sekyung x yiheon au
“Kan, orgil beneran. Dari tadi gigi lo tuh kering, nyengir mulu!”
Sekyung mengabaikan ucapan Lomon yang duduk di depannya, pemuda itu sedang asik memakan snack berisi keripik kentang rasa sapi panggang yang dia ambil dari stok jajanan pacarnya sendiri.
Hari ini mereka akan pulang, satu tas miliknya serta Sekyung bahkan sudah ada di ruang tengah. Sedangkan Namra masih sibuk di kamar, belum siap katanya dan tentu saja pacarnya itu ribet sendiri karena pergi dua hari tapi membawa banyak barang, mau dibantu pun malah dia diusir katanya nanti bikin tambah berantakan.
Maka, di sini lah Lomon duduk dan menatap Sekyung yang fokus dengan ponselnya.
“Ngomong sama tembok kali ya gue.”
Pandangan Sekyung yang semula menunduk menatap ponsel kini beralih pada temannya itu, “Gue lagi chat Yiheon doang.” ucapnya lalu melirik ke arah pintu kamar, Yiheon bilang tadi mau beres-beres tapi sampai sekarang belum juga keluar.
“Anak orang dibaperin mulu. Tapi gak dipacarin.”
Mendengar ocehan Lomon, Sekyung langsung meneggakkan duduknya yang semula bersandar pada kursi dan menumpukan kedua sikunya pada meja. Tangannya terulur untuk mengambil satu keripik dari bungkusnya.
Suara renyah dari gigitannyan itu terdengar garing, dia masih belum memberikan balasan akan ucapan Lomon barusan karena masih sibuk mengunyah.
“Gampang amat ngomong. Lu kira ngajak pacaran kayak ngajak jajan cilok.”
Dia berdecak kecil, yang benar saja seorang Choi Sekyung yang dikenalnya sejak mahasiswa baru itu, yang biasa penuh percaya diri harus mikir ratusan kali buat ngajak anak orang pacaran.
Padahal tinggal nunjuk juga bisa, beberapa kali Lomon menjadi korban titip salam dari mulai teman sefakultas mereka sampai beberapa teman organisasi tingkat kampus yang memang mengenal keduanya.
“Kenalin sama Choi Sekyung, dong.”
atau
“Choi Sekyung temen lo itu udah punya pacar belum sih?”
Sampai bosen! dan Lomon akan menjawab dengan kalimat andalannya.
“Tanyain aja sendiri, kalau dm lo kagak dibales berarti dia emang gak minat.”
Hingga akhirnya kemudian dia hanya bisa nyegir saat mereka protes karena Sekyung tidak pernah menanggapi satu dm pun yang masuk.
“Nggak gitu juga. Tapi itu anaknya udah mulai nempel kan sama lo.”
Sekyung seakan mengerti apa maksud kata nempel dari kalimat Lomon barusan. Ada senyum tipis yang ditampilkannya saat pandangannya kembali menatap kamar tempat Yiheon berada.
Pintu kayu itu tidak ditutup rapat, dibiarkan terbuka sedikit namun tidak terlihat keadaan di dalamnya dari tempat mereka duduk sekarang. Obrolan mereka juga tidak akan terdengar hingga ke dalam kamar.
Lomon kembali melanjutkan ucapannya saat Sekyung justru tidak menjawab, dia memandang penuh curiga pada temannya itu.
“Gak mungkin kan effort lo selama ini cuma karena penasaran doang?”
Satu alis Sekyung terangkat saat mendengar pertanyaan Lomon. Di wajahnya seakan tergambar tulisan besar, lu mikir gue cowok brengsek?
Dia tertawa, “Oke..” katanya mengerti, lalu menenggak habis minuman kaleng yang masih tersisa setengah itu, “Sorry, habisnya lo kelamaan mikir.”
“Nanti.”
Sekyung menjawab singkat perkataan Lomon, ikut menenggak minumnya sendiri yang masih utuh, merasakan sensasi soda yang langsung membasahi tenggorokannya.
Nanti juga dipacarin, janjinya yang entah sudah sejak kapan tercetus di pikirannya sendiri.
Diambilnya ponsel miliknya yang berbunyi tanda pesan masuk. Ada balasan dari Yiheon yang kemudian membuatnya melebarkan senyum.
“Oh ada gue ternyata..” gumamnya pelan untuk dirinya sendiri.
Hal tersebut jelas mengundang kembali decakan samar dari Lomon yang bisa menebak dari siapa pesan tersebut.
Sekyung memasukan ponselnya ke dalam saku celana, menatap Lomon yang kali ini kembali sibuk mengunyah keripik.
“Lo tau gue gak mungkin asal ngasih effort sama orang. Kalau gue kasih ke Yiheon berarti gue gak pernah kepikiran buat sekedar main-main.” ucapnya serius menegaskan pada temannya itu.
Lomon tahu meskipun Choi Sekyung dikenal ramah dan supel di lingkup sekitar mereka. Tetapi bagi Lomon sebagai teman dekatnya, dia tahu betul Sekyung punya batas yang cukup tebal antara kebutuhan basa basi dan perduli yang sebenarnya.
Dan Song Yiheon yang entah tiba-tiba muncul darimana berhasil membuatnya mendengar hal yang tidak biasa diucapkan oleh Sekyung.
“Ternyata namanya Yiheon, kok gue kepikiran terus ya?”
Saat itu Lomon hanya menanggapi asal walaupun sedikit heran, sejak kapan Sekyung mikirin orang yang bahkan belum dikenalnya.
Hingga akhirnya dia sadar semakin sering nama itu disebut oleh Sekyung membuat Lomon mengambil kesimpulan sepihak. Dia berkata sambil menatap sosok Yiheon yang sedang asik makan di kantin dan duduk di bangku paling ujung bersama temannya, cukup jauh dari tempat mereka yang duduk di sisi yang lain.
“Kayaknya lo beneran naksir bocah itu deh. Kenal aja nggak.”
Sekyung saat itu tidak mengiyakan perkataannya, tapi dia juga tidak pernah membantah. Lomon justru hanya bisa mendengar gumamannya yang tidak dia mengerti.
“Hari ini lukanya udah lumayan sembuh.”
Sekarang atensinya kembali diberi pada Sekyung yang terlihat belum selesai berbicara.
“Kalau itu tentang Yiheon, rasanya gue gak bisa ambil sikap sembarangan.”
Bahkan mungkin terlampau hati-hati, Sekyung menyadari sikapnya itu karena bila menyangkut Song Yiheon, dia selalu banyak berpikir.
Sekyung tidak mau satu langkah salah yang dia lakukan malah membuat Yiheon mundur untuk menjauh.
Dia terlihat mengulum senyum lalu mengedikan kepalanya ke arah kamar.
“Hari ini Yiheon lagi seneng dan dia bilang ada gue jadi salah satu alasanya. Lu tahu pasti kalau bisa bikin bahagia orang yang lu sayang, rasanya udah cukup bikin diri lu sendiri senengnya jadi dua kali lipat.”
Perihal itu jelas Lomon mengangguk setuju dengan apa yang diucapkan Sekyung.
“Gue tau dan paham. Karena gue juga seneng kalau gue jadi alasanya Namra bahagia.”
Pemuda itu menjeda ucapannya, jarang sekali dia memberi nasihat pada Sekyung yang memang selama mengenalnya Lomon merasa tidak ada apa-apa yang perlu dia komentari dari kehidupannya.
“Tapi menurut gue lo juga berhak dikasih sebanyak apa yang udah lo beri. Apa gak mau effort ugal-ugalan lo selama ini dibales sama Yiheon? bukan maksudnya selama ini lo gak tulus, cuma gue rasa dua duanya harus jalan biar ketemu. Kalau lo doang yang jalan ya gak bakal bisa.”
Sekyung mengangguk kecil sambil menatap temannya itu yang tampak serius tidak seperti biasanya.
“Gue gak pernah minta balasan apa pun, Lomon.” ujarnya yang langsung membuat Lomon menepuk pelan meja di depannya seakan mendapatkan titik apa yang memang dia cari.
“Itu point nya maksud gue. Gue gak tau sesayang apa lo sama Yiheon sampai ngerasa cukup buat dapat segini aja dari dulu. Mikirin bahagia Yiheon terus, tanpa benar-benar nyadar kalau lo pun butuh feedback, Sekyung.”
Sekyung menghargainya, ucapan panjang lebar Lomon di pagi hari ini yang memberinya banyak masukan.
“Seperti apa yang lo bilang tadi, dia udah mulai nempel ke gue aja belum ada sehari. Kalau mau nurutin ego gue dari dulu mungkin hari ini juga gak bakal kejadian, anaknya yang ada udah kabur duluan.”
Sekyung meringis kalau ingat bagaimana Yiheon selalu menghindarinya dalam seminggu ini, jadi dia rasa seperti ini dulu tidak apa-apa. Pelan-pelan saja.
Tidak bisa berkomentar banyak lagi, Lomon mungkin sedikit mengerti kalau sifat Yiheon memang membutuhkan cara Sekyung yang berlaku lembut padanya, yang sabar dengan segala tingkahnya, yang tidak pernah menuntut namun akan membuatnya sadar bahwa ia benar-benar butuh sosok yang selalu memberi nyaman dengan rasa sayang yang Lomon tahu begitu besar.
Kalau bisa ngomong langsung, Lomon pasti bakal bilang, lo itu beruntung bertemu dengan Choi Sekyung, Yiheon.
“Ternyata lu bisa serius juga ya.” ucap Sekyung sebelum beranjak dan menepuk pundaknya membuat Lomon melempar satu buah keripik pada punggung kemeja yang mulai melangkah itu.
“Minimal bilang makasih. Udah dikasih saran gratis juga.”
Sekyung tertawa kecil, berbalik lagi menatap Lomon lalu mengeluarkan kunci mobilnya dari saku celana, dilemparkannya pada temannya itu yang langsung menangkapnya dengan mudah.
“Lu aja yang bawa, biar gue bisa fokus sama Yiheon kalau gitu.”
“Nyesel gue ngasih saran!”
Yiheon mengangkat wajahnya dari layar ponsel saat ia mendengar pintu yang dibuka. Di atas kasur di sampingya ada ransel hitam yang terlihat mengembung penuh berisi baju kotor.
Dilihatnya Choi Sekyung yang tadi bertanya hal yang membuatnya tidak perlu berpikir dua kali untuk menjawab.
Seniornya itu hanya berdiri sambil menyandarkan tubuh bagian kirinya pada kusen pintu yang barusan dia buka, melipat kedua tangannya di dada dan menatap Yiheon yang sedang tengkurap memenuhi seluruh kasur persis seperti tadi malam saat Sekyung masuk ke kamar untuk mencari dompetnya.
“Lagi ngapain, Yiheon?”
Kening Yiheon berkerut melihat Sekyung yang hanya diam dan tersenyum tanpa beranjak untuk masuk ke dalam kamar.
“Tiduran.” jawabnya kelewat polos, ia balik bertanya tanpa mengubah posisinya, “Pulang sekarang, bang?”
Sekyung melihat jam di pergelangan tangan kanannya lalu terlihat berpikir dan memasang wajah ingin tahu, “Buru-buru banget mau ngapain sih di rumah?”
Dibenarkannya bantal yang mengganjal dadanya, lalu mengatur posisinya sambil mengambil satu bantal lagi untuk dipeluknya, ia meringis kecil ditanya seperti itu.
“Gak ada, nanya doang soalnya gue udah siap.”
“Terus kenapa masih di kamar?”
Langkah Choi Sekyung itu kini mengayun pelan membawa tubuhnya untuk mendekat pada tempat tidur.
Tangan Yiheon menunjukkan ponselnya yang ia pegang serta charger yang memang terpasang dengan colokan di dekat meja samping tempat tidur, “Lupa gak bawa power bank takut mati hp gue nanti pas di jalan.” jelasnya
Sekyung hanya membulatkan mulutnya dengan tangan yang tanpa bisa ditahan untuk mengusak puncak kepala Yiheon hingga anaknya protes.
Yiheon lantas bangun untuk duduk, merasa tidak enak kalau ia masih mempertahankan posisinya saat dilihatnya Sekyung yang berjalan ke arah kanan ruangan, berdiri di depan jendela kaca yang tadi dibuka oleh Yiheon sehingga gorden berwarna gading tersebut bergerak pelan terkena angin dari luar.
Di balik jendela kaca tersebut terdapat halaman belakang hijau lengkap dengan rumput yang memenuhi tanahnya serta pohon-pohon teduh untuk mengimbangi panas suasana dekat pantai. Halaman itu jelas mengarah ke arah kolam renang yang sama yang bisa diaksen langsung bila keluar lewat pintu geser yang ada di ruang tengah.
Choi Sekyung melirik Yiheon yang sudah berada di sampingnya. Berdiri bersisian dengannya setelah turun dari tempat tidur.
“Tadi gue sempet kesana buat liat-liat ternyata kolamnya gak terlalu rame, cuma ada beberapa orang aja. Terus ada tempat duduknya enak banget buat tiduran.” ceritanya sambil menunjuk ke luar jendela.
“Kapan?”
“Pas abang lagi mandi.”
“Terus kepikiran buat nyebur lagi?” tanya Sekyung tertawa geli dan Yiheon hanya memperlihatkan deretan gigi rapinya.
“Enggak, mau pulang juga kan. Cuma suka aja di sana sambil kena angin, banyak pohonnya jadi gak terlalu panas.”
Sekyung mengangguk kecil untuk memberi respon, lagi-lagi dia bisa melihat senyum lebar dengan lesung pipi yang begitu dalam di wajahnya.
Baik sekali Yiheon dari pagi sudah membiarkan dia melihat kesukaannya itu.
“Kenapa?”
Yiheon terheran saat Sekyung tidak mengucap kata apa pun sambil menatapnya cukup lama, ia bahkan sampai memegang kedua pipinya sendiri untuk memastikan, meraba hampir seluruh mukanya, “Di muka gue ada yang aneh?” lalu bertanya dengan nada bingung.
Sekyung tergelak, “Gak ada, Yiheon.” tangannya memegang tangan Yiheon yang mesih ada di pipinya untuk diturunkan.
“Gak ada yang aneh sama sekali. Emang gak boleh kalau gue liatin?”
Ditatap kayak gitu lu pikir gue gak senam jantung, batin Yiheon sibuk menggerutu.
“Gak boleh, bayar!” sahutnya asal, berbeda dengan apa yang ada di pikirannya.
“Pake apa?”
Apasih kok malah nantangin.
“Mampunya Bang Sekyung apa?”
Sekyung mengerutkan keningnya saat Yiheon balik bertanya jahil, lalu dia dengan cepat menarik satu sudut bibirnya tampak menyeringai.
“Apapun gue kasih kalau buat lu.”
Tuh kan! Yiheon gak kuat kalau lama-lama begini. Mau kabur aja. Capek juga meladeni Sekyung, bukan cuma hatinya tapi juga pikirannya yang seperti terkuras.
“Udah makin gak jelas banget lu. Gue mau keluar sekarang aja.”
Baru saja ia akan mengambil ransel miliknya, lengannya lebih dulu ditahan oleh Sekyung yang terlihat susah payah menahan senyumnya tidak ingin membuat Yiheon kesal, padahal yang duluan mulai juga dirinya.
“Jangan keluar dulu.”
Kalau saja itu orang lain yang melakukannya, Yiheon yakin kesabarannya yang setipis tisu itu sudah raib. Tetapi kali ini berbeda karena di depannya saat ini Choi Sekyung sedang menatap dengan memohon, dengan wajah tampannya yang sedang menunggu respon darinya.
Dan satu anggukan kecil dari Yiheon membuat Sekyung melebarkan senyumnya hingga kedua matanya itu menyipit.
Ada dengusan kecil terdengar dari Yiheon saat melihat senyum senang di wajah Sekyung, sebahagia itu gue gak jadi pergi doang?
“Terus.. kenapa gue gak boleh keluar dulu?”
Yiheon bertanya dengan menurunkan nadanya agar tidak ngegas, ia seperti baru saja teringat prinsip barunya itu. Tolong abaikan yang tadi karena itu cuma kelepasan.
Di depannya, Choi sekyung justru mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia membuka room chatnya dengan Yiheon dan ditunjukkan padanya layar ponsel tersebut.
“Abang cuma mau denger langsung yang ini.”
Itu adalah chat terakhir mereka.
“Gimana maksudnya?”
Sekyung sudah tidak lagi menghadap ke arah depan, tubuhnya sepenuhnya menghadap ke arah Yiheon yang memasang wajah tidak mengerti dengan kedua alis tebalnya yang menyatu.
“Yiheon...” suara Sekyung terdengar lembut seperti biasa.
“Diantara banyak hal yang bikin kamu bahagia hari ini, beneran ada Bang Sekyung kan di dalamnya?”
“Iya.”
Yiheon menjawab pelan sedikit bingung karena Sekyung benar-benar mengulang apa yang tadi dia tanyakan.
“Terus maksudnya gak cuma hari ini apa?”
Choi Sekyung memasang wajah penasaran menatap Yiheon yang terlihat menghela napas kecil, ia bahkan menggaruk bagian belakang kepalanya terlihat salah tingkah.
Kenapa sih nanya langsung, gak di chat aja.
“Kalau harus diperjelas mungkin gini..”
Yiheon berdehem kecil, tubuhnya ikut menyamping menghadap Sekyung.
Sesaat ia dengan berani membalas tatapan Sekyung sebelum berbicara serta mengambil napas dalam membuat seniornya itu tidak bisa menahan senyumnya apalagi Yiheon kemudian ikut menarik kedua sudut bibirnya.
“Diantara banyak hal yg buat gue seneng, Bang Sekyung selalu ada di dalamnya.”
Nadanya jelas, tidak ada keraguan sama sekali yang terdapat di kalimatnya. Wajahnya tersenyum cerah. Song Yiheon berujar sungguh-sungguh tentang apa yang barusan ia ucapkan.
Bukan hanya hari ini, walaupun mungkin Yiheon baru menyadari perasaanya belakangan ini, tapi fakta bahwa Sekyung selalu ada dalam hal yang membuatnya senang itu sudah terjadi cukup lama dan ia sadar betul.
“Gue boleh tanya hal yang sama?”
Yiheon berkata dengan sedikit takut, menatap Sekyung yang kembali melebarkan senyumnya seakan penjelasannya tadi adalah hal paling luar biasa yang bisa dia dengar.
“Tentu.” jawab Sekyung, “Tanya aja, nanti gue jawab.”
“Diantara banyak hal yang bikin Bang Sekyung senang, pernah ada gue gak di dalamnya?”
Ada napas tertahan yang dilakukan oleh Yiheon saat ia selesai bertanya. Kalau tadi ia bisa menjawab tanpa ragu pertanyaan tersebut, belum tentu hal itu berlaku juga bagi Sekyung, pikirnya.
Tetapi di depannya sekarang, Sekyung jelas mengiyakan, menatapnya dengan lurus lalu berkata untuk menjawab pertanyaan Yiheon untuknya.
“Bukan hanya pernah, Yiheon. Tapi kamu memang alasan buat Bang Sekyung ngerasa senang.”
Karena bagi Sekyung, melihat Yiheon sudah cukup untuk dia merasa senang. Dan melihat Yiheon yang bahagia sudah cukup untuk dirinya lebih bahagia lagi.
“Beneran gak?” suaranya terdengar mendesak, meminta jawaban jujur dari Sekyung yang mengangguk yakin.
“Ohhh...”
“Masa oh doang? lempeng banget.”
Song Yiheon meringis kecil mendengar komentar Sekyung akan responnya.
Kalau saja dia tahu bagaimana berisiknya pikiran Yiheon sekarang, bagaimana degup jantungnya yang jauh dari kata normal, bagaimana ia mati-matian menahan senyum lebarnya saat ini.
Tadi pagi, Yiheon mengetahui fakta kalau Sekyung berkata menyayanginya, sekarang ia mengetahui kalau dirinya menjadi alasan Sekyung merasa senang.
Rasanya rate senang ia yang tadi harus ditambah lebih banyak lagi.
“Malah bengong.”
Yiheon merasakan lagi tangan Sekyung yang mampir di atas kepalanya, dipatpat lalu diusap-usap.
Ia menatap Sekyung dengan perasaan yang sulit dijelaskan, Yiheon tahu kalau ternyata mereka berbagi sumber kebahagiaan satu sama lain?
Bahagia aku itu kamu.
Bagaimana mungkin dirinya menjadi alasan Sekyung merasa bahagia, Yiheon bahkan tidak pernah memikirkannya sebelumnya.
Terserah, yang ia tahu sekarang dirinya benar benar ingin melakukan ini. Sedikit ragu, Yiheon menimbang apa yang ingin ia ucapkan sekarang, berlebihan nggak ya?
“Abang.. boleh gue minta peluk lagi?”
Pintanya pelan dengan kedua mata yang membulat lucu, ingin sekali. Satu-satunya yang terbersit di pikirannya saat ini adalah memeluk erat sosok di depannya ini.
Walaupun sedikit kaget, Choi Sekyung tidak perlu berucap banyak saat Yiheon mendekat padanya, dia dengan senang hati menyambutnya, lalu membawanya ke dalam sebuah pelukan hangat yang sarat akan kasih sayang.
“Tentu boleh, Yiheon. Kapan pun kalau kamu mau bilang aja.”
Yiheon tersenyum senang mendengarnya, ia seperti mendapat lampu hijau. Kapan pun katanya, Yiheon akan mengingatnya dengan jelas ucapan Sekyung barusan.
“Senangnya nambah dong ya harusnya?” tanya Sekyung sambil mengusap-ngusap punggungnya dengan lembut, ada kekehan ringan di ujung kalimatnya saat berbicara seperti tahu apa yang dirasakan oleh pemuda di dekapannya ini.
Yiheon tidak langsung menjawab, ia hanya mengangguk kecil dan bergumam pelan dalam posisi nyamannya menyalurkan bahagia yang terasa semakin menumpuk, semuanya karena Bang Sekyung.
“Iya. Nambah banyak banget.”
“Makasih udah jadi alasan buat Bang Sekyung bahagia ya, Yiheon. Makasih udah libatin Bang Sekyung dalam hal apa pun yang buat kamu senang.”
Senyumnya di wajah Yiheon semakin lebar saja, apa yang dikatakan Sekyung tersebut membuat hatinya menghangat berkali-kali lipat.
“Gue juga mau bilang makasih banyak-banyak buat semuanya, bang.” balasnya sambil memberi jarak dan menjauhkan lagi tubuhnya dari Sekyung.
Ia melepaskan pelukan singkat mereka walaupun terasa berat, memberinya sedikit rasa hampa.
Bisa gak pelukan aja seharian, maunya.
Yiheon menatap yang lebih dewasa itu dengan senyum senangnya, ia suka tawa Sekyung yang terdengar dalam di pendengarannya seperti sekarang.
Bang Sekyung nya beneran terlihat bahagia.
Makasih udah sayang sama gue, Bang Sekyung.
Sayangnya, Yiheon hanya bisa menelan lagi kalimatnya yang tertahan di tenggorokan, untuk masalah itu rupanya ia masih belum berani bilang apa-apa.
Ia hanya bisa kembali memperlihatkan lesung pipinya, mengangguk kecil saat Sekyung berkata kalau dia lagi-lagi menyukai pipi bolongnya itu entah sudah berapa puluh kali yang Yiheon dengar hari ini.
“Abang, rate juga hari ini berapa?”
Yiheon bertanya saat ia mengambil ranselnya di atas kasur, mencabut ponselnya yang sudah lumayan penuh, melirik Sekyung yang berdiri di sampingnya untuk menunggu.
“Sepuluh / sepuluh ?”
Nadanya kembali merajuk saat mendengar jawaban Sekyung yang kali ini mendorong pundaknya dari belakang untuk berjalan keluar kamar, “Dikit banget! masa cuma segitu.”
“Ya sudah, seratus / sepuluh?”
“Oke boleh lah, tambahin lagi nanti soalnya bisa tidur di pundak gue.”
“Iya, seratus juta / sepuluh, ok?”
“Banyak banget anjir. Lebay.”
Yiheon tertawa puas mendengar candaan Sekyung, menular pada Sekyung yang juga ikut menarik kedua sudut bibirnya melihat Yiheon yang terlihat senang.
Tawa yang mengundang pandangan heran dari kedua orang yang sedang duduk di ruang tengah.
“Haduh ketawa nya gak bagi-bagi nih Yiheon, seneng banget kayaknya.”
Ucapan Namra diangguki oleh Lomon yang langsung melirik Sekyung, ada senyum kecil di kedua wajah pasangan itu seakan saling tahu satu sama lain, menatap teman mereka yang belum menghilangkan wajah senangnya.
“Sayang sumbernya cuma satu doang. Jadi, gak bisa aku bagi-bagi.”
“Oh iya ngerti, Sekyung nya emang buat kamu kok. Ambil aja.”
Yiheon membulatkan matanya mendengar ucapan frontal Namra di depan semua orang yang dengan jelas langsung bisa melihat wajahnya yang perlahan memerah.
Salah ia juga tadi asal menjawab tanpa pikir panjang.
“Ngaca deh, muka lo kayak tomat tuh.”
Sudah bisa ditebak, Sekyung langsung merangkulnya saat Yiheon menaruh tas ke atas sofa dan bersiap melempar bantal yang ada di sana kepada Lomon yang masih meledeknya.
“Bang Lomon awas lu!” katanya sambil mendengus yang membuat pasangan itu semakin ngakak, beneran bocah tukang ribut itu gak bisa dipancing dikit. Walaupun mereka tahu Yiheon hanya bersikap untuk menutupi malunya.
Ia melirik Sekyung yang ikut tertawa walaupun mencoba ditahan.
Udah lah harga diri gue jatoh sampe bubuk gak bersisa ini, udah gak ketolong. Mau kabur, batinnya frustasi sambil menutup mukanya.
Bisa-bisanya Lomon berkata benar seperti itu karena walaupun Yiheon tidak melihat kaca, tapi ia tahu wajahnya terasa sangat panas saat ini.
“Gapapa, muka kamu malah tambah lucu.”
Dan perkataan Sekyung barusan bukannya terdengar menghibur malah membuatnya semakin panas, serta meraskan sensasi yang menggelitik semakin banyak di perutnya.
Apalagi Choi Sekyung, pemuda itu berkata sambil mengambil tangan Yiheon yang menutupi wajah dan mengganti dengan tangannya sendiri untuk menangkup kedua pipi Yiheon.
Tolong dicatat, Choi Sekyung menangkup kedua pipinya detik ini.
Dia mengulas senyum tipis, melihat langsung dengan kedua irisnya bagaimana Song Yiheon tidak bisa berkutik di bawah tatapannya lengkap dengan semburat yang semakin nyata mengisi hampir seluruh wajah tampannya hingga ke telinga.
“Gemes banget sih yang nggak mau bagi-bagi gue.” bisik Sekyung sambil sedikit mengelus pipi tegas itu menggunakan ibu jarinya.
Sekyung mengerti apa yang dimaksud oleh Lomon tadi perihal feedback yang harus dia dapatkan. Sekecil apa pun itu yang diberikan oleh Yiheon seperti sekarang, Sekyung akan menghargainya.
Lalu kalau memang mereka harus jalan bersamaan, Sekyung tahu saat ini Yiheon sudah melangkah menyusulnya agar mereka bisa berjalan bersisian walaupun mungkin ia sendiri tidak menyadarinya.
Sekyung hanya perlu menunggu tanpa terburu-buru apalagi memaksa, yang bisa dilakukannya hanya mengulurkan tangan pada Yiheon, memberi tahu kalau dia selalu ada dan selalu menunggunya tanpa kurang sedikit pun.
Sebentar lagi, Sekyung tahu kalau hari itu mungkin akan tiba. Saat dia akhirnya bisa menggenggam tangan Yiheon sepenuhnya tanpa ragu karena Yiheon sendiri yang akan menyambutnya terlebih dulu.
“Abang... stop ngomong dulu, stop natap gue kayak gitu. Jantung gue udah kecepetan.”
Atau mungkin Sekyung harus mulai bersiap-siap dari sekarang karena Song Yiheon rupanya tidak sabar dalam hal apapun.
Dulu mungkin ia tidak menyadarinya tapi sekarang berbeda, si tukang ribut itu tahu jelas bagaimana hatinya berkata kalau ia benar-benar menyukai Bang Sekyung nya ini.