanan untuk memastikan bahwa yang ada di tempat ini dengannya adalah Ezhar Bachtiar, mantan kekasihnya sejak SMA.
Lagi, Ray katakan semesta sedang melucu padahal ia yang paling tahu bagaimana usahanya untuk melupakan Ezhar selama ini.
“Kamu di Bandung terus?”
Harusnya, Ray yang bertanya dengan lantang padanya.
Kenapa kamu ada di Bandung, zhar? sejak kapan?
Ray menaruh piring kecil di tangannya ke atas meja begitu saja, puding coklatnya belum habis saat tiba-tiba rasa manisnya terasa pahit di tenggorokan, padahal tadi enak-enak saja.
“Sekarang iya, habis lulus aku sempat kerja di Bogor tapi nggak lama.”
“Aku juga sudah tinggal di Bandung lagi.” Ezhar berucap sedikit keras saat suasana di sekitar mereka menjadi bising karena musik serta lagu yang mengalun cukup kencang.
Dia memilih melangkah ke samping Ray hingga membuat mereka kini bersisian, dan tubuh Ray tanpa diperintah langsung bergeser untuk memberinya ruang.
“Sejak kapan?” suara Ray sedikit tercekat, ia bertanya dan menatap kedua iris Ezhar penuh rasa ingin tahu.
“Baru beberapa bulan lalu. Aku juga kerja di sini sekarang... dan rasanya seperti kembali pulang, Ray.”
Ray hanya bisa terdiam mendapati kabar yang mungkin tidak pernah terlintas akan diketahuinya secara langsung seperti ini, pantas saja Ezhar bilang dia teman sekantor Mas Yudis.
Ezhar sudah kembali.
Lalu apakah mungkin hubungan mereka juga bisa seperti dulu lagi?
Dalam hampir tiga tahun hubungan yang terjalin, dua tahunnya Ray melepaskan Ezhar yang harus kuliah di Malang dan tinggal bersama kakaknya.
Sebelum berpacaran, keduanya sudah berteman dekat karena selalu berada di satu kelas yang sama sejak kelas sepuluh. Hingga ketika kelas dua belas, Ezhar menyatakan perasaan padanya tepat sepulang sekolah di dalam kelas yang hanya berisi sebagian orang yang belum pulang.
Ray tidak bodoh untuk membaca setiap perhatian Ezhar padanya selama mereka berteman dan saat waktunya tiba, ia dengan senang hati menjawab iya penuh yakin.
Bersama Ezhar, tahun terakhir masa putih abu-abu Ray penuh dengan banyak kenangan manis yang hanya terjadi satu kali dalam hidupnya.
Ezhar dan kisah mereka berdua mengisi penuh cerita masa remaja Raynar yang indah.
Satu tahun menjalani hubungan jarak jauh memang tidak mudah, Ray di Bandung dan Ezhar di Malang serta keduanya sama-sama mulai sibuk saat menjadi mahasiswa baru.
Tetapi, hal itu masih bisa diatasi dengan banyak pengertian dari masing-masing yang tidak ingin sengaja membuat-buat masalah.
“Aku kangen banget sama kamu, Ray.”
“Ezhar, kalau udah pulang kasih tahu dong, aku mau telpon yang lama.”
“Aku ngerti kita sama-sama sibuk. Tapi nanti lagi kabarin dulu ya, sayang.”
Di liburan semester pertama, Ray ingat menjemput Ezhar di stasiun saat dia akhirnya pulang ke Bandung. Ia dipeluk erat sekali oleh Ezhar yang berkali-kali mengucap rindu.
Selalu seperti itu, karena jarak yang jauh pertemuan mereka pun sangat terbatas sekali, mereka hanya bertemu kalau Ezhar sedang pulang ke Bandung, beruntung masa liburan bisa sampai dua bulan dan memberi waktu banyak untuk keduanya mengganti waktu yang hilang.
Sayangnya, hal tersebut tidak bertahan lama. Memasuki dua tahun hubungan jarak jauh mereka justru ada lebih banyak salah paham serta hal-hal yang tidak bisa diselesaikan hanya lewat telpon saja.
“Aku capek kita kayak gini terus, paham gak sih, zhar.”
Dan Ezhar bukannya tidak berusaha mempertahankan hubungannya, tetapi melihat Ray yang seperti sudah menyerah pada mereka malah membuatnya ikut memilih mundur walaupun sulit.
“Sebanyak apa pun aku minta, kalau kamunya sudah nggak mau kita lanjut. Aku gak bisa ngubah apa-apa kan, Ray?”
Ray tidak bisa tanpa Ezhar, tetapi dengan Ezhar yang tidak di sampingnya jauh lebih menyakitkan karena hubungan mereka tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya.
Empat tahun lalu, hubungan mereka berakhir tanpa banyak drama. Kata Rhea, mereka berdua tidak ada yang salah hanya saja mungkin keadaan yang memang tidak memihak seutuhnya karena tidak semua orang bisa menjalani hubungan jarak jauh.
“Jadi, kalian putusnya baik-baik?”
Ezhar hanya bisa tersenyum tipis bila orang-orang bertanya seperti itu padanya.
Mungkin, bisiknya dalam hati.
Karena tidak pernah sedikit pun Ezhar melepas Raynar dengan rasa amarah kepadanya.
Dia justru merasa bersalah, karenanya Ray harus melalui hubungan yang tidak selalu seindah yang dia janjikan sejak mereka di bangku sekolah dulu.
Empat tahun berpisah pasti telah terjadi banyak sekali cerita panjang yang dilalui. Seperti halnya Ray yang pernah berpacaran dengan teman kuliahnya saat di tingkat akhir, namun hubungan mereka rupanya tidak berhasil dan hanya bertahan sebentar.
Atau Ezhar yang mungkin belum kembali berniat membuka hatinya untuk orang lain walaupun banyak yang datang di sepanjang garis waktu tersebut.
Ray yang sekarang di sampingnya bukan lagi usia belasan seperti saat mereka berada di kelas yang sama menggunakan seragam putih abu-abu atau usia dua puluh saat mereka terakhir bertemu di liburan semester saat Ezhar pulang ke Bandung kala itu.
Ezhar memanggilnya dengan lembut membuat Ray yang kini berusia dua puluh empat tahun itu menatapnya menunggu kalimat apa selanjutnya yang akan dikatakan oleh Ezhar.
Dia menghela napas panjang sejenak, menahan rindu yang sudah menumpuk sejak tanpa sengaja tadi kedua netranya menemukan sosok Ray yang sedang menatapnya lebih dulu.
“Kalau aku bilang kangen, kamu percaya nggak, Ray?”
Ezhar ingin memeluknya, dia tidak pernah mengusik hidup Ray sejak hubungan mereka berakhir, dia mencoba mati-matian merelakan Raynar yang memang tidak ingin bersamanya lagi.
Sejak kepulangannya kembali ke Bandung lima bulan lalu pun, bukannya Ezhar tidak berniat bertemu, namun dia sadar diri kalau hubungan mereka sudah berakhir maka pertemanan yang dibangun jauh sebelumnya pun ikut pudar.
Miris, tapi kenyataannya memang seperti itu. Ezhar harus rela kehilangan pacar sekaligus teman baiknya.
“Dulu kan lo sama Ray deket banget, zhar. Bahkan sebelum pacaran dan jadi mantanan.”
Tempo hari dia bertemu dengan teman-teman semasa SMA nya dan nama Ray disebut tanpa bisa dicegah, karena dulu bila ada Ezhar maka selalu ada Ray yang akan bersamanya.
Kini, kedua mata Ray lengkap dengan ekspresi wajahnya terlihat terkejut saat mendengar ucapan Ezhar yang terlihat tanpa ragu.
Mengenal Ezhar bertahun-tahun membuat Ray paham mana yang sungguh-sungguh dan mana raut jahil yang kadang dia tampilkan di depannya. Dan Ray harus menelan ludahnya sendiri saat detik ini ia sadar kalau tidak ada raut jahil yang ditampilkan Ezhar sedikit pun.
Tandanya ucapan Ezhar sungguh-sungguh saat dia mengatakan kalau merindukannya.
“Percaya.” jawabnya pelan, karena tidak ada alasan bagi Ray untuk menyangkal apa yang ia lihat dan dengar langsung sekarang.
Ray tahu, ada rindu yang tersirat dalam setiap garak iris hitam yang menatap penuh perhatian kepada dirinya sejak pandangan mereka bertemu.
Jawaban Ray mungkin tidak terlalu terdengar jelas di pendengaran Ezhar karena suasana di dalam gedung yang bising, tapi dia justru tersenyum begitu lebar.
Bahunya terasa lebih ringan saat Ray membalas senyumnya walau tipis dan membuat lesung pipinya terlihat samar.
Ezhar mundur untuk bersandar pada tembok yang ada di belakang mereka, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana lalu pandangannya mengedar mencari rekan kerjanya yang tadi datang bersama.
“Aku kayaknya ditinggalin, deh. Temanku pada hilang, Ray.” ucapnya saat Ray mendekat dan melakukan hal yang sama, namun ia memilih melipat kedua tangannya di depan dada.
“Kelamaan tinggal di Malang gak akan bikin kamu lupa jalan dan nyasar pas pulang sendiri kan, zhar?”
Ezhar berhasil tertawa mendengar balasan Ray, ah rindu sekali rupanya dia berbicara dengan Ray seperti dulu.
Tidak lama satu tangannya dikeluarkan dari saku dan melambai pada Rhea yang sedang menatap mereka berdua dari tempat duduk.
“Rhea ngeliatin kita terus. Takut kamu kenapa-napa atau diapa-apain sama aku, mungkin? Aku kayaknya harus menghadap dia dulu kalau gini.”
Ray meringis, ia menatap Rhea dan memberinya sinyal agar mengontrol raut wajahnya yang ditekuk, kontras sekali dengan penampilan anggunnya yang menggunakan setelan kebaya berwana sage, rambut hitam panjangnya digelung sedemikian rupa hingga dia terlihat begitu cantik.
Alasannya jelas bukan karena kamu, Ezhar.
Ray tahu betul kalau adik kembarnya itu mulai jengah dengan Mama yang sibuk mencarikannya jodoh dan dia sedang meminta tolong untuk diajak kabur dari sana secepat mungkin.
Rhea dan Ezhar memang saling kenal walapun mereka dulu tidak satu kelas, lagi pula satu sekolah juga tahu siapa Rhea yang merupakan wakil ketua osis di angkatan mereka.
Jam di pergelangan tangan Ezhar sudah menunjukan pukul satu siang, bertemu lagi dengan Ray ternyata membuat waktu tanpa terasa cepat berlalu, padahal tadi dia datang hanya untuk menghormati Mas Yudis yang sudah mengundangnya di kantor dari jauh-jauh hari.
Ezhar memasukan ponselnya setelah membalas pesan kedua rekan kerjanya yang memberi tahu bahwa memang pulang lebih dulu saat melihat Ezhar tadi sibuk dengan Ray.
Ditatapnya Ray yang kini sedang bicara bersama Rhea dan beberapa orang keluarganya untuk pamit pulang lebih dulu. Tangan Rhea terlihat mengapit lengan Ray saat berjalan ke arahnya karena dia menggunakan sepatu berhak tinggi.
Tadi Ezhar juga sudah menyapa Rhea bonus bertemu dengan Mama mereka yang ternyata masih mengingatnya.
Kalau diingat saat sekolah dulu si kembar itu memang jarang terlihat bersama. Rhea yang aktif organisasi terbilang menjadi anak populer, berbeda dengan Ray yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur di perpustakaan.
“Males, kalau sama Rhea banyak nyapa orang, temennya gak keitung. Mending aku diem di perpus sepi dan biar kayak anak pinter.”
“Iya di perpus sih tapi bukannya belajar, kamu malah numpang tidur sampai ditegur yang jaga, Raynar sayang.”
Ray hanya akan tertawa mendengarnya, memang entah sudah berapa puluh kali ia mendapat tatapan tajam dari penjaga perpustakaan sekolah mereka, tapi Ezhar juga tidak pernah absen menemaninya sambil membawa setumpuk buku yang akan dia baca dalam diam di sampingnya yang tertidur.
Saat sampai di depannya, Ezhar hanya bisa menurut ketika lengannya disambar oleh Rhea yang terburu-buru dan membuat keduanya mengapit gadis itu yang berada di tengah-tengah, mereka berjalan keluar gedung menuju parkiran.
“Ayo pulang, capek banget aku dijodohin mulu, padahal umur 24 tahun tuh emang baru mulai hidup iyakan?”
“Iya, sabar Rhe. Mama emang ngebet banget punya cucu kali.”
“Kalau udah waktunya juga nanti aku kasih banyak, Ray.”
Mendengar obrolan kedua saudara itu hanya bisa membuat Ezhar menggeleng pelan dengan senyum yang tidak bisa ditahan, ada cukup banyak kenangan yang terlintas tentang cerita masa remaja mereka dulu.
Kalau ditanya siapa yang paling tahu tentang hubungan Ezhar dan Ray, jawabannya tentu Rhea. Adik perempuan beda lima menit dengan Ray itu bahkan sudah mendengar tentang Ezhar sejak mereka baru masuk SMA.
“Gapapa sama Ezhar, dia baik suka ngasih pajak kalau mau ngapelin kamu, lumayan aku dapat jajan gratis.”
“Itu karena kamunya galak, Rhe. Dia nyogok.”
Dan saat hubungan keduanya berakhir, Rhea yang paling tahu bagaimana Ray menjalani life after breakup yang terasa sangat kosong, berkali-kali dia juga mendapati Ray hanya termenung di dalam kamarnya tanpa melalukan hal apa pun.
Sekarang, gadis itu menghela napas dalam, sudut matanya melirik ke arah Ezhar yang berjalan di sebelah kirinya. Rhea yakin, kahadiran tiba-tiba Ezhar tentu saja bisa membuat perasaan Ray gusar walaupun kakaknya itu mencoba terlihat biasa saja.
Sejujurnya dia juga tidak mau terlalu jauh ikut campur tentang hubungan Ray, tetapi sebagai adik, Rhea bisa menilai kalau cinta Ray pada Ezhar seperti jauh lebih dalam daripada saat Ray berpacaran dengan mantanya yang terakhir.
Dan mungkin masih ada, batinnya.
Perihal pertemuan kembali ini pertanda baik atau buruk, Rhea tentu saja tidak tahu. Dia hanya berharap kalau misal kehadiran Ezhar bisa membuat Ray jauh lebih bahagia lagi, dia akan kembali mendukung mereka seperti dulu yang selalu dilakukannya.
“Zhar, serius kamu gapapa nganterin kita pulang?”
“Gapapa, Rhe. Kan aku yang nawarin. Aku masih ingat kok jalan ke rumah kalian dan gak akan nyasar.” jawaban Ezhar membuat Ray menatapnya lalu pemuda itu sedikit mendengus saat Ezhar ternyata menyambung obrolan mereka tadi di dalam.
Ezhar hanya tertawa kecil hingga dia membukakan pintu mobilnya untuk Rhea yang lebih dulu memilih duduk di belakang dan membuat Ray harus duduk di depan.
Perjalanan pulang setelah empat tahun tidak bertemu itu nyatanya tidak terlalu canggung saat untungnya ada Rhea si paling mengerti apa yang terjadi kepada kakak dan juga temannya.
Ray justru lebih banyak diam sekarang, ia hanya menatap ke luar jendela mobil Ezhar yang membelah jalanan kota Bandung di siang yang cukup terik.
Hubungan mereka memang bisa dibilang tidak terlalu buruk-buruk amat, dan juga sebelum memutuskan untuk pacaran keduanya telah berteman lebih lama.
Mungkin karena semesta yang terlalu tiba-tiba saja dalam bekerja hingga membuatnya terasa sedikit ambigu.
“Ray...”
Ezhar menahan lengan Ray yang akan membuka pintu setelah dia menghentikan mobil hitamnya tepat di depan pagar rumah Ray yang dulu selalu dia datangi.
“Aku masuk duluan, makasih ya zhar.” Rhea berucap cepat sambil keluar saat dia membaca situasi, tangan lentiknya yang dihiasi kutek berwarna nude mengetuk kaca jendela di samping Ezhar hingga dia menurunkannya, “Jangan bikin Ray nangis.” katanya pelan dengan nada serius membuat Ezhar tersenyum lembut membalas ucapannya.
“Aku cuma mau bicara sebentar sama kakak kamu, Rhe.”
Di luar sana ada banyak orang yang memilih untuk tidak mengenal lagi mantan kekasih yang pernah dicintainya sepenuh hati. Berbagai hal yang mendasari putusnya hubungan mereka bisa menjadi alasan paling kuat dalam memutuskan perilaku tersebut.
Namun, ada juga yang mungkin masih menjalin hubungan yang tidak terlalu buruk dan masih bisa bertemu dalam beberapa kesempatan yang terjadi, definisi melepaskan dan merelakan apa yang memang bukan untuknya.
“Kalau jodoh kan gak akan kemana, zhar. Terus kalau ada jalannya mungkin nanti kalian bakal dikasih kesempatan lagi.”
Ezhar ingat perkataan kakaknya kala itu saat dia bilang kalau hubungannya dengan Ray sudah putus.
Life after breakup yang dilaluinya banyak dia alihkan dengan kesibukan kegiatan organisasi yang kadang dinilai terlalu banyak oleh sang kakak. Tapi, Ezhar seakan bebal, dia hanya akan menjawab seadanya dan berjanji tidak akan mengganggu nilai kuliahnya.
Karena kalau hanya diam saja, pikirannya akan semakin penuh dengan sosok Raynar.
Empat tahun bukan waktu yang sebentar tentu saja, berpisah lalu kembali bertemu seperti sekarang membuat Ezhar dari tadi berpikir panjang.
Masih bisa kah?
Pemuda dua puluh empat tahun itu juga tidak mengesampingkan kemungkinan kalau saat ini Ray mungkin sudah bersama yang lain dan dia tidak mempunyai kesempatan lagi.
Tetapi Rhea bak ibu peri pembawa pesan di kesempatan saat tadi berdua dengannya dengan jelas dia mengatakan bahwa Ray sedang tidak dekat dengan siapa pun.
“Ray, kalau aku minta kita mulai berteman lagi, apa kamu mau?”
Ezhar bisa melihat wajah Ray yang kembali terkejut mendengar ucapannya, dia bertanya dengan hati-hati dan tidak akan memaksa kalau Ray memang tidak ingin. Walaupun nanti hatinya pasti akan kembali merasakan kecewa yang cukup dalam.
“Maaf kalau misal permintaanku terlalu berat buat kamu.”
Ezhar melanjutkan saat Ray masih terdiam dengan raut wajah tidak mengerti, di pikiran Ray saat ini sedang penuh sekali, kahadiran tiba-tiba Ezhar juga hal yang terjadi setelahnya membuat ia harus mencerna pelan-pelan.
Senyum Ezhar kali ini tampak diulas tipis namun berbanding terbalik dengan tatapannya yang serius, dia mengambil napas dalam terlihat ragu menimbang ucapannya yang akan dikatakan,
“Kalau boleh jujur, aku masih belum bisa lupain kamu, Ray.”
Punggungnya bersandar pada kursi lalu mengusap wajah dengan tangan kanan hingga merusak tatanan rambut bagian depannya yang tadi disisir rapi, ada tawa pelan yang justru terdengar miris di setiap helanya.
“Aku kangen banget sama kamu. Rasanya aku mau peluk kamu. Aku ingin bilang sebanyak mungkin sama kamu kalau aku masih sayang sama kamu, Ray.”
Nadanya kali ini jelas lebih lemah dan lirih, bercampur frustasi yang sudah menumpuk bertahun-tahun saat akhirnya Ray kini berada nyata tepat di depan matanya.
Ezhar menatapnya dengan tatapan yang justru terasa begitu menyesakkan bagi Ray, hatinya tiba-tiba terasa sakit seperti diremas kuat. Ray seperti kembali pada empat tahun lalu ketika ia melihat tatapan Ezhar di hari mereka memutuskan untuk selesai.
Ray memilih mengalihkan tatapannya saat suara Ezhar kembali terdengar penuh sesal. Ia hanya bisa menunduk menatap kedua jemarinya yang saling bertautan di atas paha, mengigit bibirnya yang menahan perasaan penuh kalut.
“Maafin aku, Ray. Maaf hubungan kita dulu harus berakhir dan aku buat kamu nangis.”
Kalau memang betul dulu keadaanlah yang menjadi alasan utama mereka harus berpisah, maka saat keadaan itu sudah bisa diatasi lagi, apakah mungkin semuanya bisa kembali semudah ini?
“Ezhar...” suara Ray terdengar serak nyaris berbisik, kini ia membalas tatapannya setelah beberapa saat terdiam menyisakan hening yang justru berisik di pikiran keduanya.
Di dalam mobil yang sudah dimatikan itu, Ezhar merasa udara seperti mencekiknya terlebih saat kedua mata Ray kini tampak berkaca-kaca menatapnya.
Tolong jangan menangis lagi karenaku, sayang.
Di sana ada luka yang nampak, ada sesal yang terlintas, juga ada rindu yang sama besarnya.
Ezhar memilih mendekat mengikuti kata hatinya, mengabaikan logika yang berkata bahwa dia tidak berhak merindukan Raynar yang sudah bukan siapa-siapanya lagi.
Ezhar membawa Ray ke dalam pelukan panjang sembari memejamkan matanya erat. Mendekap sebisanya untuk menyalurkan rindu pada Ray yang tidak menolak.
“Aku kangen banget sama kamu, Ray.”
Sebaris kelimat rindu yang sudah tiga kali di dengar oleh Ray hari ini diucapkan dengan sungguh-sungguh dari bibir Ezhar yang masih belum melepaskan pelukannya.
Ray menaruh dagunya di atas pundak Ezhar, ia mengusap ujung matanya yang sudah basah. Diremasnya kemeja Ezhar tepat di punggung yang tampak terkulai lelah itu, “Maaf..” bisiknya teramat pelan, suara Ray kembali tercekat di tenggorokan saat ia berusaha melanjutkan kalimatnya, “..maaf aku dulu memilih menyerah tentang kita, zhar.”
Ezhar kini menggeleng pelan sambil mengeratkan pelukannya tanpa bicara apa pun, diusapnya penuh sayang kepala Raynar, bahunya, punggungnya, seluruhnya yang berada di dalam dekapannya yang semakin erat namun begitu melegakan.
Rasanya mereka seperti pulang kembali ke rumah yang paling nyaman.
Kalau memang cara semesta bekerja sudah seperti saat ini, baik Ezhar maupun Ray tidak akan pernah bisa menolak pertemuan yang diharuskan terjadi lagi.
Dan kalau memang sudah garisnya dengan Ezhar, mau sejauh apa pun Ray pergi, jalan yang dilaluinya pasti akan menuntun ia kembali menuju tempat pulang yang seharusnya.
Adalah Ezhar yang selalu mencintainya sejak dulu.
Adalah Ezhar yang selalu menunggunya untuk mengajak kembali pulang dalam hubungan yang mereka ciptakan sejak bertahun-tahun lalu.
Adalah Ezhar yang akan mengajaknya mengulang kembali kisah bahagia yang telah lalu, juga menciptakan mimpi masa depan yang akan jauh lebih indah penuh dengan senyum bahagia di wajah Raynar.
“Pernah kepikiran balikan sama mantan nggak, zhar?”
Ezhar tertawa kecil mendengar pertanyaan dari teman kampusnya saat itu, dia mengangkat bahunya dengan ringan sambil membayangkan wajah Ray.
“Kenapa enggak? dari dulu hati gue juga cuma buat Ray.”