xxxxweishin

“Kan, orgil beneran. Dari tadi gigi lo tuh kering, nyengir mulu!”

Sekyung mengabaikan ucapan Lomon yang duduk di depannya, pemuda itu sedang asik memakan snack berisi keripik kentang rasa sapi panggang yang dia ambil dari stok jajanan pacarnya sendiri.

Hari ini mereka akan pulang, satu tas miliknya serta Sekyung bahkan sudah ada di ruang tengah. Sedangkan Namra masih sibuk di kamar, belum siap katanya dan tentu saja pacarnya itu ribet sendiri karena pergi dua hari tapi membawa banyak barang, mau dibantu pun malah dia diusir katanya nanti bikin tambah berantakan.

Maka, di sini lah Lomon duduk dan menatap Sekyung yang fokus dengan ponselnya.

“Ngomong sama tembok kali ya gue.”

Pandangan Sekyung yang semula menunduk menatap ponsel kini beralih pada temannya itu, “Gue lagi chat Yiheon doang.” ucapnya lalu melirik ke arah pintu kamar, Yiheon bilang tadi mau beres-beres tapi sampai sekarang belum juga keluar.

“Anak orang dibaperin mulu. Tapi gak dipacarin.”

Mendengar ocehan Lomon, Sekyung langsung meneggakkan duduknya yang semula bersandar pada kursi dan menumpukan kedua sikunya pada meja. Tangannya terulur untuk mengambil satu keripik dari bungkusnya.

Suara renyah dari gigitannyan itu terdengar garing, dia masih belum memberikan balasan akan ucapan Lomon barusan karena masih sibuk mengunyah.

“Gampang amat ngomong. Lu kira ngajak pacaran kayak ngajak jajan cilok.”

Dia berdecak kecil, yang benar saja seorang Choi Sekyung yang dikenalnya sejak mahasiswa baru itu, yang biasa penuh percaya diri harus mikir ratusan kali buat ngajak anak orang pacaran.

Padahal tinggal nunjuk juga bisa, beberapa kali Lomon menjadi korban titip salam dari mulai teman sefakultas mereka sampai beberapa teman organisasi tingkat kampus yang memang mengenal keduanya.

“Kenalin sama Choi Sekyung, dong.”

atau

“Choi Sekyung temen lo itu udah punya pacar belum sih?”

Sampai bosen! dan Lomon akan menjawab dengan kalimat andalannya.

“Tanyain aja sendiri, kalau dm lo kagak dibales berarti dia emang gak minat.”

Hingga akhirnya kemudian dia hanya bisa nyegir saat mereka protes karena Sekyung tidak pernah menanggapi satu dm pun yang masuk.

“Nggak gitu juga. Tapi itu anaknya udah mulai nempel kan sama lo.”

Sekyung seakan mengerti apa maksud kata nempel dari kalimat Lomon barusan. Ada senyum tipis yang ditampilkannya saat pandangannya kembali menatap kamar tempat Yiheon berada.

Pintu kayu itu tidak ditutup rapat, dibiarkan terbuka sedikit namun tidak terlihat keadaan di dalamnya dari tempat mereka duduk sekarang. Obrolan mereka juga tidak akan terdengar hingga ke dalam kamar.

Lomon kembali melanjutkan ucapannya saat Sekyung justru tidak menjawab, dia memandang penuh curiga pada temannya itu.

“Gak mungkin kan effort lo selama ini cuma karena penasaran doang?”

Satu alis Sekyung terangkat saat mendengar pertanyaan Lomon. Di wajahnya seakan tergambar tulisan besar, lu mikir gue cowok brengsek?

Dia tertawa, “Oke..” katanya mengerti, lalu menenggak habis minuman kaleng yang masih tersisa setengah itu, “Sorry, habisnya lo kelamaan mikir.”

“Nanti.”

Sekyung menjawab singkat perkataan Lomon, ikut menenggak minumnya sendiri yang masih utuh, merasakan sensasi soda yang langsung membasahi tenggorokannya.

Nanti juga dipacarin, janjinya yang entah sudah sejak kapan tercetus di pikirannya sendiri.

Diambilnya ponsel miliknya yang berbunyi tanda pesan masuk. Ada balasan dari Yiheon yang kemudian membuatnya melebarkan senyum.

“Oh ada gue ternyata..” gumamnya pelan untuk dirinya sendiri.

Hal tersebut jelas mengundang kembali decakan samar dari Lomon yang bisa menebak dari siapa pesan tersebut.

Sekyung memasukan ponselnya ke dalam saku celana, menatap Lomon yang kali ini kembali sibuk mengunyah keripik.

“Lo tau gue gak mungkin asal ngasih effort sama orang. Kalau gue kasih ke Yiheon berarti gue gak pernah kepikiran buat sekedar main-main.” ucapnya serius menegaskan pada temannya itu.

Lomon tahu meskipun Choi Sekyung dikenal ramah dan supel di lingkup sekitar mereka. Tetapi bagi Lomon sebagai teman dekatnya, dia tahu betul Sekyung punya batas yang cukup tebal antara kebutuhan basa basi dan perduli yang sebenarnya.

Dan Song Yiheon yang entah tiba-tiba muncul darimana berhasil membuatnya mendengar hal yang tidak biasa diucapkan oleh Sekyung.

“Ternyata namanya Yiheon, kok gue kepikiran terus ya?”

Saat itu Lomon hanya menanggapi asal walaupun sedikit heran, sejak kapan Sekyung mikirin orang yang bahkan belum dikenalnya.

Hingga akhirnya dia sadar semakin sering nama itu disebut oleh Sekyung membuat Lomon mengambil kesimpulan sepihak. Dia berkata sambil menatap sosok Yiheon yang sedang asik makan di kantin dan duduk di bangku paling ujung bersama temannya, cukup jauh dari tempat mereka yang duduk di sisi yang lain.

“Kayaknya lo beneran naksir bocah itu deh. Kenal aja nggak.”

Sekyung saat itu tidak mengiyakan perkataannya, tapi dia juga tidak pernah membantah. Lomon justru hanya bisa mendengar gumamannya yang tidak dia mengerti.

“Hari ini lukanya udah lumayan sembuh.”

Sekarang atensinya kembali diberi pada Sekyung yang terlihat belum selesai berbicara.

“Kalau itu tentang Yiheon, rasanya gue gak bisa ambil sikap sembarangan.”

Bahkan mungkin terlampau hati-hati, Sekyung menyadari sikapnya itu karena bila menyangkut Song Yiheon, dia selalu banyak berpikir.

Sekyung tidak mau satu langkah salah yang dia lakukan malah membuat Yiheon mundur untuk menjauh.

Dia terlihat mengulum senyum lalu mengedikan kepalanya ke arah kamar.

“Hari ini Yiheon lagi seneng dan dia bilang ada gue jadi salah satu alasanya. Lu tahu pasti kalau bisa bikin bahagia orang yang lu sayang, rasanya udah cukup bikin diri lu sendiri senengnya jadi dua kali lipat.”

Perihal itu jelas Lomon mengangguk setuju dengan apa yang diucapkan Sekyung.

“Gue tau dan paham. Karena gue juga seneng kalau gue jadi alasanya Namra bahagia.”

Pemuda itu menjeda ucapannya, jarang sekali dia memberi nasihat pada Sekyung yang memang selama mengenalnya Lomon merasa tidak ada apa-apa yang perlu dia komentari dari kehidupannya.

“Tapi menurut gue lo juga berhak dikasih sebanyak apa yang udah lo beri. Apa gak mau effort ugal-ugalan lo selama ini dibales sama Yiheon? bukan maksudnya selama ini lo gak tulus, cuma gue rasa dua duanya harus jalan biar ketemu. Kalau lo doang yang jalan ya gak bakal bisa.”

Sekyung mengangguk kecil sambil menatap temannya itu yang tampak serius tidak seperti biasanya.

“Gue gak pernah minta balasan apa pun, Lomon.” ujarnya yang langsung membuat Lomon menepuk pelan meja di depannya seakan mendapatkan titik apa yang memang dia cari.

“Itu point nya maksud gue. Gue gak tau sesayang apa lo sama Yiheon sampai ngerasa cukup buat dapat segini aja dari dulu. Mikirin bahagia Yiheon terus, tanpa benar-benar nyadar kalau lo pun butuh feedback, Sekyung.”

Sekyung menghargainya, ucapan panjang lebar Lomon di pagi hari ini yang memberinya banyak masukan.

“Seperti apa yang lo bilang tadi, dia udah mulai nempel ke gue aja belum ada sehari. Kalau mau nurutin ego gue dari dulu mungkin hari ini juga gak bakal kejadian, anaknya yang ada udah kabur duluan.”

Sekyung meringis kalau ingat bagaimana Yiheon selalu menghindarinya dalam seminggu ini, jadi dia rasa seperti ini dulu tidak apa-apa. Pelan-pelan saja.

Tidak bisa berkomentar banyak lagi, Lomon mungkin sedikit mengerti kalau sifat Yiheon memang membutuhkan cara Sekyung yang berlaku lembut padanya, yang sabar dengan segala tingkahnya, yang tidak pernah menuntut namun akan membuatnya sadar bahwa ia benar-benar butuh sosok yang selalu memberi nyaman dengan rasa sayang yang Lomon tahu begitu besar.

Kalau bisa ngomong langsung, Lomon pasti bakal bilang, lo itu beruntung bertemu dengan Choi Sekyung, Yiheon.

“Ternyata lu bisa serius juga ya.” ucap Sekyung sebelum beranjak dan menepuk pundaknya membuat Lomon melempar satu buah keripik pada punggung kemeja yang mulai melangkah itu.

“Minimal bilang makasih. Udah dikasih saran gratis juga.”

Sekyung tertawa kecil, berbalik lagi menatap Lomon lalu mengeluarkan kunci mobilnya dari saku celana, dilemparkannya pada temannya itu yang langsung menangkapnya dengan mudah.

“Lu aja yang bawa, biar gue bisa fokus sama Yiheon kalau gitu.”

“Nyesel gue ngasih saran!”


Yiheon mengangkat wajahnya dari layar ponsel saat ia mendengar pintu yang dibuka. Di atas kasur di sampingya ada ransel hitam yang terlihat mengembung penuh berisi baju kotor.

Dilihatnya Choi Sekyung yang tadi bertanya hal yang membuatnya tidak perlu berpikir dua kali untuk menjawab.

Seniornya itu hanya berdiri sambil menyandarkan tubuh bagian kirinya pada kusen pintu yang barusan dia buka, melipat kedua tangannya di dada dan menatap Yiheon yang sedang tengkurap memenuhi seluruh kasur persis seperti tadi malam saat Sekyung masuk ke kamar untuk mencari dompetnya.

“Lagi ngapain, Yiheon?”

Kening Yiheon berkerut melihat Sekyung yang hanya diam dan tersenyum tanpa beranjak untuk masuk ke dalam kamar.

“Tiduran.” jawabnya kelewat polos, ia balik bertanya tanpa mengubah posisinya, “Pulang sekarang, bang?”

Sekyung melihat jam di pergelangan tangan kanannya lalu terlihat berpikir dan memasang wajah ingin tahu, “Buru-buru banget mau ngapain sih di rumah?”

Dibenarkannya bantal yang mengganjal dadanya, lalu mengatur posisinya sambil mengambil satu bantal lagi untuk dipeluknya, ia meringis kecil ditanya seperti itu.

“Gak ada, nanya doang soalnya gue udah siap.”

“Terus kenapa masih di kamar?”

Langkah Choi Sekyung itu kini mengayun pelan membawa tubuhnya untuk mendekat pada tempat tidur.

Tangan Yiheon menunjukkan ponselnya yang ia pegang serta charger yang memang terpasang dengan colokan di dekat meja samping tempat tidur, “Lupa gak bawa power bank takut mati hp gue nanti pas di jalan.” jelasnya

Sekyung hanya membulatkan mulutnya dengan tangan yang tanpa bisa ditahan untuk mengusak puncak kepala Yiheon hingga anaknya protes.

Yiheon lantas bangun untuk duduk, merasa tidak enak kalau ia masih mempertahankan posisinya saat dilihatnya Sekyung yang berjalan ke arah kanan ruangan, berdiri di depan jendela kaca yang tadi dibuka oleh Yiheon sehingga gorden berwarna gading tersebut bergerak pelan terkena angin dari luar.

Di balik jendela kaca tersebut terdapat halaman belakang hijau lengkap dengan rumput yang memenuhi tanahnya serta pohon-pohon teduh untuk mengimbangi panas suasana dekat pantai. Halaman itu jelas mengarah ke arah kolam renang yang sama yang bisa diaksen langsung bila keluar lewat pintu geser yang ada di ruang tengah.

Choi Sekyung melirik Yiheon yang sudah berada di sampingnya. Berdiri bersisian dengannya setelah turun dari tempat tidur.

“Tadi gue sempet kesana buat liat-liat ternyata kolamnya gak terlalu rame, cuma ada beberapa orang aja. Terus ada tempat duduknya enak banget buat tiduran.” ceritanya sambil menunjuk ke luar jendela.

“Kapan?”

“Pas abang lagi mandi.”

“Terus kepikiran buat nyebur lagi?” tanya Sekyung tertawa geli dan Yiheon hanya memperlihatkan deretan gigi rapinya.

“Enggak, mau pulang juga kan. Cuma suka aja di sana sambil kena angin, banyak pohonnya jadi gak terlalu panas.”

Sekyung mengangguk kecil untuk memberi respon, lagi-lagi dia bisa melihat senyum lebar dengan lesung pipi yang begitu dalam di wajahnya.

Baik sekali Yiheon dari pagi sudah membiarkan dia melihat kesukaannya itu.

“Kenapa?”

Yiheon terheran saat Sekyung tidak mengucap kata apa pun sambil menatapnya cukup lama, ia bahkan sampai memegang kedua pipinya sendiri untuk memastikan, meraba hampir seluruh mukanya, “Di muka gue ada yang aneh?” lalu bertanya dengan nada bingung.

Sekyung tergelak, “Gak ada, Yiheon.” tangannya memegang tangan Yiheon yang mesih ada di pipinya untuk diturunkan.

“Gak ada yang aneh sama sekali. Emang gak boleh kalau gue liatin?”

Ditatap kayak gitu lu pikir gue gak senam jantung, batin Yiheon sibuk menggerutu.

“Gak boleh, bayar!” sahutnya asal, berbeda dengan apa yang ada di pikirannya.

“Pake apa?”

Apasih kok malah nantangin.

“Mampunya Bang Sekyung apa?”

Sekyung mengerutkan keningnya saat Yiheon balik bertanya jahil, lalu dia dengan cepat menarik satu sudut bibirnya tampak menyeringai.

“Apapun gue kasih kalau buat lu.”

Tuh kan! Yiheon gak kuat kalau lama-lama begini. Mau kabur aja. Capek juga meladeni Sekyung, bukan cuma hatinya tapi juga pikirannya yang seperti terkuras.

“Udah makin gak jelas banget lu. Gue mau keluar sekarang aja.”

Baru saja ia akan mengambil ransel miliknya, lengannya lebih dulu ditahan oleh Sekyung yang terlihat susah payah menahan senyumnya tidak ingin membuat Yiheon kesal, padahal yang duluan mulai juga dirinya.

“Jangan keluar dulu.”

Kalau saja itu orang lain yang melakukannya, Yiheon yakin kesabarannya yang setipis tisu itu sudah raib. Tetapi kali ini berbeda karena di depannya saat ini Choi Sekyung sedang menatap dengan memohon, dengan wajah tampannya yang sedang menunggu respon darinya.

Dan satu anggukan kecil dari Yiheon membuat Sekyung melebarkan senyumnya hingga kedua matanya itu menyipit.

Ada dengusan kecil terdengar dari Yiheon saat melihat senyum senang di wajah Sekyung, sebahagia itu gue gak jadi pergi doang?

“Terus.. kenapa gue gak boleh keluar dulu?”

Yiheon bertanya dengan menurunkan nadanya agar tidak ngegas, ia seperti baru saja teringat prinsip barunya itu. Tolong abaikan yang tadi karena itu cuma kelepasan.

Di depannya, Choi sekyung justru mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia membuka room chatnya dengan Yiheon dan ditunjukkan padanya layar ponsel tersebut.

“Abang cuma mau denger langsung yang ini.”

Itu adalah chat terakhir mereka.

“Gimana maksudnya?”

Sekyung sudah tidak lagi menghadap ke arah depan, tubuhnya sepenuhnya menghadap ke arah Yiheon yang memasang wajah tidak mengerti dengan kedua alis tebalnya yang menyatu.

“Yiheon...” suara Sekyung terdengar lembut seperti biasa.

“Diantara banyak hal yang bikin kamu bahagia hari ini, beneran ada Bang Sekyung kan di dalamnya?”

“Iya.”

Yiheon menjawab pelan sedikit bingung karena Sekyung benar-benar mengulang apa yang tadi dia tanyakan.

“Terus maksudnya gak cuma hari ini apa?”

Choi Sekyung memasang wajah penasaran menatap Yiheon yang terlihat menghela napas kecil, ia bahkan menggaruk bagian belakang kepalanya terlihat salah tingkah.

Kenapa sih nanya langsung, gak di chat aja.

“Kalau harus diperjelas mungkin gini..”

Yiheon berdehem kecil, tubuhnya ikut menyamping menghadap Sekyung.

Sesaat ia dengan berani membalas tatapan Sekyung sebelum berbicara serta mengambil napas dalam membuat seniornya itu tidak bisa menahan senyumnya apalagi Yiheon kemudian ikut menarik kedua sudut bibirnya.

“Diantara banyak hal yg buat gue seneng, Bang Sekyung selalu ada di dalamnya.”

Nadanya jelas, tidak ada keraguan sama sekali yang terdapat di kalimatnya. Wajahnya tersenyum cerah. Song Yiheon berujar sungguh-sungguh tentang apa yang barusan ia ucapkan.

Bukan hanya hari ini, walaupun mungkin Yiheon baru menyadari perasaanya belakangan ini, tapi fakta bahwa Sekyung selalu ada dalam hal yang membuatnya senang itu sudah terjadi cukup lama dan ia sadar betul.

“Gue boleh tanya hal yang sama?”

Yiheon berkata dengan sedikit takut, menatap Sekyung yang kembali melebarkan senyumnya seakan penjelasannya tadi adalah hal paling luar biasa yang bisa dia dengar.

“Tentu.” jawab Sekyung, “Tanya aja, nanti gue jawab.”

“Diantara banyak hal yang bikin Bang Sekyung senang, pernah ada gue gak di dalamnya?”

Ada napas tertahan yang dilakukan oleh Yiheon saat ia selesai bertanya. Kalau tadi ia bisa menjawab tanpa ragu pertanyaan tersebut, belum tentu hal itu berlaku juga bagi Sekyung, pikirnya.

Tetapi di depannya sekarang, Sekyung jelas mengiyakan, menatapnya dengan lurus lalu berkata untuk menjawab pertanyaan Yiheon untuknya.

“Bukan hanya pernah, Yiheon. Tapi kamu memang alasan buat Bang Sekyung ngerasa senang.”

Karena bagi Sekyung, melihat Yiheon sudah cukup untuk dia merasa senang. Dan melihat Yiheon yang bahagia sudah cukup untuk dirinya lebih bahagia lagi.

“Beneran gak?” suaranya terdengar mendesak, meminta jawaban jujur dari Sekyung yang mengangguk yakin.

“Ohhh...”

“Masa oh doang? lempeng banget.”

Song Yiheon meringis kecil mendengar komentar Sekyung akan responnya.

Kalau saja dia tahu bagaimana berisiknya pikiran Yiheon sekarang, bagaimana degup jantungnya yang jauh dari kata normal, bagaimana ia mati-matian menahan senyum lebarnya saat ini.

Tadi pagi, Yiheon mengetahui fakta kalau Sekyung berkata menyayanginya, sekarang ia mengetahui kalau dirinya menjadi alasan Sekyung merasa senang.

Rasanya rate senang ia yang tadi harus ditambah lebih banyak lagi.

“Malah bengong.”

Yiheon merasakan lagi tangan Sekyung yang mampir di atas kepalanya, dipatpat lalu diusap-usap.

Ia menatap Sekyung dengan perasaan yang sulit dijelaskan, Yiheon tahu kalau ternyata mereka berbagi sumber kebahagiaan satu sama lain?

Bahagia aku itu kamu.

Bagaimana mungkin dirinya menjadi alasan Sekyung merasa bahagia, Yiheon bahkan tidak pernah memikirkannya sebelumnya.

Terserah, yang ia tahu sekarang dirinya benar benar ingin melakukan ini. Sedikit ragu, Yiheon menimbang apa yang ingin ia ucapkan sekarang, berlebihan nggak ya?

“Abang.. boleh gue minta peluk lagi?”

Pintanya pelan dengan kedua mata yang membulat lucu, ingin sekali. Satu-satunya yang terbersit di pikirannya saat ini adalah memeluk erat sosok di depannya ini.

Walaupun sedikit kaget, Choi Sekyung tidak perlu berucap banyak saat Yiheon mendekat padanya, dia dengan senang hati menyambutnya, lalu membawanya ke dalam sebuah pelukan hangat yang sarat akan kasih sayang.

“Tentu boleh, Yiheon. Kapan pun kalau kamu mau bilang aja.”

Yiheon tersenyum senang mendengarnya, ia seperti mendapat lampu hijau. Kapan pun katanya, Yiheon akan mengingatnya dengan jelas ucapan Sekyung barusan.

“Senangnya nambah dong ya harusnya?” tanya Sekyung sambil mengusap-ngusap punggungnya dengan lembut, ada kekehan ringan di ujung kalimatnya saat berbicara seperti tahu apa yang dirasakan oleh pemuda di dekapannya ini.

Yiheon tidak langsung menjawab, ia hanya mengangguk kecil dan bergumam pelan dalam posisi nyamannya menyalurkan bahagia yang terasa semakin menumpuk, semuanya karena Bang Sekyung.

“Iya. Nambah banyak banget.”

“Makasih udah jadi alasan buat Bang Sekyung bahagia ya, Yiheon. Makasih udah libatin Bang Sekyung dalam hal apa pun yang buat kamu senang.”

Senyumnya di wajah Yiheon semakin lebar saja, apa yang dikatakan Sekyung tersebut membuat hatinya menghangat berkali-kali lipat.

“Gue juga mau bilang makasih banyak-banyak buat semuanya, bang.” balasnya sambil memberi jarak dan menjauhkan lagi tubuhnya dari Sekyung.

Ia melepaskan pelukan singkat mereka walaupun terasa berat, memberinya sedikit rasa hampa.

Bisa gak pelukan aja seharian, maunya.

Yiheon menatap yang lebih dewasa itu dengan senyum senangnya, ia suka tawa Sekyung yang terdengar dalam di pendengarannya seperti sekarang.

Bang Sekyung nya beneran terlihat bahagia.

Makasih udah sayang sama gue, Bang Sekyung.

Sayangnya, Yiheon hanya bisa menelan lagi kalimatnya yang tertahan di tenggorokan, untuk masalah itu rupanya ia masih belum berani bilang apa-apa.

Ia hanya bisa kembali memperlihatkan lesung pipinya, mengangguk kecil saat Sekyung berkata kalau dia lagi-lagi menyukai pipi bolongnya itu entah sudah berapa puluh kali yang Yiheon dengar hari ini.

“Abang, rate juga hari ini berapa?”

Yiheon bertanya saat ia mengambil ranselnya di atas kasur, mencabut ponselnya yang sudah lumayan penuh, melirik Sekyung yang berdiri di sampingnya untuk menunggu.

“Sepuluh / sepuluh ?”

Nadanya kembali merajuk saat mendengar jawaban Sekyung yang kali ini mendorong pundaknya dari belakang untuk berjalan keluar kamar, “Dikit banget! masa cuma segitu.”

“Ya sudah, seratus / sepuluh?”

“Oke boleh lah, tambahin lagi nanti soalnya bisa tidur di pundak gue.”

“Iya, seratus juta / sepuluh, ok?”

“Banyak banget anjir. Lebay.”

Yiheon tertawa puas mendengar candaan Sekyung, menular pada Sekyung yang juga ikut menarik kedua sudut bibirnya melihat Yiheon yang terlihat senang.

Tawa yang mengundang pandangan heran dari kedua orang yang sedang duduk di ruang tengah.

“Haduh ketawa nya gak bagi-bagi nih Yiheon, seneng banget kayaknya.”

Ucapan Namra diangguki oleh Lomon yang langsung melirik Sekyung, ada senyum kecil di kedua wajah pasangan itu seakan saling tahu satu sama lain, menatap teman mereka yang belum menghilangkan wajah senangnya.

“Sayang sumbernya cuma satu doang. Jadi, gak bisa aku bagi-bagi.”

“Oh iya ngerti, Sekyung nya emang buat kamu kok. Ambil aja.”

Yiheon membulatkan matanya mendengar ucapan frontal Namra di depan semua orang yang dengan jelas langsung bisa melihat wajahnya yang perlahan memerah.

Salah ia juga tadi asal menjawab tanpa pikir panjang.

“Ngaca deh, muka lo kayak tomat tuh.”

Sudah bisa ditebak, Sekyung langsung merangkulnya saat Yiheon menaruh tas ke atas sofa dan bersiap melempar bantal yang ada di sana kepada Lomon yang masih meledeknya.

“Bang Lomon awas lu!” katanya sambil mendengus yang membuat pasangan itu semakin ngakak, beneran bocah tukang ribut itu gak bisa dipancing dikit. Walaupun mereka tahu Yiheon hanya bersikap untuk menutupi malunya.

Ia melirik Sekyung yang ikut tertawa walaupun mencoba ditahan.

Udah lah harga diri gue jatoh sampe bubuk gak bersisa ini, udah gak ketolong. Mau kabur, batinnya frustasi sambil menutup mukanya.

Bisa-bisanya Lomon berkata benar seperti itu karena walaupun Yiheon tidak melihat kaca, tapi ia tahu wajahnya terasa sangat panas saat ini.

“Gapapa, muka kamu malah tambah lucu.”

Dan perkataan Sekyung barusan bukannya terdengar menghibur malah membuatnya semakin panas, serta meraskan sensasi yang menggelitik semakin banyak di perutnya.

Apalagi Choi Sekyung, pemuda itu berkata sambil mengambil tangan Yiheon yang menutupi wajah dan mengganti dengan tangannya sendiri untuk menangkup kedua pipi Yiheon.

Tolong dicatat, Choi Sekyung menangkup kedua pipinya detik ini.

Dia mengulas senyum tipis, melihat langsung dengan kedua irisnya bagaimana Song Yiheon tidak bisa berkutik di bawah tatapannya lengkap dengan semburat yang semakin nyata mengisi hampir seluruh wajah tampannya hingga ke telinga.

“Gemes banget sih yang nggak mau bagi-bagi gue.” bisik Sekyung sambil sedikit mengelus pipi tegas itu menggunakan ibu jarinya.

Sekyung mengerti apa yang dimaksud oleh Lomon tadi perihal feedback yang harus dia dapatkan. Sekecil apa pun itu yang diberikan oleh Yiheon seperti sekarang, Sekyung akan menghargainya.

Lalu kalau memang mereka harus jalan bersamaan, Sekyung tahu saat ini Yiheon sudah melangkah menyusulnya agar mereka bisa berjalan bersisian walaupun mungkin ia sendiri tidak menyadarinya.

Sekyung hanya perlu menunggu tanpa terburu-buru apalagi memaksa, yang bisa dilakukannya hanya mengulurkan tangan pada Yiheon, memberi tahu kalau dia selalu ada dan selalu menunggunya tanpa kurang sedikit pun.

Sebentar lagi, Sekyung tahu kalau hari itu mungkin akan tiba. Saat dia akhirnya bisa menggenggam tangan Yiheon sepenuhnya tanpa ragu karena Yiheon sendiri yang akan menyambutnya terlebih dulu.

“Abang... stop ngomong dulu, stop natap gue kayak gitu. Jantung gue udah kecepetan.”

Atau mungkin Sekyung harus mulai bersiap-siap dari sekarang karena Song Yiheon rupanya tidak sabar dalam hal apapun.

Dulu mungkin ia tidak menyadarinya tapi sekarang berbeda, si tukang ribut itu tahu jelas bagaimana hatinya berkata kalau ia benar-benar menyukai Bang Sekyung nya ini.

Song Yiheon menutup obrolan di grup bersama kedua temannya, di layar ponselnya yang terkunci itu jelas waktu sudah menunjukan hampir pukul tujuh malam.

Keadaan hening menemani perjalanannya dengan Sekyung yang tidak banyak mengeluarkan suara sejak tadi mereka meninggalkan kosan Asa. Pacarnya itu paling hanya berucap satu dua kata saja, irit banget.

Hampir lima belas menit diamnya mereka membuat Yiheon hanya menatap ke samping jendela kaca, melihat suasana malam yang masih sibuk di luar sana walaupun perlahan rintik gerimis tampak hinggap berjatuhan di kaca, membentuk embun yang terlihat buram dari dalam.

Biasanya mobil Sekyung akan diisi oleh berbagai celotehan mereka, baik cerita life update Yiheon atau pun hanya sekedar candaan Sekyung yang membuat Yiheon merajuk lelah mendengarnya. Juga keseruan-keseruan lain seperti yang terjadi dua hari lalu sedangkan hari ini benar-benar sangat bertolak belakang sekali.

Satu hela napas panjang keluar dari bibirnya, punggungnya bersandar sepenuhnya pada kursi. Pikirannya berisik sekali saat ini, banyak hal yang mampir dan tokoh utamanya adalah Choi Sekyung, orang yang berada di sampingnya.

Yiheon sadar, atmosfer dari Sekyung yang ia rasa berbeda ini tidak lepas karena ulahnya sendiri.

Canggung banget.

Bang Sekyung kayaknya masih kesal dan marah, simpulnya sendiri.

Pandangannya jelas menajam saat ia melewati jalan yang seharusnya mengarah ke rumahnya di persimpangan tadi dan mobil Sekyung justru berjalan lurus membelah jalan menuju rumahnya sendiri.

Sekyung bisa sangat hapal nomor dan jalan menuju ke rumah Yiheon, bahkan pemuda itu dapat mengingat jelas warna rumahnya karena sering sekali dia menjemput dan mengantarkan Yiheon pulang.

Sedangkan Song Yiheon benar-benar buta arah, ia tidak tahu di mana rumah pacarnya itu. Tentu saja karena dari kampus kalau Sekyung mengantarnya pulang mereka tidak akan melewati rumah Sekyung terlebih dahulu dan juga tidak ada alasan untuk ia datang ke rumahnya.

Sekarang mungkin sudah ada.

Rumah Sekyung jelas lebih jauh, tapi Yiheon hitung hanya sampai lima belas menit kemudian mobil putih itu kini memasuki sebuah komplek perumahan yang terlihat sepi.

Dari arah gerbang depan utama tempat satpam yang berjaga, mobil Sekyung hanya perlu berjalan lurus dan berbelok satu kali ke arah kanan menuju blok C yang Yiheon lihat dengan jelas dari papan tanda di depan.

Yiheon melongokan kepalanya saat Sekyung memelankan mobilnya dan memasuki gerbang rumah berwarna hitam yang memang terbuka setengahnya dengan nomor enam terpasang jelas di tembok sampingnya, rumah paling ujung yang berada di deretannya.

Dia memarkirkan mobil putihnya itu di carport yang berada tepat di depan pintu garasi yang tertutup rapat.

Kemudian menatap Yiheon sebentar dan tersenyum tipis setelah mematikan mesinnya, “Sudah sampai, ayo turun. Bisa nggak, perlu dibantuin?”

Akhirnya ngomong panjang juga sejak dari mobil.

“Gapapa, bisa sendiri, bang.” Yiheon melepas seatbeltnya lalu mengambil tas yang ada di kursi belakang sebelum membuka pintu saat Sekyung keluar lebih dulu dan berjalan untuk menutup pagar rumahnya.

Halamannya tidak terlalu luas seperti di rumahnya, hanya ada taman kecil di sebelah pojok kanan yang dihiasi lampu taman berwana hangat kekuningan. Sebagian bawahnya ditanami rumput yang terawat dengan kerikil putih yang melengkapi blok-blok jalan menuju pintu utama, juga ada satu pohon berukuran lumayan tinggi yang akan membuatnya menjadi teduh kalau siang hari.

Dari luar, rumah dua lantai berwarna dominasi cokelat dan putih itu tampak begitu sepi dan suasana perumahan Sekyung membuatnya terlihat semakin sunyi.

“Orang tua abang ada?” pertanyaan yang jelas ada di benaknya sedari tadi akhirnya diutarakan.

Yiheon terkesiap saat tangan Sekyung merangkul pinggangnya tiba-tiba, mengalungkan tangan Yiheon untuk merangkul pundaknya dan membantunya berjalan dengan pelan menuju pintu rumah yang tertutup.

“Gak ada.” jawab Sekyung tak acuh membuat Yiheon sedikit mengerutkan keningnya, seakan mengerti Sekyung kembali membuka suara, “Pergi tadi pagi, paling besok juga pulang.”

Yiheon menggumam tampak mengerti, sepertinya baru minggu lalu mereka pergi dengan Sekyung, sekarang sudah tidak ada lagi. Ia memang pernah dengar dari Lomon yang kadang bercerita katanya orang tua Sekyung ini memang sibuk dan sepertinya dia tidak asal bicara.

Pintunya tidak dikunci, Yiheon mengedarkan pandangannya tanpa bisa dicegah saat ia memasuki rumah Sekyung.

Di ruang tamu yang terlihat minimalis namun secara bersamaan tampak mewah—menurut Yiheon dengan sofa berwarna khaki serta lampu gantung berukuan cukup besar digantung di tengah ruangan.

Di sana terdapat satu lukisan yang cukup besar bisa mencuri perhatian siapa pun ketika masuk, sayangnya Yiheon tidak terlalu paham seni kontemporer tersebut tapi dari padangannya sebagai amatir itu tampak bagus dan mahal, batinnya meringis kecil.

“Loh, Mas Sekyung sudah pulang?”

Sebuah suara terdengar disusul dengan presensi seorang wanita berumur sekitar kepala empat yang keluar dari dalam rumah membuat keduanya menoleh serentak.

“Mbak, boleh tolong siapkan makan malam.”

Yiheon mengulas senyum sopan saat dilihatnya wanita itu mendekat dan memasang raut khawatir sekaligus kaget saat melihat wajahnya yang terluka.

“Iya, mas. Eh ini kenapa? Perlu mbak ambilkan obat?” tanyanya membuat Yiheon meringis sambil tertawa kecil.

“Gapapa, sudah diobatin kok.” jawabnya tidak mau membuat orang lain khawatir, terlebih ia juga tidak mengenalnya.

Sekyung terlihat belum berniat melepaskan tangannya dari pinggang Yiheon saat dia mengajak Yiheon berjalan semakin jauh ke dalam rumahnya.

Diikuti tatapan mbak yang kali ini memasang wajah penasaran dengan siapa tuan mudanya pulang karena Sekyung jarang sekali membawa teman ke rumah, paling hanya dua orang yang dia hapal betul, Mas Lomon sama Mas Bomin.

Sedangkan yang sekarang jelas adalah wajah asing yang pertama dilihatnya, terlebih keadaannya tidak bisa disebut baik-baik saja.

“Ini namanya Yiheon, pacar aku, mbak. Hari ini mau menginap.”

Sekyung seperti mengerti tatapan mbak yang memang sudah bekerja sejak dia remaja itu, dia berkata untuk menjawab rasa penasaran yang pasti ujung-ujungnya nanti sampai ke telinga Mamanya.

“Oh, Mas Yiheon toh...” tentu saja ada rasa kaget saat Sekyung bilang pacar. Tidak ada angin atau hujan badai tiba-tiba sudah bawa pacar saja ke rumah, bukan hanya teman seperti biasanya, “Oke, mas. Nanti mbak siapkan kamar tamu dulu kalau gitu.”

Namun, si mbak langsung melihat ada gelengan tegas dari tuan mudanya itu, tangan kanannya yang memegang lengan Yiheon yang ada di pundaknya ditarik lebih dekat saat mereka sampai di depan anak tangga menuju lantai dua.

“Gak usah. Yiheon tidur di kamar aku.”

Ucapan mutlaknya itu membuat Yiheon secepat kilat menatap Sekyung dengan pandangan sedikit kaget lalu tanpa sengaja bersitatap dengan mbak yang mengangguk-ngangguk paham, sedangkan ia hanya bisa nyengir tidak tahu harus merespon bagaimana.

Nurut aja gak sih. Tahan, jangan protes.

“Ya sudah, mbak siapkan makan malam dulu. Hati-hati loh Mas Yiheon naik tangganya.”

“Siap, makasih mbak!”

Sekyung menggeleng pelan saat melihat punggung yang sudah beranjak ke arah dapur, besok pasti semua penghuni rumah akan langsung tahu apa yang terjadi malam ini.

Sebetulnya tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan juga, lagi pula Sekyung pernah menyinggungnya saat tempo hari dia membawa brownies buatan Bunda Yiheon pulang.

“Aku nggak beli, Ma. Ini dikasih sama calon mertua, baik banget kan.” katanya membuat sang Mama mengerutkan keningnya sambil menatap heran anak tunggalnya itu yang memasang senyum lebar tampak bangga sambil sibuk memakannya, “Memang itu anaknya mau sama kamu? kok sudah ngaku-ngaku saja.” tanyanya yang dibalas tawa kecil, “Mau kok, nanti aku kenalin.”

Sekyung kali ini terdiam sebentar menatap sedikit prihatin keadaan Yiheon, “Kamar abang di lantai dua.” beritahunya.

“Oke, gapapa abang.” balasnya meyakinkan saat Sekyung justru menatapnya sangsi.

“Gendong, mau nggak?” tawarnya.

“Dih, gak usah lah! Bisa kok naik tangga segini doang.”

Segini doang katanya, Yiheon jelas harus meringis saat ia melewati sekitar delapan belas anak tangga dengan keadaan kaki pincang.

Lengkap dengan drama kecil-kecilan diantara keduanya, Sekyung akhirnya berhasil membuka pintu kamarnya yang berada di sebelah kanan tangga.

Wangi familiar adalah satu hal yang bisa Yiheon simpulkan begitu cepat ketika ia melangkah masuk.

Wangi Sekyung yang suka nempel di bajunya. Wangi Sekyung yang ia sukai.

“Duduk sini dulu.”

Sekyung mendudukan Yiheon di atas tempat tidurnya yang berukuran besar berada di tengah ruangan.

Dia kemudian melangkah ke arah lemari pakaiannya yang berada di sebelah kiri tempat tidur, dicarinya baju yang menurutnya pas untuk Yiheon. Ukuran tubuh mereka tidak terlalu jauh berbeda seharusnya baju Sekyung cukup bila dipakai oleh Yiheon, biasanya hanya jaket yang memang pernah dipakainya beberapa kali.

Saat si pemilik kamar sibuk sendiri, Yiheon memindai cepat kamar seorang Choi Sekyung, mimpi apa ya ia bisa ada di sini.

Di kamar pacarnya.

Kamar Sekyung jelas lebih luas daripada miliknya sendiri, juga tentu saja lebih rapi. Tidak usah ditanya bagaimana keadaan kamar Yiheon bila ditinggalkan ke kampus setiap pagi, pokoknya cukup untuk membuat Bunda cerewet.

Ada meja dengan komputer berada di atasnya tepat menghadap jendela kaca yang mengarah ke luar kamar. Serta beberapa buku tebal yang disusun rapi di atas meja lengkap dengan lampu belajar dan jam digital berwarna hitam yang menunjukan pukul delapan kurang dua puluh.

Di sampingnya, ada rak buku walau tidak terlalu besar tapi cukup penuh terisi, pantes dia pinter, bukunya aja banyak, pikirnya.

Satu hal membuatnya berhasil menyipitkan mata saat melihat sebuah foto di ujung meja yang dipajang bersisian dengan jam serta vas bunga yang berisi hanya satu tangkai mawar berwarna putih.

Bunga darinya hari itu, ternyata bukan hanya ia yang merawatnya, Sekyung juga.

Yiheon tersenyum saat ia berhasil melihatnya dari dekat walaupun sedikit susah untuk berjalan.

Tubuhnya membungkuk untuk melihat foto apa di sana tanpa berani memegangnya.

Ada Choi Sekyung kecil yang sedang tertawa dengan gigi ompong memeluk seekor anjing golden retriever yang bahkan hampir sama besar dengan tubuhnya, mungkin Yiheon tebak itu saat dia masih enam atau lima tahun.

Lucu, Bang Sekyung nya kecil banget kemasan sachet.

“Ngapain senyum sendiri kayak gitu.”

Yiheon terlalu asik bahkan untuk menyadari kehadiran Sekyung yang sudah ada di belakangnya, berbisik teramat dekat di samping telinganya membuat ia menegakkan tubuhnya kembali.

Di tangan kanannya ada sebuah piyama berwana biru tua yang akhirnya dia pilih untuk dipakai oleh Yiheon.

Pandangannya melirik fotonya sendiri, Sekyung jelas menyadari apa yang membuat Yiheon tersenyum seperti itu.

“Jangan ngeledek.”

Yiheon mengangkat bahunya, menatap Sekyung dengan gelengan pelan, “Enggak kok. Lucu aja lihatnya, lagian semua pernah ompong pada masanya kok. Gak usah malu.” nasihatnya sambil mengambil baju dari tangan Sekyung.

“Buat aku kan? Kamar mandinya itu?”

Jari telunjuk Yiheon menujuk sebuah pintu berwana putih yang berada di sisi lain kamar tidur, takut salah. Sudah pingin mandi dan mengganti bajunya.

Pertanyaan itu diangguki oleh Sekyung dan dibalas pertanyaan lain yang membuatnya mengerutkan kening dengan dalam.

“Bisa gak sendiri? handuk sama yang lainnya sudah abang siapin di sana kamu pakai saja.”

Apanya yang gak bisa sendiri? Mandi?

“Ya bisa lah, abang.” jawabnya sedikit rusuh, lalu berjalan secepat yang ia bisa walaupun sambil meringis menahan sakit di kakinya.

Gara-gara Jaemin! batinnya malah semakin gondok bila mengingat nama tersebut.

“Pelan-pelan saja, sayang.”

Sekyung menghela napas saat Yiheon mengacungkan jempolnya sebelum hilang di balik pintu kamar mandi.

“Aman!” sahutnya.


Ketika tadi sampai di kosan Asa dan melihat Sekyung ada di sana menatapnya dengan pandangan lurus, jujur saja hal itu membuat Yiheon kicep.

Yang ada di pikiran terburuknya adalah Sekyung bakal ngamuk padanya, memarahinya atau apapun itu yang jelas membuat Yiheon sedikit ketar-ketir.

Apalagi saat kedua temannya itu tidak memilih ikut campur dan kabur ke luar begitu Sekyung akan memasuki kamar Asa.

Yihoen bahkan sampai menahan gugup menatap Sekyung yang membawa kotak p3k di tangannya.

Rupanya Sekyung dan kotak p3k sudah berteman baik sejak dia mengenal Yiheon.

Ditariknya sebuah kursi di depan meja belajar Asa ke dekat tempat tidur di mana Yiheon sedang duduk. Tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun, Sekyung duduk dengan tenang di depannya. Dia menaruh kotak obat di tangannya itu di atas tempat tidur, dibuka dan dikeluarkan isinya.

Yiheon tidak bisa membohongi dirinya sendiri saat ia tadi dengan jelas melihat gurat frustasi di wajah pacarnya itu.

“Lepasin dulu kemejanya.”

Ia hanya menurut, melepas kemeja biru panjangnya itu lalu menyisakan kaos pendek putihnya yang kotor.

Sekyung langsung memeriksa lengannya takut-takut ada luka lagi yang tidak terlihat karena jelas kemejanya tidak kotor berarti Yiheon ribut saat menggunakan baju pendeknya saja.

Ada hela napas lega darinya saat tidak ditemukan luka lain di sekitar siku atau di mana pun lagi di lengannya.

“Kaos kamu kotor, udah gak usah dipakai lagi. Pakai kemejanya saja.”

Yiheon tidak mau banyak protes, ia lagi-lagi hanya menurut melepas kaosnya dan digulung asal kemudian dimasukan ke dalam tas.

Tanpa bisa dicegah kali ini Sekyung juga memindai tubuh polos Yiheon itu, hingga Yiheon harus meyakinkannya kalau tidak ada luka di sekitar sana.

Tapi, mata jeli Sekyung jelas bisa melihat memar di atas perut sebelah kanannya, mungkin ditonjok atau ditendang. Sekyung tidak mau membayangkannya karena itu hanya akan membuat kepalanya semakin panas.

Yiheon memilih memakai kembali kemejanya cepat-cepat saat Sekyung tidak bicara lagi, dengan sedikit kesusahan ia mengatur kancingnya saat tatapan Sekyung terasa semakin menusuknya, menatap setiap geriknya tanpa terlewat satu pun dengan jarak yang sudah jelas sangat dekat.

Tangannya yang sedikit perih itu akhirnya Yiheon taruh di atas pahanya begitu saja saat tangan Sekyung dengan cekatan mengambil alih untuk memasang kancingnya, hingga dia menyisakan dua kancing teratas yang dibiarkan terbuka. Tidak lupa digulungkan juga bagian kedua lengannya dengan rapi.

Setidaknya sekarang penampilan Yiheon terlihat lebih wajar daripada tadi dan Sekyung sudah bisa mulai mengobatinya.

“Perih...” katanya lirih saat Sekyung mengoleskan obat di atas pipinya yang memerah, ia menatap Sekyung yang tidak merespon apa pun, pemuda itu hanya fokus pada tangannya yang masih berada di pipi Yiheon.

Suara jarum jam yang ada di atas meja belajar Asa rasanya menjadi penyelamat untuk suasana yang kelewat hening tersebut.

Sekyung tidak bertanya apa pun dan itu membuat Yiheon terganggu, biasanya dia itu akan berbicara sekedar bertanya sambil bercanda siapa yang menang.

Perihal mengobati seperti ini jelas bukan hal baru bagi Sekyung, namun memang sudah cukup lama karena belakangan Yiheon sudah tidak berulah lagi.

Yiheon kembali memikirkan kata Sungchan tadi, kalau posisinya dibalik. Apa yang akan ia rasakan saat ini kalau tiba-tiba melihat pacarnya yang penuh luka.

“Abang... marah?”

Telunjuk Sekyung yang saat ini memegang kapas untuk mengoles luka di pelipis Yiheon terhenti sejenak, dia hanya berdehem kecil tanpa membalas tatapannya atau pun pertanyaannya.

Ditiupnya dengan lembut luka tersebut berharap Yiheon tidak merasakan perih yang terlalu parah. Yiheon bahkan harus menutup matanya saat Sekyung mempersempit jarak diantara mereka karena perlakuannya itu.

Saat dirasa Sekyung sudah sedikit menjauh dan memasang plester di sana, baru ia berani membuka matanya lagi. Di hadapanya saat ini Sekyung sedang memegang tanganya, mengusap alkohol pada telapak dan buku jarinya yang lecet.

Genggaman tangan Sekyung terasa hangat di kulitnya, lagi-lagi ia meringis perih saat Sekyung mengoleskan obat di lukannya dan menutupnya dengan plester.

Akhirnya kedua netra Choi Sekyung itu menatapnya ketika dia selesai dengan kegiatannya mengurusi Yiheon.

“Jadi yang kamu bilang ada urusan itu, urusan berantem?” tanyanya langsung.

Song Yiheon merapatkan bibirnya serba salah. Sebetulnya ia tidak niat berantem, tapi tidak dipungkiri juga kalau berurusan dengan Jaemin akhirnya pasti seperti ini.

“Maaf...” cicitnya pelan, menatap Sekyung yang memasang wajah tidak habis pikirnya itu dan berhasil membuat Yiheon kembali gusar.

“Apa susahnya ngomong dulu sih.”

Kalau ngomong dulu jelas gak bakal dibolehin.

Yiheon menunduk lesu, melihat tangannya yang sudah dipasangi plester. Aura kesalnya Choi Sekyung membuatnya tidak mau bersitatap lama-lama pada kedua netra yang menatap begitu lekat padanya.

Melihat respon Yiheon yang seperti itu, Sekyung mengambil napas dalam mencoba tenang sebisa mungkin, tahu kalau Yiheon enggan membahasnya semakin jauh sekarang.

Tangannya terangkat untuk menyentuh sudut bibir Yiheon yang terluka, ibu jarinya mengusap dengan pelan di sana, hingga Yiheon mau tidak mau kembali mengangkat wajahnya yang tadi menunduk.

“Sakit banget?” Sekyung bertanya sambil melembutkan tatapannya. Biar bagaimana pun rasa khawatirnya tetap yang utama.

Sudut bibirnya itu terasa sedikit kebal saat tadi ia kompres dengan es batu yang dibawa oleh Asa.

Yiheon menggangguk kecil, namun malah tersenyum tipis, “Tapi gapapa, nanti kan diobatin lagi sama abang.” katanya dengan wajah polos seakan itu bukan hal serius.

Satu decak samar terdengar tanpa bisa disembunyikan oleh Sekyung, selalu begini. Yang luka siapa, yang mikir sampai khawatir siapa.

Kebiasaan banget.

“Terus itu kakinya kenapa gak bisa jalan?”

“Tulang kering aku ditendang.”

Oke, Sekyung terlihat membuang napas dalam lalu menggeleng lelah tidak tahu lagi harus memberi respon seperti apa pada kegiatan Yiheon hari ini.

Benar-benar ya Song Yiheon, boleh gak dia jitak sekali saja pacar kesayangannya ini.

“Besok kita ke rumah sakit.” ucapnya kalem membuat Yiheon lantas membulatkan matanya, bahkan ia berharap kalau Sekyung hanya asal bicara saja.

“Dih apaan, gak segitunya juga bang! Dua hari juga sembuh paling biru doang ini.” responnya cepat yang menolak tidak mau.

Ngapain sih lebay amat Choi Sekyungggggg, kayak abis ngapain aja dibawa ke rumah sakit segala.

“Aku gapapa. Gak perlu kayak gitu oke?”

“Gak ada penolakan dan jangan bikin orang makin khawatir lagi, Yiheon.” suara Sekyung terdengar dalam dan serius, dia menunjuk tas Yiheon yang berada di atas kasur dengan dagunya.

“Berani bilang ke Bunda gak coba. Abang mau lihat gimana kamu dimarahin sekalian, video call biar Bunda tahu keadaan wajah kamu sekarang. Luka di sana-sini bahkan sampai mimisan kayak gitu.”

Sial.

Yiheon meneguk ludahnya kasar. Tatapannya memohon menatap Sekyung tanda tidak mau. Bunda jelas akan mengomel mungkin semalaman kalau ia pulang dengan keadaan seperti ini.

“Aku gak akan pulang sekarang. Besok juga Sabtu libur.. aku mau nginep di sini aja, nanti gampang bilang ke Asa.”

Sepertinya kalau ada juara sabar menghadapi Song Yiheon, Sekyung bisa menyabet juara pertama, pemuda itu menegakkan tubuhnya yang masih duduk di kursi belajar milik Asa.

Peningnya mendadak muncul lagi.

Sekyung tahu kamar kost Asa itu lumayan luas, dengan tempat tidur berukuran sedang cukup untuk menampung dua orang dewasa. Di atas kasur itu terdapat gitar yang disimpan bersandar pada tembok. Teman Yiheon yang satu itu memang terlihat menyukai dunia musik.

Tapi, tidak bisa seenaknya begitu saja dong.

“Kalau gak mau pulang ke rumah. Berarti kamu pulang sama abang.” putusnya sambil berdiri, tangannya kembali sibuk membereskan kotak obat yang tadi dia bongkar.

“Maksudnya?” alis Yiheon bertaut tidak mengerti dengan ucapan Sekyung itu. Ia harus mendongak menatap Sekyung yang tidak meliriknya.

“Kamu ikut pulang sama abang. Jangan di sini, biar besok sekalian abang seret kamu ke rumah sakit.”

“Hah?”

Pulang ke rumah Sekyung maksudnya? sekarang? yang benar saja!

“Gak mau!” sahutnya sambil menjatuhkan tubuhnya di kasur empuk milik Asa. Tangannya mengambil boneka anjing yang ada di atas kasur, boneka couple milik Asa dan pacarnya itu ia peluk sambil merenggut.

Tentu saja, Sekyung tidak akan mengindahkan penolakannya, dia yang sudah menyimpan alat tempurnya di atas meja belajar Asa menatap Yiheon sambil melipat tangan di depan dadanya, pinggangnya menyandar pada meja yang tertata rapi itu.

“Pilihannya cuma pulang ke rumah lalu diomelin Bunda dan abang akan lepas tangan atau kamu ikut ke rumah abang dan biar abang yang izin langsung. Enggak ada nginep-nginep di sini, paham?”

Yiheon sedikit mengerang mendengar nada suara Sekyung yang jelas tidak bisa dibantah itu apalagi tatapannya yang menatap lurus padanya membuat Yiheon harus mengalihkan pandangannya lagi, nggak suka.

Ia berpaling untuk menatap langit-langit kamar Asa yang tinggi dan berwarna putih senada dengan dominasi warna kamarnya.

“Song Yiheon...”

Sekyung menarik satu sudut bibirnya saat Yiheon tidak menjawab, anak itu malah menutup wajah dengan lengannya. Dia kembali melangkah ke sisi tempat tidur dan mengulurukan tangannya untuk menarik tangan Yiheon yang sedang tidur itu untuk kembali duduk.

Membungkuk dari posisinya yang sedang berdiri, Sekyung meluruskan wajahnya sejajar dengan Yiheon yang sudah duduk dan menatapnya sambil berpikir.

“Jadi, kamu pilih yang mana?”

Yiheon tahu, Sekyung tahu jelas ia tidak akan mau pulang saat ini, sebetulnya bukan hanya perkara diomelin Bunda saja, tapi takut Bunda malah khawatir saat tahu keadaannya sekarang.

Tidak ada pilihan lain.

“Pulang ke rumah abang aja.” jawabnya pelan, percuma dibantah juga malah makin panjang nanti urusannya dan Yiheon lebih tidak mau kalau harus menambah masalah dengan Sekyung.

Maka di sini lah ia sekarang, duduk di ruang makan keluarga Choi Sekyung dan sedang menyuap lahap ayam asam manis yang ada di atas piringnya.

Suara denting dari alat makan yang mereka gunakan cukup untuk mengisi hening yang tercipta diantara keduanya.

Di depannya, Sekyung sedang melakukan hal yang sama, dia makan dengan tenang. Meja makan dengan enam kursi ini tampak sepi ketika diisi oleh dua orang saja.

Yiheon melirik Sekyung sambil berpikir, kalau tadi gak ikut mungkin Sekyung akan makan sendirian di rumah sebesar ini.

Meja makan di rumahnya selalu ramai dan hangat, Yiheon dan adiknya kerap kali sibuk berceloteh yang selalu di tanggapi oleh Bunda yang memang cerewet ada pula Ayah yang akan menyimak obrolan mereka dan ikut menimpali dengan jokes bapak-bapak kompleknya yang garing.

Berbeda sekali dengan di sini.

Yiheon bisa menyimpulkan kalau Sekyung adalah anak tunggal dengan—sepertinya kedua orang tua yang sama-sama sibuk.

Sekyung mengangkat wajahnya saat dilihatnya satu buah lauk ditambahkan ke atas piringnya. Dia menatap si pelaku dengah wajah bingung.

“Makan yang banyak, abang.” katanya sambil tersenyum kecil lalu meringis saat meraskan perih di sudut bibirnya yang ditarik itu.

“Makasih, Yiheon. Kamu juga.” balas Sekyung dengan lembut, menatap pada Yiheon yang mengangguk semangat.

“Masakan mbak nya enak, 9/10 deh dari aku, walaupun paling enak tetap bikinan Bunda.” ujarnya lalu kembali menyuap hingga mulutnya penuh dan Sekyung akhirnya tertawa kecil melihatnya, hal itu berhasil membuat Yiheon bernapas lega.

Jangan diem-dieman mulu deh, ia gak suka.

Sekyung tidak salah saat mengatakan kalau Yiheon bisa membawa tenang di hidupnya yang terkadang terlalu ramai atau bahkan saat sepi sekali pun seperti sekarang.

Yiheon bisa memberikanya bahkan ketika ia datang untuk pertama kali ke rumahnya.

Ruang makan keluarganya yang sepi menjadi begitu hangat penuh obrolan seru yang melengkapi makan malam mereka seperti sekarang, walaupun lebih banyak Yiheon yang bicara karena dia hanya akan mendengarkan sambil memangku dagunya, menatap Yiheon yang selalu semangat untuk bercerita.

Song Yiheon seperti memberikan kenangan baru di satu sudut memorinya bahwa ruang makan ternyata bisa seseru itu walaupun mereka hanya duduk dengan piring yang sudah kosong, dengan buah apel yang dipotong kecil olehnya dan diberikan pada Yiheon yang tampak tidak sabar menunggunya, juga dengan puding cokelat yang bisa membuat Yiheon mengacungkan kedua jempolnya dan berkata mau nambah.

“Kenyang banget...”

Yiheon bergumam sambil menepuk-nepuk perutnya saat mereka berjalan dari ruang makan, satu tangannya memegang lengan Sekyung yang membantunya tanpa perlu diminta.

Langkah Yiheon yang pelan itu semakin lambat lalu berhenti di sebuah ruang keluarga yang tergolong luas lengkap dengan televisi berukuran besar. Ia berdiri menatap foto yang terpasang di dinding berwana putih itu. Sebuah foto yang tadi sempat Yiheon lihat selewat saat mereka menuju ruang makan.

Ada foto keluarga inti yang terlihat formal, sang Ayah tampak berwibawa dengan setelah jasnya dan Ibu yang tersenyum lembut tampak begitu cantik duduk di atas kursi di sampingnya dengan rambut digerai indah mengenakan gaun berwarna gading. Di belakang mereka ada putra semata wayang yang berdiri memegang kedua pundak orang tuanya, tersenyum tipis tapi tetap telihat tampan.

Yiheon pikir sepertinya itu bukan foto baru karena Sekyung yang di sampinya sekarang terlihat lebih dewasa berbeda dengan yang ada di dalam potret sana, mungkin diambil dua atau tiga tahun lalu, tebaknya sok tahu.

“Kenapa?”

Suara Sekyung terdengar saat Yiheon belum mengalihkan tatapannya, ia tersenyum lebar lalu menatap Sekyung sambil memiringkan kepalanya berlagak berpikir.

“Pantesan ya, abang ganteng. Papa sama Mamanya aja begini.” komentarnya tanpa segan untuk memuji, hingga kemudian ia berdecak dan menjauhkan kepalanya saat Sekyung mengusak dengan cepat.

“Bagus kan gen abang?” tanyanya bangga yang membuat Yiheon tidak bisa menyangkal selain hanya mengangguk.

Udah pinter, ganteng, soft spoken, baik, sabar, loyal, rasanya kalau harus menyebut kurangnya Choi Sekyung, Yiheon hanya bisa mengangkat tangan, nyerah nggak tau. Karena dia itu green flag banget menurutnya.

Oh, atau ada satu yang terbersit di pikirannya.

Tapi, bukan kurangnya.

Lebihnya Choi Sekyung satu lagi adalah pacarnya.

“Iyalah untung yang begini udah jadi pacar aku.” tangan Yiheon yang tadi memegang lengan Sekyung berubah menjadi memeluk pinggangnya dengan posesif.

Bangga sekali dengan status barunya itu.

Kalau ada yang berani macem-macem sama abang nya ini, siap-siap saja merasakan bogem mentahnya nanti.

“Iya, pacarnya Yiheon yang bandel.” timpal Sekyung membuat Yiheon meringis dan sadar kalau dia kayaknya memang masih kesel tuh.

“Apasih abang gak seru deh.”

“Oh soalnya yang seru buat kamu itu gelut-gelutan kan. Abang lupa.” Sekyung meliriknya sambil menarik paksa kedua sudut bibirnya, “Iyakan, sayang?” tanyanya memastikan.

Yiheon hanya bisa balas menatap Sekyung dengan bibir yang mencebik ke bawah, lalu memutar kedua bola matanya saat mendengar pertanyaan Sekyung.

Oke, akan sampai kapan mau dibahas terus hal ini.

“Mendingan aku pulang aja kalau kayak gini atau aku tidur di sofa sini aja.” katanya lalu melepaskan pelukannya dan duduk di sofa ruang keluarga itu sambil memeluk bantal di pangkuannya.

Pandangannya lurus ke arah layar hitam televisi yang tidak menyala. Tetapi, sudut matanya mencuri-curi pandang melirik ingin tahu pada Sekyung yang masih berdiri di tempatnya tadi.

“Ya sudah. Sebentar abang bawain selimut kalau gitu.” ucap Sekyung membuatnya menoleh dengan cepat, mendongak menatap tidak percaya pada Sekyung yang hanya menaikan satu alisnya, “Apa?” tanyanya pelan.

Serius gue disuruh tidur di sini????!

Bercanda kan?

Song Yiheon akhirnya memutuskan untuk keluar kamar sambil berpusing-pusing mikir bagaimana cara menghadapi Sekyung dan menyiapkan mental takut seniornya itu beneran kesal akibat ucapan asalnya tadi. Belum lagi ucapan kedua temannya yang jelas-jelas ikut merutuki kebodohannya hari ini membuat ia semakin bingung, iya tahu salah kok gak usah diperjelas juga.

Gimana coba biar mood Bang Sekyung bagus lagi. Gue gak bisa mikir.

Apa gue pura-pura gak nyadar kalau dia kesel. Bodo amat pasang wajah tanpa dosa.

Atau ribut aja lah kita biar cepet.

Yaelah puyeng banget tinggal minta maaf doang juga beres! batinnya sibuk merutuk sambil mengetuk-ngetuk kepalanya menggunakan kepalan tangan.

Di tengah ruangan itu Choi Sekyung terlihat sedang sibuk dengan bungkusan makanan, berdiri membelakanginya menghadap ke meja kayu setinggi hampir satu meter.

Yiheon harus menghembuskan napas berkali-kali karena ia mendadak gugup. Belum lagi teringat perlakuan Sekyung tadi saat ia tertidur. Makin lengkap sudah rasa lemasnya kali ini.

“Bang Sekyung....”

Panggilnya pelan begitu ia sampai di samping kiri Sekyung. Berdiri dengan jarak satu langkah besar, nggak mau deket-deket takut makin gugup kasihan jantungnya.

Yiheon mendesah kecil saat yang dipanggil itu tidak menjawab seperti biasa, Sekyung hanya berdehem kecil bahkan tanpa meliriknya.

Ini kesel doang kan? bukan sampai marah?

Yiheon yang terbiasa mendapatkan perlakuan hangat dari Sekyung tentu tidak suka.

Ditariknya ujung kaos hitam milik Sekyung itu guna meminta atensi yang lebih dewasa.

“Abang, gue minta maaf...”

Ucapannya itu membuat Sekyung menghentikan kegiatannya hanya lima detik sebelum dia kembali mengeluarkan satu bungkus biskuit kesukaan Yiheon yang tadi sempat dia beli itu dari dalam kantong kresek, “Buat apa?” tanyanya dengan kening berkerut.

“Udah ngira lu setan.”

Sumpah! Yiheon kali ini memang harus menepuk mulutnya sendiri, bisa-bisanya berkata asbun seperti tadi. Berpikir Sekyung yang senyata—dan tampan itu adalah makhluk jadi-jadian. Emang agak bego tapi mau gimana lagi, udah kejadian.

“Oh, ok.”

Udah? Gitu doang responnya?

Yang bener saja!

Bahkan Choi Sekyung itu tidak menatapnya sama sekali.

Yiheon menatap sebal kantong kresek beserta isinya—walaupun itu kebanyakan makanan kesukaannya karena mereka lebih diperhatikan oleh Sekyung daripada dirinya.

Ingin rasanya mengumpat tapi otaknya sekarang masih bekerja dengan baik untuk mengerem kata-kata yang akan ia keluarkan. Jangan sampai bikin masalah baru lagi, Yiheon.

Berpikir bagaimana agar Choi Sekyung itu kembali seperti semula.

Sekyung yang lembut, yang ramah, yang selalu tersenyum, yang perhatian, yang baik, yang good mood, dan yang tidak pernah mengabaikannya seperti ini.

Mau Bang Sekyung yang selalu Yiheon sukai karena jujur saja ia tidak kenal dengan Sekyung yang seperti ini.

Yiheon mengigit bibir bawahnya dengan gusar, masih belum melepaskan tangannya dari ujung kaos milik Sekyung itu, menghela napas panjang seperti sudah berlari bermeter-meter, sibuk dengan pikirannya sendiri.

Choi Sekyung yang jelas menyadarinya hanya menggelengkan kepala. Biarin aja dulu, ingin tahu apa lagi yang mau dikatakan Yiheon. Dia sejujurnya cukup kaget saat Yiheon meminta maaf toh dia tidak marah sama sekali apalagi karena alasan yang menurutnya tidak terlalu penting.

“Abang...”

Sekyung kembali berdehem, menahan gemas saat Yiheon menarik-narik ujung kaosnya. Kayak bocil minta jajan.

Tidak tega, Sekyung akhirnya menatap Yiheon yang kali ini memasang wajah cemberut, “Apalagi, Yiheon?” tanyanya dengan kedua alis terangkat penasaran menunggu Yiheon yang hanya menatapnya hingga beberapa detik.

“Jangan kayak gini... gue gak suka.”

Yiheon akhirnya menjawab pelan, berkata dengan sejujurnya yang justru membuat kening Sekyung mengerut dalam tidak paham.

“Kayak gini gimana, hmm?”

Kedua netra Yiheon menatap Sekyung dengan memohon, perduli setan dengan istilah gengsi, karena sekarang ia benar-benar tahu bagaimana rasanya dihadapkan dengan sikap asing Sekyung yang ternyata sangat tidak disukainya.

Pertanyaan Sekyung membuat Yiheon mengulum senyum yang justru terlihat sedih, “Bang Sekyung kayak nggak mau liat gue dan nggak perduli.” jelasnya.

Yiheon mungkin terheran karena Sekyung tidak pernah marah bahkan saat ia muncul dengan berbagai luka di wajahnya. Namun, saat sekarang ia melihat sedikit saja sikap tak acuh Sekyung padanya, itu sangat membuatnya terganggu.

Entah mengapa hal tersebut membuatnya merasa sesak.

Dan Yiheon diam-diam harus bersyukur dengan tidak pernah melihat marahnya Choi Sekyung selama ini karena ia tidak akan bisa membayangkan kalau suatu saat nanti hal itu benar-benar terjadi.

“Maaf kalau gue tadi udah menyinggung Bang Sekyung.” ucapnya tulus.

Oke, ini mungkin masalah sepele bagi sebagian orang, namun Yiheon tidak mau berlarut-larut. Ia tidak mau hal kecil ini malah membuatnya frustasi sendiri terlebih jika itu menyangkut Choi Sekyung, orang yang disukainya.

Dihadapkan dengan Song Yiheon yang seperti ini membuat Sekyung tidak bisa menahan senyumnya, kalau yang minta maafnya begini mana bisa dia diemin lama-lama.

Sepertinya pemuda di depannya ini sudah mikir kemana-mana, bahkan Sekyung tertegun dengan apa yang dia dengar dari mulut Yiheon juga lengkap dengan tatapannya yang mungkin pertama kali ia perlihatkan padanya.

Tidak mau membuatnya lebih khawatir, Sekyung membuka kedua lengannya membuat Yiheon menatap tidak percaya, namun di hitungan detik ke enam pemuda itu memajukan tubuhnya.

Yiheon memeluk Sekyung yang tertawa kecil.

“Iya, dimaafin. Jangan sedih gitu deh gak cocok sama kamu.”

Kedua tangan Yiheon memeluk pundak Sekyung, menaruh dagunya di perpotongan leher sang senior sambil bersandar dengan nyaman.

Memejamkan matanya.

Merasakan usapan serta tepukan lembut Sekyung di punggung dan di belakang kepalanya.

Menghirup napas dalam dengan wangi Sekyung yang memenuhinya.

Kenapa sebuah pelukan dari Sekyung bisa begitu menenangkan, kemana gusar yang sedari tadi mengusiknya.

Yiheon tidak mau ambil pusing, sekarang ia bisa mengehela napas dengan lega karena Bang Sekyung nya yang sudah kembali sejak dia tersenyum menatapanya, sejak dia membuka kedua lengannya, sejak dia tertawa, dan sejak dia bisa memberinya nyaman yang menenangkan.

Ditariknya kedua sudut bibirnya itu tanpa ragu.

Yiheon merasa senang, entah tentang upayanya dalam mengembalikan mood Sekyung atau tentang dirinya sendiri yang berharap momen ini tidak cepat berlalu.

Tanpa sadar, tidak. Dengan sadar ia mengeratkan pelukannya, “Makasih udah selalu baik sama aku, Bang Sekyung.” ucapnya pelan nyaris seperti bisikan.

“Gak ada yang gak perduli sama kamu, Yiheon.” jelas Sekyung, dia kembali menepuk-nepuk pelan punggung tegap pemuda di pelukannya itu mencoba menenangkan sebisanya, “Jangan suka mikir aneh-aneh.” lanjutnya membuat Yiheon menggumam pelan di balik bahuya.

“Mau Bang Sekyung yang kayak biasa aja.”

Sekyung kembali melepaskan tawa kecil yang terdengar renyah di pendengaran Yiheon.

Dia yang lebih dulu melepaskan pelukan mereka, kedua irisnya menatap Yiheon yang mengulas senyum tipis.

“Kok kamu bisa soft banget gini sih.” komentarnya membuat Yiheon memutar bola matanya sambil mendengus kecil, “Udah ah gue laper. Mau makan.” katanya mengalihkan pembicaraan.

Malu. Mukanya merah. Jantungnya udah gak usah ditanya lagi.

Namun, Choi Sekyung itu bukannya melepaskan, dia malah menangkup pipi kanan Yiheon yang tadi tidak sempat dia pegang saat anaknya tertidur.

Ajaib, tidak ada protesan apapun dari Yiheon, ia hanya membiarkannya sambil menatap Sekyung yang terlihat senang.

Jauh lebih baik seperti ini, Yiheon membatin berulang kali, rasanya ia tidak akan mau lagi kalau harus berhadapan dengan Choi Sekyung yang dingin seperti tadi.

“Senyum dong biar keliatan.” pintanya yang membuat Yiheon kembali mendengus kecil, paham sekali apa yang diinginkan Choi Sekyung itu.

“Apasi anjir aneh, Bang Sekyung obses banget sama lesung pipi gue, ya?”

“Dibilangin, gue suka liatnya, Yiheon.”

Udahan bisa gak sih. Jantung gue nih kasian!

Saat dirasa puas mengerjai yang lebih muda itu. Sekyung langsung menarik lengan Yiheon agar duduk di sampingnya, lalu diberikannya satu slice pizza padanya yang tampak tidak sabar. Kasian udah lapar.

“Makan yang banyak, ya.”

Yiheon hanya mengangguk patuh lalu sibuk menyuap dengan lahap lengkap dengan Milkshake coklat sebagai pengganti kopi yang dibelikan Sekyung untuknya.

Sungguh kontras apa yang terjadi beberapa waktu kemudian saat yang satu sibuk makan, yang satunya lagi sibuk memangku dagu dengan lengan kanan yang bertumpu pada atas meja, memperhatikan Yiheon yang mulai menyuap slice kedua. Senyumnya seakan tidak ada capek untuk ditampilkan, dia suka melihat Yiheon makan, lucu mirip tupai lagi makan dengan mulut penuhnya.

“Mau?”

Tawar Yiheon merasa salah tingkah diperhatikan sebegitunya sedangkan Sekyung sendiri tidak makan.

Tentu saja tawarannya itu jelas tidak akan disia-siakan membuat Sekyung membuka mulutnya kecil ketika Yiheon mengulurkan tangan untuk menyuapinya pizza yang sedang ia pegang.

“Ih dikit banget jir, makan yang banyak, Bang Sekyung. Biar kuat.” protesnya menatap Sekyung yang sedang mengunyah.

“Suapin.”

“Ribet banget asli.”

Setelah mereka selesai menghabiskan satu box pizza dan tentu saja menyisakan satu box lagi yang utuh untuk Namra dan Lomon.

Keduanya juga memutuskan untuk menonton film—walaupun tidak sampai selesai yang Yiheon pilih secara random.

Jadinya malah kenyang dan ngantuk.

“Sini...”

Yang lebih dewasa itu menggeser duduknya ketika Yiheon menguap, memberi isyarat lewat matanya dan Yiheon yang langsung mengerti lantas beringsut mendekat padanya tanpa banyak bicara.

Mereka hanya menghabiskan waktu duduk malas-malasan di atas sofa di ruang tengah, sesekali ngobrol ngalor-ngidul lalu tertawa, bercanda satu sama lain hingga capek dan diam lagi hanya diisi oleh suara dari televisi serta ombak yang terdengar samar dari luar.

Lengkap dengan Yiheon yang sudah menaruh kepalanya di pundak Sekyung yang sedang duduk memeluk bantal.

Lagi-lagi tentang nyaman dan tenang.

Yiheon bahkan beberapa kali kedapatan melirik Sekyung yang sedang menonton lewat sudut matanya dan secara sadar ia akan tersenyum walaupun adegan film yang mereka tonton jelas-jelas scene sedih mengandung bawang.

Tanpa tahu kalau Choi Sekyung dengan jelas mengetahui tingkahnya itu, ada-ada saja. Dia memilih membiarkannya, sedikit mengatur duduknya kembali agar Yiheon yang bahkan sudah menaikan kedua kakinya ke atas sofa merasa nyaman.

“Yiheon..” panggilnya lembut.

“Iya?”

“Makasih udah mau diajakin kesini.”

Sekyung menarik satu sudut bibirnya saat Yiheon berguman pelan ketika dia balas menyandarkan kepalanya pada Yiheon.

Sungguh itu adalah pemandangan yang jelas mengundang tatapan curiga dari Lomon juga Namra yang baru pulang.

Bahkan keduanya tidak repot-repot untuk mengubah posisi.

Sekyung hanya berucap memberi tahu kalau ada makanan untuk mereka berdua di atas meja dan Song Yiheon, si tukang ribut itu hanya diam seperti anak manis sambil gelendotan di lengan Sekyung. Ia melirik Lomon yang mengerutkan kening dan Namra yang kemudian tersenyum cerah melihatnya sambil mendorong punggung pacarnya itu untuk menjauh.

“Sumpah kayaknya itu bocah kerasukan deh, yang.” ucap Lomon pada Namra yang jelas bisa mereka dengar.

Memberikan dua reaksi berbeda dari Yiheon yang mengumpat kecil dan Sekyung yang hanya tertawa pelan.

“Bacot banget sih.”

“Sttt.. udah biarin aja, jangan didengerin.”

Song Yiheon mendesah lesu saat melihat Namra dan juga Lomon keluar dari pandangannya, bahkan ia sempat melihat Lomon yang memeletkan lidahnya sebelum menutup pintu tanda meledek karena ia tidak bisa ikut yang langsung membuatnya mendengus kecil, ngeselin anjir.

Keduanya meninggalkan ruang tengah yang tampak lengang untuk Yiheon yang sedang berdiri sendirian di dekat sofa.

Yiheon menghela napas panjang, andai saja bisa ikut bersama kedua seniornya itu mungkin akan seru, setidaknya tidak akan terjebak di sini berdua dengan Choi Sekyung.

Dilirknya pintu kaca geser di samping kiri yang menghubungkan ruangan dengan halaman belakang resort yang kalau kita berjalan sebentar akan mendapati kolam renang yang cukup besar.

Di balik kaca sana Yiheon bisa melihat jelas presensi dari seorang Choi Sekyung yang sedang mengangkat telepon, entah sedang berbicara dengan siapa karena raut wajahnya terlihat lebih serius. Tidak ingin bertanya juga karena Yiheon tahu itu bukan ranahnya. Saat Lomon berpamitan pun, Sekyung hanya mengangkat tangannya sambil mengangguk pelan memberi izin pada kunci mobilnya yang dipegang oleh temannya itu seakan berkata, iya udah pake aja sana.

Yiheon mengedikan bahunya, sudahlah mau bagaimana lagi, berdua dengan Choi Sekyung juga tidak seburuk itu, mungkin malah menyenangkan—minus kalau kelakuannya seperti tadi yang suka tanpa aba-aba membuatnya senam jantung.

Jarum jam di pergelangan tangannya baru menunjukan pukul delapan lewat dua puluh enam menit. Sebetulnya Yiheon belum mengantuk, tapi tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya. Gabut banget. Minta saran pada temannya juga percuma tidak ada yang benar, ngaco semua.

Langkahnya mengarah ke arah kamar, dibukannya pintu berwarna coklat kayu itu dengan pelan. Ia melirik jendela kaca yang berada di sebelah kanan ruangan, berjalan ke sana Yiheon lalu menutup gorden berwarna gading itu dengan satu tarikan saja, lupa belum ditutup saat tadi mereka pergi setelah mandi.

Kamar yang di dominasi warna putih itu terlihat nyaman dengan sentuhan warna coklat yang bisa memberi kesan tenang dan hangat bagi penghuninya setelah seharian beraktivitas atau sekedar menikmati keindahan pantai di hari liburan mereka.

Begitupun bagi Yiheon yang memilih menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk itu. Ia butuh meluruskan tubuhnya. Ternyata ada untungnya juga tidak ikut Namra, toh dirinya merasa sedikit lelah seharian ini apalagi setelah nyebur dan bermain air tadi.

Tempat tidur berukuran cukup besar itu di kuasai Yiheon yang kali ini sedang tengkurap melintang dari sisi kiri ke kanan. Ia mengganjal dadanya menggunakan bantal sambil sibuk berkirim pesan di grup bersama Asa dan Sungchan, sesekali akan tertawa atau mendengus sebal saat membaca chat kedua temannya.

Melupakan Choi Sekyung yang satu detik kemudan menyembulkan kepalanya di balik pintu kamar yang dibuka, “Yiheon, gue keluar sebentar ya. Gapapa sendirian kan?” tanyanya langsung.

“Mau kemana?”

“Ke depan. Beli kopi.”

Yiheon hanya membulatkan mulutnya, pandanganya mengekori Sekyung yang melangkah memasuki kamar mereka dan tampak mencari sesuatu di atas meja yang berada tepat di samping lemari pakaian, menggeserkan topi serta barang-barang yang berada di sana.

Seakan tahu apa yang dicari seniornya itu, Yiheon hanya bisa berdecak pelan, “Nyari ini kan, bang?” katanya menyela kegiatan Sekyung tersebut, pemuda itu lantas berbalik menatap Yiheon yang kali ini sudah duduk dan memeluk bantal. Di tangannya ada dompet hitam yang dia cari-cari.

“Ada di meja nakas tuh.” jelas Yiheon sambil menujuk meja kecil yang terdapat lampu tidur di atasnya.

Sekyung meringis kecil, rupanya tadi dia simpan di situ saat pulang dari luar. “Lupa gue.” katanya sambil mengambil dompet miliknya dari tangan Yiheon, “Thanks, ya!”

Satu yang Yiheon sadari kalau Sekyung itu terkadang sedikit teledor, bukan hanya dompet bahkan dia pernah sampai pusing mencari kunci mobilnya seharian di kampus yang ternyata tertinggal di ruang kelas. Sudah jelas manusia memang tidak ada yang sempurna, kan?

“Mau gue beliin apa?”

“Kopi!”

Kedua mata Sekyung menyipit takala mendengar jawaban semangat dari Yiheon, dilihatnya pemuda yang sedang menarik selimut berwarna putih—yang senada dengan seprai untuk menutupi kakinya itu dengan pandangan heran.

“Jangan nyari penyakit deh, Yiheon. Gak ada kopi-kopian.” tolak Sekyung.

Dia masih berdiri di depan tempat tidur, tubuhnya bersandar pada meja setinggi pinggangnya itu, menatap Yiheon yang memasang wajah malas setelah mendengar ucapanya.

“Apa dong, orang maunya kopi.”

Jangan tanya ada berapa stok sabar yang harus Choi Sekyung keluarkan saat menghadapi Yiheon. Dia hanya bisa menghembuskan napasnya tidak habis pikir, apa gak kapok ya ini anak tiap habis minum kopi selalu ngeluh tidak enak perut, jelas-jelas punya asam lambung. Masih aja bandel.

“Yaudah...” suara Yiheon terdengar mengambang, melihat Sekyung yang sudah jelas tidak bisa dibantah membuatnya menyerah, tidak mau ribut juga udah malem, “Bebas gimana Bang Sekyung.” lanjutnya pelan.

Ingat harus positive vibes! Tidak boleh ngegas. Tidak boleh bicara kasar.

Satu sudut bibir Sekyung ditarik cepat saat mendengarnya, gini kan enak kalau nurut, “Nanti gue beliin jajan deh sekalian, ya.” katanya sedikit merayu agar ia tidak ngambek.

“Jajan mulu, emang love language semua orang gitu kali hari ini.”

Yiheon yang sudah duduk sambil bersandar di kepala ranjang itu lengkap dengan selimut menutupi kaki hingga pinggang menaikan kedua alisnya saat Sekyung justru tertawa kecil, menatapnya dengan sorot jahil.

Sialan salah ngomong nih gue, siap-siap aja jantung amanin, batinnya ketar ketir.

Yang tadi saat melihat sunset aja masih jelas dalam ingatan Yiheon. Bagaimana Sekyung berbicara dengan gampangnya sambil menatap indahnya warna kemerahan dari matahari terbenam di depan mereka.

Lu juga sama gak bisa dijelasin.

Adalah kalimat sialan yang berhasil membuat Yiheon mendaratkan cap lima jari di punggung Sekyung.

Sekarang mau ditambah lagi? yang benar saja.

Apa yang ditakutkannya itu semakin jelas saat Choi Sekyung berjalan ke arah tempat tidur dengan pelan, dengan senyum yang mampus cakep tapi agak serem dikit sih, pikir Yiheon asbun.

“Apa sih gue gebuk lagi mau?”

Sekyung hanya mengangkat bahunya ringan, tampak tidak takut dengan ucapan Yiheon yang justru seperti cicitan anak ayam baginya.

Sudah dibilang kan dari awal kalau emosi Yiheon itu tidak ada harga dirinya di depan Choi Sekyung.

Saat ini ujung kaki Sekyung mentok di tempat tidur bagian sebelah kiri, tempat yang sudah di-tag oleh Yiheon sejak tadi siang mereka masuk kamar, “Gue mau di sini!” katanya yang hanya diiyakan oleh Sekyung tanpa banyak bicara.

Suara ombak jelas masih terdengar hingga ke dalam kamar karena dekatnya jarak resort mereka dengan pantai membuat diamnya kamar tanpa ada yang berbicara itu tidak terlalu hening.

“Padahal love language gue bukan cuma itu, loh.”

Bodoamat jir! Yiheon hanya mau Sekyung cepat keluar dari kamar ini. Beli kopi sana buruan! Hus hus, pikirnya berisik.

Baru seperti ini saja ia sudah tidak bisa berpikir jelas, apalagi kalau beliau itu sudah tidur di sampingnya nanti. Ditambah ucapan Lomon yang jelas-jelas cuma bercanda tapi bikin mikir seribu kali. Beneran gak bakal bisa tidur ini sih bener kata Sungchan tadi.

“Iya oke, udah sana. Beli kopi keburu malem.” usirnya sambil mendorong tubuh Sekyung agar menjauh dari tempat tidur, mencoba memasang senyum seramah mungkin, “Beliin gue apa aja bebas, air doang juga gapapa, bang.” lanjutnya semakin ngawur membuat yang lebih dewasa tampak semakin puas tertawa.

Namun, Sekyung belum beranjak sedikitpun, “Dengerin dulu, gue mau ngasih tau sesuatu.” katanya di sela sisa tawa yang sungguh membuat Yiheon pusing, ia perlu mendongak untuk menatap Sekyung yang berdehem sebentar. Tangan Yiheon masih berada di pinggang yang lebih dewasa itu, berusaha membuatnya menjauh dari sampingnya tanpa benar-benar mengeluarkan seluruh tenaga, bisa kejengkang kali tubuh Sekyung kalau diseriusin.

Enggak mau denger, takut. Takut dibercandain sekaligus takut kalau yang akan diucapkan Sekyung membuat dirinya semakin baper tidak karuan.

“Iya, besok aja dikasih taunya bang! Jangan sekar—”

“Apapun. Kalau itu ngebuat lu seneng bakal gue lakuin, Yiheon.” potong Sekyung.

Dia berkata dengan nada lembut lengkap dengan senyum tipis di kedua sudut bibirnya. Menatap lurus pada Yiheon yang hanya terdiam mendengarnya.

Tuhkan!

Hingga kemudian Song Yiheon mengerjap seakan baru ditarik kembali kesadarannya saat telapak tangan milik Sekyung menyentuh puncak kepalanya, mengusak pelan rambutnya tanpa ragu.

Oke, napas dulu biar gak mati.

Yiheon tahu jelas rasanya di pat-pat oleh Choi Sekyung karena itu sudah sering terjadi, tapi kali ini rasanya ia lemes banget, efek mode klemar klemer era sejak tadi siang yang sudah mendera dirinya.

Tidak tahu secepat apa ia bertindak, yang jelas Yiheon bisa mendengar jelas tawa Sekyung lagi saat ia sudah menutup tubuh dengan selimut sampai ujung kepala.

Bego, nyebur ke laut aja lu sekarang, Song Yiheon.

“Ngapain sih, astaga!” ujar Sekyung menatap Yiheon yang sudah tidak terlihat, full menggulung tubuhnya sendiri dengan selimut putih seperti kepompong. Dia yang masih berdiri di samping tempat tidur mencoba menarik selimut itu, namun tenaga samson milik Yiheon susah dilawan.

“Lepasin jir, udah keluar sana, Bang Sekyung tukang asbun!” katanya dengan suara teredam dari dalam.

GUE MALU ANJIR

Sekyung hanya menggeleng pelan melihat Yiheon yang belum ada niatan keluar dari selimut saat dia melangkah keluar kamar, “Yaudah, gue keluar sekarang. Jangan tidur dulu, nanti bareng aja, ya.” ujarnya sebelum benar-benar menutup pintu.

Dan gerutuan Yiheon langsung terdengar memenuhi kamar bahkan saat dia sudah di ruang tengah, lengkap dengan sumpah serapahnya. Ngamuk beneran yang justru malah membuat Sekyung bersiul senang melirik pintu kamar yang tertutup itu.

Yiheon, Yiheon, lucu begini kok bisa bisanya jadi tukang gelut.


Tepat dua puluh empat menit kemudian Choi Sekyung membuka pintu kamar resort tempat mereka menginap dengan kedua tangan yang tampak penuh membawa makanan, serta tangan kanannya menggengam satu cup es kopi yang sudah dia minum sambil jalan. Agak lama dia pergi karena antrian di cafe sekitar tempat mereka menginap lumayan ramai, maklum saja malam minggu di tempat wisata jelas akan banyak orang yang berlibur seperti halnya dirinya sendiri.

Diletakannya apa yang dia bawa di meja ruang tengah, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang begitu sepi tidak ada tanda-tanda Song Yiheon karena jelas Namra dan juga Lomon belum pulang.

Tungkainya melangkah ke arah kamar di samping meja kayu yang terdapat vas bunga berisi bunga kering untuk mempercantik ruangan yang menurutnya tampak manis.

Pintu kamar itu dibuka dengan perlahan dan dia langsung mendapati punggung Yiheon dibalik kaus putih pendeknya yang sedang tiduran membelakangi pintu menghadap ke arah jendela.

Tidak langsung mengeluarkan suara, Sekyung justru melangkah dengan hati-hati tanpa menutup pintu di belakangnya. Takut Yiheon sudah tidur, soalnya anteng banget dilihat dari belakang.

Semakin Sekyung mendekat ke arah tempat tidur, dia bisa melihat Yiheon yang benar-benar memejamkan matanya.

Tidur beneran jam segini? Ya ampun! Anak bunda ini padahal belum jam sepuluh.

Ponsel Yiheon yang ada di atas kasur masih menyala menampilkan salah satu platform musik serta earphone yang memang masih terpasang di telinganya.

Oh ketiduran kayaknya.

Choi Sekyung mengulas senyum tanpa bisa ditahan saat perlahan dia melepas earphone di telinga Yiheon yang jelas masih mengeluarkan suara musik yang diputar. Tidak lupa dia juga membetulkan selimut yang menutupi tubuh Yiheon hingga sebatas pundak.

Suara deburan ombak yang terdengar samar masuk ke dalam kamar seperti lullaby menenangkan bagi Sekyung yang saat ini sudah duduk di sisi lain tempat tidur. Tubuhnya menyandar di kepala ranjang, menatap Yiheon yang seperti sedang asik bermimpi.

Kalau tadi Yiheon sempat berpikir dia akan susah tidur, rasanya itu tidak akan terjadi, lucu sekali karena justru sebaliknya di sini Choi Sekyung lah yang masih terjaga.

Perlahan Sekyung menurunkan tubuhnya untuk ikut berbaring setelah mematikan lampu utama dan menghidupkan lampu tidur di atas meja sampingnya. Tubuhnya menyamping ke arah kiri, mengganjal kepalanya sendiri menggunakan tangan yang dilipat di atas bantal. Mensejajarkan pandangannya dengan Yiheon yang tampak nyaman tidur memeluk bantal.

“Sayang...” bisiknya terlampau pelan, mengucap tanpa ragu, memanggil dengan paling serius.

Tangan kanannya terangkat pelan, di sentuhnya anak rambut Yiheon yang menutupi kening dengan jari telunjuknya, sangat hati-hati takut Yiheon nya bangun, takut Yiheon nya tidak nyaman.

Senyum itu, senyum lembut dari seorang Choi Sekyung tampak jelas lagi terlihat di paras tampannya walaupun sang lawan bicara tentu saja tidak akan melihatnya namun Sekyung seakan tidak perduli.

Sekyung belum mengantuk, masih cukup jauh jam tidurnya untuk datang. Dia hanya mau menatap setiap inchi wajah Yiheon yang ada di depannya, menyentuh seringan kapas dan sehalus mungkin. Ada alis tebal milik Yiheon, menulusuri tulang hidungnya yang tinggi, garis tegas wajahnya yang akan kontras sekali bila ia tersenyum lebar. Tapi, ada sedikit kecewa saat dia tidak bisa menyetuh pipi kanan Yiheon karena terhalang bantal, tempat lesung pipi paling cantik yang dia tahu.

Di tepuk-tepuk dengan pelan pundak Yiheon dibalik selimut putihnya itu berulang kali tanpa sekalipun kedua netra Sekyung melepaskan tatapannya.

“Buat kamu.. abang harus ngapain ya, Yiheon.. “

Hingga entah di tepukan yang keberapa Yiheon tampak bergerak dari tidurnya, membuka mata sayunya secara perlahan dan menemukan Choi Sekyung yang menatapnya dengan pandangan paling hangat.

Di tengah suasana kamar yang temaram, suara sayup ombak yang masuk ke telinganya, ada Choi Sekyung yang mengambil seluruh atensinya itu berbicara pelan nyaris berbisik padanya dengan suara dalam, “Tidur lagi, Yiheon.” ujarnya seperti perintah tanpa menghentikan tepukan di pundaknya.

Butuh hingga beberapa detik bagi Yiheon untuk sadar saat pandangan mereka hanya terpusat satu sama lain.

Pemuda itu cepat-cepat meluruskan tubuhnya, membuat tangan Sekyung di pundaknya terlepas hingga akhirnya ditarik kembali. Ia menatap lurus pada langit-langit kamar tanpa berucap apapun. Masih mencerna apa yang terjadi.

Yiheon tidak tahu apa yang terjadi saat ini, yang ia ingat dirinya tadi mendengarkan musik saat menunggu Sekyung pergi keluar. Mungkin karena kelelahan akhirnya tertidur tanpa sengaja.

Lalu, Choi Sekyung ada di sampingnya dalam jarak yang deket banget, belum tidur dan menatapnya seperti itu. Menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut agar ia tidur nyenyak.

Mimpi gak sih? Aneh banget rasanya pasti mimpi kan!

Soalnya Yiheon sering linglung kalau bangun tidur, nyawanya masih setengah seperti sekarang ini. Ia menolehkan wajahnya ke arah kanan, menatap Sekyung yang masih mempertahankan posisinya.

“Bang.. lu setan atau Choi Sekyung beneran?” tanyanya bodoh dengan suara serak khas bangun tidur.

Song Yiheon! Sungguh pertanyaan yang sangat merusak suasana.

Tahu apa yang dilakukan Sekyung ketika mendapat pertanyaan seperti itu? Dia sepertinya harus mengeluarkan lagi stok sabarnya.

Hidung mancung Yiheon jadi sasaran empuk, dipencetnya hingga ia mengaduh kencang.

“Sakit abangggg!!!”

Sekyung menggeleng tidak perduli, “Makan dulu deh biar kamu bisa mikir.” ucapnya lalu bangun dari tempat tidur, berjalan keluar setelah menyalakan lampu kamar lagi.

Meninggalkan Yiheon yang sibuk memegang hidungnya, sakit banget anjir.

“Buruan sini kalau gak mau tidur lagi. Gue beli pizza!” beritahu Sekyung lumayan kencang dari ruang tengah.

Yiheon mengusap wajahnya, mengambil napas sebanyak mungkin lalu dikeluarkan secara kasar. Ia bangun dari tidurnya lalu kedua tangannya menyentuh dadanya yang sumpah demi Tuhan cepet banget ini jantungnya. Santai aja bisa nggak.

Diambilnya ponsel di dekat bantalnya dan ia hanya tersenyum pasrah, masih jam sepuluh kurang lima menit.

Yiheon hanya bisa menjatuhkan wajahnya ke atas bantal dan mengerang kesal, menendang-nendang selimut dengan heboh. “Bego banget. Lu ngapain sih Yiheon.”

Baru jam segini dan waktu masih panjang. Terus bagaimana nasibnya menghadapi sisa malam ini bersama Choi Sekyung!

“Song Yiheon...” panggilan Sekyung dari luar membuat Yiheon semakin frustasi, mau kabur juga gak bisa.

“Harusnya gue tadi langsung tidur lagi aja gak usah bangun!”

Yiheon sedikit bergidik saat hembusan angin menerpa wajahnya, ia memeluk tubuhnya sendiri yang hanya mengenakan kaos pendek berwarna putih polos itu.

Dingin, pantas saja Choi Sekyung menyuruhnya untuk memakai jaket.

Di tangannya sekarang ada jaket berwarna hitam milik Sekyung yang tadi sengaja Yiheon ambil dari tumpukan baju seniornya itu. Jaket yang dari kemarin sore juga sudah dipakainya ketika melihat sunset karena salahkan saja Choi Sekyung yang memberi tahu rencana liburan di last minute sebelum mereka berangkat hingga Yiheon tidak ingat untuk membawa jaket sendiri. Lebih tepatnya ia kemarin hanya asal saja membawa baju karena terburu-buru tanpa pikir panjang.

Kali ini kedua tanganya bersembunyi di balik saku jaket yang sudah dipakai, wangi familiar Sekyung terasa melingkupinya, terhirup semakin jelas saat dipasangnya kupluk yang menutupi hampir seluruh kepalanya itu. Membuatnya tanpa sadar mengulum senyum, wangi Bang Sekyung enak, berasa lagi dipeluk—seperti semalam.

Kakinya yang beralaskan sandal itu bisa merasakan lembutnya pasir yang mengenainya saat ia berjalan semakin jauh ke tepi pantai.

Pandangannya mengedar untuk memindai sekitar, di jam enam kurang lima menit ini matahari masih belum nampak sempurna, cuacanya tidak mendung namun berawan sehingga tidak terlalu cerah. Pengunjung pantai juga hanya segelintir orang karena mungkin di sini bukan spot yang terlalu bagus untuk melihat sunrise.

Ada sekumpulan anak kecil yang sedang bermain bola di ujung sana membuat Yiheon tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya, kayaknya seru banget kalau punya rumah dekat pantai seperti mereka.

Dari tempatnya menginap, Yiheon hitung tidak sampai lima menit untuk berjalan sampai di sini. Berterimakasih lah pada Namra yang sudah mengurus agenda liburan mereka dan atau agenda liburan dadakan baginya.

Bohong kalau Yiheon tidak kaget saat melihat resort yang akan mereka tempati saat kemarin tiba di parkiran. Bagus banget!

Dan saat Yiheon bertanya lagi, kenapa gampang sekali bagi Namra mengurus semuanya, Lomon hanya menjawab pelan, “Ini punya keluarganya kok, ya suka-suka dia aja.” yang sontak membuat Yiheon membulatkan mulut, menatap Namra yang hanya tertawa kecil melihat wajah kagetnya, “Jangan percaya, bohong itu.” ujarnya yang sudah jelas lebih bohong.

Sial, ternyata Kak Namra anak sultan beneran. Yiheon tahu jelas kalau Choi Sekyung itu anak tunggal—kaya raya, begitu juga Lomon yang memang ia tahu sejak mengenal Sekyung. Ini satu circle agak ngeri juga, batinnya meringis.

Dan seperti apa yang mereka bilang, semuanya sudah disiapkan, Yiheon memang tidak perlu pusing mikir apalagi, tinggal ikut dan duduk manis saja kok. Enak banget, bukan?

Suara debur ombak yang mengisi pendengarannya membuat Yiheon kembali melebarkan senyum, dibukanya lebar-lebar kedua tangannya itu, meregangkan tubuhnya yang baru bangun tidur itu sambil mengambil napas dalam mengisi paru-parunya dengan udara yang masih segar.

Suasana pantai di pagi hari jelas lebih baik daripada siang terik seperti kemarin saat ia pergi bersepeda dengan Sekyung.

Ngomong-ngomong oknum Choi Sekyung itu tidak terlihat batang hidungnya sama sekali. Katanya dia sedang di pantai. Namun, sejauh Yiheon berjalan pun dia belum juga nampak.

Saat Yiheon bangun tadi, tempat tidur Sekyung sudah kosong. Entah sejak kapan seniornya itu bangun karena semalam pun saat Yiheon tidur kembali sekitar pukul sebelas, Sekyung masih di luar asik mengobrol dengan Lomon, paling juga ngopi lagi sama nyebat.

Sejenak, ingatannya tentang semalam kembali terputar di benak Yiheon membuatnya berpikir tidak percaya, tapi hatinya jelas menghangat.

Ia menyukainya bagimana dirinya dan Sekyung bisa menjadi semakin dekat seperti itu.

Namun sekarang, Yiheon seperti anak hilang, si tukang ribut itu sibuk bermain air sendirian. Meninggalkan sandalnya begitu saja di atas pasir, menggulung celana panjangnya sebatas betis, lalu membiarkan kaki telanjangnya disapu oleh ombak kecil yang cukup dingin.

Kepalanya sesekali menoleh ke kanan dan kiri berhadap seseorang yang dikenalnya itu akan datang. Tapi lagi-lagi ia mendengus dan bertanya kemana sih kok gue ditinggal sendirian mulu.


Dari kejauhan Choi Sekyung tidak perlu berusaha menajamkan penglihatannya saat kedua netranya dengan cepat mengenali punggung tegap yang berada di pinggir pantai itu, terlebih dia amat mengenal jaket miliknya sendiri yang sedang dipakai oleh Yiheon.

Langkahnya dengan pasti berjalan ke arah pemuda yang saat ini terlihat sibuk menghindari ombak tapi kemudian ia akan kembali mendekat lagi hingga celananya tampak basah. Begitu terus asik sendiri dengan raut wajah senang.

Kayak bocah baru lihat pantai, pikir Sekyung lucu.

Dilepasnya sandal yang dia pakai dan di simpan bersamaan dengan milik Yiheon yang tergeletak begitu saja. Keningnya sedikit berjengit saat kulitnya menyentuh air laut di jam enam pagi ini, dingin juga ternyata.

“Lagi ngapain sendirian, hmm?”

Tanpa perlu menoleh untuk memastikan, Song Yiheon tahu betul suara dan tangan siapa yang kini merangkulnya dari samping. Mengusak kepalanya tanpa ragu sehingga kupluk jaket itu terlepas membuat anak rambutnya berantakan terkena angin yang berembus lumayan kencang.

“Main sama ombak. Kasian gak menurut lu? Gue bangun tidur gak ada siapa-siapa. Katanya Bang Sekyung di pantai tapi pas disamperin dari tadi gak ada. Gak di kamar, gak di pantai sama aja ditinggal sendirian. Masih mau nanya kenapa?”

Sekyung meringis kecil, baru juga ditanya gitu doang udah langsung ngamuk panjang lebar.

“Gak usah ketawa, Abang.”

Padahal gak ada yang ketawa sama sekali.

“Iya maaf ya, Yiheon.” ucap Sekyung sambil mengusap-ngusap lengan atas Yiheon dengan tangan kanan yang memang sedang merangkulnya. “Gue beneran gak tau ada notif masuk. Serius.”

Anggukan kecil dari Yiheon membuat Sekyung bernapas lega.

“Terus gue dari tadi di sana tuh yang banyak perahu. Nungguin lu juga kok gak dateng-dateng.” jelasnya lagi.

Kali ini Yiheon melihat Sekyung yang menujuk dengan dagunya ke arah yang memang belum ia datangi, jauh di pantai sebalah kanan dari tempat mereka berdiri sekarang.

“Seru liatin nelayan baru balik melaut, pada bawa ikan macam-macam.” lanjut Sekyung membuat Yiheon membulatkan mulutnya.

“Ada anak hiu gemes banget loh.”

Kali ini ia mengerutkan keningnya, melirik Sekyung yang tampak semangat memberitahunya, agak heran mendengar perkataan sang senior.

“Mana ada hiu gemes. Aneh lu, bang. Gemes tuh ikan cupang. Kecil, lucu, imut!” komentarnya tanpa segan yang membuat Sekyung menggelengkan kepalanya tidak setuju.

“Enggak, harus liat sendiri. Percaya sama gue deh. Pokonya galak-galak gitu kalau lagi diem bakal gemes juga, Yiheon.”

Sekyung terdengar menjeda ucapannya, dia manatap dari samping memperhatikan Yiheon yang kini memandang jauh ke arah perahu-perahu di sebelah kanan mereka dengan sedikit raut penasaran, bener gak yang dibilang Sekyung itu.

“Agak-agak mirip lah kayak lu gini.”

Kedua mata Yiheon langsung mendelik saat telunjuk Sekyung menekan lagi di pipinya.

Seharusnya ia tahu kalau Choi Sekyung cuma mengerjainya saja.

Lagi-lagi Song Yiheon masuk perangkapnya entah sudah yang keberapa kali.

“Males ribut masih pagi.”

Kedua bahu Sekyung terangkat pelan sambil menahan tawa, iya jangan sampai mereka ribut gara-gara ikan doang. Sudah cukup mengerjainya kali ini, walaupun alasannya jelas bukan candaan semata.

Ditariknya bahu Yiheon untuk ke tepi saat ombak yang datang sedikit tinggi. Sekyung memakai celana pendek di atas lutut, dia tidak masalah sama sekali kalau kakinya basah, tapi Yiheon ini pakai celana panjang yang cuma digulung asal. Emang dasar mau basah-basahan atau bagaimana.

“Ngapain sih main air jam segini.” gumamanya tidak habis pikir, bahkan dia sendiri malah jadi ikutan nyebur.

Tidak ada protes sama sekali yang keluar dari Yiheon, ia hanya menurut saat Sekyung mengajaknya pergi dari sana untuk berjalan ke tempat dimana sandal mereka berada.

“Mau balik sekarang?”

Bertanya pada Sekyung tepat saat akan memakai sandalnya kembali. Namun, yang ditanya justru malah mendudukkan dirinya di atas pasir tanpa perduli celana pendek hitamnya itu kotor.

“Nanti aja, duduk sini deh. Biar lihat dulu mataharinya.”

Jawaban Sekyung mau tidak mau membuatnya ikut duduk di samping seniornya itu saat Sekyung dengan jelas menepuk-nepuk pasir dengan tangannya agar ia menyusul.

Ketika Yiheon memilih untuk meluruskan kakinya, Choi Sekyung justru berlaku sebaliknya.

Dia memilih untuk memeluk kedua kakinya membuat Yiheon sekilas meliriknya. Bang Sekyung memang pake jaket, tapi apa gak dingin tuh paha pake celana pendek banget, pikirnya heran namun ia hanya menggeleng pelan, biarin aja deh suka-suka dia.

Di depan mereka saat ini cahaya jingga sedikit kemerahan terlihat jelas di ufuk timur pertanda bahwa sang mentari mulai menampakan dirinya kembali untuk memberi hangat pada pagi yang dingin juga sepi.

Memberi hangat pada mereka yang tidak membuka suara lagi, pandangan keduanya sama-sama lurus ke depan, menatap laut luas tanpa ujung berwarna biru dengan permukaan yang tampak berkilau akibat cahaya yang mulai merangkak naik.

Cantik sekali seperti halnya matahari terbenam yang mereka lihat kemarin dengan orang yang masih sama.

Kemarin Choi Sekyung bercerita bahwa diantara tempat yang pernah dikunjunginya, pantai adalah salah satu tempat yang paling dia sukai.

Tempat di mana dia tidak merasa bosan walau hanya duduk diam, tempat di mana dia hanya bisa mendengar ombak tanpa suara-suara lain, tempat dimana dia bisa menikmati angin yang menerpa wajahnya sambil menutup mata.

Tempat yang bisa membawa tenang untuk hidupnya yang terkadang sepi atau bahkan terlalu berisik sekalipun.

Dia menyukainya saat ini, aroma laut, suara debur ombak, hangatnya matahari pagi, lembutnya pasir tempat dia duduk serta sosok di sampingnya yang seakan turut melengkapi.

Kaki telanjangnya yang kotor oleh pasir seakan tidak digubris sama sekali. Choi Sekyung kali ini pun justru memilih menutup matanya, lagi-lagi ia merasakan angin yang membuat rambutnya bergerak liar. Kedua sudut bibirnya ditarik berlawanan membuat senyum tipis yang tampak puas.

Diantara heningnya mereka tanpa ada yang berniat berbicara lebih dulu, Song Yiheon memilih untuk berpaling, menolehkan wajahnya dari laut lepas yang sedari tadi ia lihat.

Kali ini ia memilih untuk menatap penuh kagum pada Sekyung yang masih memejamkan matanya. Sibuk menebak-nebak apa kira-kira yang ada dipikiran seniornya itu saat ini.

Sorot cahaya matahari berwarna jingga itu menerpa wajah putih Sekyung tanpa izin seakan membelainya penuh kelembutan dan kehangatan.

Mengenai pipinya, mengenai hidung mancungnya, mengenai bibirnya yang selalu tersenyum tanpa ragu, juga mengenai kening yang tertutup rambut hitamnya yang sedikit berantakan karena tiupan angin.

Adalah hal yang membuat Yiheon mati-matian menahan tangannya sendiri untuk tidak bergerak ke sana secara kurang ajar, yaitu merapikan rambut seorang Choi Sekyung.

Yiheon ternyata tidak seberani itu, atau lebih tepatnya belum berani. Mungkin benar kata Sungchan, kalau urusan gelut ia bisa maju paling depan, tapi bila itu menyangkut Choi Sekyung, Yiheon merasa ciut.

Semakin ia memperhatikan setiap indahnya Sekyung, maka semakin cepat juga degup yang bisa dirasakan oleh dirinya sendiri.

Melihat sudut bibir yang masih mengulas senyum itu, Yiheon tahu bahwa cerita kemarin mungkin benar adanya, bahwa Sekyung benar benar menyukai pantai.

Dia udah lama mau ngajakin kamu.

Perkataan Namra kemarin entah mengapa kembali teringat oleh Yiheon. Dan ketika saat ini ia duduk bersama Sekyung di tempat kesukaannya membuat Yiheon mengulum senyum tanpa ragu.

Yiheon jelas mengetahui bahwa jantungnya harus rela berkerja lebih cepat saat bersama Sekyung, namun anehnya ia menginginkannya dan ia menyukainya.

Tidak perlu menghindar sedikit pun atau menyangkal apa pun lagi, Yiheon terlihat sangat menikmati setiap detiknya saat ini bersama Choi Sekyung.

“Udah puas liatinnya belum, Yiheon?”

Perlahan kedua mata Sekyung terbuka, menatap langsung pada Yiheon yang belum sempat berpaling atau memang tidak ada niatan untuk berpaling barang sedikit pun.

Dengan jelas Sekyung bisa melihat iris mata yang tampak lebih terang karena terkena cahaya matahari itu terlihat berbinar menatapnya penuh kagum.

Satu kekehan pelan berhasil keluar dari kedua bilah bibir Sekyung, dia menyenggol tubuh Yiheon yang masih belum menjawab. Sekyung dari tadi jelas menyadari kalau Yiheon terus menatap wajahnya, tetapi dia memilih diam membiarkannya tidak ingin cepat-cepat membuka mata.

“Gue seganteng itu, ya?” tanyanya dengan kedua mata yang mengerling jahil, “Hmm?”

Yiheon berdecak kecil melihat wajah penuh percaya diri Sekyung, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke depan saat matahari justru bergerak di balik awan.

“Udah tau masih nanya.” jawab Yiheon yang jelas kembali mengundang tawa puas dari Sekyung.

Pertanyaan bodoh, kalau ia tanya semua orang di sini pun sudah jelas jawabannya apa. Yiheon malah akan ngamuk gak terima kalau ada yang bilang Choi Sekyung jelek. Mata lu rabun!

Kalau saja Song Yiheon penuh ragu, maka tidak dengan Choi Sekyung.

Saat angin kembali berembus membuat rambut mereka berantakan, dia tanpa segan akan mengulurkan tangannya untuk merapikan rambut Yiheon dengan lembut. Menyisir surai hitam itu secara perlahan dan penuh perhatian.

“Nunduk dikit sini.”

Perlakuannya itu lengkap dengan senyum yang seakan terpatri tidak pernah hilang dari wajahnya, pemuda itu akan tampak puas saat hasil karyanya terlihat sempurna walaupun satu menit kemudian angin akan kembali membuatnya berantakan dan membuatnya tertawa lucu.

Song Yiheon tidak tahu sejak kapan menyadari bahwa melihat Sekyung yang tersenyum padanya begitu menyenangkan.

Mendegar tawanya yang terkadang jahil justru membuatnya berdebar tidak karuan.

Dan semua perhatian-perhatian serta semua sikap baik Sekyung padanya membuat ia bergantung, membuat ia tanpa sadar telah berharap lebih atas batas yang sekarang ada diantara mereka.

Tidak ada gerutuan sebal, tidak ada delikan tajam bahkan kata-kata ketus yang di keluarkan Yiheon saat Sekyung dari tadi bermain-main dengan rambutnya.

Ia hanya tertawa kecil membuat lesung pipinya terlihat samar.

“Percuma, abang. Berantakan lagi..”

Mungkin Sekyung sudah sadar perubahan sikap Yiheon yang sedikit melunak sejak mereka di sini. Dari kemarin Yiheon lucu sekali, menjadi anak baik yang penurut, minta ini itu kadang mengekorinya seperti anak ayam, juga tentang semalam yang masih teringat jelas di ingatannya.

Ada sisi Yiheon yang Sekyung tahu betul diluar tukang ribut gampang ngegasnya itu.

Yiheon selalu memperhatikan hal kecil yang kadang menurutnya biasa saja dan ia mungkin tidak sadar akan sikap baiknya sendiri.

Kemarin dengan jelas Yiheon mengingat kalau dia tidak menyukai kerang, bahkan Sekyung sendiri tidak ingat mengatakannya kapan.

Saat ditanya anaknya hanya menjawab pelan, “Kita makan bareng gak cuma sekali dua kali, bang. Gue jelas tau.” saat itu Sekyung hanya mengangguk paham, menepuk-nepuk puncak kepalanya dan merangkulnya untuk berjalan memasuki tempat makan yang dipilih oleh Namra.

Oh atau saat kemarin ia tiba-tiba menghentikan sepedanya di sebuah cafe dan berkata kalau ia haus. Padahal Sekyung tahu jelas apa maksudnya, Yiheon mau agar dia tidak di tempat yang panas. Lucu kalau diingat bagaimana ia memaksa Sekyung dengan menarik lengannya untuk duduk istirahat dan dirinya yang langsung sibuk memesan minum, takut abang keburu pingsan katanya.

Tentang Yiheon, Choi Sekyung tidak bisa mengabaikannya. Mungkin sejak pertama mereka bertemu.

“Bang Sekyung...”

Suara Yiheon kembali menarik kesadaran Sekyung, dia melihat Yiheon yang menatapnya sambil memasang wajah khawatir, “Kenapa?” tanyanya, “Kayak ngelamun, gapapa kan?”

“Gapapa...”

Sekyung justru menumpu kepalanya di atas lutut yang masih di peluknya.

Dia menatap Yiheon sambil kembali menampilkan senyum tipisnya, “Yiheon kok perhatian banget. Gue jadi terharu.” ujarnya tanpa niat bercanda, dia berkata jujur.

Juga tentang bagaimana tadi Yiheon yang berkata khawatir saat dia tidak bisa dihubungi, takut Bang Sekyung hilang katanya yang berhasil membuat Sekyung terkikik geli namun jelas menyentuh hatinya tanpa sadar.

Yang ditatap hanya mengedikan bahunya, duduk lebih santai sambil menaruh tangan di atas pasir tepat di samping kedua pinggangnya. Kakinya yang masih berselonjor ia tumpangkan di samping sandalnya yang tadi tidak jadi dipakai lagi.

Netranya menatap jauh ke depan saat birunya laut terlihat lebih cantik berpadu dengan langit yang mulai terang serta pasir putih yang mereka duduki.

Ada hela napas kecil yang bisa Sekyung lihat dari Yiheon. Seperti sedang berpikir.

“Kalau Bang Sekyung sadar gue lagi menebar positive vibes.” mulainya pelan, Yiheon kira Sekyung akan tertawa mendengar ocehannya, namun seniornya itu malah menyimak dengan penuh perhatian.

“Gue lagi mirroring aja sih sebenernya, kalau ada orang baik sama gue, bakal gue baikin balik.” lanjutnya.

“Oh.. keren.”

Mendengar balasan Sekyung, ia tersenyum senang seperti mendapat dukungan.

Ditatapnya lagi Choi Sekyung yang masih memberikan fokus padanya.

“Bang Sekyung udah baik sama gue. Banyak banget, kayaknya gak akan bisa gue hitung satu-satu. Jadi gue bakal bales semuanya tapi pelan-pelan ya, bang.”

Yiheon berbicara dengan nada selembut yang dia bisa sebagaimana Sekyung selalu berucap padanya.

Sekyung tidak pernah meminta balasan apapun, apa yang dilakukannya untuk Yiheon adalah karena ingin, karena dia teramat perduli pada orang di sampingnya ini.

Dia hanya mengangguk kecil, kedua sudut bibirnya ditarik bersamaan melengkung indah sambil kembali mengusap puncak kepala Yiheon, gemes banget.

Mau culik sampai ke rumah.

“Makasih ya.”

Kali ini ada senyum jahil yang di tampilkan Yiheon sebelum ia bicara lagi, “Tapi, kalau Bang Sekyung jahat, gue bales lagi. Gue tonjok pokoknya!” katanya dengan kepalan tangan yang diperlihatkan pada Sekyung yang menaikan kedua alisnya.

“Ngapain juga gue jahatin lu, Yiheon.”

“Iya kan kalau. Tapi gue juga gak bakal berani sih.” ujar Yiheon, menatap Sekyung sambil menggigit bawahnya sedikit ragu.

“Gue juga gak mau bayanginnya, takut.”

Suaranya terdengar enggan, karena apabila ada list kemungkinan yang akan terjadi, Yiheon harap hal tersebut tidak pernah ada di dalamnya.

Sekyung hanya menggelengkan kepalanya saat mendengar ucapan Yiheon yang semakin kemana-mana.

Dia beranjak untuk berdiri. Menepuk-nepuk bagian belakang celananya yang penuh pasir dan memakai sandalnya kembali.

Sedangkan Yiheon yang masih duduk menatap dengan alis terangkat bingung, balik sekarang nih? Ia buru-buru ikut berdiri dan memakai sandalnya saat Sekyung mulai berjalan.

“Lagian di mana ada orang yang bakal jahatin orang yang dia sayang, Yiheon.”

Gumam Sekyung pelan ditelan oleh suara debur ombak yang terdengar.

Menyisakan wajah kaget dari Song Yiheon yang tertinggal di belakangnya, menatap punggung dibalik jaket itu dengan perasaan campur aduk.

Ia berani bersumpah tidak salah dengar ucapan Sekyung walaupun samar.

Tanpa bisa ditahan, senyumnya perlahan terlihat kelewat lebar hingga pipi bolong kesukaan Sekyung itu tampak jelas di wajahnya.

Jadi yang tadi di chat itu bukan asal ngetik?

Pagi ini rasanya bahagia Yiheon kumpul semua gara-gara orang di depannya.

Satu kalimat Sekyung mungkin terdengar biasa saja bila dibandingkan dengan segala perlakuannya, bila dibandingkan dengan segala afeksi yang telah diberikan Sekyung padanya.

Namun, bagi Yiheon itu adalah hal yang benar-benar ingin dia dengar secara langsung.

Sambil berlari kecil si tukang ribut itu menyusul seniornya, merangkul pundak yang lebih tinggi lima sentimeter darinya itu sambil haha hehe.

“Bang Sekyung mau es krim kelapa kayak kemaren kan? nanti gue beliin ya ya ya ya?”

“Enggak, lu aja paling itu yang mau.”

“Gak gitu, pokonya gue beliin nanti. Mau ya, bang?”

“Apasih, aneh banget, Yiheon. Gue ngeri sendiri.”

Yiheon tertawa lepas saat Sekyung mencoba menghindarinya sambil menatap heran dan berjalan lebih dulu.

Bang Sekyung bisa salting juga nggak sih?

Dalam perjalanan yang bahkan baru satu hari ini benar-benar bisa membuat Yiheon merasakan berbagai hal dari mulai baper, salting, bahagia seperti sekarang sampai rasa frustasinya tadi malam, semuanya karena satu orang yang sama, Choi Sekyung.

Sambil masih tertawa, Yiheon tentu saja dengan mudah kembali mengejar Sekyung, kali ini tidak ada tatapan heran seperti tadi.

Choi Sekyung justru ikut tertawa saat yang lebih muda naik ke atas punggungnya. Memeluk lehernya dari belakang dan membuatnya refleks memegangi kaki Yiheon.

“Ngapain sih, kalau jatuh gimana, Yiheon?!”

“Lu gak mungkin biarin gue jatuh, Bang Sekyung.”

Yiheon seakan tahu fakta itu dengan jelas.

Dan tentu saja Sekyung tidak bisa mengelak dan menolak, dia hanya tersenyum kecil melirik Yiheon yang sudah menumpu dagu di atas pundak kirinya tampak nyaman membuat kedua sisi wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja.

Choi Sekyung memelankan langkahnya, berjalan menyusuri pantai yang masih cukup sepi, pandangannya sesekali bertemu dengan pengunjung lain yang menatap mereka, namun dia memilih tidak perduli.

“Mana ada tukang gelut manja gini.”

“Ada. Gue!”

Yiheon membalas cepat tanpa pikir panjang sambil terkikik geli dengan antusiasnya sendiri.

Semangat amat lu, Song Yiheon, batinnya sibuk mengoceh. Tapi, gapapa soalnya lagi seneng.

Selain sebuah pelukan saat tadi malam, sepertinya ini adalah jarak terdekat lain yang pernah ada antara ia dengan Sekyung.

“Tapi ke Bang Sekyung doang, boleh ya?”

Yiheon bertanya penasaran dengan nada yang mungkin tanpa ia sadari merajuk seperti anak kecil serta pelukannya yang semakin mengerat.

Ia bahkan menatap wajah Sekyung dari samping saat yang ditanya belum memberinya jawaban. Lagi, lagi ia mengagumi sosok di pelukannya ini.

“Abang.. boleh kan?” tanyanya sekali lagi berbisik lirih yang terdengar samar, sekilas ia bahkan membasahi bibirnya yang mendadak kering karena gugup.

Berani juga melawan ragu yang tadi bahkan masih ia punya.

“Boleh, sayang.”

Sekyung kembali melepaskan tawa saat Yiheon sedikit mendengus saat mendengar kata sayang yang dia ucapkan.

Tetapi, anak itu tidak menimpuknya seperti yang ia janjikan di dalam chat, Yiheon justru semakin mengerut di pelukannya membuat Sekyung harus membenarkan posisi kakinya lagi.

“Makasih Bang Sekyung ganteng.”

Berhadapan dengan Yiheon yang bertingkah manja seperti ini mungkin tidak pernah Sekyung bayangkan datang secepat ini.

Bukan, dia tidak keberatan sama sekali, dia menyukainya karena bagaimana pun kelakuan ajaibnya yang kadang membuat pusing, dia tetap Song Yiheon yang Sekyung kenal.

Dan Yiheon mungkin tidak akan tahu kalau sejak lama tempat yang selalu membawa Sekyung tenang bukan hanya pantai, tapi juga ada Yiheon di dalamnya.

“Sama-sama Yiheon cantik.”

“Gak gitu ya anjir! Gue gebuk juga nih.”

“Yaudah, turun gak?”

“Gak mau!”

Ada senyum puas yang tergambar jelas di wajah tampan Choi Sekyung saat dia melihat Yiheon benar-benar berdiri dari tempat duduknya. Pemuda itu terlihat berbicara sebentar pada Asakara yang ada di sebelahnya. Dia juga sempat meliriknya sekilas sebelum berjalan ke arah samping untuk keluar barisan, berucap permisi tanpa henti karena suasana tribun yang memang sangat ramai.

Sebuah dengusan yang keluar dari bibir kecil itu jelas sekali terdengar oleh Sekyung yang sudah menepuk-nepuk tempat kosong di sebelah kirinya, memberitahu dimana tempat Yiheon harus duduk.

“Asli ribet lu, Bang.” adalah ucapan pertama yang bisa Sekyung dengar dengan jelas, Song Yiheon dengan jaket merahnya itu menampilkan wajah kesal yang berhasil membuatnya tertawa lagi.

Di sebelah kanan Sekyung, ada Namra yang menyapanya dengan senyum manis lengkap dengan dadah-dadah kecil membuat Yiheon lekas merubah raut kesalnya itu menjadi senyum simpul, “Hai, kak..” balasnya sopan.

Lalu di samping Namra jelas ada Park Solomon serta beberapa teman Sekyung yang dia tidak familiar malah ikutan menatapnya membuat Yiheon harus mengangguk kecil untuk menyapa, biar bagaimana pun Yiheon tidak sekurang ajar itu pada orang lain— yang tidak mempunyai masalah dengannya apalagi mereka seniornya.

Mau sekesal apa pun pada Choi Sekyung yang memaksanya untuk pindah. Begitu duduk Yiheon langsung membuka ransel hitamnya, mengeluarkan sebotol air mineral yang dia punya lalu memberikannya pada Sekyung yang tentu saja menerima dengan senang hati, “Makasih, Yiheon.” katanya dengan suara pelan.

Yiheon meliriknya, berdehem kecil untuk membalas ucapan Sekyung tersebut. Kayaknya memang beneran haus karena Sekyung langsung meminumnya. Padahal Yiheon sempat berpikir kalau Choi Sekyung hanya mengerjainya, mencari alasan agar dia pindah tempat duduk ke sampingnya.

Batinnya sedikit meringis, kepedean banget gue.

Namun, sebentar. Bisa nggak sih lupain aja apa yang berusan terjadi di chat? Yiheon kemudian menggerutu dalam hatinya kalau-kalau Choi Sekyung membahasnya lagi. Awas aja kalau dia beran—

“Eh, serius maskernya kemana?”

Baru juga dibilangin kan.

Jujur, Yiheon malas menanggapi ke-asbunan seniornya itu.

“Bang, lu pilih mau nonton atau kita ribut sekarang?” tanyanya langsung.

Dia dengan cepat menyampingkan tubuhnya ke arah kanan untuk menatap Sekyung yang malah menyambutnya dengan senyum kelewat lebar.

Jarak mereka duduk itu dekat banget karena ternyata barisan Sekyung ini tidak lebih lega daripada tempatnya semula di samping Asa. Dan Yiheon tidak tahu bagaimana Sekyung tadi bisa-bisanya menyediakan tempat kosong yang sekarang dia duduki.

Niatnya bertanya adalah agar Sekyung itu berhenti mengoceh. Namun, dengan jarak sedekat ini Yiheon membatin karena fokusnya sedikit teralihkan oleh paras Choi Sekyung.

Sialan kok lu ganteng banget sih, Bang.

Senyum di wajahnya itu seakan tidak ada niatan untuk dihilangkan saat Yiheon menatapnya sedikit kesal, Choi Sekyung justru seperti menikmati apa yang ada di depannya, menatap setiap gerik Yiheon yang mencoba memasang wajah sedatar mungkin.

“Mau nonton, Yiheon. Masa ribut.” pemuda itu dengan santai menjawab pertanyaannya, terdiam sebentar dengan wajah berpikir dan kening berkerut lalu sedikit memiringkan kepalanya seakan memindai keseluruhan wajah Yiheon.

“Tapi emang bagus dibuka aja sih maskernya, biar keliatan jelas manisnya.”

MAKSUD LU APA

Sekyung buru-buru menahan lengan Yiheon yang hampir berdiri mau kabur. Dia mencoba menahan senyumnya sekuat tenaga, melipat bibirnya ke dalam saat Yiheon kembali menggerutu.

“Najis lu sumpah nyebelin.”

Lucu banget, anak orang lagi salting.

Sorry, yaudah gue diem.” ujarnya sambil masih manahan lengan Yiheon. Mencoba menyakinkan lewat tatapannya, menatap Yiheon yang berdacak pelan, “Janji.” lanjutnya.

“Gue males sama lu kalau kayak gini, Bang.” ucapan Yiheon membuat Sekyung menggangguk-ngangguk paham, merangkul pundaknya agar dia tidak kemana-mana. “Iya iya. Yaudah nonton lagi sekarang. Gue diem beneran.”

Song Yiheon diam-diam menghembuskan napasnya, kedua sudut matanya melirik Sekyung yang sudah kembali menatap ke arah depan.

Bingung sendiri, Yiheon juga tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Padahal ucapan Sekyung hanya bercandaan biasa, tapi bisa membuatnya kesal... sekaligus malu.

Namun, Song Yiheon buru-buru menggelengkan kapalanya. Sadar lu. Dia menepis pikirannya barusan yang bisa-bisanya karena hal receh tersebut membutanya salting sampai baper.

Walapun ya kalau itu Choi Sekyung siapa juga yang akan tahan.

Pertandingan basket antar fakultas itu terasa semakin panas dengan skor tipis yang saling menyusul. Bisingnya kedua supporter yang memenuhi tribun justru ikut membakar semangat pemain yang berada di tengah lapangan.

Suara riuh tepuk tangan, pantulan bola, maupun decitan sepatu para pemain semakin melengkapi jalannya pertandingan sore hari ini.

Yiheon sudah kembali fokus pada pertandingan di bawah, pandangannya kerap kali mengikuti pemain nomor dua tujuh itu, Jung Sungchan dengam seragam warna merahnya terlihat sedang berada di bawah ring, bersiap melakukan rebound. Tubuhnya yang cukup tinggi dengan mudah melompat untuk menangkap bola dan dioper kepada rekan satu timnya.

“Hajar, Sungchan!! Jangan kasih ampun.”

Sekyung berdecak sambil menggelengkan kepalanya saat teriakan Yiheon yang berada di samping kirinya itu terdengar bersautan dengan penonton yang lain.

Bahkan pemuda tersebut sudah mengeluarkan ponselnya, sibuk merekam jalannya pertandingan terutama saat Sungchan memegang bola, dan senyumnya akan terlihat bila temannya itu berhasil mencetak point.

“Gila lu three point mulus banget, yang bener aja, Sungchan!” gumamnya yang terdengar jelas membuat Sekyung justru mengalihkan tatapannya, bukan lagi pada lapangan, namun pada Song Yiheon.

Diantara ketegangan, decak kagum bahkan sorakan penonton terhadap jalannya pertandingan di round ke empat itu. Choi Sekyung justru terlihat anteng menopang dagu dengan tangan kanan yang disangga pada pahanya.

Kedua netranya sudah tidak lagi memperhatikan lapangan, entah berapa skor yang ada di sana, dia tidak perduli. Lagipula kedatangannya kesini juga hanya diajak oleh salah satu temannya. Dan bertemu dengan Yiheon disini tidak ada dalam daftar rencananya, murni sebuah kebetulan yang berhasil membuatnya menarik kedua sudut bibir.

Sekyung lebih memilih melihat Song Yiheon yang ada di samping kirinya, yang lagi-lagi sibuk mengambil video dan tersenyum lebar menatap layar ponselnya.

Jari telunjuk Sekyung terangkat, dibawanya pada pipi kanan Yiheon yang sedang tersenyum lebar. Dengan pelan dia menyentuh lekukan yang terlihat jelas itu, lesung pipi Yiheon yang sangat disukainya.

Butuh sepersekian detik bagi Yiheon untuk menyadari ada benda asing yang menyentuh kulit wajahnya, sedikit berjengit dia melirik pipinya lalu mendapati telunjuk Sekyung ada di sana.

Pandagannya menatap cepat si pemilik tangan, dia bertanya lewat matanya seakan bilang, ngapain lu, bang?

Bukannya memberi jawaban atau bahkan buru-buru menarik tangannya setelah ketahuan. Choi Sekyung justru tertawa kecil, meloloskan kekehan ringan yang keluar dari mulutnya.

“Gue suka liat pipi bolong lu. Gemes, Yiheon.”

Siapa pun tolong sadarkan Yiheon yang hanya bisa mengerjapkan matanya.

Pikirannya mendadak bodoh dan blank. Choi Sekyung dan segala keasbunannya hari ini benar-benar berbahaya hingga otaknya tidak bisa mencerna dengan baik.

Suara pluit yang ditiup panjang membuat suasana semakin riuh, menandakan pertandingan telah selesai.

Tapi, Song Yiheon masih terdiam dengan mulut tertutup rapat manatap Sekyung yang baru saja manarik kembali jarinya.

“Udah bubar tuh. Temen lu menang.” ujarnya menyadarkan Yiheon.

Bahkan saat sadarnya belum pulih semua, Sekyung sudah berdiri lebih dulu. Mengambil ransel milik Yiheon yang ada di bawah lalu dipakainya begitu saja, tubuhnya kemudian sedikit menunduk, membawa kepalanya kesamping telinga Yiheon, “Ayo mau pulang nggak, Yiheon.” bisiknya terdenger jelas walaupun suara-suara di sekitar mereka sangat berisik.

Perutnya geli dan pipinya mendadak panas.

Bajingan Choi Sekyung, kalau saja bisa mengumpat Song Yiheon akan mengeluarkan nama seisi kebun binatang.

Katanya, Choi Sekyung itu tidak pernah marah terhadap Song Yiheon.

Benar, itu adalah sebuah fakta yang bisa diperkuat oleh kesaksian Asakara yang memang mengenal keduanya sejauh ini.

Song Yiheon adalah salah satu temannya sejak dia menjadi mahasiswa baru di kampus, bersama dengan Sungchan yang meruapakan teman Yiheon sejak SMA, ketiganya entah bagaimana menjadi semakin dekat dalam urusan pertemanan walaupun berada di fakultas yang berbeda.

Sedangkan Choi Sekyung adalah senior mereka. Mahasiswa tingkat tiga itu awalnya merupakan kenalan Yiheon yang kemudian membuat mereka ikut mengenalnya saat kerap bertemu beberapa kali.

Namun, hari ini sepertinya pemuda itu meragukan kesaksiannya sendiri.

Asa dengan jelas menyadari ada perubahan dari raut pemuda yang kerap mereka panggil Bang Sekyung itu sejak menuruni mobil berwana putihnya yang terparkir tepat di depan gerbang kost, tempat mereka sedang menunggu Yiheon yang sedang dijemput oleh Sungchan.

Tidak ada senyum seramah biasa yang selalu dia tampilkan. Wajah tampan itu terlihat lebih serius dengan bibir yang membentuk garis lurus.

Langkahnya dengan tenang namun tegas perlahan memasuki gerbang dan melawati parkiran dengan beberapa motor serta mobil penghuni yang terparkir rapi, dia menghampiri Asa yang duduk di bangku depan kamar yang berjajar.

“Belum datang?” tanyanya langsung yang membuat Asa menjawab pelan, “Belum, bang.”

Sungchan belum mengabari Asa lagi. Mungkin masih di jalan walaupun terasa lama sekali karena jarak kampus dan kosannya terbilang tidak terlalu jauh.

Cepat-cepat dia mengabarinya guna melaporkan apa yang dilihat sekarang. Perasaannya tidak enak saat melihat Sekyung yang tidak seperti biasanya.

Ngamuk beneran kayanya nih orang, pikirnya sambil melirik Sekyung yang memilih berdiri bersandar pada tembok, pemuda itu bahkan menolak tawaran Asa yang menyuruhnya menunggu sambil duduk.

Kedua tangan di balik hoodie abu muda itu terlipat di depan dada sambil ujung sepatunya mengetuk-ngetuk lantai tidak sabar. Pandangannya bahkan lurus ke arah gerbang yang terbuka setengah.

Bisa dibilang Asa memang tidak terlalu akrab dengan seniornya itu, selain karena berbeda fakultas, mereka juga biasa mengobrol sebatas saat Sekyung menjemput Yiheon bila sedang di kosannya. Atau pernah nongkrong bareng sambil makan sepulang kuliah beberapa kali.

Namun, saat ini tanpa perlu mengenal dalam sosok tersebut, seratus persen Asa yakin Choi Sekyung yang berada di depannya ini khawatir terhadap Yiheon, sahabat keras kepalanya yang sedikit berulah hari ini.

Tetapi, seharusnya memang begitu kan? karena jelas Song Yiheon adalah pacarnya.

Apa yang dikatakan Sungchan tentang keadaan Yiheon tidak serta merta ia sampaikan pada Sekyung, biar lihat sendiri saja karena sejujurnya dia pun tidak tahu tolak ukur luka seperti apa yang ada pada standar aman seorang Yiheon.


Sebelumnya tidak akan ada yang pernah menduga bahwa suara motor yang memasuki parkiran sebuah kost dua lantai berwarna kuning pucat itu bisa membuat tiga orang sekaligus menghembusakan napas lega mereka masing-masing.

Sungchan si pengemudi, Asakara si penghuni kost, dan tentu saja Sekyung yang pikirannya terasa paling penuh saat ini.

Sedangkan satu orang lagi tidak tahu apa-apa, yang merupakan si tokoh utama kejadian ini justru terlihat santai sekali di belakang tubuh jangkung Sungchan yang memboncengnya.

Sekyung menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada tembok, memasukan kedua tangan ke dalam saku celana jeansnya. Dia menatap motor yang baru saja terparkir di depannya dan nertanya langsung tertuju pada Yiheon yang baru saja turun dari atas motor.

Dalam sepersekian waktu tersebut, Asa berjalan mendekat lebih dulu. Mengecek kondisi temannya itu yang terlihat tidak terlalu baik.

Oke, kalau boleh jujur, jelas sedikit berantakan.

Dihadapkannya tubuh Yiheon ke kanan dan kiri bahkan ke bekalang hingga diputar, praktis pemuda yang katanya masih ada keturunan Jepang itu menggerutu pelan membuat Yiheon meringis karena Sungchan sudah melakukan hal yang sama padanya tadi.

“Gue gapapa, Asa.”

Pandangan Yiheon kali ini baru beralih pada Sekyung yang belum beranjak dari tempatnya. Masih berdiri di depan tembok depan salah satu kamar.

Jelas Yiheon langsung menuntut penjelasan menatap pada kedua temannya seakan bertanya,

Kok ada pacar gue di sini?!!

Baik Sungchan maupun Asa hanya mengangkat bahu, “Gak tahu.” ujar mereka berhasil membuat Yiheon memutar kedua bola matanya.

Sudah jelas-jelas ini ulah mereka berdua yang pasti mengadu. Dari siapa lagi Sekyung tahu kalau ia akan ke sini.

Sekyung masih diam saat dia melihat Yiheon mencopot tisu yang sedari tadi tersumpal di hidung kanannya akibat mimisan, lalu dilempar kecil ke tempat sampah yang ada di pinggir parkiran.

Di sini jelas yang paling tahu keadaan Yiheon selain dirinya sendiri adalah Sungchan yang tadi datang menjemputnya. Maka pemuda jangkung itu langsung merangkul lengannya dan membantunya jalan.

“Gapapa apanya kayak begitu!” seruan Asa terdengar jelas saat melihat hal tersebut.

Harus diakui rupaya kali ini ulah Yiheon memang agak serius karena sebelum-sebelumnya dia tidak pernah melihat Yiheon sampai dipapah seperti ini.

Satu orang yang sedari tadi masih belum beranjak bahkan belum mengeluarkan satu kata pun terlihat menyimak saja apa yang dilakukan mereka walaupun sudah jelas fokusnya hanya pada satu orang.

Presensinya tersebut ternyata berdampak nyata pada ketiga pemuda di sana. Atmosfernya bahkan terasa sangat tidak bersahabat.

Mampus ngamuk, batin ketiganya kompak berucap hal yang sama.

Kesimpulan yang sangat mudah dibuat apabila melihat raut wajah sang senior.

Begitu sampai tepat di depan Sekyung, Sungchan yang sedang memapah Yiheon berhenti. Begitupun Asa yang mengekori mereka di belakang sambil menggendong ransel milik Yiheon.

Sungchan, pemuda itu pernah sekali berucap kalau Sekyung pasti bakal ngamuk juga suatu saat nanti jika Yiheon ribut parah. Dan dia tidak menyangka hari itu sepertinya bakal kejadian. Walaupun dia mempunyai tubuh lebih tinggi dari mereka semua, Sungchan tidak akan menyangkal aura Choi Sekyung yang sekarang cukup membuat anak basket itu merasa ciut.

Serem banget anjir! Gue gak mau ikutan. Kalau boleh milih, dia mau mengajak Asa kabur dari sana saat ini juga, namun nyatanya dia tidak mungkin meninggalan Yiheon sendirian.

Meledak seharusnya, baik itu rasa khawatir atau pun marah dan kesal seorang Choi Sekyung saat dihadapkan dengan Song Yiheon yang demi Tuhan hampir seluruh wajahnya tidak baik-baik saja.

Tepat di tulang pipinya sangat merah bekas kena pukulan begitu pun di sudut bibir kirinya, di ujung pelipisnya ada luka yang sedikit terbuka, di hidung kanannya terdapat tanda mimisan yang bahkan belum kering.

Kaos putih yang dibalut kemeja biru panjang itu juga tampak kusut dan kotor di sana sini. Dilihat semakin ke bawah ada telapak tangan baret dan buku tangan memerah bekas adu jotos.

Jangan lupa kaki yang harus dipapah saat berjalan, entah apa yang terjadi di bagian sana karena dibalut dengan celana panjang sehingga tidak terlihat satu luka pun dari luar.

Ingin rasanya Choi Sekyung berteriak, Kenapa kamu bisa sampai begini sih, Yiheon?

Namun, nyatanya yang keluar dari kedua bilah bibir tebalnya hanya hembusan napas berat sedikit frustasi sambil mengangkat kepalanya menatap sembarangan ke atas.

Tangan kanannya terangkat mengurut keningnya yang entah kenapa mendadak pening benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah anak di depannya ini.

Tingkah pacarnya.

“Bang Sekyung...”

Yiheon yang pertama berujar pelan memutus hening diantara mereka. Tenggorokannya terasa kering melihat Sekyung yang seperti itu sehingga suaranya nyaris seperti bisikan.

Asakara berhasil mengerjap melihat apa yang dia lihat dengan kening berkerut dalam. Dia yang lebih dulu bersama Sekyung sedari tadi tahu jelas bagaimana sikap yang ditampilkan seniornya tersebut.

Raut penuh tegang itu jelas berubah cukup cepat tak kala Yiheon memanggil namanya.

Tatapan lurus dan tajam tadi mulai memudar seiring dengan garis lurus di kedua sudut bibirnya yang perlahan ditarik berlawanan, tipis namun Asa tahu itu adalah sebuah tanda menenangkan dari seorang Choi Sekyung untuk Yiheon.

“Masuk dulu gih, abang ngambil obat di mobil.”

Kalimat panjang pertama diucapkan dari Sekyung sambil mengusak puncak kepala Yiheon sesaat sebelum dia beranjak dari hadapan ketiganya.

Tidak ada nada kesal apalagi suara tinggi darinya membuat mereka semua saling berpandangan bingung.

Tidak marah?

“Oh iya..” suaranya terdengar lagi membuat mereka semua tanpa sadar menahan napas menatapnya.

“Asa ada es batu? Boleh tolong ambilkan.” lanjut Sekyung bertanya yang langsung diangguki si tuan rumah, dia bergegas berjalan ke arah kulkas yang ada di dapur kosannya.

Yiheon melihat Sekyung lewat bahunya sesaat sebelum kembali dipapah oleh Sungchan ke dalam kamar Asa yang ada di lantai satu.

Ia menatap gusar punggung yang berjalan ke luar kosan itu dengan perasaan campur aduk, apa betul abang nggak marah sama aku?


Ketika tadi sampai di kosan Asa dan melihat Sekyung ada di sana menatapnya dengan pandangan lurus, jujur saja hal itu membuat Yiheon kicep.

Yang ada di pikiran terburuknya adalah Sekyung bakal ngamuk padanya, memarahinya atau apapun itu yang jelas membuat Yiheon sedikit ketar-ketir.

Apalagi saat kedua temannya itu tidak memilih ikut campur dan kabur ke luar begitu Sekyung akan memasuki kamar Asa.

Yihoen bahkan sampai menahan gugup menatap Sekyung yang membawa kotak p3k di tangannya.

Rupanya Sekyung dan kotak p3k sudah berteman baik sejak dia mengenal Yiheon.

Ditariknya sebuah kursi di depan meja belajar Asa ke dekat tempat tidur di mana Yiheon sedang duduk. Tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun, Sekyung duduk dengan tenang di depannya. Dia menaruh kotak obat di tangannya itu di atas tempat tidur, dibuka dan dikeluarkan isinya.

Yiheon tidak bisa membohongi dirinya sendiri saat ia tadi dengan jelas melihat gurat frustasi di wajah pacarnya itu.

“Lepasin dulu kemejanya.”

Ia hanya menurut, melepas kemeja biru panjangnya itu lalu menyisakan kaos pendek putihnya yang kotor. Lalu Sekyung memeriksa lengannya takut-takut ada luka lagi yang tidak terlihat karena jelas kemejanya tidak kotor berarti Yiheon ribut saat menggunakan baju pendeknya saja.

Ada hela napas kecil darinya saat tidak ditemukan luka lain di sekitar siku atau di mana pun lagi di lengannya.

“Kaos kamu kotor, udah gak usah dipakai lagi. Pakai kemejanya saja.”

Yiheon tidak mau banyak protes, ia lagi-lagi hanya menurut melepas kaosnya dan diuwel-uwel asal kemudian dimasukan ke dalam tas. Lalu memakai kembali kemeja panjangnya dengan sedikit kesusahan mengatur kancingnya saat tatapan Sekyung terasa menusuknya, menatap setiap geriknya tanpa terlewat satu pun dengan jarak yang sudah jelas sangat dekat.

Tangannya yang sedikit perih itu akhirnya Yiheon taruh di atas pahanya begitu saja saat tangan Sekyung dengan cekatan mengambil alih untuk memasang kancingnya tanpa banyak bicara, hingga dia menyisakan dua kancing teratas yang dibiarkan terbuka. Tidak lupa digulungkan juga bagian kedua lengannya dengan rapi.

Setidaknya sekarang penampilan Yiheon terlihat lebih wajar daripada tadi dan Sekyung sudah bisa mulai mengobatinya.

“Perih...” katanya lirih saat Sekyung mengoleskan obat di atas pipinya yang memerah, ia menatap Sekyung yang tidak merespon apa pun, pemuda itu hanya fokus pada tangannya yang masih berada di pipi Yiheon.

Suara jarum jam yang ada di atas meja belajar Asa rasanya menjadi penyelamat untuk suasana yang kelewat hening tersebut.

Sekyung tidak bertanya apa pun dan itu membuat Yiheon terganggu, biasanya dia itu akan berbicara sekedar bertanya sambil bercanda siapa yang menang.

Perihal mengobati seperti ini jelas bukan hal baru bagi Sekyung, namun memang sudah cukup lama karena belakangan Yiheon sudah tidak berulah lagi.

“Abang... marah?”

Telunjuk Sekyung yang saat ini memegang kapas untuk mengoles luka di pelipis Yiheon terhenti sejenak, dia hanya berdehem kecil tanpa membalas tatapannya atau pun pertanyaannya.

Ditiupnya dengan lembut luka tersebut berharap Yiheon tidak merasakan perih yang terlalu parah. Yiheon bahkan harus menutup matanya saat Sekyung mempersempit jarak diantara mereka karena perlakuannya itu.

Saat dirasa Sekyung sudah sedikit menjauh dan memasang plester di sana, Yiheon membuka matanya lagi. Di hadapanya saat ini Sekyung sedang memegang tanganya, mengusap alkohol pada telapak dan buku jarinya yang lecet.

Genggaman tangan Sekyung terasa hangat di kulitnya, lagi-lagi ia meringis perih saat Sekyung mengoleskan obat di lukannya dan menutupnya dengan plester.

Akhinya kedua netra Choi Sekyung itu menatapnya ketika dia selesai dengan kegiatannya mengurusi Yiheon.

Tangannya terangkat untuk menyentuh sudut bibir Yiheon yang terluka, ibu jarinya mengusap dengan lembut.

“Sakit?” tanyanya pelan.

Sudut bibirnya itu terasa sedikit kebal saat tadi ia kompres dengan es batu yang dibawa oleh Asa.

Yiheon menggangguk kecil, namun ia malah tersenyum tipis, “Tapi gapapa, nanti diobatin sama abang.”

Ada decak samar yang Sekyung keluarkan, selalu begini. Yang luka siapa, yang mikir sampai khawatir siapa.

“Kakinya kenapa gak bisa jalan, hmm?”

“Tulang kering aku ditendang.”

Sekyung lagi-lagi menghela napas lalu mengangguk kecil, “Besok ke rumah sakit.” ucapnya kalem membuat Yiheon membulatkan matanya.

“Gak segitunya juga bang! Dua hari juga sembuh paling biru doang ini.” responnya cepat, ia menolak tidak mau.

Ngapain sih lebay amat.

“Aku gapapa. Gak perlu kayak gitu lah.”

“Jangan bikin orang khawatir, Yiheon.” suara Sekyung terdengar dalam dan serius, dia menunjuk tas Yiheon yang berada di atas kasur dengan dagunya.

“Berani bilang ke Bunda gak coba. Abang mau liat gimana kamu diomelin sekalian, video call biar Bunda tahu wajah kamu sekarang.”

Sial.

Yiheon meneguk ludahnya kasar. Tatapannya melembut menatap Sekyung tanda tidak mau. Bunda jelas akan mengomel mungkin semalaman kalau ia pulang dengan keadaan seperti ini.

“Aku gak akan pulang sekarang. Besok juga Sabtu libur gak kuliah... aku mau nginep di sini aja, nanti bilang ke Asa.”

Kalau ada juara sabar menghadapi Song Yiheon, rasanya Sekyung bisa menyabet juara pertama, pemuda itu menegakkan tubuhnya yang masih duduk di kursi belajar milik Asa.

Peningnya mendadak muncul lagi.

Sekyung tahu kamar kost Asa itu lumayan luas, dengan tempat tidur berukuran sedang cukup untuk menampung dua orang dewasa. Di atas kasur itu terdapat gitar yang disimpan bersandar pada tembok. Teman Yiheon yang satu itu memang terlihat menyukai dunia musik.

Namun, tidak bisa seenaknya begitu saja dong.

“Ya sudah kalau gak mau pulang ke rumah. Kamu pulang sama abang.” putusnya sambil berdiri, tangannya kembali sibuk membereskan kotak obat yang tadi dia bongkar.

“Maksudnya?” alis Yiheon bertaut tidak mengerti dengan ucapan Sekyung itu. Ia harus mendongak menatap Sekyung yang tidak meliriknya.

“Kamu ikut pulang sama abang. Jangan di sini, biar besok sekalian abang seret kamu ke rumah sakit.”

“Hah?”

Ke rumah Sekyung maksudnya? sekarang? yang bener aja!

“Gak mau.” sahutnya cepat sambil menjatuhkan tubuhnya di kasur empuk milik Asa. Tangannya mengambil satu boneka anjing yang ada di atas kasur, boneka couple milik Asa dan pacarnya itu ia peluk sambil merenggut.

Sekyung tidak mengindahkan penolakannya, dia yang sudah menyimpan alat tempurnya di atas meja belajar Asa menatap Yiheon sambil melipat tangan di depan dadanya, pinggangnya menyadar pada meja yang tertata rapi itu.

“Pilihannya cuma pulang ke rumah kamu lalu diomelin Bunda, atau ke rumah abang dan biar abang yang ngomong langsung sama Bunda kamu. Enggak ada nginep-nginep di sini, paham?”

Song Yiheon mengerang kesal mendengar nada suara Sekyung yang tidak bisa dibantah itu apalagi tatapannya yang menatap lurus padanya membuat Yiheon harus mengalihkan pandangannya, nggak suka.

Ia berpaling untuk menatap langit-langit kamar Asa yang tinggi dan berwarna putih senada dengan dominasi warna kamarnya.

“Yiheon..”

Choi Sekyung menarik satu sudut bibirnya saat Yiheon tidak menjawab, anak itu malah menutup wajah dengan lengannya. Dia kembali melangkah ke sisi tempat tidur dan mengulurukan tangannya untuk menarik tangan Yiheon yang sedang tidur itu untuk kembali duduk.

Membungkuk dari posisinya yang sedang berdiri, Sekyung melurusakn wajahnya sejajar dengan Yiheon yang sudah duduk dan menatapnya sambil berpikir.

“Jadi, kamu pilih yang mana, sayang?”

Yiheon tahu, Sekyung tahu jelas ia tidak akan mau pulang saat ini, maka ditawarkan hal seperti itu jelas membuat keinginannya hampir seratus persen akan terwujud.

“Ke rumah abang aja.” jawabnya pelan, percuma dibantah juga malah makin panjang nanti urusannya.

“Oke.”

Suasana sekolah di hampir pukul enam sore ini tergolong ramai karena terlihat anak-anak ekskul yang dengan santainya masih berkeliaran belum pulang.

Pertandingan basket pun baru selesai sekitar lima belas menit lalu.

Ada wajah cerah yang sekarang ditampilkan Ilha saat ia berjalan keluar gedung olahraga bersama kedua temannya. Lengkap dengan tas dan setelan sweater hitam, tubuh jangkung itu melangkah sambil sesekali mengobrol hingga akhirnya terhenti begitu mereka tiba di parkiran.

“Cewek lu tuh udah nungguin.”

Salah satu celetukan temannya membuat Ilha melihat ke arah yang ditunjuk, sedikit tergelitik ia tertawa kecil mendengar hal tersebut. Memang teman-teman satu timnya sudah mengenali wajah Aesol karena sudah beberapa kali pula Aesol datang menunggunya latihan.

“Cewek siapa. Masih belum, anjir!” balas Ilha sambil menyikut pelan perut temannya itu yang langsung merintih lebay.

Tapi, kapan ya beneran kejadian.

“Lama sih lu keburu diambil yang lain kata gue. HTS mulu.” sahutnya terdengar jelas oleh Ilha sebelum ia melangkah pergi. “Udahlah. Gua duluan!” ucapnya tanpa memberi tanggapan lain sambil berlari kecil meninggalkan kedua temannya yang saling mendengus.

Bagi mereka adalah hal baru selama menjadi anggota basket melihat Kwon Ilha ditunggui oleh cewek. Maka sudah bisa dipastikan hasil dari tebak-tebakan semua kalau Aesol itu bukan sekedar teman sekelasnya didukung oleh segala tingkah Ilha yang menurut mereka amat sangat mencurigakan. Dia itu kalau ada Aesol di pinggir lapangan udah kayak disamperin pacar habis ldr dua tahun, tiap menit diliatin terus takut hilang sampai semua anggotanya sudah hapal dan hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Mana ada temen kayak gitu.

Dari sana langkah kaki lebar Ilha berbelok cepat menuju bangku yang tidak jauh dari parkiran, tepat di taman kecil yang menghadap ke arah kolam ikan di depan ruang osis. Di area ruang hijau sekolah yang biasanya digunakan untuk nongkrong anak-anak saat jam istirahat.

Ada Aesol di sana.

Mau beli ice cream, katanya. Janji sederhana yang dibuat oleh gadis itu untuknya kalau ia selesai bertanding hari ini.

“Aesol...”

Yang dipanggil sedang menunduk memainkan ponselnya kemudian mendongak dan Ilha dengan jelas bisa melihat perlahan kedua sudut bibir mungil itu melengkung dengan cepat.

“Selamat ya Ilha udah menang!”

Ucapan pertama untuknya dengan senyum tipis lengkap dengan tepuk tangan kecil membuat Aesol berkali-kali lipat lebih lucu di mata Ilha.

Ilha yang berdiri menjulang di depannya tergelak, tidak bisa menahan rasa gemas melihat tingkah Aesol yang seperti ini.

Sekuat tenaga menjaga tangannya agar tidak kurang ajar untuk mengusak rambut Aesol walaupun sudah gatal atau mungkin kalau bisa mau cubit pipinya sekalian. Ngelunjak.

Tapi, nanti kali ada saatnya kalau hubungan mereka sudah lebih jauh dan jelas, untuk sekarang lebih baik Ilha sadar diri dulu.

Oleh karena itu ia memilih buru-buru untuk duduk saja di samping Aesol, bangku taman itu tampak kecil saat sudah diisi oleh dua orang dan Aesol segera memberi ruang untuknya dengan bergeser.

“Makasih Aesol, maaf ya lama gua beres-beres dulu.”

Aesol mengangguk kecil, lagipula tadi dia menunggu bersama Nara di sini sebelum akhirnya pulang dengan Kimchi. “Iya gapapa kok.” tangannya lalu mengambil satu kaleng soda yang masih dingin di dalam tas, diberikannya ke Ilha yang sibuk menaikan alis tebalnya, apaan nih.

“Buat kamu.”

Meski bingung Ilha tetap menerimanya, “Gapapa kita di sini aja, kamu pasti capek. Istirahat dulu, Ilha.” jelas Aesol seperti tahu kebingungan di wajah teman kelasnya itu.

Seperti orang bodoh, Ilha menatap minuman kaleng yang kini ada di tangannya sambil tersenyum lebar. Kontrol muka lo, kalau Heerak atau yang lain lihat pasti ia sudah habis dikata-katain, pikirnya.

“Kok malah diliatin doang?”

“Lo nggak mau?” Ilha justru balik bertanya membuat Aesol menggelengkan kepala lalu sambil mengangkat bahu dan terkekeh pelan ia menjawab, “Nggak, kamu aja. Orang aku bawa buat kamu kok.”

Oh sengaja. Dibawain. Tolong dicatet.

Nggak pernah tuh sekalipun Ilha bakal kepikiran yang seperti ini kejadian lagi. Dulu juga pernah kejadian persis waktu ia dikasih susu pisang oleh Aesol yang menunggunya selesai latihan dengan sabar tanpa protes sedikit pun.

“Oke.. makasih ya.” ucapnya kemudian membuka dan meminumnya dengan senang hati.

Doakan saja semoga ia masih waras sampai pulang. Walaupun dari detik ini rasanya kedua sudut bibir Ilha tidak bisa lurus lagi. Bawaanya ingin senyum terus. Perutnya geli.

“Capek banget ya hari ini, Ilha?”

Satu yang baru-baru ini disadari oleh Ilha adalah cara Aesol bicara, dia selalu memberikan fokus penuh pada lawannya. Seperti sekarang tubuhnya sedikit menyamping padanya dan Ilha dipaksa terbiasa dengan tatapan Aesol yang kini berpusat untuknya.

Melihat bagaimana cara Aesol menatapnya, menunggu dengan penuh pengertian jawaban atas pertanyaannya barusan rupanya membuat jantung Ilha harus rela bekerja lebih ekstra.

“Banget...” balas Ilha sedikit menggantung, ia menyandarkan punggungnya pada kursi dan terlihat lebih santai sambil membalas tatapan Aesol sebisanya, “Namanya juga pemain inti. Hampir full empat kuarter tadi main.”

“Iya pasti sih... aku kan juga lihat pas kamu udah main kuarter kedua.”

Aesol mengangguk paham mendengarnya, dengan pertandingan yang habis-habisan seperti tadi karena point yang beda tipis mereka saling mempertahankan angka, sudah pasti para pemain di lapangan capek banget.

Sebagai penonton yang duduk di tribun saja mereka bisa tahu bagaimana kedua tim bermain secara maksimal. Kalau kata Jangsoo tadi kedua tim memang punya jam terbang yang tidak diragukan lagi, sama-sama langganan ikut kejuaraan.

Tidak bisa dipungkiri oleh Aesol, ia bisa melihat gurat lelah di wajah Ilha walaupun sudah terlihat lebih segar karena rambutnya sedikit basah. Kayaknya habis mandi dulu.

“Nanti aja perginya atau nggak jadi ya? Besok lagi, Ilha.” Aesol kembali bersuara dan ikut menyandarkan punggungnya pada kursi. Kasian takut pemuda di sampingnya ini benar-benar sedang lelah.

Gerakan tiba-tibanya itu membuat Ilha berdehem langsung melirik ke samping saat bahu mereka sekarang saling menempel karena terlalu dekat.

“Apaan gak bisa gitu! Harus jadi. Gak masalah capek juga karena gua seneng.” balasnya cepat dan ngotot, ini kan yang ia tunggu-tunggu. Enak aja main dibatalin. Hal itu membuat Aesol kembali menatapnya dengan tawa pelan, “Iya iya biasa aja dong.”

Ilha terkekeh mendengar ucapan Aesol, keliatan banget ngebetnya tapi ia tidak perduli. Netranya tanpa sadar bergeser untuk melirik lagi wajah Aesol dari samping yang kini sedang memandang lurus ke depan dengan tangan yang terlipat di dadanya.

Tanpa ada obrolan lagi, Aesol tampak anteng menatap entah apa yang ada di depannya dan Ilha sendiri justru ikut diam sambil menatap gadis di sampingnya.

Terbalik dengan suasana hening diantara mereka, di kepala Ilha saat ini justru sedang berisik sekali gara-gara teringat pesan di grup kelas.

Kedekatan mereka sudah bukan hal aneh lagi karena satu kelas sudah tahu. Ilha pikir, bagaimana mungkin Aesol tidak menyadarinya saat yang lain jelas-jelas bisa melihat apa yang terjadi diantara mereka berdua.

Lo, tau nggak sih sebenernya perasaan gua, Aesol?

Ada hela napas berat yang keluar dari bibir Ilha kala ia mengingat lagi apa yang dilihatnya tadi. Ia sempat melihat Aesol dan Jongwon begitu pertandingan berakhir, melihat bagaimana tangan Jongwon dengan ringan merangkul pundak Aesol di depan banyak orang dan Aesol yang tidak terlihat keberatan sama sekali untuk membalasnya sambil tersenyum lebar.

Di ujung lapangan Ilha hanya menatapnya dan menyadari kalau ia mungkin masih jauh untuk bisa disebut dekat dengan Aesol.

Teringat obrolan semalam tentang Aesol yang ingin tahu tentang dirinya membuat Ilha sedikit menumbuhkan harapannya, mungkin ada kemajuan tentang hubungan mereka. Walapun faktanya ia tidak mau terburu-buru mengambil kesimpulan.

Jujur saja, Ilha masih merasa kalau Aesol hanya menganggapnya teman kelas biasa. Friendzone, benar kata Mas nya tadi di grup.

Ilha kembali meneguk minumnya dengan perasaan gondok. Gini amat jadi gua, batinnya.

“Tapi kamu keren banget tadi.”

Bangsat. Gak pake aba-aba dulu tiba-tiba ngomong.

Kwon Ilha dan agenda kebodohannya di depan Aesol rupanya terus berlanjut.

Kali ini ia tersedak sampai batuk. Soda yang diminumnya terasa membakar tenggrokan. Sialan! kenapa harus sekarang.

Rasanya Ilha mau kabur saat Aesol ikut menepuk-nepuk punggunya sedikit kencang. “Kamu kenapa sih, Ilha? Gapapa?” ada nada panik yang terdengar membuat Ilha mengangkat tangannya sambil meringis, “Gak apa-apa, udah Sol, udah.” ia menjawab masih terbatuk pelan.

Kemudian yang bisa dilakukan Ilha hanya tertawa malu sambil mengurut keningnya dengan tangan kiri yang tidak sedang memegang kaleng minumnya.

Malu banget anjing, batinnya sibuk mencak-mencak.

“Maaf ya, Sol. Lagi bego.” ujarnya masih sambil menyisakan tawa kecil. Dan tentu saja Aesol yang masih menatapnya malah terheran, “Aneh banget lagian. Ada-ada aja.” balasnya tidak habis pikir, tangan yang masih di punggung Ilha itu kini ditepuk-tepuk pelan cukup lama sebelum ditarik kembali saat Ilha terlihat sudah lebih baik, namun wajahnya masih memerah.

“Hati-hati makanya, Ilha.” wejangan Aesol itu hanya dibalas cengiran demi menutupi urat malunya.

Ilha berdehem setelah ia merasa baik-baik saja dan mereka kembali menyandar pada kursi, saling diam sibuk dengan pikiran masing-masing.

Selang berapa menit Aesol berbalik melirik Ilha saat pemuda itu kembali bicara, “Tim gua yang keren, makanya tadi bisa menang.” oh, rupanya ia menyambung dengan obrolan Aesol tadi, dan Aesol bisa melihat ada binar senang di kedua netra Ilha.

Tanpa dijelaskan pun Aesol tahu sosok di sampingnya ini sepertinya benar-benar menyukai basket. Hal itu membuat Aesol tanpa sadar tersenyum tipis. Satu fakta kecil yang dia tahu tentang Kwon Ilha bertambah.

“Iya tau, tapi kamu nya juga kan tadi bagus banget.” gumam Aesol pelan tanpa sungkan memuji Ilha yang terlihat salah tingkah melihat senyumnya yang manis, yang lembut, yang tulus, yang membuat Ilha ketar-ketir.

Bohong kalau saat ini Ilha bilang detak jantungya biasa-biasa saja. Bohong besar. Aesol dan word of affirmation-nya selalu menyisakan dampak nyata.

Bahkan dari sebelum ini jantungnya sudah tidak karu-karuan.

Entah sejak ia tadi berlari keluar lapangan dan menemui Aesol sebelum bertanding demi mendapatkan dukungan langsung. Atau sejak ia melihat Aesol datang di kuarter kedua dan duduk di tribun samping Jangsoo sambil melambaikan tangannya penuh semangat padanya. Atau mungkin saat ia tidak sabar ingin keluar gedung olahraga karena tau Aesol sudah menunggunya di sini.

Lupakan sebentar tentang hal yang membuatnya resah, gampang nanti lagi dipikirin. Saat ini Ilha cuma mau menghabiskan waktu dengan Aesol.

“Mau pergi sekarang aja?”

Bahaya kalau mereka masih di sini, Ilha benar-benar dibuat mati kutu oleh kata-kata ajaib Aesol. Harga dirinya akan benar-benar hilang kalau Aesol bicara lagi. Bisa-bisa ia meleleh di tempat.

“Boleh, Ilha.”

Keduanya lalu berjalan pelan menuju parkiran yang terlihat jelas setelah mereka berdiri.

Lalu tanpa disangka ada beberapa adik kelas perempuan menyapa Ilha untuk mengucapkan selamat membuat Aesol yang berjalan di sampingnya menyikut lengannya sambil menahan tawa.

“Keren banget Kak Ilha ternyata banyak fansnya ya.” kata Aesol sambil mengerling padanya dengan tatapan jahil membuat Ilha mendengus pelan dan memutar matanya mendegar Aesol menekan kata Kak di kalimatnya. Sengaja banget.

Kali ini tanpa bisa dicegah tangan Ilha bergerak untuk mengusak puncak kepala Aesol gemas dan gregetan. “Ngomong apa sih, udah gak usah lebay. Ayo buruan.” ujarnya sambil berjalan duluan.

“Gak lebay... emang tadi pas aku nonton di tribun juga banyak kok yang ngomongin kamu, si nomor 24 katanya.” balas Aesol kekeh yang sekarang mengekori langkah di belakangnya.

“Iya iya terserah deh..” Ilha terlihat tidak terlalu menggubris ucapannya membuat Aesol yang menatap punggung pemuda tersebut hanya bisa tertawa pelan.

Ketika sudah sampai di depan motor, diambilnya satu helm tambahan yang sengaja Ilha bawa di bawah jok. Lalu tubuhnya berbalik kembali pada Aesol yang masih berdiri menatapnya sambil menengadahkan tangan menunggu helm itu diberikan padanya.

Telat banget Ilha baru sadar kalau Aesol masih menggunakan seragam sekolah mereka, kemeja putih lengan pendek.

“Pake jaket dulu, kamu bawa jaket gak?”

“Enggak. Aku lupa.”

Dihadapkan dengan senyum kecil Aesol sambil meringis malu, Ilha tidak bisa berbuat banyak selain menghela napas dan menggelengkan kepalanya.

“Kebiasaan.” ucapnya, mau heran tapi ini Aesol, padahal dari kemarin sudah dibilangin kalau mereka akan pulang bareng. Yang ngajakin juga kan Aesol.

Helm itu diberikan pada Aesol saat ia sibuk membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah jaket berwarna hitam, “Pake ini aja dulu. Baru dicuci kok. Gak apa-apa kegedean juga daripada kamu sakit, masuk angin nanti.”

Tanpa banyak protes Aesol menerima jaket dari Ilha dan memakainya yang memang sangat kebesaran. Oke ini bukan jaket pertama Ilha yang dipakai olehnya tapi yang satu ini ukurannya benar-benar besar hingga setengah paha dan bagian tangannya yang tenggelam.

Diperhatikannya Aesol yang selesai memakai jaket miliknya membuat Ilha tidak bisa menahan tawa, nggak bisa ini terlalu lucu.

“Kok malah kayak anak ayam. Sampai kelelep gini. Kalau aja warnanya kuning lebih lucu dan mirip.”

Akhirnya terdengar tawa renyah Ilha di parkiran membuat beberapa pasang mata yang kebetulan ada di situ melirik ke arah mereka.

Aesol menepuk-nepuk lengan pemuda itu malu sambil melirik sekitar mereka, menyuruh Ilha untuk diam, tapi yang disuruh tampak tidak perduli, “Yaelah biarin aja, nggak ada yang larang.” katanya cuek sambil masih tertawa dan memegang lengan Aesol, melipat-lipat jaket bagian tangan yang kebesaran itu dengan telaten agar rapi.

Setelah selesai, Ilha tampak puas dengan hasil karyanya dan melirik Aesol yang ternyata sedang menatapnya, “Makasih Ilha, baik banget.” ujarnya membuat Ilha tidak bisa menahan senyum lebar.

Kenyang banget dipuji terus hari ini.

Tidak sampai di situ, Ilha justru sedikit menundukkan kepalanya untuk memasangkan pengait helm di bawah dagu Aesol.

“Ini dipasang yang betul dong, Aesol.”

“Emang belum, Ilha.”

Ilha hanya bergumam sambil melirik Aesol yang refleks mengangkat dagunya. Dengan jarak sedekat ini ia bisa melihat sejelas mungkin paras Aesol. Bagaimana bulu matanya yang tidak terlalu panjang namun lentik, bagaimana hidung mungilnya, bagaimana bibirnya yang tipis, bagaimana matanya yang mengerjap pelan membalas tatapannya.

Oke, cukup.

Ditegakkan lagi badannya sebelum Ilha kembali hilang kontrol. Gak kuat cakep banget anjing cewek di depannya ini.

Apalagi tatapan Aesol yang menurutnya terlalu dalam, lengkap dengan senyum lembut yang ditampilkan tanpa rasa bersalah. Gak mikir apa gimana perasaan Ilha saat ini. Mending kalau bisa tanggung jawab.

“Gak usah liatin gua kayak gitu dah. Nanti gua kepedean.” gerutunya sedikit merajuk.

“Kepedean kenapa?”

Untung aja itu Aesol, kalau bukan pasti udah Ilha getok kepala helmnya. Pake nanya lagi.

Takut gua mikir kalau lo mulai punya perasaan yang sama.

Ingin rasanya bilang seperti itu tapi nyatanya Ilha memilih menelan kembali kalimatnya. Masih belum berani membahas hal tersebut lagi-lagi karena ia belum merasa yakin kalau kedekatan mereka ada di tingkat mana. Sudah pas kah buat bicara ke arah sana? ia saja nggak tahu dianggap apa dirinya sama Aesol.

“Udah ayo naik.”

Walaupun sambil mendengus kecil karena tidak mendapatkan jawaban, Aesol tetap naik ke atas motornya.

“Pegangan.”

Dari kaca spion Ilha bisa melihat wajah Aesol yang tampak sedikit merenggut dengan bibir mencebik ke bawah namun tetap menurut memegang kedua sisi sweater miliknya. Hal itu membuat Ilha tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Ada-ada aja.

“Gua takut kemakan ekspektasi sendiri jadinya.”

Sedari awal kan seorang Ilha kalau soal Aesol banyak takutnya, banyak begonya.

Ilha nggak tau Aesol dengar atau tidak gumamannya karena ia bicara cukup pelan di tengah bisingnya jalanan sore itu. Toh ia sedang bicara sendiri bukan maksud mengajak ngobrol yang di belakang.

Hanya saja ada yang nggak Ilha sadari kalau sedari tadi wajah Aesol berada tepat di atas pundak kanannya.

Saat sampai di tempat yang tadi difotokan oleh Ilha, Aesol tidak bisa menemukan temannya itu. Jujur saja dirinya merasa sangat tidak enak dan jelas melihat pesan masuk dari pemuda tersebut tanpa perlu berpikir pun Aesol tahu kalau Ilha pasti marah.

Sekarang, baru bisa dilihat oleh dirinya sesaat ia selesai mengirim pesan pada Ilha, tubuh jangkung yang dibalut sweater biru tua itu sudah masuk kembali dalam pandangannya. Berjalan dengan langkah panjang sambil mendorong troli yang terlihat kecil untuknya.

Wajah Ilha dengan alis tebal yang tampak selalu memasang raut galak itu dilihat-lihat semakin tajam saat berjalan mendekatinya. Terburu-buru.

Kalau boleh jujur Aesol sedikit kicep melihatnya, tanpa sadar ia mengeratkan tangan pada tas yang dipakainya.

Takut Ilha beneran marah, dia kan memang terkenal galak di sekolah. Semua orang tahu itu.

Pasti marah sih, ini. Pasti marah banget, batinnya terus menggumam.

“Ilha.. maafin gue..”

Aesol berucap cepat bahkan saat Ilha belum berkata apa-apa di depannya. Tatapan tajam Ilha coba dibalasnya dengan wajah memelas, sedikit berharap semoga pemuda itu lebih lunak.

Dibalik rasa takutnya, Aesol jauh lebih sadar kalau di sini ialah yang salah karena pergi tanpa bilang terlebih dulu tadi atau mengabari saat tanpa sengaja berpisah di sebuah rak.

“Kalau mau kemana-mana tuh bilang. Udah tau lo lagi sama gua, jelas tanggung jawab gua biar lo gak kenapa-napa. Ngerti nggak sih?”

Sesuai dugaan, tanpa bisa dicegah perkataan Ilha langsung terdengar tegas sambil menatap Aesol yang terlihat langsung menciut di depannya.

“Iya maaf jadi ngerepotin lo harus nyari-nyari muterin tempat yang besar ini..” cicit Aesol sambil menunduk merasa bersalah membuat Ilha menghela napas kesal.

“Bukan masalah ngerepotinnya, Aesol. Gua gak perduliin itu sama sekali. Yang gue perduliin itu lo yang bikin gua panik tau nggak.” Ilha dengan nada gemasnya mencoba menjelaskan agar Aesol mengerti.

“Nggak bisa dihubungin sama sekali. Gua gak tau lo dimana atau kenapa. Bisa nggak sih sekali aja nggak bikin orang khawatir terus.” lanjutnya dengan nada lebih rendah, menatap wajah Aesol yang masih menunduk.

Karena Aesol tidak akan tahu sekhawatir dan sebingung apa Kwon Ilha saat tiba-tiba dirinya tidak bisa dihubungi. Aesol juga tidak akan tahu setiap kata yang Ilha ucapakan adalah bentuk cemas yang ia rasakan sejak tadi.

“Bagus kalau nggak kenapa napa.”

Dan tentu saja ada napas lega yang menjalar di dada Ilha saat akhirnya ia melihat Aesol berdiri menunggunya.

Ilha cuma takut, gara-gara kejadian tadi dengan Bora dan Youngshin, Aesol semakin kenapa-napa.

Perduli setan apa kata Heerak, Ilha memang tidak mau melihat Aesol patah hati. Karena ia jauh lebih tau bagaimana rasanya.

Lalu, sudah bukan hal aneh lagi kalau wajah merenggut Aesol lah yang selalu membuat Ilha akhirnya luluh walaupun kesabarannya setipis tisu, karena bila menghadapi segala tingkah No Aesol, Kwon Ilha bisa menjadi orang paling sabar dari versi dirinya.

Diliriknya tangan Aesol yang memegang tasnya dengan erat dan masih menunduk. Ilha kembali menghela napas, terlalu galak kah ia sampai Aesol takut seperti itu.

Kan rencananya gak kaya gitu gblok! ia merutuk kecil karena tingkahnya sendiri.

“Bantu cariin yang gini, masih belum ketemu satu lagi pesanan adek gua.”

Tidak ada lagi nada tegas seperti tadi saat sebuah gambar permen di layar ponsel Ilha tiba-tiba disodorkan ke depan wajah Aesol yang masih menunduk karena dimarahi.

Dengan pelan kini ponsel itu berpindah tangan, Aesol memegang ponsel Ilha dan mengangkat wajahnya setelah selesai melihat gambar tersebut.

“Oke, gue cari sampai dapat.” katanya pelan dengan yakin lalu melirik Ilha ragu-ragu, “Ini Hp nya boleh di gue dulu? Gue mau nyari di sana.” tunjuknya ke arah kanan dari tempat mereka berdiri sekarang.

“Pegang aja, tapi bareng. Jangan jauh-jauh. Kalau sendiri ntar ngilang lagi kayak tadi.”

Kan, galak lagi.

Kali ini bibir Aesol sediki mencebik pelan mendengar ucapan Ilha, “Gue bukan ngilang, Ilha.” katanya sambil menggerutu dan berjalan duluan meninggalkan pemuda tersebut.

“Emangnya gue anak kecil bisa hilang? Kan dibilangin tadi justru gue itu bantuin anak kecil dulu yang nyariin Ibunya.” lanjutnya sedikit kesal padahal sudah dijalaskan di chat tadi.

Ilha yang berjalan pelan di belakangnya sambil mendorong troli jelas masih bisa mendengar perkataan Aesol itu. Menatap punggung Aesol di depannya yang sedang merajuk adalah hal langka yang bisa ia lihat saat ini.

Kedua ujung bibirnya ditarik tanpa sadar.

Aesol itu jarang marah-marah, apalagi menggerutu begini. Anaknya terlalu baik.

Makanya harus dijagain, harus dibikin bahagia.

Dan tentu saja bisa jalan berdua dengan Aesol detik ini sudah jadi hal yang paling nggak masuk akal buat Ilha.

“Pantes sama-sama kecil jadi ilang deh tuh barengan.” ucapan Ilha berhasil membuat Aesol menghentikan langkahnya untuk berbalik dan menyipitkan mata, tatapannya jelas menuding.

“Ngomong apa? ngatain terus.”

Kesal nggak sih sama Ilha kalau dibercandain terus begini.

Kedua bahu lelaki itu terangkat pelan, sekilas ia membenarkan topi yang dipakainya untuk menutupi nada geli yang ia tahan saat melihat Aesol tampak semakin kesal menatapnya.

Kapan lagi yang begini kejadian.

Lucu banget manusia ini, Tuhan.

Jadi makin sayang.

Rugi banget kalau dibikin nangis gara-gara patah hati.

Ilha melebarkan langkahnya hingga kini berada tepat di depan Aesol. Satu tangannya yang sedang mendorong troli ia angkat dan dengan pelan ditaruh di atas kepala Aesol membuat Aesol ikut mendongak dengan tatapan bingung menatap wajahnya.

Tatapan itu berbeda sekali saat pertama Ilha tadi datang mengampirinya dengan raut tajam, kini raut tersebut jauh lebih lembut? Aesol bepikir lagi, nggak, mungkin tepatnya lebih hangat?

Seperti bukan Ilha yang selalu ia lihat di sekolah.

Ini adalah jarak paling dekat yang pernah ada sejak mereka menjadi teman sekelas.

Sedikit menduduk, Ilha berucap pelan hingga hanya Aesol yang bisa mendengarnya tanpa orang lain di sekitar mereka.

“Nih, lo tuh emang kecil dan pendek segini, No Aesol.”

Satu usakan ringan di atas rambut pendek Aesol diberikan oleh Ilha lalu dipuk-puk pelan sebelum dia menarik tanganya lagi.

“Buruan nyarinya, nanti beli es krim.”

Dunia ini sudah ruwet menurut Lee Jinhyuk, masalah ini itu yang kadangkala datang secara bersamaan sudah cukup membuatnya menghela napas berat berkali-kali tak terhitung. Ia mengurut kening sambil menyandarkan punggung tegangnya di sandaran kursi serta menatap kosong ke arah langit-langit ruang kerjanya yang tampak membosankan.

Di luar dunia pekerjaan, Jinhyuk masih disibukkan dengan desakan kedua orang tuanya mengenai hubungan jangka panjang yang kerap kali ditanyakan. Tanpa mengenal waktu setiap ada kesempatan pasti mereka selalu membawa topik tersebut diantara obrolan-obrolan yang terjadi.

Lagi, lagi dan lagi rasanya kepala Lee Jinhyuk akan pecah kalau ingat hal tersebut. Terlalu menumpuk isi pikirannya saat ini untuk tetap bertahan di kantor saat jarum jam sudah menunjuk ke arah angka empat lebih sepuluh.

Sebelum benar-benar bangkit dari kursinya, ia kembali mengeluarkan hela napas panjang.

Menyambar tas kerjanya di atas meja serta jas yang tergelak pasrah serta kusut di sandaran kursi tanpa dipakainya lagi hanya di sampirkan di lengan kirinya, kini Jinhyuk mulai melangkah pergi dengan tergesa ingin meninggalkan kantor berharap keruwetan di kepalanya segera lenyap.

Sebuah bunyi notifikasi terdengar nyaring sesaat sebelum Jinhyuk benar-benar menghidupkan mobilnya. Ada decak samar namun dibarengi dengan gelengan kepala lengkap dengan ujung bibir yang ditarik ketika ia membuka pesan di ponselnya.

Sepersekian detik, raut kusut itu berubah menjadi cerah.

Rupanya, tanpa berpikir dua kali arah pulang Lee Jinhyuk berhasil dirubah, bukan rumah melainkan sebuah kafe yang berada di lingkungan kampus.

Jam pulang kantor memang memusingkan, macet tentu saja resmi masuk ke dalam daftar keruwetan yang dirasakan oleh Jinhyuk hari ini hingga akhirnya ia bisa bernapas lega setelah menghentikan mobil di sebuah halaman parkir yang tidak begitu luas di samping taman.

Kemeja putihnya tampak kusut di bagian lengan yang digulung, namun pria dua puluh sembilan tahun itu tampak tidak terlalu perduli karena saat ini ia justru sibuk melangkahkan kaki panjangnya melintasi taman dan menyebrangi jalan menuju sebuah kafe yang tampak jelas di sebrang.

Suara decit kaca terdengar saat Jinhyuk mendorong pintu membuat beberapa pasang mata yang kebanyakan anak muda meliriknya sekilas. Namun, ia tidak terlalu menanggapi karena sekarang kedua netranya sibuk memindai seisi kafe mencari seseorang yang menjadi alasannya mengubah arah pulang.

“Mas Wooseok di atas.”

Jinhyuk menoleh saat mendengar suara dari arah samping, ia lantas tersenyum sambil menepuk pundak anak tersebut yang terlihat memakai seragam kafe berwarna coklat tua.

“Tahu aja kamu, Han.”

“Iya nyari siapa lagi coba Mas nya celingukan gitu.” balas Yohan sambil mengedikan kepalanya ke arah tangga, di tangannya ada nampan berisi gelas kosong yang baru saja dia bawa dari meja di dekat jendela.

“Suruh naik aja, tadi udah nitip pesan.”

“Oke, Saya ke atas ya.” pamitanya melanjutkan langkah menaiki tangga yang berada tepat di samping meja kasir, ia juga sempat mengangguk pada anak yang menyapanya di belakang meja.

“Halo juga, Minkyu. Semangat ya rame tuh.” ujarnya yang langsung dibalas acungan jempol, “Siap, Mas Jinhyuk!”

Di lantai dua terdapat satu lorong yang terdiri dari dua ruangan saling bersebrangan, satu dijadikan ruang staff yang tertulis di pintu dan satu lagi milik Wooseok selaku Manajer.

Di ketukan ke-dua kali pada pintu yang tertutup, Jinhyuk akhirnya mendapat jawaban dari dalam yang menyuruhnya untuk masuk.

Ada sosok yang tampak sibuk dengan laptop di balik meja kerjanya yang kemudian mengangkat wajah untuk menatap sang tamu, senyumnya terlihat tipis ketika bersitatap dengan Jinhyuk yang berjalan mendekat ke arah mejanya.

“Kusut banget muka kamu.” bukan sapaan mengenakan, Jinhyuk justru langsung mendengar kalimat tersebut yang membuatnya terkekeh pelan lalu duduk di kursi depan meja.

“Iya nih, biasalah kerjaan. Masih sibuk kamunya, Seok?”

Wooseok menggelengkan kepala lalu bersandar di kursinya, “Enggak kok, sebentar lagi beres cuma lagi ngecek sesuatu aja buat laporan ke Kakakku.” katanya, dan Jinhyuk mengangguk paham, ia tahu kakak Wooseok adalah owner kafe ini dan sudah sejak tahun lalu Wooseok yang mengambil alih untuk mengurus semuanya.

“Kamu belum makan?” tanya Wooseok sambil melepas kacamatanya dan di letakan di atas meja. Menatap Jinhyuk yang terlihat menimbang sebelum menjawab.

“Kelihatan banget, ya? Memang belum sih tadi nggak sempat.” Jinhyuk tertawa, “Bukannya kamu nyuruh aku kesini memang buat traktir makan di bawah atau aku yang kepedean nih?”

Wooseok ikut tertawa, “Enggak kok, sekalian ada perlu aja.”

Kim Wooseok ini adalah salah satu teman semasa kuliah Jinhyuk dulu yang masih sering bertemu hingga sekarang karena hubungan mereka terbilang sangat dekat.